Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

BERAGAMA DENGAN HAPPY

BERAGAMA DENGAN HAPPY

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebagaimana penugasan yang diberikan oleh Ta’mir Masjid Al Ihsan dalam bulan Ramadlan 1445 H., maka saya pada Hari Senin, 18 Maret 2024, saya memberikan ceramah agama pada jamaah shalat tarawih yang rutin hadir di masjid ini. Memang setiap malam dilakukan ceramah agama yang disebut Kultum, meskipun di dalam pelaksanaannya bisa mencapai 15 menit bahkan 20 menit. Kata kultum hanya untuk menegaskan bahwa ada kegiatan penambahan wawasan keislaman pada jamaah shalat tarawih.

Saya mengantarkan materi yang saya kira relevan untuk menjadi bahan perbincangan, yaitu” “beragama secara happy”, beragama yang tidak memberatkan karena sudah memahami bahwa beragama itu bukan paksaan tetapi kebutuhan. Untuk pertama kali agar kita bisa istiqamah memang harus dipaksa, sebab tanpa paksaan tentu kita tidak bisa bergerak untuk melakukannya. Melalui paksaan pada tahap awal maka kemudian akan terjadi pembiasaan. Saya menyampaikan tiga hal, yaitu:

Pertama, marilah kita bersyukur kepada Allah karena nikmat kesehatan yang diberikan sehingga kita dapat melaksanakan salah satu rukun Islam, puasa, dan juga melakukan kesunahan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, misalnya shalat tarawih, shalat witir dan sebagainya. Bulan puasa ini bulan yang sangat istimewa, oleh karena itu kita juga memperlakukannya dengan istimewa. Banyak berdoa kepada Allah agar doa dapat  diijabi oleh Allah. Saya suka  doa yang biasanya saya baca setelah salam. Doa pendek yang menurut saya luar biasa. “Allahumma inna nasalukal jannata wal afwa ‘indal hisab”. Artinya kurang lebih “Ya Allah  kami memohon kepada-Mu surga dan ampunan kala datangnya hisab”. Jadi kita memohon kepada Allah agar menjadi ahli surga dan yang penting mendapat afwun atau ampunan yang sangat tinggi. Sebab afwun itu ampunan yang sekaligus menghapus catatan dosanya. Diampuni dosanya dan dibuang catatannya. Jika maghfirah itu diampuni dosanya tetapi catatannya masih ada. Tetapi yang jelas bahwa mendapatkan maghfiroh Allah saja sudah sangat luar biasa. Puasa yang kita lakukan ini akan menjadi instrument untuk mendapatkan maghfirah. “Awwaluhu rahmah, wa ausatuha maghfirah wa akhiruhu itqun minan nar”. Awalnya kasih sayang, tengahnya ampunan dan akhirnya dijauhkan dari api neraka”.

Kedua, mari kita beragama dengan hepi, dengan senang, dengan gembira. Ada lagunya Jamal Mirdad yang berjudul “Yang Penting Heppi”. Ya kita mesti beragama dengan hepi. Janganlah beragama dengan ketakutan berlebihan, sebab jika ini yang terjadi kita akan terkena dampak psikhologis atas ketakutan tersebut. Juga jangan beragama dengan kekerasan, sebab hal tersebut akan menakutkan orang lain. Orang yang semestinya akan menjadi Islam takut karena agama kita  penuh kekerasan. Jadikan beragama itu membahagiakan diri kita dan orang lain. Kita dan orang lain merasa nyaman dalam beragama. Kita dan orang lain merasa diayomi oleh agama kita. Pokoknya beragama membuat kemanusiaan kita semakin baik, kehidupan kita semakin baik dan hubungan dengan Allah dan sesama manusia juga semakin baik.

Ketiga,  Untuk menggapai beragama yang hepi tersebut maka ada empat hal  yang harus diperhatikan, yaitu: 1) kita selalu berhusnudz dzan kepada Allah. Jangan ada sedikitpun perasaan suudz dzan kepada Allah. Berbaik sangka kepada Allah itu awal dari beragama secara hepi. Tidak ada yang melebihi kebaikan Allah, tidak ada yang melebihi kasih sayang Allah, tidak ada yang melebihi kekuasaan dan kekuatan Allah. Bagi saya puncak sifat Allah itu adalah Rahman dan Rahim. Allah maha Rahman dan Maha Rahim.  Itu  yang harus terus dipompakan di dalam diri kita, sehingga akan terbentuk rasa berbaik sangka kepada Allah. Allah pasti akan mengampuni kita, Allah pasti akan memafkan kita dan Allah pasti akan memberikan rahmatnya untuk kita sebagai umat Muhammad SAW.

Lalu 2),  berdoa kepada Allah SWT. Jangan lelah berdoa. Kita diperintahkan untuk berdoa kepada-Nya. Ud’uni astajib lakum, berdoalah kepadaku yang pasti akan mengabulkan doa kalian. Kita harus banyak meminta bukan meminta yang banyak. Banyak meminta artinya banyak berdoa, sedangkan meminta yang banyak itu dalam jumlah yang diminta. Jangan bersuudz dzan bahwa doa  tidak dikabulkan oleh Allah. Ada yang langsung dikabulkan. Ini doanya para Nabi dan para waliyullah sebagai orang yang sangat dekat dengan Allah. Nabi Muhammad SAW kala diminta membelah bulan oleh orang Quraisy, maka Beliau berdoa kepada  Allah dan terbelahlah Bulan. Itupun masih dinyatakan sebagai sihir oleh orang Quraisy. Tetapi ada doa yang dikabulkan Allah pada waktu lain bahkan ada doa  yang dikabulkan Allah pada saat kita sudah wafat atau bahkan kala sudah memasuki alam akherat. Maka jangan berputus asa dan jangan suudz dzan kepada Allah SWT.

Kemudian 3), berusaha yang sungguh-sungguh. Kita mengenal ada dua takdir, yaitu takdir mubram atau takdir yang pasti dan tidak bisa berubah. Sementara itu ada takdir muallaq atau takdir tergantung. Seperti cerita Mas Alief kemarin sore, bahwa ada ulama yang sudah tahu takdirnya itu saqiyyun atau sengsara dan bukan sa’idun atau untung. Kala santrinya tahu hal ini maka kemudian dijelaskan oleh gurunya bahwa takdirnya memang sengsara akan tetapi ulama tersebut terus berdoa dan berusaha, dalam waktu 40 tahun maka takdir muallaq tersebut berubah dari saqiyyun ke saidun bahkan ada tulisan di dahinya tiga kali kata sa’idun.

Yang 4), adalah pasrah kepada Allah atau tawakkal kepada Allah, sebab Allah yang menentukan atas apa yang ada di dalam diri kita. Terus berusaha dan terus berusaha jangan pernah lelah dan terus berdoa dan berdoa. Sekali lagi  jangan pernah lelah, dan akhirnya serahkan hasilnya kepada Allah SWT. Biar Allahlah yang akan menentukan yang terbaik untuk kita. Kita baru tahu kala sesuatu sudah terjadi dan lalu kita menyatakan: “ternyata ada hikmahnya”.

Semua ini akan terjadi jika kita selalu  berhusnudz dzan kepada Allah. Melalui husnudz dzan tersebut maka apa yang kita lakukan akan membawa kepada kebahagiaan, membawa kepada rasa hepi. Jadi sudah saatnya kita beragama dengan hepi.

Wallahu a’lam bi al shawab.

BERIBADAH LAYAKNYA KAUM PEDAGANG

BERIBADAH LAYAKNYA KAUM PEDAGANG

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kaum pedagang dalam dunia kehidupan duniawi merupakan orang yang selalu berpikir ke depan, terutama untuk meningkatkan kehidupan ekonominya. Tidak ada yang dipikirkan lebih banyak dibandingkan dengan bagaimana mempertahankan reputasi ekonominya dan kemudian meningkatkannya. Jadi jika ditanyakan,  siapakah yang secara ekonomis akan lebih maju maka jawabannya adalah kaum pedagang atau kaum pengusaha.

Bahkan Kyai Wahid Hasyim adalah seorang pengusaha yang pernah memberikan dawuh atau pernyataan bahwa 80 persen kehidupan ekonomi itu didapatkan oleh dunia perdagangan. Makanya kebanyakan orang yang sukses secara ekonomi adalah orang yang bisa mengembangkan perdagangan atau usaha ekonomi. Mereka orang yang bisa memanfaatkan hambatan dan tantangan menjadi peluang. Di kalangan ini terdapat semboyan every problem there is a solution. Ada juga yang menyatakan bahwa uang itu mencari kawannya. Jika di dalam kehidupannya sudah banyak uang, maka uang lainnya akan menyusulnya masuk  di dalam rengkuhannya. Begitulah dunia ekonomi.

Manusia yang paling rasional adalah pedagang, sebab di dalam dirinya terdapat suatu dalil tentang untung dan rugi. Hanya ada dua konsep ini. Mereka akan mencari dan terus mencari untuk menemukan upaya agar keuntungan berpihak kepadanya. Di dalam dunia kapitalisme disebut sebagai akumulasi modal. Dari modal menjadi modal lainnya. Dengan pengeluaran sedikit-dikitnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.

Tetapi pertanyaannya, apakah kita beribadah juga berbasis pada pemikiran kaum pedagang? Jawabannya bisa ya dan juga bisa tidak. Ada orang yang berpikir bahwa setiap ibadah yang dilakukannya itu akan mendapatkan pahala dan pahala demi pahala itu akan berakumulasi sebanyak-banyaknya sehingga akan mengantarkannya untuk memasuki surga. Jadi surga dihitung dari seberapa besar ibadah yang dilakukannya. Proposisinya adalah semakin banyak ibadah semakin berhak mendapatkan surga. Pemikiran ini tentu benar dan bukan salah.

Mayoritas umat beragama dipastikan akan berpikir seperti ini. Bahkan saya sering menyatakan: “masak sih kita yang sudah beribadah seperti ini, akan sama dengan mereka yang tidak pernah beribadah” atau pernyataan: “kita sudah meyakini seluruh rukun iman dan sudah menjalankan rukun Islam masak Tuhan tega memasukkan kita di dalam neraka”. Dipastikan akan terdapat perbedaan di antaranya. Pemikiran ini dapat dinyatakan sebagai pemikiran siapa yang untung dan siapa yang buntung. Yang untung adalah orang yang telah mempercayai rukun Iman dan menjalankan rukun Islam, dan yang buntung adalah mereka yang tidak meyakini rukun iman dan tidak menjalankan rukun Islam. Jawaban seperti ini pasti benar dan Alqur’an sendiri juga banyak yang menyatakan seperti itu.

Seperti pernyataan di dalam Alqur’an: “ innal ladzina amanu wa ‘amilush shalihati ulaikahum Khairul bariyyah”. “Sesungguhnya orang yang beriman dan beramal shalih maka mereka adalah sebaik-baik manusia”.  Saya berpikir kebanyakan manusia akan menghayati ungkapan Alqur’an ini bahwa yang beruntung adalah orang yang beriman kepada rukun iman dan melakukan rukun Islam dengan kesungguhan dan mereka adalah orang yang beruntung. Sebagaimana dipahami bahwa Alqur’an adalah kitab yang memberikan kabar kegembiraan atau tabsyir dan memberikan peringatan atau tandzir. Maka dipastikan ada ayat yang memberikan kabar kegembiraan bagi orang yang disebut sebagai Khairul bariyyah dan memberikan peringatan bagi orang yang disebut sebagai syarrul bariyyah.

Kebanyakan umat Islam adalah orang yang berpikir bahwa surga itu  bisa didapatkan melalui ibadah. Hal ini saya yakin benar. Tetapi jika kita hanya bertumpu pada ungkapan ini, maka kita mereduksi terhadap ibadah dalam konteks yang sempit. Dianggapnya bahwa ibadah itu hanya melakukan shalat atau membayar zakat, atau melakukan puasa atau yang sering dianggap ibadah maghdhah. Ini merupakan kewajiban inti, akan tetapi jangan lupa bahwa ada ibadah ghairu maghdhah yang juga penting yang bisa menjadi instrument untuk memasuki surganya Allah. Yaitu ibadah yang dikaitkan dengan relasi antar manusia yang juga sangat penting di dalam Islam. Menolong orang, membantu orang bahkan mengambil paku di jalan yang dilakukannya dengan ikhlas akan bisa mengantarkannya di dalam surga. Sama dengan kala Imam Ghazali yang masuk surga karena membiarkan lalat meminum tinta yang dipakai menulis kitabnya atau bahkan seorang pelacur yang memberikan minuman kepada seekor anjing yang  menjadi instrument baginya untuk masuk surga.

Kita harus mengakui bahwa cara kita beragama masih berada di dalam konteks beribadah yang didasari oleh untung dan rugi. Kita masih merasa sebagai orang Islam yang awam dan beribadah sebagai orang awam. Orang yang masih berkeyakinan bahwa ibadah kita adalah akan menghasilkan pahala yang secara fisik akan menguntungkan kita. Kita berhitung dengan Allah tentang ibadah yang kita lakukan. Kebanyakan orang awam dalam beragama itu berpikirnya materialistic dan bukan substansialistik. Jadi beribadah itu dihitung seperti dunia perdagangan.

Sementara itu ada orang yang sudah memasuki dunia khawash atau bahkan khawash lil khawash. Orang yang sudah memasuki ibadah untuk menemukan ridhanya Allah. Kalau shalat maka yang diinginkan adalah ridhanya Allah, jika melakukan puasa yang dilakukan adalah mencari ridhanya Allah dan semua amal ibadah itu bertujuan ke sana. Di dalam pemikirannya hanya ada Allah semata. Mereka tidak memperhitungkan balasan Allah surga atau neraka. Fokusnya pada ridla Allah yang di dalam dunia tasawuf disebut sebagai tasawuf ridla, atau kehidupan yang  terfokus pada cinta Allah atau di dalam dunia tasawuf disebut tasawuf cinta. Orang yang sudah seperti itu sudah melampaui ibadah fisikal karena sudah memasuki alam tajalli atau alam Ketuhanan. Dia sudah melampuai alam tahalli atau mengerjakan semua perintah Allah dan  takhalli atau menghindari larangan Allah dan memasuki alam tajalli suatu alam yang tiada lagi hijab antara diri dan Tuhan atau Allah.

Sungguh indahnya andaikan kita dapat  memasuki hal seperti itu, akan tetapi rasanya hingga saat ini kita masih berada di dalam alam ibadah yang saya sebutkan sebagai aliran minimalis dalam beragama. Semoga puasa ini dapat menjadi instrument bagi kita untuk memasuki peringkat yang lebih baik dalam beribadah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

UNTUK BERBUAT BAIK HARUS DIPAKSA DULU

UNTUK BERBUAT BAIK HARUS DIPAKSA DULU

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sesungguhnya yang terbaik adalah melakukan tindakan berbasis kesadaran. Namun demikian untuk memulai perbuatan yang baik ternyata membutuhkan pemaksaan. Lalu melalui pemaksaan akhirnya menjadi kebiasaan. Yang dimaksud dengan perbuatan baik atau amalan shalihan itu teruntuk Allah SWT dalam bentuk beribadah dan teruntuk manusia juga dalam kerangka beribadah.

Ungkapan ini disampaikan oleh Ustadz M. Thoha Mahsun dalam ceramah bagi jamaah Shalat Tarawih di Masjid Al Ihsan Ketintang Surabaya, pada 14 Maret 2024. Acara pengajian ini dilakukan setelah shalat Isya’ berjamaah dan kemudian dilanjutkan dengan shalat tarawih berjamaah dan shalat witir berjamaah. Ustadz Thoha mengutip pernyataan Kyai Shaleh dari Pondok Pesantren Ngalah Pasuruan.

Kyai Sholeh adalah adalah guru saya. Beliau  yang mendirikan Pondok Pesantren Ngalah dan kemudian juga  Universitas Yudharta Pasuruan. Saya ikut terlibat di masa awal pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Yudharta pada tahun 2010-an. Saya ingat betul pada waktu mendirikan program Studi Ekonomi Islam, yang waktu itu saya menjadi Sekretaris Kopertais Wilayah IV. Benar-benar usaha yang maksimal untuk mewujudkannya. Bahkan Kasubdit Perguruan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, sempat hadir untuk terlibat di dalam pendirian prodi ekonomi Islam dimaksud.

Kyai Shaleh adalah mursyid tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang berafiliasi ke Pesantren Kedinding Surabaya, Kyai Usman Al Ishaqi. Beliau adalah tokoh multikulturalisme  yang luar biasa. Jika Kyai Shaleh mengadakan acara di Pesantren atau perguruan tingginya, maka turut hadir kawan-kawan lintas agama. Suatu hal yang nyaris tidak pernah dilakukan adalah memberikan ceramah di perkantoran. Suatu ketika Kyai Sholeh berpesan: “Saya yang menyiarkan Islam wasathiyah di masyarakat dan Pak Nur yang melakukannya di birokrasi atau pemerintahan”. Ungkapan ini masih membekas di pemikiran saya hingga saat ini.

Kala Beliau ditanya oleh Ustadz Thoha tentang bagaimana mendawamkan ibadah, maka Kyai Sholeh menyatakan dengan satu kata: “dipaksa”. Beribadah kepada Allah tentunya menghadirkan kesadaran, akan tetapi untuk melanggengkan ibadah kepada Allah ternyata memang harus dipaksa. Tidak bisa mentradisi dengan sendirinya. Diperlukan upaya untuk memaksanya dan kemudian mentradisikannya. Di dalam ungkapan Bahasa Jawa didapatkan ungkapan “witing tresno jalaran soko kulino”. Artinya: “cinta itu karena kebiasaan”.  Untuk membiasakan beribadah, maka diperlukan pemaksaan terlebih dahulu dan lama kelamaan akan memunculkan rasa cinta untuk beribadah.

Untuk beribadah itu tentu dalam rangka memenuhi keinginan roh yang dipancarkan oleh Allah kepada diri manusia. Ibadah itu tujuannya terkait dengan  yang gaib atau batiniah atau spiritual. Berbeda dengan keinginan untuk memenuhi kebutuhan fisik yang instingtif. Maka tanpa dibiasakan juga akan terjadi karena kebutuham fisik tersebut bersifat fisikal atau jasmani. Jika kita lapar, maka ada tuntutan badaniyah untuk memenuhinya. Hal ini sungguh berbeda dengan beribadah yang tuntutannya bersifat abstrak, rohaniyah atau spiritualitas. Oleh karena itu, agar menjadi kebiasaan maka diperlukan pemaksaaan terlebih dahulu.

Suatu contoh betapa susahnya membiasakan bangun jam 03.00 pagi. Jam seperti itu tentu secara badaniyah sedang enak-enaknya tidur. Apalagi jika tidurnya agak kemalaman, misalnya jam 24.00 WIB. Dipastikan akan kesulitan bangun jam 03.00 WIB atau jam 03.30 WIB. Penting diingat bahwa tidur yang terbaik itu pukul 23.00-02.00 WIB. Inilah yang disebut sebagai the golden time of sleeping. Waktu ini sangat baik untuk merecovery tubuh.

Oleh karena itu orang yang ingin menggapai kesehatan yang prima,  maka menjaga waktu tidur itu sangat penting. Tetapi bagi yang terbiasa bangun malam untuk ibadah, misalnya pukul 02.30 atau 03.00 atau pukul 03.30 WIB, maka dipastikan pada jam tersebut akan terbangun. Ada strategi melakukannya agar bisa bangun dengan memohon kepada Allah agar dibangunkan pada pukul yang kita kehendaki. Untuk dapat melakukannya tentu dipaksa terlebih dahulu, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan.

Cobalah kita kalkulasi, jika dibandingkan waktu kita untuk bermunajat kepada Allah dengan tindakan lainnya tentu sungguh tidak berimbang. Misalnya, waktu kita lebih banyak  digunakan untuk menonton Youtube, Tiktok, IG atau bermain game di Gadget. Sungguh sangat minim waktu yang kita gunakan untuk bercengkerama dengan Allah melalui bacaan wirid atau dzikir kepada-Nya. Makanya yang terbaik adalah dengan memohon kepada Allah agar diberikan kenikmatan yang berupa rahmatnya Allah SWT. Yang menentukan kita akan masuk surga adalah rahmat Allah kepada hambanya.

Puasa inilah yang dapat menjadi cara umat Islam untuk mendapatkan rahmat Allah. Bukankah sudah berkali-kali disampaikan kepada kita semua, bahwa puasa itu pada sepertiga awalnya adalah rahmat, separohnya adalah ampunan dan sepertiga akhirnya adalah dijauhkan dari api neraka. Jika kita mendengarkan pernyataan ini, maka kita dapat bergembira sebab tahun ini kita masih ditemui oleh Bulan Ramadlan. Pak Thoha menyatakan bahwa: “ada kawannya, yang tiga hari menjelang puasa dipanggil Allah. Gantian memijat dengan istrinya, kala suaminya itu memijat tiba-tiba terjatuh  dan ternyata meninggal dunia”.

Oleh karena itu, kita harus bersyukur karena masih bisa menemui bulan Ramadlan tahun ini, 1445 H atau tahun 2024 M. Dan doa yang kita panjatkan adalah semoga kita masih bisa dipertemukan dengan Ramadlan tahun depan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

PUASA SEBAGAI INSTRUMEN KETAQWAAN

PUASA SEBAGAI INSTRUMEN KETAQWAAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Jika dibaca ujung dari Surat Al Baqarah ayat 183, laallakum tattaqun, bahwa ujung akhir dari puasa adalah menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Jamaah shalat Tarawih rasanya sudah hafal betul dengan ayat yang menjadi dasar pelaksanaan puasa. Hampir setiap pelaksanaan puasa di bulan Ramadlan dipastikan akan dibacakan ayat ini. Semua televisi dan media social juga menyuarakan hal yang sama. Membacakan dalil kewajiban berpuasa.

Kita semua tentu bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah kepada kita semua menjadi umat Islam. Ada banyak orang di luar sana yang tidak menjadi muslim meskipun sudah mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh. Kita menjadi Islam karena factor lingkungan. Dalam teori sosiologi behavioral, disebutkan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh factor lingkungan. Hal ini senafas dengan ungkapan Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa “setiap manusia dilahirkan dalam kesucian, dan orang tuanya yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani dan Majusi.”

Tujuan antara dari puasa adalah menjadikan orang muslim yang berpuasa menjadi bertaqwa kepada Allah SWT. Lalu, apa indicator umum tentang orang yang bertaqwa kepada Allah SWT? Ada tiga hal yang penting untuk dipahami tentang indicator ketaqwaan, yaitu:

Pertama, orang yang bisa membangun keselarasan antara ibadah, kemanusiaan dan kebaikan. Allah mewajibkan manusia untuk melakukan ibadah wajib dan juga ibadah sunnah. Melakukan ibadah wajib dan sunnah adalah konsekuensi dari persaksian yang  dilakukan atas keberadaan atau eksistensi Allah dan Muhammad sebagai rasulnya. Ibadah merupakan kunci sebagai manusia bertaqwa. Jika manusia tidak melakukan peribadahan kepada Allah sesuai dengan ajaran di dalam Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, maka berarti  tidak bisa dinyatakan sebagai orang muslim.

Konsekuensi mukmin adalah muslim. Ibadah kepada Allah tentu tidak berdiri sendiri akan tetapi terkait dengan dimensi kemanusiaan. Itulah sebabnya, Allah mengajari bahwa ibadah yang dilakukan dengan berjamaah akan bernilai lebih tinggi dibandingkan beribadah sendirian. Hal ini berarti ada dimensi kemanusiaan di dalam beribadah kepada Allah SWT. Dua hal yaitu peribadahan kepada Allah dan kemanusiaan akan berdampak jika kemudian berkaitan dengan kebaikan. Tiga aspek ini bekerja secara sistemik, sehingga kala kehilangan salah satunya akan menyebabkan nilai ketaqwaan itu nyaris tiada.

Di dalam sejarah Islam misalnya bisa dijadikan sebagai ibrah tentang keislamannya Ibn Muljam, kaum Khawarij. Seorang ahli ilmu Alqur’an, pengajar Alqur’an, ahli hukum Islam dan seabrek kapasitas yang dimiliki dalam beribadah dan berilmu keislaman. Akan tetapi dimensi peribahannya kepada Allah  tidak terkait secara sistemik dengan dimensi kemanusiaan dan kebaikan. Dia melakukan pembunuhan terhadap Khalifah Sayyidina Ali Karramahu wajhah, menantu Nabi Muhammad dan seseorang yang tidak tertandingi dalam ilmu keislaman dan kewiraiannya. Sayyidina Ali  harus dibunuh karena dianggapnya telah melakukan kesalahan. Dianggapnya tidak menggunakan hukum Allah, la hukma illa lillah.

Kedua,   menghindari kedlaliman terhadap diri sendiri atau kepada orang lain. Pendholiman atas diri sendiri terjadi karena melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam atau apa yang diperintahkan oleh Allah dan disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pendholiman kepada orang lain adalah di kala dia melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Orang menjadi menderita terhadap apa yang dilakukannya. Dimensinya sangat luas seperti melakukan ketidakadilan, pemaksaan atas nama kekuasaan atau atas nama kepentingan, dan melakukan kekerasan atas nama kekuasaan atau kepentingan. Misalnya prilaku raja-raja yang dhalim, seperti Fir’aun yang akhirnya tenggelam di laut Merah pada zaman Nabi Musa. Fir’aun melakukan pendholiman atas Nabi Musa  dan kaumnya yang bermukim di Mesir. Lalu Raja Namrud yang membakar Nabi Ibrahim AS, atau Kaum Ad yang melakukan tindakan melawan kebenaran sebagaimana yang disyiarkan oleh Nabi Hud, atau kelompok Quraisy yang melakukan pendholiman kepada Nabi Muhammad SAW.

Ketiga, orang yang bisa menjaga keseimbangan di dalam beribadah kepada Allah dan berbuat baik bagi kemanusiaan. Yaitu orang yang lebih banyak berpikir kemaslahatan bagi umat. Tidak ada yang diperjuangkannya kecuali agar apa yang dilakukan tersebut memiliki makna dan manfaat bagi orang lain. Ada maslahah ‘ammah dan maslahah khas yang dilakukannya.  Jika menjadi presiden, maka tidak ada di dalam kepemimpinan kecuali merumuskan kebijakan yang menguntungkan dan maslahah bagi rakyatnya. Yang diperjuangkannya adalah membuat rakyatnya menjadi sejahtera dan berbahagia karena pemihakan kebijakan negara kepada masyarakatnya. Jika seorang pemimpin dalam level organisasi, baik organisasi pemerintahan maupun organisasi perusahaan dan organisasi kemasyarakatan, maka tidak ada yang dilakukannya  kecuali untuk membuat kebahagiaan yang ditandai dengan kenyamanan, keamanan dan ketentraman yang dipimpinnya. Semua merasa memiliki kontribusi karena merasakan dilibatkan di dalam proses pencapaian tujuan. Secara internal terjadi kepuasan pelanggan internal atau internal customer satisfaction. Jika seorang dosen maka yang dilakukan tidak hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan, akan tetapi juga membimbing agar terjadi pengembangan ilmu yang signifikan dengan keahliannya. Diajaknya, mahasiswanya untuk belajar menemukan atau to discover something lewat proses pendampingan dan pembimbingan. Misalnya mendorong kemampuan meneliti dan menulis dan sebagainya.

Dengan demikian, menjadi orang bertaqwa kepada Allah tidak hanya dengan melakukan ibadah mahdhoh atau ibadah wajib, meskipun sangat penting, akan tetapi juga membangun kehidupan yang memberikan peluang bagi orang lain untuk menikmati kebaikan, kemaslahatan dan kebahagiaan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

PUASA UNTUK UMAT TERDAHULU

PUASA UNTUK UMAT TERDAHULU

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Puasa merupakan ibadah yang universal dalam konteks semua agama memiliki ritual puasa meskipun tatacara dan jenisnya berbeda-beda. Tentu yang berbeda sekarang. Di masa lalu bisa saja puasa itu sama saja, yaitu menahan lapar dan minum dan relasi seksualitas di siang hari dan diperkenankannya di malam hari. Mengenai jumlah hari  bisa saja berbeda, tetapi hakikat puasa adalah menahan hawa nafsu manusia yang seringkali kebablasan di dalam kehidupan.

Alqur’an menyatakan: “ya ayyuhal ladzina amanu kutiba alaikumus shiyam, kama kutiba alal ladzina min qablikum la’allakum tattaqun”. (Alqur’an, Surat Al Baqarah, 183). Yang artinya: “wahai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu untuk berpuasa sebagaimana umat terdahulu agar kamu bertaqwa”. Ayat ini jelas menyatakan bahwa umat Islam dan umat sebelum turunnya Islam sebagai agama telah diwajibkan oleh Allah untuk melakukan puasa. Artinya dengan pendekatan doktriner harus diyakini bahwa ada puasa yang dilakukan oleh umat sebelum Islam, yaitu umat Nasrani, Hindu, Buddha dan Yahudi dan juga umat agama-agama lainnya.

Jika Alqur’an menyatakan agar umat Islam berpuasa sebagaimana umat sebelumnya ternyata memang benar adanya. Umat Yahudi melakukan puasa sebagaimana  umat Nasrani, Yahudi, Hindu, Buddha dan Yahudi juga melakukan puasa. Ada beberapa penjelasan yang kita dapatkan di media social, bahwa umat Yahudi melakukan puasa dengan pantangan makan, umat Nasrani atau Protestan dan Katolik juga melakukan puasa menjelang paskah yang diakhir pada Jum’at Agung dengan pantangan makan, sedangkan umat Buddha juga melakukan puasa misalnya dengan pantangan makan dalam sehari. Bahkan di kalangan para Bante, maka mereka pantang makan pada jam 12 siang ke atas. Mereka hanya makan sekali saja sebelum jam 12 siang dan jika tidak makan sebelum jam tersebut, maka harus menunggu esok hari untuk makan. Di kalangan orang Hindu juga terdapat puasa dengan melakukan pantangan atas makanan.

Nabi Adam melakukan puasa tiga kali dalam sebulan, akan tetapi juga ada yang menyatakan bahwa puasa Nabi Adam adalah berpuasa sehari semalam dan ada juga yang menyatakan berpuasa pada tanggal 10 Dzulhijjah kala bertemu kembali dengan Hawwa. Namun juga ada yang menyatakan bahwa puasa Nabi Adam adalah selama 40 hari 40 malam setiap tahun.

Nabi Idris berpuasa sepanjang hayat. Setiap hari melakukan puasa dan mengakhiri puasa pada malam hari. Puasanya sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam sekarang. Berpuasa di siang hari dan berbuka di malam hari. Nabi Nuh berpuasa tiga hari setiap bulan, dan kala berada di dalam kapal sewaktu banjir besar melanda dunia, maka Nabi Nuh melakukan puasa setiap hari. Beliau di dalam kapal dengan pengikutnya selama enam bulan. Jadi berarti berpuasa setiap hari selam enam bulan. Nabi Ibrahim berpuasa sewaktu dibakar oleh Raja Namrud selama tujuh hari tujuh malam. Jadi Nabi Ibrahim berpuasa selama tujuh hari tujuh malam tersebut.

Nabi Dawud dikenal melaksanakan puasa yang hingga sekarang masih dikenal dengan puasa Dawud yaitu puasa dengan teknik sehari puasa sehari tidak. Puasa yang dilakukan dengan selang seling.  Artinya bahwa pada era Nabi Dawud sudah dikenal puasa. Sedangkan Nabi Musa berpuasa selama 40 hari dalam setahun. Cara berpuasa Nabi Musa kemudian diikuti oleh umat Yahudi. Kemudian Nabi Isa juga melakukan puasa selama 40 hari selama 24 jam dan pantang memakan daging atau hewan yang bernyawa.

Puasa sesungguhnya merupakan ajaran universal yang dilakukan oleh Nabi dan Rasul dengan berbagai varian. Akan tetapi sebagaimana yang terjadi bahwa kemudian puasa-puasa yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul tersebut  berubah sesuai dengan penafsiran ahli-ahli agama pada masa berikutnya. Perubahan tersebut tentu dapat dikaitkan dengan pemikiran dan pemahaman atas agama yang diyakininya. Sebagai contoh yang sangat realistis, Nabi Ibrahim dikenal sebagai Bapak Monotheisme atau Rasul yang secara tegas menyatakan bahwa Tuhan Maha Esa. Bisa saja dinyatakan sebagai keesaan Tuhan yang bersifat murni. Demikian pula ajaran Nabi Ismail yang menjadi nenek moyang Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi ajaran monotheisme tersebut kemudian menjadi berubah dengan menempatkan patung-patung sebagai sesembahannya. Dari monotheisme menjadi polytheisme. Semua suku di Jazirah Arab memiliki patung-patung Tuhan, tetapi yang terbesar hanya tiga saja, yaitu: Al Lata, Al Manat dan Al Uzza. Dengan demikian terdapat penafsiran yang berubah atas ajaran Nabi Ibrahim yang diteruskan oleh Nabi Ismail. Demikian pula ihwal perubahan puasa dari umat Nabi ke umat Nabi lainnya. Terjadi pemahaman yang bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman.

Puasa di dalam Islam sudah berjalan selama 1400 tahun lebih. Namun demikian, puasa di dalam Islam tidak berubah, baik cara dan substansinya. Puasa dilakukan selama satu bulan, yaitu bulan qamariyah yang usianya 29 atau 30 hari. Adakalanya puasa dilakukan dalam 29 hari dan adakalanya dilakukan selama 30 hari. Ada perbedaan dalam menentukan kapan puasa Ramadlan dimulai dan kapan diakhiri. Ada dua metode yaitu rukyatul hilal dengan prinsip imkanur rukyah dan ada metode hisab dengan prinsip wujudul hilal. Meskipun berbeda dalam penetapan kapan puasa dilakukan, akan tetapi substansi puasa tetaplah sama, yaitu menahan makan dan minum serta tidak melakukan relasi seksual pada  siang hari. Dan yang terpenting bahwa umat Islam yang berpuasa harus menjaga diri agar tidak terdapat perbuatan yang mengurangi dan membatalkan puasa.

Kita patut bersyukur meskipun puasa sudah berjalan semenjak Nabi Muhammad, Sahabat, Tabiin dan Tabiit-tabiin dan hingga sekarang ternyata ibadah puasa tersebut masih orisinal sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Bukankah hal ini menandakan orisinalitas Islam yang melampaui tempat dan zaman.

Wallahu a’lam bi al shawab.