• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

CAFE DI ERA POST TRUTH

CAFE DI ERA POST TRUTH

Studi Konstruksi Sosial Labelling Kafe dengan Nama Hiperrealitas

di Kota Surabaya

 

 

Oleh:

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Yusrol Fahmi, S.Sos.I, MSi

 

 

 

Pedoman Wawancara bebas:

 

  1. Siapa pendiri Cafe ini?
  2. Apakah pendirinya perorangan atau bersama-sama?
  3. Apakah café ini milik sendiri atau waralaba, dari mana waralabanya dan bagaimana pelaksanaan waralabanya?
  4. Tahun berapa Cafe ini didirikan?
  5. Apakah Café ini menggunakan tanah bangunan sendiri atau sewa. Jika sewa berapa sewanya?
  6. Berapa rata-rata pelanggan datang di cafe ini?
  7. Berapa lama kira-kira pelanggan membeli produk café ini?
  8. Apakah mereka datang sendiri atau berkelompok?
  9. Berapa rata-rata usia para palnggan café ini?
  10. Bagaimana proses untuk menemukan nama café ini?
  11. Apakah untuk menemukan nama café ini diperlukan diskusi dengan orang lain, misalnya ahli di bidang café atau ahli di bidang yang dianggap penting, misalnya orang tua kandung, kyai atau orang pintar lainnya?
  12. Cafe ini diberi nama yang unik, apakah dulu menggunakan nama lain atau langsung bernama ini?
  13. Apakah bapak merasa bahwa nama ini membawa keberuntungan, misalnya banyak pelanggan yang datang?
  14. Apakah nama café yang unik ini relevan dengan tuntutan zaman?
  15. Apakah para pelanggan merasa nyaman dengan nama café yang unik ini?
  16. Apakah para pelanggan dating ke café ini karena nama yang unik atau karena rasanya yang enak?
  17. Apakah para pelanggan mula-mula tertarik dengan namanya yang unik dan menarik?
  18. Apakah secara etika nama warung ini tidak dianggap oleh para agamawan sebagai kesalahan?

 

SINERGI MEMBANGUN EKONOMI SYARIAH (2)

Seminar dan bedah buku yang berjudul “Keuangan Publik dan Sosial islam, Teori dan Praktik” dan “Model Bisnis Keuangan Mikro Syariah Indonesia” dengan empat narasumber, yaitu Ibu Rini, Pak Syauqi Beik, Pak Ali Sakti dan Pak Muhammad Syafii Antonio.

Menurut Ibu Rini, dari Kementerian Koperasi dan UMKM, bahwa Indonesia sesungguhnya bisa menjadi pusat ekonomi syariah, misalnya melalui berbagai segmen usaha, seperti perbankan syariah, non perbankan syariah, pasar modal Syariah, koperasi syariah dan lain-lain. Hanya saja yang menjadi problem adalah regulasi tentang koperasi syariah belum diterbitkan. Sumbangan koperasi syariah sebenarnya cukup besar sebanyak 22 persen dari total jumlah koperasi.

Sesuai dengan Misi Presiden Joko Widodo dalam ekonomi syariah adalah “Indonesia mandiri, makmur dan madani menjadi pusat ekonomi syaraih terkemuka dunia.” Di dalam implementasi program, maka diperlukan sinergitas. Diperlukan strategi pengembangan ekonomi syariah dengan melibatkan Bappenas, Kementerian keuangan, Kementerian terkait dan KNKS dan sebagainya, agar pengembangan ekonomi syariah akan lebih cepat. Di antara program yang akan dikembangkan oleh Kementerian Koperasi dan UKM, adalah bantuan sertifikasi halal dan pengembangan UMKM, literasi dan edukasi keuangan syariah dan pengembangan aplikasi keuangan syariah, merumuskan regulasi dan penguatan SDM untuk produk syariah.

Sesungguhnya koperasi syariah dapat menjadi pendukung kuat dalam penguatan pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Untuk kepentingan ini, sudah dilakukan beberapa upaya misalnya dengan pelatihan, sertifikasi, dan pembinaan lain yang terkait dengan ekonomi syariah. Menkop sudah melakukan MoU dengan BWI untuk gerakan wakaf uang dalam rangka memperkuat pengembangan ekonomi syariah.

Selanjutnya, Dr. Ali Sakti menyatakan, bahwa aktivitas ekonomi syariah adalah terfokus pada kelancaran atau aliran sumber daya agar setiap orang dapat memperoleh apa yang dibutuhkan. Aktivitas tersebut melalui jual beli, investasi, public finance, dan social finance. Ekonomi merupakan instrument untuk memperoleh kelancaran dalam akses pembangunan nasional.

Dalam aspek ekonomi syariah berbasis wakaf dan zakat sebenarnya berpotensi untuk mengurangi beban masyarakat dalam kehidupan ekonomi. Semakin tinggi keimanan kita, akan semakin besar willingness kita untuk mengeluarkan harta untuk kepentingan ekonomi syariah.

Indonesia memiliki luar biasa variasi keuangan mikro syariah. Sudah tersebar di sleuruh Indonesia, misalnya BMT, BKK, LPD, LPM dan sebagainya yang semuanya adalah lembaga keuangan syariah dan berkemampuan untuk mengurangi mitigasi resiko dengan baik. Dengan pola kerja sama dengan kerabat dan keluarga maka ikatan sosial ini dapat menjadi pengurangan resiko dimaksud. Misalnya terdapat BMT yang khusus menangani orang gharimin (banyak hutang) sehingga semua produknya diarahkan untuk kepentingan ini.

Selama ini belum banyak teori-teori mikro yang diperuntukkan dalam riset ekonomi syariah. Model bisnis keuangan mikro syariah di Indonesia, memiliki sembilan block: melalui key partnership, key activities, value proposition, customer relationship, customer segment, key resourch, channel, cost structure, dan benefit.

Hanya yang dibutuhkan adalah bagaimana agar program ini dapat dilakukan dengan perencanaan yang baik. Semua harus dikolaborasikan. Indonesia sangat potensial sebab sudah memiliki KNKS, memiliki pasar yang besar dan juga orang Indonesia memiliki syariah compliance dan komprehensif strukctur (keuangan komersial, halal industry, dan lainnya). Jadi Indonesia harus leading dalam penelitian dan pengkajian sebab Indonesia memiliki banyak potensi untuk berkembang.

Kemudian, Pak Irfan Syauqi Beik menyatakan, bahwa zakat dapat menjadi institusi yang luar biasa. Potensi zakat sebanyak 233,8 trilyun dan yang terbesar dari zakat profesi. Namun demikian potensi zakat yang direalisasi masih sedikit. Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat adalah potensi terbesar dalam realisasi zakat, sementara itu Papua Barat, NTT dan Maluku menjadi yang terkecil di Indonesia. Jadi, zakat bisa menjadi instrument untuk mambantu masyarakat yang membutuhkan. Di Jawa Tengah, dalam dua tahun bisa menaikkan zakat dari 800 juta menjadi 6 Milyar. Penghimpunan zakat ini hanya dari ASN dan BUMD yang didorong oleh Gubernur Jawa Tengah.

Daya serap zakat secara nasional sebesar 83,77 persen, seharusnya sekurang-kurangnya 85 persen. Di sini ada 3 pilar untu pengembangan siste pengelolaan zakat nasional, regulasi (pusat dan daerah), kelembagaan (system kelembagaan, penguatan SDM, penguatan kemampuan penghimpunan zakat) dan literasi (pemahaman tentang zakat, dakwah dan sosialisasi zakat, pengembangan indeks literasi zakat). Di Baznas, sudah terdapat indeks literasi zakat yang tentu dapat digunakan untuk basis penelitian dalam level skripsi, thesis atau disertasi. Di zaman Nabi Muhammad saw penerimaan zakat tidak dilakukan secara sendiri, akan tetapi melalui tim. Nabi menugaskan beberapa orang untuk memungut zakat.

Zakat akan dinilai berhasil jika penyalurannya baik. Oleh karena itu data base menjadi penting. Dewasa ini sudah terdapat ukuran-ukuran yang detailed, tentang bagaimana profil muzakki, Peta sebaran program, layanan aktif baznas (LAB) yang memiliki sejumlah aktivitas. Di Indonesia terdapat sebanyak pengeluaran 312 gram beras perorang perhari, jadi sehari memerlukan 300 gram. Setiap makan menghabiskan 100 gram. Orang Indonesia sudah membuang sebanyak 12 gram perorang perhari (data Kemendag dan BPS). Secara konseptual sudah membuang makanan, akan tetapi masih ada masyarakat yang stunting, dan kurang makan. Itu artinya, ada sementara yang berlebihan dan ada yang kurang.

Yang penting adalah penguatan koneksi antar lembaga agar percepatan pengembangan zakat baik dari pengupulan dan distribusinya akan dapat dilakukan secara memadai. Program kerja sama antar Baznas dengan lembaga lain terkait sangat dibutuhkan untuk penguatan penerimaan dan pendayagunaan zakat secara keseluruhan.

Lalu, Muhammad Syafii Antonio, yang berbicara tentang Islamic Finance, ternyata bahwa Islam adalah suatu agama yang tidak memperkenankan concentration of wealth. Siapapun, misalnya Sultan Hasanah Bolkiah, Mohammad bin Salman dan lain-lain, jika udah meninggal, maka hartanya akan terpecah kepada para para ahli warisnya. Pecahan harta itu pertama adalah untuk waris, lalu ke wasiat, zakat, infaq dan hadiah. The system of distribution in Islam itu tidak menghendaki the concentration of wealth. Jika tidak terjadi konsentrasi kekayaan ini, maka akan terjadi distribusi yang lebih merata. Misalnya jika uang itu didistribusikan kepada 50 orang, maka yang belanja akan lebih banyak. Jadi ada barang dan jasa yang dibeli baru, maka akan terjadi new production dan akan ada jasa tambahan, misalnya guru ngaji tambahan, akibatnya akan terjadi new employment baru dan akan menambah tenaga kerja baru.

Public finance di dalam sejarah Islam itu luar biasa. Pada tahun 1000 masehi, di Cordova telah terdapat anggaran yang dikaitkan dengan pembangunan infrastrukur. Jadi ada dana yang besar yang dialokasikan untuk pembangunan kota. Dan hal ini memberikan gambaran bahwa zakat, infaq dan shadaqah atau pajak sudah dikembangkan sangat baik. Menurut Napoleon, ada dua kota yang dibangun luar biasa, yaitu Istambul dan Cordova. Dan ini adalah sejarah pengembangan public finance yang luar biasa. .

Wallahu a’lam bi al shawab.

SINERGI MEMBANGUN EKONOMI SYARIAH (1)

Pagi ini, 07 Nopember 2019, saya mewakili Prof. Dr. Mohammad NUH, Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk menghadiri acara yang digelar oleh Bank Indonesia (BI) dalam kerangka Festival Ekonomi Syariah (FESyar) tahun 2019. Forum ini merupakan rangkaian akhir dari FESyar yang digelar di seluruh Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Surabaya menjadi tempat akhir dalam acara FESyar.

Acara ini dihadiri oleh Wakil Direktur Bank Indonesia, Doddy Budi Waluyo, Wakil Gubernur Jawa Timur, Dr. Emil Elistianto Dardak, Wakil Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah, dan seluruh Bupati atau Wakil Bupati dan Walikota atau Wakil Wali Kota se Jawa Timur, para rektor dan ketua Departemen Program Studi Ekonomi Syariah dan para mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah.

Pada saat memberikan sambutannya, Direktur BI Institute, Salihin M. Juhro menyatakan bahwa perkembangan terakhir literasi keuangan syariah secara nasional baru mencapai angka 8,7 persen, dari berbagai segmen keuangan syariah: Produk Halal, Wisata Halal, Perbankan Syariah dan produk-produk syariah lainnya. Padahal sebenarnya Keuangan syariah dapat mendorong terhadap pertumbuhan ekonomi Nasional. Di dalam konteks ini, maka program Bank Indonesia adalah untuk membangun literasi syariah, peningkatan keuangan syariah, penguatan Program Pendidikan Tinggi dan Program ekosistem pengajaran, seperti penerbitan jurnal dan informasi lainnya. Di BI sudah terdapat jurnal terindeks Scopus, yang dapat diakses secara online dan gratis. Jurnal tersebut salah satunya adalah Journal of Islamic Monetary Economics and Finance, dengan alamat http://jimf-bi.org.

Dr. Emil Elestianto Dardak sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur juga memberikan presentasinya yang sangat menarik. Diungkapkannya bahwa sekarang ini kita sedang berada di Era Digital Revolusi Industri 4.0 dan salah satu anaknya adalah Automatisasi. Kita harus memasuki era ini dengan segala konsekuensinya baik yang negative maupun yang positif. Jadi, automatisasi bisa menyebabkan pengaruh negative terhadap tenaga kerja, termasuk pekerja white collar, namun juga berdampak positif dalam kerangka menyediakan ruang untuk berusaha melalui aplikasi dan sebagainya.

Automatisasi dapat mendisplace tenaga kerja karena jenis pekerjaannya diambil oleh artificial intelligent, namun juga dapat menumbuhkan perdagangan online dan tumbuhnya unit usaha baru. Jadi meskipun dikeluhkan, akan tetapi akan terjadi abundance yang berakhir dengan happy ending.

Ekonomi syariah tentu memiliki tantangannya sendiri dan ekonomi syariah tentu tidak boleh masuk dalam system ekonomi kapitalis, di mana salah satu sifatnya adalah the winner takes all. Kelebihan ekonomi syariah adalah resiko usaha dipikul bersama-sama. Tidak hanya pengusaha atau perbankan yang mengambil keuntungan sendiri dan juga kerugian sendiri, akan tetapi dua belah memiliki tanggungjawab yang sama. Jadi masyarakat juga terlibat to take risk.

Kemudian juga tantangan persaingan usaha. Jika system kapitalis berprinsip the winner takes all, baik yang terkait dengan keuangan maupun penguasaan sumberdaya. Misalnya Semen China semula menjual murah produknya, sehingga banyak semen produk local yang mati, dan ketika yang local gulung tikar, maka Semen produk Cina lalu dinaikkan. Maka, ekonomi syariah harus mengambil posisi untuk kebersamaan, tidak boleh mematikan satu dengan lainnya. Semua harus dijadikan partner untuk berkembang bersama.

Di dalam Global Islamic Economy (GIE) dijelaskan bahwa negara-negara non muslim justru menjadi pengekspor besar pada produk-produk halal, misalnya Australia menjadi pengekspor daging halal ke seluruh dunia, bahkan Vietnam dan Thailand menjadi pemain besar dalam perdagangan syariah melalui halal food di Jepang. Jadi bukan Indonesia yang menguasai pasarnya, tetapi negara-negara non muslim lainnya. Indonesia belum bisa menjadi pemain karena variabel harga yang masih tinggi, kemasan yang kurang baik dan sebagainya. Sebenarnya Indonesia sudah masuk 10 besar negara yang memproduksi produk halal, dalam bidang Halal Food, Islamic Finance, Mode fashion, halal pharmaceutical and cosmetics.

Jika ekonomi syariah dapat berkembang lebih baik, maka ke depan diharapkan bahwa pembangunan tidak hanya menggantungkan pada anggaran pemerintah saja, akan tetapi juga dana partisipasi masyarakat sehingga akan berimpact pada communal growth.

Selanjutnya, Pak Doddy Budi Waluyo (Deputy Gubernur BI) menyatakan bahwa negara-negara non muslim sudah menjadi pemain besar di dalam produk halal, seperti Australia (daging) dan China (fashion), maka Indonesia juga harus menjadi pemain juga. Jadi harus dipikirkan apakah kita akan menjadi pemain di dalam negeri dan luar negeri ataukah hanya akan cukup menjadi pasar para pemain besar dunia.

BI telah membangun tiga pilar untuk pengembangan ekonomi syariah, yaitu: mendorong perbankan syariah dan juga keuangan syariah. Lalu, membangkitkan keuangan syariah di tingkat masyarakat, misalnya melalui UMKM, pesantren dan lain-lain. Sekarang sudah terdapat kerja sama dengan sebanyak 285 pesantren dari sebanyak 40.000an pesantren. Masih perlu kerja keras untuk mengajak pesantren bekerja sama. Kemudian, meningkatkan edukasi keuangan syariah, literasi keuangan syariah dan lain-lain. Prosentase literasi syariah harus meningkat dari tahun ke tahun.

Oleh karena itu saya ikut menggaris bawahi yang dinyatakan oleh Wakil Gubernur Jawa Timur, agar digital finance perbankan konvensional dan digital keuangan syariah harus didorong untuk maju bersama dalam rangka terlibat di dalam pembangunan nasional yang harus dilakukan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MENCERMATI PARADIGMA ILMU DAKWAH

MENCERMATI PARADIGMA ILMU DAKWAH

Saya   telah menyampaikan pada banyak kesempatan bahwa setiap bidang atau discipline di dalam ilmu pengetahuan selalu terdapat paradigma, perspektif atau madzab. Semua berkisar pada pandangan mendasar dari para ahli mengenai sasaran kajian ilmu pengetahuan. Meskipun ada sedikit perbedaan, tetapi hakikatnya terkait dengan penggolongan atau pengkategorian sasaran ilmu pengetahuan.

Ilmu sosial, seperti: sosiologi, psikhologi, antropologi, politik, komunikasi, hukum, dan sebagainya tentu juga memiliki paradigmanya masing-masing. Terlepas bagaimana para ahli menyatakannya, akan tetapi pengkaterorian itu selalu dipastikan keberadaannya. Demikian pula ilmu agama. Ilmu fiqih, theologi, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu tarbiyah, ilmu dakwah dan sebagainya semuanya juga dipastikan memiliki madzab atau paradigmanya sendiri-sendiri.

Ilmu dakwah, sebagai bagian dari ilmu agama tentu juga memiliki paradigma, di mana para ahli menemukan dan mengkaji sasaran kajian atau subject matter of science. Dalam pandangan saya, ada sekurang-kurangnya lima paradigma keilmuan dakwah, yaitu: paradigma factor, paradigma system, paradigma developmentalisme, paradigma interpretif dan paradigma partisipatoris. Semua ini merupakan pengkategorian terhadap apa yang menjadi sasaran kajian dan kecenderungan penelitian yang dilakukan oleh para ahlinya.

Pertama, Paradigma factor adalah paradigma ilmu dakwah yang sangat dipengaruhi oleh ilmu komunikasi, bahkan ada yang menyatakan bahwa secara structural ilmu dakwah adalah bagian dari ilmu komunikasi. Hanya secara substansial yang membedakannya adalah pada message yang digunakannya. Jika ilmu komunikasi bersifat umum, sedangkan ilmu dakwah bersifat khusus. Makanya, definisi ilmu dakwah adalah “proses penyampaian pesan dari da’i, melalui media dan metode tertentu untuk memperoleh perubahan perilaku mad’u”. Bandingkan definisi ini dengan definisi ilmu komunikasi, “who says what to whom in what channel and with what effect”.

Secara proposisional dapat dinyatakan bahwa “da’i melalui pesan yang disampaikannya dengan metode dan media tertentu memiliki relasi terhadap perubahan perilaku keberagamaan pada mad’u”. Konsep relasi bisa terkait dengan pengaruh, dampak positif, korelasi dan bahkan perbandingan. Jadi kajian ilmu dakwah bisa bercorak pengaruh, hasil, korelasi atau perbandingan.

Jika dicermati, maka factor dakwah adalah Da’i (komunikator atau subjek dakwah), pesan (message keagamaan), metode, media, dan effek dakwah. Pesan keagamaan berbeda dengan pesan agama, yaitu terkait dengan relasi antara agama dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan bahkan kebangsaan. Sedangkan pesan agama merupakan pesan yang bercorak khusus agama sebagai ajaran ketuhanan (theology), peribadahan (ritual) dan performance agama tersebut.

Di dalam praktik penyelenggaraan penelitiannya, maka masing-masing factor dapat memiliki relasi dengan keberagamaan sasaran dakwah (mad’u) dan masing-masing factor dapat dijadikan variabel-variabel yang sangat banyak sesuai dengan fakta empirisnya. Disebut sebagai fakta lapangan sebab yang dijadikan sebagai subject matter ilmu dakwah ialah fakta dakwah. Fakta dakwah adalah “something external and coercive to the object of da’wah”. Yang disebut sebagai something external and coercive to adalah faktor-faktor dakwah dimaksud.

Yang tergolong factor eksternal dan berpengaruh adalah da’i, pesan, media dan metode dakwah terhadap perilaku keberagamaan obyek dakwah. Disebut perilaku sebab bersifat mekanis dan ajeg atau sesuatu yang terjadi atau dilakukan berulang-ulang. Sedangkan yang termasuk kajian korelasional, misalnya adalah korelasi antara pemahaman obyek dakwah dengan perilaku keberagamaannya. Bisa dinyatakan “pemahaman beragama belum tentu berhubungan dengan perilaku keberagamaannya” atau sebaliknya.

Kedua, paradigma system dakwah. System dakwah adalah keterkaitan antar subsistem dakwah yang membentuk jaringan integral dan sistemik, sehingga antara satu subsistem dengan yang lain tidak bisa dipisahkan. Coba dicermati definisi ini. Yang membedakan antara paradigma factor dengan system terletak pada kaitan integral dan sistemik atau tidak. Bisa memisahkan antara satu factor dengan lainnya atau tidak. Jika bisa memisahkan satu factor dalam variabel-variabel, maka dipastikan studi tersebut masuk dalam ranah paradigma factor dakwah. Namun jika tidak bisa memisahkannya maka disebut sebagai paradigm system dakwah.

Antar subsistem atau antar factor dakwah tersebut menyatu dalam proses, maka hal inilah yang termasuk dalam kajian dalam paradigm system dakwah. Yang menjadi ciri khas lainnya ialah bersifat problem solving, yaitu upaya untuk memecahkan problem keagamaan pada masyarakat atau juga individu. Problem tersebut bisa relasi antara agama, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Dengan demikian, ciri dari paradigm system dakwah ialah kekuatan proses dan upaya problem solving.

Sebagai contoh studi-studi behavioralistik (perubahan perilaku) yang disebabkan oleh factor eksternal yang berbasis proses terpaan integralisik subsistem dapat dikategorikan sebagai studi dalam paradigm system dakwah. Lebih kongkrit, misalnya studi proses perubahan perilaku kaum Abangan Pesisiran menjadi NU karena keberadaan medan budaya yang sama merupakan studi kasus yang menarik. Disebut kasus karena di dalamnya ada problem solvingnya. Kasus tersebut bisa dikaitkan dengan substansi atau lokusnya.

Ketiga, Paradigma developmentalisme merupakan paradigma yang sasaran kajiannya adalah pengembangan model dari suatu kegiatan dakwah. Pengembangan model tersebut bisa berasal dari sesuatu yang belum ada atau mengembangkan model yang sudah ada untuk diperkuat atau dikembangkan lebih lanjut. Dengan demikian, developmentalisme dakwah adalah upaya untuk menghasilkan inovasi yang memiliki manfaat bagi kehidupan masyarakat.

Menurut saya ada dua ciri khas di dalam paradigm developmentalisme ini, yaitu: model dan hasil atau produk. Jadi harus terkait dengan penemuan atau pengembangan model dan kemudian memiliki sejumlah pengaruh bagi perbaikan atau pengembangan masyarakat atau komunitas. Posisi peneliti adalah sebagai pengamat dan pelaku terhadap model yang sudah ada dan diperlukan pengembangannya. Dan harus menjadi pelaku jika yang bersangkutan ingin merumuskan model yang dianggap tepat dalam dimensi sosio kultural komunitas atau masyarakat sasarannya.

Penelitian tentang Manajemen Masjid Jogokaryan Yogyakarta yang menjadi model bagi pengembangan manajemen kemasjidan pada wilayah lainnya yang memiliki corak yang sama adalah contoh tentang penelitian developmentalistik. Demikian pula tentang Model Desa Zakat di Malang juga merupakan contoh temuan model atau inovasi yang begitu bermanfaat bagi masyarakat.

Keempat, paradigm interpretative adalah pemikiran mendasar dari para ahli bahwa yang menjadi sasaran dakwah adalah realitas dakwah yang memiliki makna. Disebut realitas sebab yang dikaji adalah sesuatu dibalik tindakan. Makna diperoleh melalui memahami sesuatu dibalik tindakan individu. Jadi yang digali adalah ide, gagasan dan tindakan individu dalam kaitannya dengan pesan-pesan dakwah yang diterimanya atau yang dialaminya. Termasuk juga pesan dakwah yang disampaikan oleh da’i kepada umat Islam.

Realitas adalah hasil konstruksi manusia. Realitas lebih merupakan peristiwa mendalam atau pemaknaan individu tetapi bukan realitas psikhologis. Jika realitas atau fakta psikhlogis lebih merupakan fenomena kejiwaan, akan tetapi dalam realitas dakwah ini yang dikaji adalah pemikiran, ide atau gagasan yang menjadi basis bagi tindakannya. Jadi bukan perasaan senang, sedih, menderita, bahagia dan sebagainya sebagai akibat terpaan dakwah, akan tetapi merupakan peristiwa yang melingkupi pemikiran dibalik tindakan dakwah dan keberagamaannya.

Di dalam praktik penelitian, maka studi tentang makna dakwah dapat dilakukan dari subyek dakwah atau obyek dakwah. Dakwah dan tarekat, misalnya bisa dikaji dari dimensi pemaknaannya. Apakah dakwah yang dilakukan di kalangan penganut tarekat tersebut memiliki keunikan dan makna yang khusus berbeda dengan pemaknaan umat atau individu lainnya yang nontarekat. Studi-studi interpretatif lebih menekankan pada dimensi keunikan dan kekhususan atau ada pola khusus yang berlaku mendalam. Berbeda dengan studi-studi fakta sosial atau dakwah yang lebih terfokus pada pola umum berlaku mendasar.

Sebagai contoh lain, dakwah di kalangan komunitas pedalaman. Di dalam konteks ini adakah keunikan dan kekhususan dakwah tersebut, lalu adakah makna yang khas pedalaman. Kajian ini dapat menggunakan studi interpretative atau studi pemaknaan. Harap diingat ada beberapa konsep penting di dalam studi interpretative yaitu from the native’s points of view atau pandangan actor atau agen dan negotiated meaning atau peneliti memahami atas pemahaman actor atau agen. Berdasarkan cara yang digunakan oleh beberapa ahli antropologi, maka harus memisahkan antara data dengan analisis, sebab data adalah pemahaman actor atau agen dan analisis adalah pemahaman peneliti atas data yang diperolehnya. Analisis dikaitkan dengan perspektif teori apa yang digunakan.

Kelima, paradigma partisipatory adalah pemikiran mendasar dari para ahli tentang apa yang menjadi sasaran dakwah, yaitu perilaku partisipatif warga dalam kegiatan dakwah. Bedanya dengan developmentalisme adalah pada focus keterlibatan sasaran dakwah di dalam proyek-proyek pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian yang dikaji adalah program pemberdayaan masyarakat yang berbasis pada program dakwah yang dirancang, dirumuskan, ditetapkan secara bersama-sama oleh subyek dakwah dan obyek dakwah untuk penguatan atau pemberdayaan di dalam berbagai aspek kehidupannya.

Beberapa contoh studi misalnya dakwah dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisiran. Studi ini menggunakan model penelitian partisipatoris, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh kawan-kawan di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non Govermental Organization (NGO). Dahulu, saya pernah terlibat di dalam pemberdayaan masyarakat Pantai Popoh dan Muncar untuk pengembangan Masyarakat Kawasan Pesisir Berbasis Komunitas. Pola yang dilakukan adalah dengan melibatkan masyarakat di dalam proses perencanaan pemberdayaan, penyusunan alternative pemberdayaan, pemilihan pemberdayaan, pelaksanaan pemberdayaan dan evaluasi untuk menilai tingkat keberhasilan dan tindak lanjut.

Setiap disiplin ilmu pengetahuan dipastikan berkembang sesuai dengan prinsip pendekatan antar bidang atau lintas bidang dan bahkan multibidang. Dan para ahli ilmu itulah yang memiliki tugas dan tanggungjawab untuk mengembangkannya. Jadi ilmu dakwah juga bisa berkembang, jika semua ahli ilmu dakwah terlibat di dalam proyek pengembangan ilmu dakwah. Saya kira dosen-dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi memiliki tugas dan kewajiban ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

MENDAKWAHKAN FRIENDLY ISLAM PADA ERA MILENIAL

MENDAKWAHKAN FRIENDLY ISLAM PADA ERA MILENIAL

Sebagai salah satu Keynote speaker dalam International Conference on Islam, Community Engagemant and Modernity, 30-31/10/2019, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, maka saya mendapatkan tema tentang Dakwah in Social Media. Sesuai dengan tema ini, maka saya menyampaikan paper dengan judul “Moderation of Religion: Preaching Friendly Islam in the Milenial Era”. Sebuah judul yang saya kira sangat relevan dengan tuntutan dakwah yang seharusnya memperhatikan terhadap generasi milenial yang kelak tentu akan menggantikan para seniornya di dalam tampuk berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Keberhasilan generasi masa lalu, adalah memerdekakan Indonesia dari para penjajah dan kemudian menitipkannya kepada generasi baby boomer dan kelak negeri ini akan dititipkan kepada generasi milenial yang sekarang sedang berada di era industry 4.0.

Ada tiga konsep yang saya jelaskan di dalam conference ini. Pertama, kita sedang menghadapi gelombang peningkatan pemahaman dan pengamalan agama yang luar biasa. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyak orang berduyun-duyun melakukan shalat jamaah, khususnya shalat subuh. Setahun yang lalu, terdapat informasi di media sosial, bahwa salah satu kekuatan mengapa Turki maju pesan di bawah kepemimpinan Erdogan adalah karena masyarakatnya melakukan gerakan shalat jamaah. Kala itu saya datang ke Turki dan saya tanya kepada kawan-kawan di Turki, “apakah benar ada gerakan masyarakat shalat jamaah shubuh,” maka dinyatakan “setahu saya tidak ada”.

Orang juga semakin mengidentifikasi dirinya menjadi muslim dengan outward appearance, misalnya penggunaan jilbab dan pakaian muslim lainnya. Makanya produksi dan butik yang menjajakan pakaian muslim juga luar biasa. Zoya, Elzatta, Keke, dan shafira adalah produsen-produsen pakaian muslim yang sangat terkenal di Indonesia. semakin meningkatnya pemahaman dan pengamalan agama tentu juga terkait dengan dakwah Islam yang mesti dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keberagamaan mereka.

Kedua, dakwah Islam sesungguhnya memiliki tantangan yang tidak sedikit. We have many challenges for facing about the internal and external factor for moderation of religions. We have two challenges, 1) about the development of information technology. We are now in the Industrial revolution 4.0 with the artificial intelligent as a tool for many affairs. In the next we must involve in this era, like or dislike. We are in the era “the death of expertise”. Guru, dosen and also kyai or ulama have many challenges in this era. The function of teacher, ulama and another can be replaced by the artificial intelligent. For that, we have to face this situation by empowering our capability or improving our collaboration in order to have succeeding a good condition in our community or society. 2) to face radicalism. We know the movement of radicalism is growing in this era. Many cases they attack the government and community or facility of government. Their understanding of religious hard line, and not agree with the moderate religion and also their vision for making the Khilafah movement, so they was enemy of government in this governmental administration. Indonesia as nation state that base on Pancasila did not tolerate to this movement. For that, the state apparatus and the alumni of UIN in Indonesia, especially UIN Sunan Ampel must be an agent for facing the radicalism movement. Not only the state apparatus but also the social and religious movement and the society at all. They must struggle the radicalism movement in order to make stable this country at all.

Ketiga, Salah satu konsep penting dalam dakwah Islam ialah mendakwahkan Islam ramah, yang kemudian diterjemahkan menjadi “Friendly Islam”. Islam ramah berisi substansi ajaran Islam yang memang diturunkan kepada manusia agar kehidupan di dunia menjadi damai dan selamat. Secara substansial, Islam mengajarkan kerahmatan kepada seluruh umat manusia. Islam di Indonesia, hakikatnya adalah Islam yang memiliki jaringan dengan Timur Tengah, bukan Islam yang baru. Islam yang memiliki system peribadahan dan system keyakinan yang “sama” dengan sumber aslinya, hanya saja pada outward appearance yang ditampilkannya bisa jadi berbeda.

Di tengah generasi milenial yang memiliki ciri khas khusus tersebut, para da’I harus melakukan dakwah yang ramah dengan memanfaatkan teknologi informasi. We are facing the young generation with very strong knowledge and behavior in Information technology. They are the future generation who will continue the struggle of Islam for the nation and state. The future of religion, nation and country is very dependent on young people. They will replace the leadership of religion, nation and state in the coming era. Therefore, Da’wah must be set up with the use of excellent technology.

Selain itu kita juga harus mencermati hoaks di dalam media sosial. I think hoax must be stopped. And the person who have a good position for stop the hoax is da’i. the lecturer, the student and the alumni of dakwah Faculty and Communication is the first person who have activity for stop hoax. Nothing good in hoax and hoax is one of the characteristic of Cyber War in the era of Proxy War. And we all know that the aim of hoax is character assassination, hate speech, etc. we all must have the media literation. In my opinion, that all of the student is learned by the topic of media literation with the goal is how to understand and do with information technology.

Dakwah hakikatnya adalah untuk kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya. There are many Da’wah who identify themselves with economic empowerment, mosque management, management assistance, medical or therapeutic media and also religious counseling. Human resource tools (HR) are also becoming more complete, for example there are economists, community development experts, communication experts, information technology experts and so on.

I think what is needed now is to build a network for the Da’wah program so that Islamic Da’wah implementation will be more efficient. It is not the time for a preacher to play alone in this era. There must be collaboration across scientific disciplines, for example with experts in the field of information technology, social media experts, information technology application experts, communication experts, and so on, both institutionally and individually

This collaboration is of course to develop Da’wah mapping, Da’wah packaging, Da’wah broadcasting, community empowerment and also strengthening the religious diversity of the people to nationalism and nationality. Da’wah must be multitasking in its human resources, and also varies in terms of the content and message, and aims to prosper and make the people happy.

Wallahu a’lam bi al shawab.