• February 2025
    M T W T F S S
    « Jan    
     12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    2425262728  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TRILOGI IMAN, TAWAKKAL DAN DOA (BAGIAN KEDUA)

TRILOGI IMAN, TAWAKKAL DAN DOA (BAGIAN KEDUA)

Prof. Dr. Nur syam, Msi

Artikel ini merupakan bagian kedua dari tulisan hasil ceramah saya di Masjid A Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya.  Ceramah  diselenggarakan pada hari Selasa, 18/02/2025. Pada tulisan pertama, telah saya jelaskan tentang tipologi iman dalam kenyataan sosio-historis. Di dalam artikel ini, saya akan memfokuskan pada aspek tentang tawakkal dan doa. Ada dua  hal yang akan saya sampaikan, yaitu:

Pertama, tawakkal itu pasrah atau menerima apa adanya. Tidak mempertanyakannya dengan pertanyaan yang berbasis pada kekuatan pemikiran. Yang dilakukannya adalah menerima takdir dengan apa adanya. Di dalam kehidupan ini terdapat konsep olah rogo, olah pikir, olah roso dan olah roh. Yang menjadi gradasinya didahului dengan olah rogo atau gerak badan. Orang bekerja itu menggerakkan badan. Dalam posisi apapun di dalam bekerja, maka yang mendasar adalah menggerakkan badan, seperti kaki, tangan, tubuh dan sebagainya. Physical movement.

Kemudian olah pikir. Di dalam bekerja, seseorang juga melakukan atau menggunakan pemikiran. Pemikiran itu dominan dan biasanya terkait dengan untung rugi. Jika dilakukan apa untungnya dan jika tidak dilakukan apa kerugiannya. Kemudian olah roso, yaitu setara lebih mendalam dalam gerakan manusia. Yang digerakkan adalah rasa, bisa berupa simpati atau empati bahkan anti pati. Rasa beragama tentu terkait dengan simpati atau empati dan bukan anti pati. Orang mudah tersentuh perasaannya jika terdapat orang lain yang menderita. Orang dengan mudah mengeluarkan dana untuk pilantropi, orang dengan sadar bergerak untuk membangun masjid, lembaga pendidikan dan sebagainya.

Di dalam menerima takdir Tuhan, maka yang dijadikan dasar atau basisnya adalah rasa dan bukan pemikiran. Pemikiran atau logika sering menjadikan diri itu tidak menerima atas kepastian yang datang dari luar dirinya. Selalu dipertanyakan apa yang menjadi penyebab kegagalannya. Dalam contoh kehidupan, maka sikap dengki yang dimiliki oleh Qabil atas Habil pada awal sejarah manusia dipicu oleh pikiran mengapa korban yang dilakukan tidak diterima Tuhan. Dia berpikir untung rugi. Yang dikorbankan adalah hasil tanaman yang sudah rusak dan akibatnya korban tersebut tertolak. Dia tidak menggunakan rasa, bahwa yang dikorbankan seharusnya yang terbaik.

Ada  beberapa contoh  terkait dengan ketaqwaan, yaitu: ketaqwaan yang didasarkan atas keyakinan bahwa Allahlah yang menentukan segala-galanya. Tidak ada yang berkuasa untuk menentukan segala yang terjadi di dunia kecuali Tuhan. Keberagamaan seperti ini tentu saja dipandu bukan oleh rasio akan tetapi oleh perasaan beragama.  Sebagai contoh orang yang bertaqwa kepada Allah adalah Sayyidati Masithah, istri Fir’aun, yang begitu mempercayai bahwa segala sesuatunya adalah takdir Allah. Jadi di kala akan dimasukkan di dalam kuali besar berisi air panas yang mendidih, maka dipercayainya bahwa hal itu adalah kepastian Tuhan yang tidak bisa dihindarinya. Sesuatu yang harus terjadi di dalam kehidupannya. Yang penting baginya adalah tetap menjaga keyakinannya kepada Tuhan.

Prototipe lainnya adalah Sayyidati Hajar, seorang perempuan yang menerima takdir Tuhan apa adanya. Tidak mempertanyakan dengan pikirannya mengapa beliau harus ditempatkan di tanah tandus dan gersang, sebab Hajar memiliki kepasrahan bahwa yang dilakukan Nabi Ibrahim pasti berasal dari wahyu yang diterimanya dari Allah SWT. Sama sekali tidak terbersit pemikiran untuk bertanya bagaimana Hajar ditempatkan di padang tandus yang kering kerontang. Kala perbekalannya sudah habis, maka Hajar secara mandiri mencari dan menemukan sumber air yang merupakan sumber air dari surga. Sumur Zam Zam.

Lelaki biasanya sarat dengan pertanyaan rasional. Tetapi tidak dengan Abu Bakar. Diterimanya semua yang datang dari Nabi Muhammad SAW sebagai kebenaran. Kala diceritakan peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW, maka tidak ada pertanyaan kecuali mempercayainya. Demikian pula Sayyidati Khadijah. Seorang tuan tanah dan pedagang yang sukses. Dua pertiga tanah Mekah adalah miliknya. Harta ini kemudian habis tidak tersisa untuk memperjuangkan Islam bersama Nabi Muhammad SAW. Bahkan di kala wafat tidak memiliki kain untuk kafannya. Allah SWT lalu menurunkan lima kain kafan, yaitu untuk Siti Khadijah, Siti Fathimah, Sayyidina Ali,  Sayyidina Hasan dan untuk Nabi Muhammad SAW. Satu cucu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Husen, menjadi syahid dan tidak memerlukan kain kafan. Subhanallah.

Kedua, manusia membutuhkan doa. Usaha dan doa merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan di dalam kehidupan. Ada yang menyatakan bahwa doa menempati prosentase yang besar dibandingkan dengan usaha. Seseorang yang sukses ditandai dengan doanya yang sangat kuat. Orang yang memiliki prestasi di hadapan Allah dipastikan akan memperoleh imbalan yang baik di hadapan Allah SWT. Ada orang yang bisa membaca shalawat sebanyak 10.000 tiap hari, maka dia akan memperoleh kelebihan yang datang dari Allah. Ada orang yang berjalan kaki dari Banyuwangi ke Banten sambil menghafal Alqur’an, maka Allah pasti akan memberikan kelebihan di dalam dirinya.

Bisa jadi mereka akan memiliki ‘ainun bashirah atau penglihatan mata batin yang hebat yang tidak dimiliki orang lain. Allah tidak akan memberikan madharat atas orang-orang yang memiliki kelebihan seperti ini.  Tiada niqmat di dalam kehidupannya tetapi yang ada adalah ni’mat. Allah pasti akan menyayangi orang-orang dengan prestasi yang seperti itu.

Wallahu a’lam bi al shawab.

TRILOGI IMAN, TAWAKKAL DAN DOA (BAGIAN PERTAMA)

TRILOGI IMAN, TAWAKKAL DAN DOA (BAGIAN PERTAMA)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Selasa, 18/02/2025, adalah waktu saya untuk memberikan ceramah pada Jamaah Masjid Al Ihsan yang selama ini terkait dengan Komunitas Ngaji Bahagia (KNB). Mereka adalah para jamaah shalat Shubuh yang kemudian terlibat di dalam ngaji rutin, yang dilakukan kurang lebih 1,5 jam. Biasanya selesai jam 05.30 WIB. Mereka benar-benar disebut aktivis karena mereka merupakan jamaah yang istiqamah mengikuti Ngaji Bahagia. Disebut begitu karena persyaratannya, harus tertawa sebanyk 17 kali. Tertawa lepas.

Iman atau keyakinan merupakan satu persoalan di dalam semua agama. Artinya bahwa semua agama memiliki dimensi keimanan atau keyakinan yang absolut. Orang harus yakin sebagai persyaratan dasar di dalam kepemelukan agama. Jika tidak yakin akan kebenaran agamanya, khususnya keberadaan Tuhan, maka batallah dia sebagai penganut agama. Jika tidak beragama maka akan disebut sebagai atheis, atau tidak berketuhanan. Alhamdulillah kita semua yang hadir di dalam pengajian ini adalah orang yang meyakini akan keberadaan Allah SWT sebagai Tuhan seru sekalian alam. Saya menyampaikan secara ringkas atas ceramah ini, yang saya sebut sebagai trilogy Iman, Tawakkal dan Doa.

Pertama, iman atau yakin, beriman artinya berkeyakinan. Di dalam agama, maka yang menjadi fondasi keyakinan adalah yakin akan eksistensi Tuhan. Di dalam Islam dikemas dalam suatu pernyataan: la ilaha ilallah, tidak ada Tuhan selain Allah. Perihal iman kepada Allah saya mencoba untuk menganalisisnya dengan tiga kategori atau tiga tipologi, yaitu:

1. Tuhan hasil konstruksi manusia.

Tuhan itu hasil rekayasa manusia. Manusia yang menentukan tentang Tuhan. Misalnya di kala Fir’aun menyatakan dirinya Tuhan dan memaksakan atas keyakinan orang untuk ditinggalkan. Bahkan terhadap istrinya sendiri, Sayyidati Masithah, yang dipaksa untuk meninggalkan keyakinannya tentang kalimat tauhid yang diyakininya. Tetapi takdir berkata lain, Masithah tetap pada keyakinannya meskipun dia dimasukkan dalam kuali yang besar dengan panas yang membara. Sengatan panas di dalam kuali tidak menyurutkan imannya kepada Allah. Maka di kala Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan Mi’raj, maka Nabi Muhammad merasakan ada bau wangi yang luar biasa, dan bau wangi itu datang dari tubuh Masithah. Sayyidati Masithah adalah penghuni surga yang sudah ditunjukkan posisinya kepada Nabi Muhammad SAW. Fir’aun menyatakan la ilaha illa fir’aun. Sebuah ajaran yang berseberangan dengan keyakinan di dalam ajaran agama Nabi Musa, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah: La ilaha ilallah.

Kemudian Raja Namrud yang juga menyatakan hal yang sama, tidak ada Tuhan illa Namrud. Di  kala Nabi Ibrahim mengajarkan kalimat tauhid:  la ilaha illallah, maka Nabi Ibrahim dimintanya untuk mencabut ajaran tersebut. Tetapi Nabi Ibrahim sudah menyatakan akan kebenaran kalimat Tauhid sehingga dengan keyakinannya, Nabi Ibrahim merelakan tubuhnya dilemparkan ke dalam api yang membara. Selama tujuh hari dibakar hidup-hidup  dan api tidak membakarnya. Api mengikuti perintah Allah menjadi dingin dan menyelamatkan.

Lalu Raja Nebukadnezar juga melakukan hal yang sama. Setelah kekuasaannya menjadi gigantic and powerfull, maka dia menyatakan dirinya Tuhan. La ilaha illah Nebukadnezar. Dia  hukum orang-orang yang beriman kepada Allah, lalu dia menikahi ibu kandungnya dengan alasan untuk melanggengkan kekuasaannya. Dipastikan pada masanya, ada banyak orang yang menikahi ibunya karena mengikuti perintah raja. Akibatnya, dia disengat oleh binatang atau telinganya dimasuki binatang dan menyebabkan sakit kepala berkepanjangan, sekarang bisa disebut vertigo atau migrain, dan menyebabkan kematiannya.

2. Tuhan berbasis tradisi

Di masa lalu terdapat tradisi untuk melanggengkan akan adanya Tuhan. Misalnya dalam ajaran Nabi Ibrahim yang dipegang teguh oleh nenek moyang Nabi Muhammad SAW. Tradisi menyembah Tuhan itu ditradisikan oleh keluarga Nabi Muhammad ke atas. Abdullah, Abdul Muhalib, Ka’ab, Luay, Galib  seterusnya sampai Adnan dan seluruh wangsa Quraisy. Mereka percaya akan adanya Tuhan yang Esa, akan tetapi dipadukan dengan gambaran patung-patung yang tersebar di sekitar Ka’bah. Ada yang kecil dan ada  yang besar. Semakin besar patung akan semakin besar kekuasaannya. Ada tiga patung besar yaitu Al Lata, Al Manata dan Al Uzza.

Yang tidak dipercayai oleh sebagian petinggi Quraisy adalah tentang Kenabian Muhammad dan seluruh ajaran yang dikembangkannya. Mereka tidak menerima rekonstruksi atas ajaran Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW.  Mereka tolak sebab dianggap menyalahi tradisi yang sudah dipegang teguh. Dianggapnya bahwa yang dibawakan Nabi Muhammad SAW bukanlah ajaran agama yang benar. Dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim, nenek moyangnya. Mereka bersikukuh bahwa apa yang dipahami dan dilakukannya adalah kebenaran yang sesuai dengan millah Nabi Ibrahim. Truth claimed ini yang menyebabkan ketidakmauan menerima kebenaran yang datangnya belakangan.

3. Kebenaran Iman yang bersumber dari ajaran agama

Kedatangan Nabi Muhammad SAW menjadi moment penting di dalam merumuskan ulang tentang kebenaran agama yang pernah diturunkan kepada Nabi-Nabi sebelumnya. Islam membawa misi untuk membenarkan yang benar dari agama-agama sebelumnya dan menyalahkan yang tidak sesuai dengan agama yang dibawa oleh para Nabi sebelumnya. Ajaran ketauhidan yang ortodoks telah mengalami heterodoksi. Mengalami perubahan yang sungguh tidak sesuai dengan ajaran Allah SWT.

Islam datang untuk membenarkan kalimat tauhid la ilaha illallah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan membenarkan atas kerasulan Muhammad SAW. Muhammadur Rasulullah. Inilah yang kemudian dikenal sebagai syahadat atau persaksian manusia atas Tuhan dan utusan Tuhan. Muhammad SAW mengajarkan ketauhidan murni sebagaimana diajarkan oleh Nabi Ibrahim dan terus kepada nabi-nabi sesudahnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

Kita semua bersyukur bahwa Islam telah melampaui waktu 1446 tahun, dan ajaran ketauhidan di dalam Islam sama sekali tidak berubah. Tidak ada syahadat kita yang mengingkari ketuhanan Allah dan kenabian Muhammad SAW. Kita insyaallah dapat menjadi umat Islam yang konsisten untuk mengucapkan kalimat tauhid la ilaha illallah Muhammadur Rasulullah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

NABI IBRAHIM DALAM  DOA MUSTAJABAHNYA

NABI IBRAHIM DALAM  DOA MUSTAJABAHNYA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Ngaji Tahsinan yang dilakukan oleh Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) sudah sampai pada Surat Al Mumtahanah, ayat 4-5, terkait dengan doa Nabi Ibrahim AS. Doa itu terekam di dalam teks Suci Alqur’an, sebagai berikut: “Ya Tuhan Kami, hanya kepada Engkau kami bertawakkal dan hanya kepada Engkau kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami,  Ya Tuhan kami. Sesungguhnya  Engkau Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana”.

Ngaji Tahsinan tersebut diselenggarakan di Masjid Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency, 17/02/2025, dan diikuti oleh jamaah Masjid Al Ihsan Ketintang Surabaya. Meskipun jamaahnya tidak banyak akan tetapi mereka adalah orang-orang yang konsisten untuk memperlajari Alqur’an secara lebih mendasar. Mereka mendapatkan dua pahala sekaligus, yaitu pahala belajar Alqur’an dan belajar pemahaman tentang Alqur’an. Tugas saya adalah memberikan penjelasan secara rasional dan transcendental dan kemudian menuliskannya.

Doa Nabi Ibrahim ini terucap setelah mengetahui bahwa orang yang dinyatakan sebagai bapaknya, Azar sang pembuat patung berhala, ternyata tidak mau mendengarkan penjelasannya tentang kebenaran ajarannya. Azar tetap menjadi orang musyrik, dan ganjarannya tidak ada lain adalah nerakanya Allah SWT. Pada ayat sebelumnya dijelaskan akan kepastian Tuhan bahwa orang musyrik pasti masuk neraka. Termasuk juga Azar yang dinyatakan sebagai bapaknya.

Tentang Azar memang ada dua pendapat di kalangan ahli Alqur’an. Ada yang menyatakan bahwa Azar adalah bapak kandungnya dan ada yang menyatakan bahwa Azar adalah bapak angkatnya. Yang menyatakan sebagai bapaknya karena disebutkan sebagai Bapak Nabi Ibrahim dan penafsiran lainnya menyatakan bahwa di dalam tradisi Timur Tengah, ada orang yang dinyatakan sebagai bapak angkat. Kemudian juga pandangan bahwa Nabi tidak akan dilahirkan oleh bapak orang musyrik. Nabi dipastikan memiliki leluhur orang yang tidak  musyrik. Jadi memang ada dualitas tafsir atas ayah Ibrahim yang sebenarnya.

Di dalam konteks ini,  maka Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah yang intinya adalah permohonan agar diselamatkan dari orang musyrik, selalu di dalam kepatuhan atau ketawakkalan kepada Allah, selalu bertobat kepada Allah dan diselamatkan dari sasaran orang musyrik akan fitnahnya yang kejam. Sebagaimana diketahui bahwa orang musyrik memiliki kecakapan untuk menyebarkan fitnah atas personal umat Islam. Bahkan para Nabi juga sering dijadikan sebagai sasaran fitnahnya.

Jika kita perhatikan, maka ada tiga hal  yang dapat dipahami mengenai doa Nabi Ibrahim, yaitu: Pertama, permohonan agar selalu menjadi orang yang tawakkal kepada Allah SWT. Orang yang tawakkal diindikatori dengan kepasrahan atas kepastian Tuhan. Di kala Nabi Ibrahim berkeinginan agar Azar yang telah membesarkannya, agar diampuni dosa-dosanya, dan kemudian mendapatkan jawaban  pasti bahwa Allah menolak keinginan tersebut karena dosa kemusyrikan yang tak terampuni, maka Ibrahim berpasrah kepada Allah SWT.

Nabi Ibrahim memasrahkan semuanya kepada Allah SWT. Penyesalan atas sikap keras kepala orang tuanya tentu membuatnya sedih dan kecewa, akan tetapi kepasrahannya atas kepastian Tuhan mengalahkan segala keinginan pribadinya. Allahlah yang menentukannya dan Allahlah yang akan memastkan segalanya. Nasehat sudah diampaikan, peringatan juga sudah diberikan, akan tetapi segalanya kembali kepada pilihannya masing-masing. Ada yang menganggap benar seruannya dan ada yang menganggap kebohongan atas dakwahnya.

Kedua, pertobatan atas kelakuannya. Seorang Nabi itu dijamin masuk surga. Seorang rasul itu mendapatkan kepastiannya akan mendapatkan kenikmatan surga. Jadi meskipun tidak berdoa kepada Allah, akan tetapi dipastikan dirinya akan masuk surga. Tetapi apa yang kita lihat bahwa semua Nabi selalu melakukan pertobatan kepada Allah. Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Yunus, Nabi Yusuf, Nabi Ismail, Nabi Nuh, Nabi Muhammad dan lain-lain semua memiliki doa khusus yang dilantunkannya. Semua doa tersebut terekam di dalam Kitab Suci Alqur’an.

Kala Nabi Yunus di dalam perut Ikan, maka Nabi Yunus memiliki doa khusus. Kala Nabi Nuh terombang-ambing dalam lautan banjir besar pada masanya, maka Nabi Nuh memiliki doanya yang khusus. Di saat Nabi Yusuf dalam godaan setan, maka Nabi Yusuf memiliki doa yang khas, kala Nabi Ibrahim di dalam pembakaran api, maka Nabi Ibrahim juga memiliki doa khusus. Jadi semua Nabi berada  di dalam doa-doa yang jelas.

Doa Nabi Ibrahim di dalam ayat ini memberikan indikasi agar beliau dapat menjadi orang yang selalu bertaqwa kepada Allah dan selalu memohon pertobatan kepada Allah. Taqwa dan tobat adalah dua kata penting di dalam kehidupan. Ketakwaan menjadi kata kunci kehidupan dan bertaubat menjadi kata kunci karena manusia memiliki sifat lupa dan lalai. Nabi Ibrahim memberikan percontohan atas penggunaan dua kata kunci dimaksud.

Ketiga, Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar dihindarkan dari fitnah. Nabi itu orang yang baik, keteladanan dalam kebaikan, contoh dalam doa dan kepasrahan akan tetapi tidak bisa melepaskan diri dari fitnah yang dilakukan atas rival-rivalnya. Di dunia ini selalu ada dua kelompok, yang pro dan kontra. Dan orang yang kontra, yang tidak menyetujui atas ajarannya, tidak menyukai atas perilakunya yang berbeda, dan yang menganggap semua ajarannya adalah kebohongan, maka akan menyebarkan fitnah.

Para Nabi bisa difitnah sebagai pembohong. Nabi Musa difitnah sebagai tukang sihir, Nabi Muhammad SAW difitnah sebagai pembuat kabar bohong dan tukang jiplak. Nabi Ibrahim  dianggap sebagai bagian dari kelompok yang melawan negara, dan sebagainya. Kala difitnah itulah maka Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar jangan dijadikan  sebagai sasaran fitnah. Fitnah lebih kejam dari pembunuhan.

Oleh itu marilah kita jadikan Nabi Ibrahim dan Nabi lainnya sebagai suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari dengan tiga hal penting yaitu: selalu bertawakkal, selalu bertaubat dan selalu memohon agar dihindarkan dari fitnah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

KETELADANAN HAJAR ISTERI NABI IBRAHIM AS

KETELADANAN HAJAR ISTERI NABI IBRAHIM AS

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kali ini saya ingin menuliskan ceramah Ustadz Dr. Kholil Umam, dosen Prodi Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Ampel Surabaya. Ceramah ini dilakukan pada Hari Selasa, 11/02/2025 di Masjid Al Ihsan  Ketintang Surabaya. Ceramah ini diikuti oleh Jamaah Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) yang setiap Selasa ba’da Shubuh menyelenggarakan pengajian. Sebuah pengajian rutin.

Ustadz Kholil meminta saya untuk berdoa, karena saya barusan datang dari umrah. Biasalah tradisi kita memang seperti itu. Saya doakan agar semua peserta pengajian mendapatkan rezeki untuk datang di Mekkah Al Mukarromah dan Berziarah ke Makam Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Tentu saja mereka semua mengamininya.

Pak Kholil menyampaikan dua  hal yang mendasar di dalam ceramahnya, yaitu: Pertama, tentang kepasrahan Hajar sebagai isteri kedua Nabi Ibrahim AS. Sebagaimana dipahami dari sejarah Nabi-Nabi, maka Ibrahim memiliki dua istri, yaitu Sarah dan Hajar. Sarah sebagai istri pertama belum memiliki putra. Ditunggu sampai batas waktu yang diinginkan dan tetap belum memiliki putra. Maka atas kesadarannya, Sarah memohon kepada Ibrahim AS agar dapat memperistri Hajar, yang sesungguhnya juga orang terhormat, dikenal sebagai putri Fir’aun, dan permohonan tersebut dikabulkannya. Akhirnya Hajar hamil. Sebagai konsekuensinya, Nabi Ibrahim sangat menyayanginya. Tetapi justru membawa dampak Sarah menjadi cemburu. Oleh Allah diperintahkan agar Hajar ditempatkan di suatu tempat yang sangat jauh, yaitu di lembah yang akhirnya dikenal sebagai Mekkah. Sebuah lembah yang gersang, kering kerontang, tidak ada apapun yang bisa dimakan bahkan diminum. Di situlah Allah SWT menyuruh Ibrahim menempatkan istrinya yang sedang hamil. Setelah ditempatkan di situ, maka Nabi Ibrahim AS harus kembali ke istri pertamanya, Sarah. Sebagai istri seharusnya Hajar merasa disia-siakan. Merasa ditinggalkan. Merasa tidak ada tanggungjawab. Tetapi inilah bedanya Hajar, seorang Wanita shalihah, yang mempercayai atas ketentuan Tuhan dan kepercayaan sedemikian kuat akan kebenaran atas prilaku suaminya. Sama sekali tidak merasa bahwa yang dilakukan Ibrahim tersebut sebagai sebuah kekurangan, akan tetapi sebagai wujud dari pelaksanaan perintah Allah. Dia meyakini bahwa apa yang dilakukan oleh suaminya adalah perintah Allah semata.

Hajar adalah cerita perempuan mandiri. Setelah kepergian suaminya dan bahan makanan habis, maka dia harus mencari air untuk minum diri dan anaknya, Ismail. Hajar berlari-lari di antara dua bukit Shafa dan Marwah. Dari  hentakan kaki hajar itu kemudian muncul air yang melimpah. Sumber air itulah yang kemudian dikenal sebagai Sumur Zamzam. Sebuah sumber air yang bahkan dinyatakan sebagai bagian dari air surga. Tidak ada air di dunia yang PH-nya melebihi air Zamzam.

Hajar kemudian mengajari anak semata wayangnya dengan ajaran agama yang diterimanya dari Nabi Ibrahim. Sebagai Wanita shalihah, Hajar mengajari Ismail dengan kebaikan ayahnya, dengan keagungan akhlak ayahnya, dengan kasih sayang ayahnya. Tidak ada sedikitpun ajaran negative tentang ayahnya. Semua yang terbaik yang diajarkannya. Itulah sebabnya, Ismail juga sangat menghormati dan menyayangi ayahnya. Kasih sayang yang tulus berkat ajaran ibunya. Islam mengajarkan bahwa madrasah pertama bagi seorang anak adalah ajaran ibunya. Seluruh pembuat sejarah kehidupan selalu dibuat oleh orang-orang hebat pada zamannya dan terus diteladani orang-orang sesudahnya. Berkat kesetiaan dan kepasrahan Hajar maka sejarah Islam itu bisa diukirnya. Sejarah Islam, terutama tentang ritual haji, berasal dari lelaku Hajar,  perempuan shalihah tiada tanding tersebut.

Kedua, kepasrahan Hajar juga teruji pada saat mendengar Nabi Ibrahim diminta oleh Allah untuk mengorbankan putra semata wayangnya. Ketika Ismail sudah mencapai usia 11 tahun, maka Allah menguji Nabi Ibrahim. Allah SWT menguji kepatuhannya dan kasih sayangnya. Mana yang lebih disayangi antara Allah dan anaknya. Pada saat genting seperti itu, maka Nabi Ibrahim AS menanyakan kepada anaknya tentang perintah Allah melalui mimpi. Dan jawaban yang tidak terduga bahwa Ismail justru meminta kepada ayahnya untuk melakukan apa yang diperintahkan Allah SWT.

Seorang anak tidak akan mempercayai ayahnya, jika tidak diajarkan kepada anaknya untuk kebaikan ayahnya. Maka di kala dimintai pendapatnya, maka Ismail mempercayainya. Itulah buah dari pendidikan Ibunya yang mengajarkan bagaimana kepasrahan dan kepatuhan kepada Allah SWT melalui apa yang dilakukan oleh ayahnya. Relasi yang sedemikian baik antara anak, ibu dan ayah menjadi penanda bagi kebaikan akhlak anak. Meskipun terdapat godaan yang luar biasa dari syaitan, akan tetapi keyakinan, kepasrahan dan kepatuhan kepada Allah mengalahkan segalanya.

Allah sedemikian senang atas prestasi Nabi Ibrahim, Hajar dan Ismail, maka Allah memberikan kegembiraan yang luar biasa, yaitu digantinya upacara pengorbanan seorang putra untuk Tuhan dengan pengorbanan seekor domba yang datang dari Surga. Maka, pada hari itu ditetapkan sebagai hari Raya Korban, untuk menandai atas pengorbanan Ibrahim kepada Allah SWT. Nabi Muhammad SAW kemudian menguatkan ibadah korban Nabi Ibrahim sebagai hari Raya Korban di dalam agama Islam.

Dari kisah ini sesungguhnya dapat dicari maknanya, bahwa perempuan shalihah itu ditandai dengan keimanannya, kepasrahannya dan kepatuhannya kepada Allah. Ketiganya diajarkan kepada keturunannya dengan tetap berpegang teguh bahwa suaminya adalah orang yang terbaik, sehingga tetap bisa menjadi teladan. Oleh karena itu, keluarga muslim dapat menjadikan peristiwa yang dialami Hajar sebagai ibrah untuk kebaikan bagi keluarga.

Wallahu a’lam bi al shawab.

NABI IBRAHIM SEBAGAI USWAH HASANAH

NABI IBRAHIM SEBAGAI USWAH HASANAH

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) tetap terus berlangsung. Kita semua tentu bisa bersyukur karena Allah masih memberikan karunia yang berupa kesehatan di tengah berbagai macam pekerjaan yang kita lakukan. Meskipun kita berbeda usia dan pekerjaan, akan tetapi tetap bisa bersama di dalam acara tahsinan dan juga Ngaji Selasanan yang rutin dilakukan. Pada Hari Rabo, 11/02/2025, kita mengaji sambil membahas tentang keteladanan yang dilakukan oleh Nabiyullah Ibrahim AS.

Di dalam Surat Al Mumtahanah, ayat 6 dinyatakan: “sungguh pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) terdapat suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian, dan barang siapa berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Kaya, Maha Terpuji”. Seperti biasa, setelah Al Hafidz Alief Rifqi membacakan terjemahnya, maka saya yang memberikan ulasan. Saya menyampaikan tiga hal, yaitu:

Pertama, teladan dalam ketauhidan.  Di  antara Nabi Allah yang secara langsung disebut sebagai uswah hasanah adalah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW. Hal ini memberikan indikasi bahwa yang dibawakan oleh keduanya adalah ajaran yang sama, yaitu ajaran untuk mengesakan Allah dan ajaran syariat yang sama, yaitu syariat Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dan kemudian direkonstruksi ulang oleh Nabi Muhammad SAW.

Ajaran Nabi Ibrahim AS dalam dimensi ketuhanan atau teologis tidak ada bedanya.  Ada kesamaan antara  Nabi Muhammad SAW dengan Nabi Ibrahim AS, yaitu ajaran untuk mengesakan Allah SWT. Tidak ada Tuhan selain Allah, la ilaha illallah.  Apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah ketauhidan yang sama dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS. Bahkan semua Nabi dan Rasul yang menjadi utusan Allah mengajarkan ajaran ketauhidan yang sama. Semenjak Nabi Adam AS sampai Nabi Muhammad SAW mengajarkan kalimat Tauhid. Hal ini tentu sangat wajar, sebab semua Nabi mendapatkan wahyu yang sama tentang system ketuhanan dari Allah SWT.

Semua Nabi dan Rasul adalah Bapak Monotheisme. Hanya saja secara ilmiah yang dinyatakan sebagai Bapak Monotheisme adalah Nabi Ibrahim AS yang mengajarkan tentang monotheisme sebab agama-agama yang turun sesudahnya, seperti agama Yahudi juga mengajarkan monotheisme, agama Nasrani juga mengajarkan monotheisme dan demikian pula agama Islam juga mengajarkan monotheisme. Agama-agama ini dikenal sebagai agama Semitis, artinya agama-agama yang bersumber dari tradisi ketauhidan dalam masyarakat Semit.

Sesungguhnya, agama Yahudi dan Nasrani juga agama monotheisme. Hanya saja karena penafsiran atas teks-teks yang variative, sehingga terdapat perbedaan dalam menafsirkan monotheisme dimaksud. Ada yang kemudian menyebutnya dengan trinitas dalam agama Nasrani dan ada juga Trimurti di dalam agama Hindu, dan sebagainya. Ini persoalan persoalan penafsiran, akan tetapi secara substansial tetaplah dianggap sebagai agama yang monotheistic.

Keteladanan dalam ketauhidan tersebut digambarkan mengenai Nabi Ibrahim AS yang kukuh mempertahankan ketauhidannya di kala dipaksa oleh Raja Namrud untuk mengakui atas ketuhanannya. Meskipun diancam untuk dibakar hidup-hidup, akan tetapi Ibrahim AS tetap pada keyakinannya untuk menyatakan bahwa Tiada Tuhan Selain Allah. Kukuh, tegar dan tidak goyah imannya meskipun diancam dan dibakar hidup-hidup. Selama tujuh hari Nabi Ibrahim di dalam kobaran api, tetapi api tidak mau menjilat tubuhnya. Hukum api yang membakar apa saja yang ada di hadapannya, menjadi terbalik. Api tidak membakar. Surat Alanbiya, ayat 69: Qulna Ya Naru Kuni bardan wa salaman ala Ibrahim.  Wahai api jadilah dingin dan keselamatan atas Ibrahim. Atas kun fayakun Allah, maka api menjadi dingin dan tidak membakarnya. Hal seperti ini dapat dijumpai di dalam cerita Ramayana dalam tradisi Hindu, Dewi Shinta yang tidak terbakar di dalam mempertahankan keyakinannya bahwa dirinya suci tidak tersentuh Raja Rahwana dan tidak bersalah.

Kedua, keteladanan dalam ritual keagamaan. Tentang shalat bisa saja berbeda caranya akan tetapi hakikatnya tentu sama, yaitu bentuk komunikasi antara manusia dengan Tuhannya. Yaitu sebuah upacara untuk mengagungkan dan mensucikan Namanya, menyembah dan membaktikan diri kepada-Nya. Hakikat shalat dalam agama-agama memiliki kesamaan. Tetapi sebuah tradisi yang kemudian diamanahkan untuk dilakukan terhadap umat Islam yang berkemampuan maliyah atau iqtishadiyah dan kemampuan fi’liyah atau fisikiyah adalah ibadah haji yang cikal bakalnya disyariatkan kepada Nabi Ibrahim AS dan dilanjutkan oleh Nabi Ismail AS dan Nabi-Nabi yang datang sesudahnya.

Nabi Muhammad SAW kemudian menapaktilasi atas syariat haji dimaksud dengan mengembalikannya kepada bentuk awal ibadah haji. Ibadah haji dengan mengelilingi ka’bah tujuh kali tetap dilakukan semenjak Nabi Ibrahim sampai datangnya Nabi Muhammad SAW. Bani Quraisy sebagai leluhur Nabi Muhammad SAW tetap menjalankannya akan tetapi dengan penafsiran bermacam-macam. Ada yang sudah diubah sesuai dengan tafsir para ulamanya dan ada yang tetap sebagaimana semula. Di kala Nabi Muhammad SAW datang dengan syariat Haji, maka diluruskan berbagai penyimpangan dimaksud. Heterodoksi dalam ibadah haji kemudian diortodoksikan. Dimurnikan sesuai dengan amanah yang diberikan Allah SWT di dalam syariatnya.

Ketiga, membangun kesatuan ibadah. Ka’bah sesungguhnya sudah didirikan oleh Nabi Adam AS. Dan kemudian tetap terjaga sampai datangnya Nabi Ibrahim AS. Bersama Nabi Ismail putranya, maka Ka’bah direnovasi dan kemudian ditata ulang oleh Nabi Muhammad SAW. Ka’bah itulah yang akhirnya dijadikan sebagai pusat kesatuan ritual di dalam Islam. Bukanlah umat Islam menyembah Ka’bah. Tetapi Ka’bah adalah hakikat kesatuan ritual di dalam agama Islam. Ka’bah merupakan pusat energi di dalam peribadahan.

Ka’baitullah merupakan tempat yang dijadikan oleh Allah SWT sebagai arah di dalam melakukan ritual khususnya shalat. Ka’bah menjadi tempat yang disucikan oleh Allah SWT karena di ka’bah itulah manusia menyatukan energi kebersamaan dan menjadi pusat peribadahan. Jika orang melakukan ibadah haji dengan mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali dan juga melakukan perjalanan dari Shafa ke Marwah sebanyak tujuh kali, hakikatnya adalah melakukan ritual yang disyariatkan oleh Nabi Muhammad SAW. Di dalam agama selalu ada keyakinan, dan kita meyakini bahwa dipastikan ada hakikat kebenaran di dalam setiap perintah Nabi Muhammad SAW.

Wallahu a’lam bi al shawab.