Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KEUTAMAAN PUASA BAGI UMAT ISLAM: AMPUNAN ALLAH

KEUTAMAAN PUASA BAGI UMAT ISLAM: AMPUNAN ALLAH

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Puasa yang dilakukan oleh umat Islam di dunia merupakan ibadah Istimewa dan memiliki implikasi di dalam kehidupan yang juga Istimewa. Sering kita menyebutnya sebagai keutamaan ibadah puasa. Semua ibadah yang berupa ritual kepada Allah memiliki keutamaan. Shalat, zakat dan haji juga memiliki keutamaan. Umat Islam mestilah meyakini akan keutamaan-keutamaan ibadah dimaksud.

Ibadah puasa memiliki keutamaan yang sangat luar biasa. Meskipun hanya dilakukan satu bulan pada Bulan Ramadlan, dan hanya satu tahun sekali, akan tetapi ibadah puasa memiliki pahala yang sangat banyak. Misalnya pada bulan puasa, Allah menurunkan malam lailatul qadar, yang pahalanya sama dengan 1000 bulan atau kira-kira sama dengan ibadah selama 82 tahun bagi yang mendapatkannya. Tentu tidak mudah mendapatkannya kecuali orang pilihan yang sudah memperoleh keridlaan Allah SWT.

Bulan puasa dilakukan pada Bulan Ramadlan, yang usianya bisa 29 hari atau 30 hari. Perhitungan dalam system lunar tersebut 29,5 hari. Jadi terkadang ditarik ke depan menjadi 29 hari atau ditarik ke belakang menjadi  30 hari. Jadi berpuasa bisa dilakukan 29 hari atau 30 hari tergantung dari system penentuan tanggal 1 Ramadlan dan tanggal 1 Syawal. Semua sudah memahami hal-hal seperti ini.

Dalam waktu satu bulan tersebut, ada keutamaan puasa yang dikaitkan dengan 10 hari pertama, 10 hari di tengah dan 10 hari di akhir. Masing-masing Allah akan menurunkan keutamaannya. Awwaluhu Rahmah, wa ausatuhu maghfirah wa akhiruhu itqun minan nar. Sepertiga awal Allah memberikan keutamaan bagi para perindu puasa untuk mendapatkan rahmatnya Allah. Rahmat merupakan kata kunci bagi manusia agar selamat di alam akherat. Kunci seseorang akan masuk surga atau tidak ditentukan oleh adanya rahmat Allah. Orang yang ibadahnya baik tentu memiliki peluang yang besar untuk mendapatkan rahmatnya Allah. Dan orang yang tidak beribadah kepada Allah tentu juga sedikit peluangnya untuk mendapatkan rahmatnya Allah. Tetapi Allah itu Maha Sempurna, sehingga Allah juga bisa memberikan kesempurnaannya untuk hambanya. Allah itu dzat yang tak terhingga atau secara matematis dilambangkan dengan angka 0, sehingga Allah yang maha tidak terhingga akan dapat memberikan Rahmat kepada siapa saja yang dapat diberikannya. Rahmat Allah akan menyertainya. Umat rasanya perlu untuk mengupayakan agar Rahmat Allah didapatkannya.

Fase kedua atau masa pertengahannya adalah maghfirah atau masa ampunan Allah. Seseorang yang berusaha secara optimal tentu berluang mendapatkan ampunan Allah. Orang yang berpuasa dengan sungguh-sungguh tentu akan memperoleh ampunan Allah. Betapa bahagianya seseorang yang mendapatkan ampunan Allah itu. Betapa banyaknya dosa, kekhilafan dan kesalahan yang dilakukan oleh hambanya Allah. Manusia adalah tempatnya kekhilafan dan kesalahan bahkan juga dosa, maka dengan ampunan Allah tentu akan mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan surganya Allah SWT.

Bukankah semua manusia mengharapkan surganya Allah. Apapun agamanya, maka ujung akhirnya adalah ingin masuk surga. Semua umat Islam juga berkeinginan masuk surga. Tidak lain dan tidak bukan. Surga akan didapatkan jika ada pengampunan dimaksud. Ada dua konsep tentang pengampunan, yaitu maghfirah dan ‘afwun. Maghfirah itu diampuni tetapi catatan kesalahannya masih ada, sedangkan ‘afwun itu diampuni sekaligus dihapus catatannya. Alangkah bahagianya orang yang mendapatkan derajat ‘afwun dimaksud.

Fase berikutnya adalah fase 10 hari terakhir yang disebut sebagai itqun minan nari atau dijauhkan dari siksa api neraka. Ini merupakan konsekuensi logis, bahwa seseorang yang sudah memperoleh Rahmat Allah dan ampunan Allah, maka akan mendapatkan kenikmatan yaitu dijauhkan dari api neraka. Betapa bahagianya orang yang bisa dijauhkan dari api neraka tersebut. Akan tetapi tentu ada persyaratannya, bahwa hal itu akan diberikan kepada umat Islam yang melakukan puasa dengan tingkatan imanan wahtisaban atau puasa dengan penuh keimanan dan introspeksi diri. Melakukan muhasabah aka napa yang sudah dilakukan, dan kemudian beribadah dengan sungguh-sungguh. Betapa indahnya hidup seseorang yang mendapatkan Cahaya puasa dengan tingkatan itqun minan nar.

Puasa seharian, ibadah dengan sungguh-sungguh, melakukan ritual wajib dan sunnah, memperbanyak amal kebaikan, melakukan I’tikaf di masjid dan berupaya untuk memberikan ibadah terbaiknya untuk Allah, maka dialah yang akan berpeluang lebih besar untuk mendapatkan kasih sayang Allah, Rahmah, maghfirah dan itqun minan nar.

Tidaklah salah doa yang kita lantunkan setiap malam: “nas’aluka ridhaka wal Jannah wa na’udzubika min sakhatika wan nar, Allahumma innaka ‘afwun karim tuhibbul afwa wa’fuanna ya karim”. Yang artinya: “Ya Allah kami memohon Ridha-Mu dan surga-Mu dan jauhkan kami dari siksa api neraka, ya Allah sesungguhnya Engkau pemberi ampunan yang agung, Engkau menyukai ampunan dan ampunilah kami wahai Dzat yang mulia”.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

KEBAHAGIAAN BUKAN SEMATA-MATA KARENA HARTA

KEBAHAGIAAN BUKAN SEMATA-MATA KARENA HARTA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Great Power Index (GPI) 2024 menempatkan Indonesia sebagai negara nomor dua dalam kebahagiaan dengan indeks sebesar 1,58 hanya berada di bawah Britania Raya dengan indeks 1,65. Sementara itu, Lembaga survey yang terpercaya, Badan Pusat Statistik (BPS), 2021, telah merilis tentang indeks kebahagiaan, dengan indicator dimensi kepuasan hidup, dimensi perasaan dan makna hidup.

Jika tiga dimensi  indeks ini nilainya bagus, maka potensinya akan menjadi bahagia, akan tetapi jika kurang, maka tidak masuk dalam kategori bahagia. Begitu kelihatan bahwa ukuran kebahagiaan adalah ukuran prilaku  yang lebih dominan. Selalu ada alasan bahwa sebagai sebuah survey,  maka yang bisa dicek adalah indicator yang tangible dan bukan non tangible. Sedangkan spiritualitas adalah indicator yang tak terukur. Makanya, spiritualitas tidak dikaji dalam mengukur kebahagiaan.

Berdasarkan atas ukuran prilaku  tersebut, maka indeks kebahagiaan orang Indonesia berada dalam tingkat  bahagia, dengan perolehan angka sebesar 71,49 dengan dimensi  kepuasan hidup sebesar 75,16, indeks dimensi  perasaan sebesar 65,61 dan dimensi indeks makna hidup sebesar 73,12. Angka ini meningkat dibandingkan survey BPS tahun 2017 sebesar 0,8. (BPS, Provinsi Jambi 05/09/2022). Jadi orang Indonesia sudah bahagia. Lumayanlah. Dengan angka ini maka memberikan justifikasi secara statistic bahwa orang Indonesia sudah memasuki lingkaran kebahagiaan. Apakah ini hasil pembangunan atau bukan, akan tetapi yang jelas perjalanan bangsa Indonesia sudah on the track dalam mengurus kebahagiaan.

Di dalam Islam kebahagiaan itu lebih berdimensi batin atau hati. Bukan hanya ketercukupan lahiriyah atau kepuasan jasmaniyah. Bukan hanya ketercukupan kebutuhan biologis dan social akan tetapi juga keterpenuhan kebutuhan spiritual. Kebahagiaan merupakan urusan hati dan bukan urusan fisik. Ada orang yang secara fisik sudah melebihi tataran ketercukupan atau kekayaan,  akan tetapi hatinya tidak pernah tenang. Hatinya tidak ada kedamaian.

Ada bukti orang-orang Barat yang kekayaannya sudah melebihi batas kewajaran, akan tetapi justru bunuh diri. Ada penyanyi-penyanyi terkenal dengan kekayaan dan kemewahan, dengan ketenaran dan kemegahan, akan tetapi mati dengan bunuh diri atau kelebihan dosis obat ketenangan. Meminum obat tenang tentu adalah orang yang tidak tenang. Orang yang gelisah. Orang yang tertekan dan sebagainya. Ketakutan akan ketenarannya memudar, ketakutan bahwa kemewahannya akan berakhir, ketakutan dan pengaruhnya akan hilang dan sebagainya. Mana yang lebih hebat mantan Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon dan istrinya, yang di kala tuanya lalu menghibahkan semua hartanya kecuali untuk pemenuhan kebutuhannya yang minimal saja atau para pesohor yang dikaruniai kekayaan dan ketenaran yang luar biasa. Jawabannya tentu Richard Nixon lebih baik. Orang seperti Richard Nixon sudah selesai dengan kehidupannya, dan dia sadar bahwa harta tidak akan dibawanya serta kala wafat.

Bagi orang beragama, kebahagiaan itu urusan batiniah atau urusan spiritualitas. Bukan semata-mata urusan duniawiyah. Itulah sebabnya doa yang selalu kita bacakan nyaris setiap hari adalah “Ya Allah berikan kepada Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akherat, dan jauhkan kami dari api neraka”. Kebaikan di dunia adalah terpenuhinya kebutuhan biologis dan social, dan kebaikan di akherat adalah terpenuhinya instrument untuk bekal hidup di akherat, hablum minallah dan hablum minan nas. Harta dan kekayaan hanyalah instrument untuk kebahagiaan atau tujuan antara, yang bisa menjadi salah satu pengungkit kebahagiaan, tetapi the ultimate kebahagiaan atau endless bliss adalah kebahagiaan kelak di akherat. Sa’idun fid dunya wa sa’idun fil akhirah.

Itulah sebabnya kita bersyukur, bahwa kita memiliki ajaran Islam yang mengajarkan tentang philantropi atau bersedekah, berinfaq, dan berzakat. Ketiganya adalah instrument untuk menggapai kebahagiaan. Orang yang bisa memberi sesuatu kepada orang lain adalah orang yang tentu sudah menyadari bahwa kehidupan harus dihias dengan kebaikan kepada Allah dan juga kebaikan bagi sesama manusia. Berkat philantropi kita, umat islam, berdasarkan atas teks suci, maka Indonesia selalu menjadi negara terbaik dalam World Giving Index (WGI), sudah enam kali berturut-turut. Digambarkan bahwa dari 10 orang Indonesia, maka delapan di antaranya suka memberikan philantropinya.

Sebuah cerita menggambarkan Sahabat Nabi Muhammad SAW, Abdurrahman bin Auf, orang kaya di Mekkah. Dalam satu kesempatan Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa Abdurrahman bin Auf nanti di kala akan masuk surga maka jalannya dengan merangkak atau Bahasa Jawa ngesot, maka betapa sedihnya Abdurahman bin Auf sehingga selalu berdoa agar menjadi orang miskin, maka oleh Nabi Muhammad SAW lalu dianjurkan agar banyak bersedekah, berinfaq dan berzakat. Jadi pilantropi adalah salah satu instrument untuk mendapatkan kebahagiaan di akherat. Padahal, Abdurrahman Bin Auf adalah salah satu dari assabiqunal awwalun yang dipastikan akan masuk surga.

Ada tipe ideal perempuan yang hebat yang memiliki kekayaan 2/3 tanah di Mekkah, tetapi kala wafat tidak memiliki kain yang bagus untuk kain kafannya, maka Allah SWT memberikannya kain kafan. Sayyidatina Khadijah adalah salah satu contohnya. Kekayaannya yang melimpah digunakannya untuk berdakwah bersama Nabi Muhammad SAW, dan Sayyidatina Khadijah sangat senang melakukannya. Inilah kebahagiaan yang abadi, yang kelak akan didapatkannya di akherat. Jadi harta hanya instrument saja dan bukan tujuan kebahagiaan.

Secara ekspresif,  kala Sayyidatina Khadijah akan wafat Nabi Muhammad SAW menangis lalu menanyakannya, “Wahai istriku, apakah engkau  menyesal hidup bersamaku hingga hartamu  habis untuk berdakwah”, maka Sayyidatina Khadijah menyatakan bahwa “saya mengikhlaskan harta milikku  dan  aku sangat bahagia   karena bisa berjuang bersama Rasulullah”.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

HARTA BUKAN MILIK KITA SEUTUHNYA

HARTA BUKAN MILIK KITA SEUTUHNYA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kali ini saya akan melakukan pambahasan tentang ceramah yang dilakukan oleh Ustadz, M. As’ad, SE, Al Hafidz, di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Ceramah dalam paket acara Kuliah Tujuh Menit atau Kultum diselenggarakan bada Shalat Isya’ pada Hari Kamis, 03/2025. Di dalam kesempatan ini disampaikan ceramah agama dengan tema: “Harta yang menjadi milik kita”.

Di dalam ceramahnya, Ustadz As’ad membahas tentang harta yang sesungguhnya milik kita. Disampaikannya dalam tiga hal, yaitu: pertama, kita diberi Allah ketercukupan harta, sehingga bisa melakukan puasa dengan tenang, bisa bersedekah dengan senang, dan bisa menjalankan amal ibadah puasa yang tercukupkan. Misalnya, kita dapat memberikan ta’jil yang cukup untuk jamaah shalat magrib dan yang berbuka puasa. Itulah sebabnya tidak ada lain kecuali kita harus bersyukur kepada Allah SWT. Dan pada saat sekaranglah waktu yang tepat untuk berterima kasih  atau bersyukur kepada Allah SWT. Alhamdulillahi rabbil alamin di lesan, di hati dan di perasaan. Sungguh indah orang yang bisa bersyukur kepada Allah SWT.

Kedua, tidak ada orang yang tidak mencintai harta. Bayangkan ada orang yang sama sekali tidak mencintai harta. Semua sadar bahwa dengan harta maka kebutuhan-kebutuhan kehidupan akan dapat dipenuhi. Mau makan enak, mau minum enak, mau tidur enak semuanya bisa dilakukan dengan harta. Orang bisa makan di restorant mewah, orang bisa minum kopi nikmat tentu bisa dipenuhi dengan harta, orang mau tidur nikmat di hotel berbintang semuanya bisa dipenuhi dengan harta yang berlimpah. Kebutuhan duniawi bisa dipenuhi dengan ketercukupan harta. Jadilah kaya supaya badan dan kebutuhannya bisa terpenuhi dengan maksimal.

Harta menjadi idola bagi semua manusia. Makanya banyak orang yang lupa waktu untuk bekerja karena ingin menjadi kaya. Bahkan untuk menjadi kaya orang harus bermoral hazard. Moral ngawur untuk menjadi dan meraih kekayaan. Semua dilakukan agar bisa kaya. Ada orang yang ingin kaya dengan melakukan korupsi, melakukan penyuapan dan melakukan tindakan yang menyimpang dari etika ekonomi. Sungguh manusia bisa menempuh apa saja agar bisa menjadi kaya. Orang seperti itu beranggapan bahwa kebahagiaan itu terletak pada harta yang berlimpah ruah. Mereka tidak tahu bagaimana Nasib Qarun, kapitalis masa lalu, yang hartanya sangat luar biasa tetapi akhirnya tertelan bumi dengan segenap hartanya. Ternyata harta tidak menyelamatkannya.

Ketiga, apa yang sesungguhnya menjadi harta milik kita? Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan bahwa yang menjadi harta kita sesungguhnya, yaitu ma akalta, apa yang engkau makan. Jika makan lalu makanan itu sudah sampai di perut, lalu sebagian untuk menjadi kekuatan tubuh, berupa protein dan karbohidrat yang bermanfaat atau yang kemudian sisa makanan  yang tidak bermanfaat dan menjadi kotoran, maka itulah harta kita. Lalu, ma labista atau apa yang kamu pakai. Bisa berupa baju, celana, asesori lainnya dan segala yang kita pakai baik dalam kesendirian atau di dalam relasi social, maka itulah harta kita. Berikutnya adalah ma shadaqta atau yang apa engkau sedekahkan. Yang kita berikan kepada orang lain atau kepada lainnya, seperti zakat, infaq dan sedekah serta wakaf maka itulah yang disebut sebagai harta kita yang sesungguhnya. Jadi harta yang diakumulasi bukanlah harta yang sebenarnya. Hakikat harta hanyalah tiga hal di atas. Apa yang kita makan, apa yang kita pakai dan apa yang kita sedekahkan atau diberikan kepada orang lain.

Dari uraian ini, maka sesungguhnya ada harta yang bermanfaat di kala hidup, dan ada harta yang bermanfaat di kala sudah meninggal. Harta yang menumpuk adalah harta yang bersifat keduniawian. Hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis dan social terbatas. Harta itu tetap penting tetapi sebenarnya bukan milik kita yang sesungguhnya. Harta tersebut milik Allah SWT. Harta yang dititipkan kepada kita. Harta ini bisa diambil sewaktu-waktu. Seperti hartanya Qarun, hartanya Fir’aun, Hartanya Nebukadnezar, hartanya Namrudz dan juga hartanya orang-orang kaya sekarang ini.

Harta yang abadi bukan yang berupa tumpukan uang, bukan yang tersimpan di bank dalam bentuk giro, simpanan dan sebagainya. Bukan dalam bentuk saham di perusahaan akan tetapi harta yang disedekahkan di jalan Allah. Fi sabilillah. Harta yang berupa sedekah, infaq, zakat dan wakaf adalah harta abadi untuk diri kita. Harta inilah yang akan dibawa kelak di akherat yang akan meringankan di kala kita dihisab. Sedangkan harta yang bertumpuk yang hanya diakumulasi saja maka justru akan memberatkan diri kita jika tidak dimanfaatkan untuk kebaikan demi kebaikan.

Jika kita mati, maka yang tertinggal bersama kita adalah shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang bisa mendoakan. Harta seberapa banyaknya, seperti orang kaya di dunia dengan harta di atas Rp3000 trilyun, ternyata tidak ada manfaatnya. Ini hanyalah kekayaan duniawi yang tidak abadi. Kekayaan sementara yang tentu bisa bermanfaat untuk dirinya atau tidak bermanfaat bagi dirinya.

Tulisan ini tidak dimaksudkan agar kita tidak berusaha menjadi kaya. Menjadi kaya penting tetapi sebagaimana pernyataan Syekh Hasan Syadzili,  pemuka tarekat Syadziliyah, bahwa harta adalah washilah terbaik untuk cepat sampai kepada Allah, akan tetapi jika harta tersebut ditasarufkan untuk kebaikan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MEMPOSISIKAN PUASA RAMADLAN

MEMPOSISIKAN PUASA RAMADLAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kali ini saya akan mengulas ceramah agama yang disampaikan oleh Ustadz Firdaus Ramadlan, SHI, Al Hafidz, pada acara Kuliah Tujuh Menit atau kultum yang diselenggarakan di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya, Sabtu, 22/03/2025. Acara kultum dilaksanakan bada shalat Isya’ dalam rangkaian shalat jamaah tarawih, yang diikuti oleh jamaah lelaki dan perempuan di masjid tersebut. Ustadz Firdus membahas tentang Kategori umat Islam yang berpuasa.

Ada tiga hal yang disampaikannya, yaitu: pertama, harapan akan semakin membaiknya amal ibadah kita di saat berpuasa dan setelah berpuasa. Yang menjadi harapan umat Islam adalah agar puasanya akan dapat mengantarkannya memperoleh derajat taqwa di hadapan Allah SWT. Puasa merupakan instrument untuk mawas diri atau ihtisaban. Sebuah Upaya untuk memonitor atas amalan ibadah kita sebelumnya. Jika amalan kita belumlah baik atau lebih baik, maka saatnya untuk memperbaikinya. Inilah makna “man shoma ramadlona imanan wahtisaban”. Orang berpuasa bukan untuk mencegah makan dan minum serta relasi seksual di siang hari, akan tetapi untuk mencegah hawa nafsu dalam melakukan perbuatan yang tercela. Kita berharap semoga puasa kita tahun ini, 1446 H, akan menjadi momentum dalam rangka untuk memperbaiki diri dalam beribadah kepada Allah dan juga memperbaiki diri dalam relasi dengan sesama umat manusia. Antara individu dengan individu, atau antara individu dengan keluarga, dengan komunitas dan dengan masyarakat.

Kedua, berdasarkan pendapat Imam Ghazali di dalam Ihya’ ulumiddin, bahwa kategori orang berpuasa itu dibagi menjadi tiga kategori. Ada yang disebut puasa orang awam. Yaitu puasa pada level terendah sebab puasa ini hanya untuk kepentingan mencegah nafsu fisikal saja. Puasa dijadikan sebagai sarana untuk mencegah makan dan minum, serta relasi seksual pada siang hari, sementara itu amalan lainnya belum diupayakan untuk dilakukan secara optimal. Memang sudah berpuasa, akan tetapi puasa yang sangat minimalis. Puasa badannya saja atau jasmaninya saja. Fisik yang biasanya makan dan minum pada siang hari lalu diubah menjadi malam hari. Tidak kurang tidak lebih. Tetapi aspek lainnya tidak diupayakan untuk dipuasakan. Misalnya ucapannya, telinganya, matanya dan alat inderawi lainnya. Semuanya masih berjalan apa adanya. Orang yang masih puasa dengan seperti ini disebut sebagai puasa orang awam. Perkara pahala, Allah sendiri yang akan memberikannya atau menentukannya.

Kemudian ada puasa orang yang khusus atau puasa orang yang khawash. Orang yang berpuasa melampaui orang awam dan sudah menambahkannya dengan mempuasakan alat pengindraan lainnya. Mata, telinga, mulut, tangan dan kakinya serta segenap perasaannya. Semua sudah dipuasakan. Ini sudah kategori orang yang berpuasa dengan kemajuan. Puasa orang yang khawash atau puasanya orang yang khusus. Tidak hanya kewajiban puasa dengan tidak makan dan minum akan tetapi sudah berpuasa dengan segenap jiwa dan raganya. Fisiknya puasa dan batinnya juga puasa. Maka dilakukanlah upaya untuk menyenangkan Allah dengan membaca Alqur’an, membaca wirid, membaca doa dan sebagainya. Puasa dengan segenap kasih sayang juga kepada sesama manusia artinya dengan mengeluarkan sedekah dan infaq. Puasa yang seperti ini merupakan puasa dengan kategori yang baik dan merupakan puasa hanya pada orang-orang khusus saja.

Lalu juga ada puasa yang berkategori khawash lil khawash atau puasa khusus yang khusus. Puasa yang dilakukan oleh orang yang sudah memiliki kedekatan dengan Allah. Orang yang sudah memasuki alam taqarrub ilallah. Orang yang raga, nafsu dan rohnya sudah sedemikian dekatnya dengan Allah. Orang yang sudah memiliki ainun basyirah. Mata batinnya sudah terbuka hijabnya dengan Allah. Bukan melihat Allah dengan fisikalnya akan tetapi merasakan kehadiran Allah di dalam batinnya. Orang yang sudah mengalami perasaan dalam berdekatan dengan Allah. Tidak ada di dalam batinnya atau hatinya kecuali Allah. Keluar masuknya nafas dengan ucapan Allah Allah. Yang bisa melakukan puasa seperti ini adalah para sahabat Nabi, tabiin dan tabiit tabiin, para ulama dan waliyullah, para ahli tasawuf yang sudah masuk dalam dunia batin hanya karena Allah.

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menjustifikasi puasa orang per orang, akan tetapi hanya sebagai peringatan untuk diri kita masing-masing bahwa ada indicator umum yang bisa dijadikan sebagai ukuran untuk mengevaluasi puasa kita sendiri. Puasa merupakan urusan pribadi manusia dengan Allah, sehingga tidak layak rasanya kita menjustifikasinya. Biarkanlah diri masing-masing yang akan mengevaluasinya.

Sekurang-kurangnya dengan memahami ukuran generalnya ini, maka kita akan dapat mengukur kesungguhan puasa kita, apakah masuk dalam kategori pertama, kedua atau ketiga.

Saya berkeyakinan bahwa dengan apapun puasa kita, maka Allah yang berhak untuk memberi ataupun tidak memberi pahala. Tetapi yakinlah bahwa Allah itu maha pemberi Rahmat sehingga semua orang yang telah beribadah kepadanya tentu akan berpotensi untuk mendapatkan rahmatnya.

Kita telah melakukan puasa dan semoga kita juga menjadi bagian dari orang yang mendapatkan ampunannya dan rahmatnya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

I’TIKAF BAGI UMAT ISLAM

I’TIKAF BAGI UMAT ISLAM

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Saya akan memberikan ulasan atas ceramah agama yang dilakukan oleh Ustadz M. Toha Mahsun, SS, yang memberikan taushiyahnya di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya dalam paket acara Kuliah Tujuh Menit atau Kultum yang diikuti oleh jamaah shalat tarawih, pada Senin, 17/03/2025.

Ustadz Toha, memberikan materi yang sangat penting dalam kaitannya dengan bulan Ramadlan, yaitu penjelasan tentang I’tikaf, yang banyak dilakukan oleh umat Islam terutama pada bulan Ramadlan. Penjelasan ini sangat penting dalam kaitannya untuk menjaga agar sunnah Ramadlan dapat dilaksanakan secara lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Ustadz Toha menjelaskan tiga hal, yaitu: pertama, bulan ramadlan merupakan lahan yang sangat penting di dalam mengamalkan ajaran Islam secara kaffah, terutama dalam beribadah kepada Allah. Bulan ini diyakini  sebagai bulan suci, sehingga banyak orang Islam yang berkeinginan untuk menjumpainya. Doa kita adalah “Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan pertemukan kami dengan bulan Ramadlan”. Alhamdulillah kita dapat menjumpai bulan Ramadlan, sehingga kita dapat  melaksanakan puasa dengan sempurna dan juga mengamalkan berbagai macam kesunahan yang terkait dengan bulan puasa. Doa kita selanjutnya, adalah agar bisa dipertemukan dengan bulan Ramadlan tahun berikutnya.

Bulan puasa merupakan bulan yang sangat Istimewa, sebab Allah SWT memberikan pelipatgandaan pahala kepada umat Islam yang melakukan ibadah lebih dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Jika pada bulan lainnya hanya diberikan pahala paling banter sebanyak 10 kali lipat, misalnya membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, akan tetapi pada bulan Ramadlan dilipatgandakan menjadi 700 kali lipat. Makanya, pada bulan Ramadlan mari kita tingkatkan amal ibadah kita. Jika pada bulan lainnya, kita tidak membaca Qur’an, maka pada bulan Ramadlan minimal satu juz sehari. Belum pahala shalat sunnah, dzikir atau wirid dan sedekah.

Kedua, bulan Ramadlan merupakan bulan diturunkannya Alqur’an. Kitab suci umat Islam. Kitab yang dijadikan sebagai sumber hukum Islam, dijadikan sebagai pedoman di dalam melakukan semua tindakan manusia. Alqur’an merupakan Kitab Suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad yang sebelumnya sudah diturunkan Kitab Zabur, Taurat dan Injil. Dengan demikian kitab Suci Alqur’an merupakan Kitab yang paling sempurna. Kitab yang menjadi panduan bagi kehidupan seluruh umat manusia.

Kitab Suci Alqur’an diturunkan pada Bulan Ramadlan. Mengenai tanggalnya  memang terjadi perdebatan di antara para ulama. Ada yang menyatakan tanggal 17 Ramadlan tetapi juga ada yang menyatakan pada tanggal-tanggal bulan ramadlan. 10 hari terakhir  bulan Ramadlan. Yang kita yakini adalah Alqur’an menjadi Kitab Suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan dijadikan sebagai kitab suci terakhir. Oleh karena itu marilah kita galakkan untuk membaca Alqur’an semoga kita dapat menjadi sahabatnya Alqur’an.

Ketiga, yang Istimewa di dalam Bulan Ramadlan adalah diturunkannya malam lailatul qadar. Suatu malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Lailatul Qodri khoirum min alfi syahrin. Jadi sesiapapun yang beribadah pada malam yang Allah menurunkan malam lailatul qadar, maka perbuatan baiknya tersebut akan  lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Kira-kira sama dengan 82 tahun. Betapa indahnya malam lailatul qadar tersebut, sebuah malam yang menjanjikan kebahagiaan bagi umat Islam yang mendapatkannya.

Para ulama berbeda pendapat tentang kapan diturunkannya malam lailatul qadar tersebut. Ada yang menyatakan diturunkan pada bulan Ramadlan, artinya suatu malam pada bulan Ramadlan, ada yang menyatakan 10 hari terakhir bulan Ramadlan, dan ada yang berpendapat pada malam-malam ganjil dari 10 hari terakhir,  yaitu malam 21, 23, 25, 27, dan 29. Banyak dari orang Indonesia yang meyakini bahwa Malam lailatul qadar turun pada malam-malam ganjil dimaksud.

Dalam konteks ini, maka di dalam ajaran Islam diajarkan untuk I’tikaf. Secara lughawi I’tikaf berarti berdiam diri. Namun dalam pengertian terminologis atau istilah I’tikaf dimaksudkan sebagai Upaya seorang muslim untuk berdiam diri di dalam masjid dalam beberapa saat tergantung kepada kekuatannya. Itulah sebabnya pada bulan Ramadlan terutama pada malam-malam ganjil banyak umat Islam yang memanfaatkan waktunya untuk I’tikaf di masjid.

Coba perhatikan banyak masjid yang penuh sesak dengan orang-orang yang melakukan I’tikaf dalam rangka menjemput hadirnya malam lailatul qadar. Umat Islam berbondong-bondong mendatangi masjid yang terdekat dengan rumahnya. Mereka datang dengan sendirian atau berombongan. Semua berdoa agar mendapatkan rahmat dan berkah Allah dalam malam lailatul qadar.

Kala datang di masjid maka ucapkan salam kala masuk masjid dengan doa: “Ya Allah bukalah pintu Rahmat bagi kami”. Lalu niat I’tikaf, lalu shalat tahiyatal masjid, lalu shalat taubat, kemudian shalat hajad dua rakat atau empat rakat, atau shalat tahajjud, dan shalat-shalat lain yang dinggap penting. Di saat inilah saatnya untuk berdzikir sebanyak-banyaknya. Misalnya membaca istighfar, membaca tahmid, membaca tahlil, membaca shalawat sebanyak-banyaknya.

Pada Ramadlan 1446 H, ada prediksi berdasarkan atas kitab-kitab yang masyhur, bahwa malam lailatul qadar akan turun pada tanggal 23 bulan ramadlan. Kebenarannya tentu saja wallahu a’lam bi muradihi.

Inilah saat-saat yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam dalam memperbaiki kehidupan spiritualnya. Semoga puasa dan amalan-amalan sunnah lainnya diterima oleh Allah sebagai amalan shalihan wa maqbulan.

Wallahu a’lam bi al shawab.