Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA YANG MENCERAHKAN HATI: RENUNGAN RAMADLAN (2)

PUASA YANG MENCERAHKAN HATI: RENUNGAN RAMADLAN (2)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebenarnya saya ceramah Ramadlan pada malam ini. Akan tetapi karena kemarin malam itu adalah hari pertama untuk shalat tarawih, maka saya yang harus memberikan ceramah Ramadlan. Ini merupakan bonus bagi saya. Yang  jelas ini merupakan lahan pahala bagi saya karena saya bisa mentransfer sedikit pengetahuan saya tentang ibadah puasa yang kita kerjakan tahun ini. Takmir masjid menjadwalkan ceramah puasa akan dimulai pada kamis, 23 Maret 2023, namun karena permulaan puasa Ramadlan dimulai hari Kamis, maka akhirnya saya yang ketiban sampur untuk ceramah awal Ramadlan.

Ada tiga hal yang saya sampaikan di dalam acara ceramah Ramadlan 1444 H pada malam kedua, yaitu: Pertama, mengedepankan rasa syukur kepada Allah. Kita semua tentu harus tetap bersyukur kepada Allah SWT yang memberikan kekuatan fisik kepada kita semua untuk melakukan puasa sehari tadi. Tentu saja badan sedikit lemas, karena asupan gizi yang biasanya didapatkan pada pagi dan siang hari, tetapi karena puasa, maka asupan gizi hanya didapatkan pagi hari sebelum imsak dan subuh dan baru memperoleh asupan gizi lagi pada saat ifthar atau berbuka puasa. Bagi orang awam yang tidak terbiasa puasa, maka bisa jadi merupakan hal berat tetapi bagi para perindu puasa mungkin justru saat yang tepat untuk melakukan ibadah sebanyak-banyaknya.

Kita ini rasanya masih orang awam dalam berpuasa, belum menjadi orang khusus dalam pengamalan berpuasa. Ada orang yang hanya puasa Ramadlan saja dengan mengabaikan puasa-puasa sunnah lainnya, akan tetapi juga ada yang berpuasa Ramadlan dan juga puasa-puasa sunnah lainnya. Namun yang jelas bahwa kita sudah termasuk orang yang mengindahkan ajaran agama karena kita sudah melaksanakan puasa Ramadlan sebagai puasa wajib bagi umat Islam.

Kedua, tujuan puasa adalah Allah ingin menjadikan hambanya sebagai orang yang taqwa. Di dalam tradisi kaum arif billah, taqwa itu ada kaitannya dengan taqarrub ilallah. Artinya ada perasaan  untuk  menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya, dan semua itu dilakukan agar manusia dapat berdekatan dengan Allah SWT. Jadi sesungguhnya Allah memberikan peluang kepada hambanya untuk mendekat kepada-Nya.

Tentu saja ada yang bisa mendapatkan peluang dan memanfaatkannya dan ada yang berpeluang tetapi tidak mampu memanfaatkannya. Ada orang yang dengan mudah bisa mengakses kedekatan dengan Allah dan ada yang sangat sulit. Tetapi tentu semuanya harus dengan usaha yang sungguh-sungguh. Man jadda wa jadda. Siapa yang berusaha sungguh-sungguh untuk menggapai kedekatan dengan Allah, maka peluang untuk mendapatkannya tentu jauh lebih besar.

Di sini tidak ada hak-hak istimewa dalam berdekatan dengan Allah. Tuhan membuka dengan lebar peluang untuk mendapatkannya. Status dekat atau jauh dengan Allah bukan karena factor keturunan akan tetapi karena factor usaha. Memang factor genealogis itu ada pengaruhnya, akan tetapi bukan berarti bahwa genealogis itu segala-galanya. Semua tergantung dengan amal perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Itulah sebabnya para waliyullah itu adalah orang yang hebat di dalam tirakat atau ikhtiar agar memperoleh pencerahan dari Allah SWT. Di dalam tradisi Jawa disebut gentur tapane atau kuat mujahadah kepada Allah SWT. Gemar puasa dan ibadah lainnya agar bisa sampai kepada Allah SWT.

Ketiga, puasa adalah sarana pencerahan jiwa. Puasa itu merupakan upaya untuk mencerahkan jiwa manusia agar lebih terang pandangannya terhadap Allah swt. Melalui pelatihan untuk sabar, syukur, tawakkal dan mengekang diri dari hawa nafsu, maka  hal tersebut sesungguhnya merupakan cara agar kita berada di dalam cahaya Allah SWT.

Manusia memiliki cahaya Allah karena manusia merupakan tiupan ruh dari Allah SWT. Artinya, manusia memiliki peluang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hanya saja untuk mendekat tentu harus ada gelombang yang sama. Ibaratnya, jika Allah itu berada di dalam gelombang kesucian, maka yang mendekati harus berada di dalam gelombang kesucian. Suci badan dapat dibersihkan dengan berwudlu, tetapi yang lebih penting adalah suci pikiran, perasaan dan hati.

Suci pikiran artinya di dalam pikiran kita tidak terdapat benih-benih pikiran jahat, pikiran ingin melakukan kejelekan,  tidak ingin mencelakakan orang, tidak ada pikiran untuk menghina orang, tidak adan pikiran untuk mendeskreditkan orang dan tidak ada pikiran untuk menghancurkan kemanusiaan. Pikiran  kotor  yang bersumber dari nafsu amarah dan nafsu lawwamah. Sebaliknya pikiran berbuat baik  berbasis pada nafsu muthmainnah.

Perasan yang suci adalah perasaan yang berada di dalam keinginan untuk berempati atas orang lain dan bukan perasaan untuk membenci orang lain. Yang paling susah adalah bagaimana mengubah rasa benci menjadi cinta, mengubah rasa antipati menjadi simpati, dan menempatkan diri dalam nuansa empati. Ada orang yang lama menyimpan rasa benci dan ada orang yang cepat membuang rasa benci. Allah tidak bisa didekati jika perasaan kita berada di dalam kubangan kebencian atas yang lain.

Hati yang suci adalah hati yang didasari oleh bersemayamnya nafsu muthmainnah atau hati yang tenang, yang penuh  rasa syukur, rasa tawakkal, rasa pengabdian kepada Allah dan keinginan untuk terus berada di  jalan Allah. Hadits Nabi Muhammad SAW menyatakan: “inna fil jasadi mudghatan, faidza shalaha shalahal jasadu kulluhu, wa idza fasadat fasadal jasadu kulluhu, ala wa hiya qalbu”. Hati adalah segumpal darah yang akan menyelamatkan manusia dan juga mencelakakan manusia. Jika hatinya baik maka baiklah seluruh kehidupannya dan jika jelek maka jeleklah seluruh kehidupannya.

Puasa merupakan sarana untuk memilih, apakah kita akan berusaha dengan puasa untuk memperoleh pencerahan atau sebaliknya akan biasa-biasa saja seperti tidak ada apa-apa. Semuanya tergantung kita semua.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

BERIMANLAH SEPERTI  SAYYIDINA ABU BAKAR: RENUNGAN RAMADLAN (1)

BERIMANLAH SEPERTI  SAYYIDINA ABU BAKAR: RENUNGAN RAMADLAN (1)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebagaimana biasa terjadi di Masjid Al Ihsan, maka malam tarawih pertama selalu saya yang diminta untuk memberikan kuliah umum selama 10 menit tentang puasa dan hal ihwal yang terkait dengan puasa. Pada malam pertama tarawih, Rabo 22 Maret 2023 atau malam kamis, saya memberikan ceramah tentang puasa dan kali ini temanya terkait dengan “janganlah kita mempertanyakan hal-hal yang mubadzir. Berimanlah sebagaimana Sayyidina Abu Bakar, yang imannya kepada Allah dan kepercayaannya kepada Nabi Muhammad SAW itu tidak pernah berada di dalam keraguan”.

Ada tiga hal yang saya sampaikan di dalam ceramah Ramadlan, 1444 Hijriyah, yaitu: pertama, marilah kita bersyukur kepada Allah karena kita diberi usia panjang dan bisa bertemu kembali dengan puasa tahun ini. Doa kita yang selalu dibacakan oleh Imam Masjid Al Ihsan dikabulkan oleh Allah SWT. Doa yang berbunyi: “Allahuma bariklana fi rajaba wa sya’ban wa ballighna ramadlan” yang artinya: “Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadlan”. Semoga kita bahkan diberi usia panjang sehingga bisa bertemu kembali dengan puasa yang akan datang. Doa kita adalah Allahumma thawwil umurana, wa shahhih  ajsadana, wa nawwir qulubana wa tsabbit imanana”, yang artinya: “Ya Allah panjangkan usia kami, berikan kami kesehatan, cahayailah kehidupan kami dengan kebaikan dan tetapkanlah iman kami”. Usia panjang yang bermakna adalah usia yang panjang tetapi sehat, berkelakuan baik, dan terus berada di dalam keimanan kepada Allah SWT. Jika tidak seperti itu, maka usia panjang itu mubadzir.

Kedua,  malam hari ini kita memulai beribadah dalam serangkaian ibadah pada bulan Ramadlan. Kita melaksanakan tarawih berjamaah. Kita besuk akan melaksanakan puasa sebagai kewajiban bagi  umat Islam. Firman Allah: “ya ayyuhal ladzina amanu, kutiba alaikumush shiayamu kama kutiba alal ladzina min qablikum, la’allakum tattaqun”. Yang artinya: “wahai orang-orang beriman, diwajibkan berpuasa bagi  kamu sekalian sebagaimana telah diwajibkan bagi kaum sebelum kamu, semoga kamu semua menjadi orang yang bertaqwa”. Allah itu jika memerintahkan kepada umatnya, terkadang menggunakan ungkapan “ya ayyuhan nas” dan juga menggunakan kata “ya ayyuhal ladzina amanu”. Ada perintah umum kepada semua manusia, dan ada perintah khusus kepada umat Islam atau orang yang beriman. Untuk puasa ini, maka Allah menjadikan umat Islam sebagai khithabnya atau sasarannya. Jadi yang diwajibkan berpuasa adalah umat Islam saja.

Jadi yang harus melakukan puasa adalah orang yang beriman kepada Allah. Amantu billah. Saya beriman kepada Allah SWT. Iman yang utuh. Iman yang sepenuhnya. Iman yang tidak ragu-ragu. Iman yang sepenuh pikiran, perasaan dan  hati. Tashdiqu lil lisan wa tashdiqu bil qalbi. Lisannya iman kepada Allah dan hatinya juga beriman kepada Allah. Bahkan juga beriman kepada Kitab Allah atau al Qur’an al karim, percaya kepada rasul Allah, Muhammad SAW sebagai penutup para Nabi, percaya kepada takdir dan hari qiyamat.

Kita diminta untuk beriman kepada Allah dan rasulnya itu seperti imannya Sayyidina Abu Bakar. Kala Rasulullah menyatakan telah diperjalankan oleh Allah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan lanjut mi’raj ke Sidratul Muntaha ke Arasy dan bertemu dengan Allah SWT untuk menerima perintah melakukan shalat, maka Sayyidina Abu Bakar tidak menyatakan ini atau itu, akan tetapi langsung percaya, bahwa yang dinyatakan Nabi Muhammad SAW itu benar adanya. Tidak bertanya: “kok iso”. Beliau tidak bertanya bagaimana Nabi diperjalankan dan diangkat ke langit untuk mi’raj tetapi langsung menyatakan: “amantu bika ya Rasulallah”. Iman yang seperti ini yang belum kita miliki seutuhnya. Diminta puasa saja masih bertanya, apa manfaat puasa, bikin sehat atau sakit, dapat pahala atau tidak. Subhanallah indahnya andaikan kita  bisa beriman sebagaimana Sayyidina Abu Bakar. Itulah sebabnya Abu Bakar ditambah Namanya menjadi Abu Bakar Ash Shiddiq. Orang yang jujur dengan lesan dan hatinya.

Kita sekarang ini beriman kepada Allah masih bertanya-tanya: “Gusti Allah sekarang sedang apa, bekerja atau nganggur, Allah itu di arasy, seperti apa arasynya, Gusti Allah itu turun ke bumi dalam sepertiga malam, turun fisiknya atau kekuasaannya. Ini pertanyaan mubadzir, apalagi itu disampaikan di media social yang ramainya tidak ketulungan. Masyaallah. Marilah kita contoh Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu.

Ketiga, ibaratnya malam ini kita  ketemu dengan kekasih dan menikah. Maka malam ini adalah malam pertama. Malam yang indah. Malam yang menyenangkan. Malam yang penuh dengan pahala dan kebaikan. Itulah sebabnya malam ini jamaah masjid pada berdatangan ke masjid, mushalla, langgar, surau dan tempat ibadah bagi umat Islam lainnya. Kita semua berharap semoga pada hari-hari berikutnya, jamaahnya tidak semakin maju, dari 10 shaf menjadi Sembilan shaf dan terus menurun akhirnya di ujung puasa hanya tinggal beberapa orang. Mari niatkan untuk menambahi ibadah kita yang sesuai dengan amalan di dalam Islam, sehingga kita akan menjadi orang yang taqwa kepada Allah SWT.

Wallahu’ alm bi al shawab.

JANGAN MERASA MEMILIKI HARTA DI DUNIA

JANGAN MERASA MEMILIKI HARTA DI DUNIA

Prof. Dr. Nur Syam, MSI

Salah satu yang membuat saya bersyukur adalah pengajian rutin hari Selasa di Masjid Al Ihsan itu terus berlangsung, meskipun pesertanya terkadang tidak banyak. Sebagai aktivitas rutin berdampingan dengan tradisi tahsinan dan bacaan Qur’an, maka pengajian Selasanan telah menjadi bagian dari upaya untuk memakmurkan masjid. Semoga saja dengan upaya untuk menghidupkan masjid ini akan menjadi catatan khusus yang kelak akan menjadi saksi bahwa kita telah melakukan kebaikan atau amal shaleh.

Pada Selasa, 15/03/2023, yang menjadi pemantik diskusi adalah Ustadz Dr.  Sahid yang juga menjadi jamaah masjid Al Ihsan di tengah kesibukannya untuk mengisi acara pelatihan spiritualitas dan etos kerja dan juga menjadi mentor di Masjid Al Akbar. Kali itu, Pak Sahid mengungkapkan satu tema dengan judul “jangan merasa memiliki harta di dunia”.

Menurut Pak Sahid bahwa manusia memang memiliki kebutuhan biologis yaitu keinginan untuk memenuhi kebutuhan biologis, misalnya makan, minum, dan kebutuhan untuk bersuami atau beristri dan memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Bahkan kebutuhan sosial juga memerlukan sarana harta untuk memenuhinya. Itulah sebabnya banyak manusia yang keinginannya untuk memiliki harta yang cukup bahkan berlebih itu sangat luar biasa.

Yang menjadi problem adalah di kala kita kemudian merasa memiliki harta yang kita dapatkan. Kita merasa bahwa harta itu adalah milik kita. Kita yang mengusahakan dan kita yang memilikinya. Seseorang merasa bahwa harta yang didapatkannya adalah berasal dari usahanya dan akhirnya harta itu menjadi miliknya. Tidak hanya harta yang merasa menjadi miliknya, akan tetapi juga kekuasaan. Itulah sebabnya seseorang menjadi tidak mau berhenti dari jabatannya, dan tidak mau kehilangan hartanya. Ini semua disebabkan karena semua itu dianggap miliknya dan bukan milik yang lain.

Jika merasa memiliki tersebut sangat kuat dan tidak ada batasnya, maka disebutkan di dalam ajaran Islam sebagai “hubbud dunya”. Yang artinya “mencintai dunia”. Orang yang di dalam prinsip hidupnya mencintai terhadap apa saja yang dimilikinya. Semua miliknya dan harus dipertahankannya. Padahal sesungguhnya yang memiliki semua dalah Allah SWT. Kita bukan siapa-siapa. Sesungguhnya kita bukan memilikinya. Kita hanya dipinjami oleh Allah SWT untuk didayagunakan di dalam kehidupan.

Maka, untuk menghilangkan nafsu memiliki harta dan tahta adalah dengan mengembalikan semua hal tersebut sebagai miliki Allah SWT. Semua adalah miliki Allah SWT. Kita pasrahkan semuanya kepada  Allah SWT. Kita harus sadar bahwa kitan ini tidak memiliki apa-apa di dalam kehidupan. Semuanya bisa diambil oleh Allah sebagai pemiliki segalanya. Bahkan usia kita bisa juga diberhentikan karena bukan kita yang memiliki diri kita sendiri.

Saya kemudian memberikan komentar agak panjang tentang tema sebagaimana disampaikan oleh Pak Sahid. Saya sampaikan tiga hal terkait dengan hal ini. Pertama, sesuai dengan prinsip di dalam tradisi Jawa bahwa hidup itu hanya mampir ngombe. Hidup itu diibaratkan sebagai seseorang yang di dalam perjalanan, lalu  berhenti sejenak untuk minum air dan setelah itu melanjutkan perjalanan. Hal itu terkait dengan perjalanan ruh manusia. Yaitu dari alam ruh, ke alam dunia, lalu ke alam kubur kemudian yang terakhir di dalam akherat. Jadi ruh mengalami perjalanan panjang. Di alam ruh itu  ribuan tahun, di dalam kubur juga ribuan tahun dan di akherat adalah alam kekal bagi ciptaan Allah. Jadi jika hanya rata-rata usia manusia itu 70 tahun, maka diibaratkan sebagai mampir sejenak.

Kedua, Allah itu dzat yang sangat mencintai manusia dan juga harus dicintai oleh manusia. Maka sesungguhnya hakikat kecintaan itu hanya kepada Allah semata saja. Kecintaan kepada yang lain itu hanya asesoris saja. Hal itu karena kesementaraan cinta kita kepada selain Allah. Ada sebuah ibrah atau gambaran tentang keharusan cinta kepada Allah SWT itu melebihi atas kecintaan kepada selain Allah. Nabi Ibrahim AS dicoba oleh Allah SWT karena kecintaannya kepada anaknya, Nabi Ismail AS. Anak yang sangat dicintainya itu harus dikorbankan. Nabi Ibrahim AS bermimpi yang diyakininya mimpi itu adalah perintah Allah. Wahyu Allah.  Di dalam teks Al Qur’an dinyatakan: “Ya bunayya, inni ara  fil manami qad adzbahuka, fandzur madza tara, qala ya abatif’al  ma tu’maru satajiduni insyaallah minash shabirin. (As Shaffat, 102). Yang artinya: “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu. Dia menjawab “wahai ayahku, lakukanlah  apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, isyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar”. Di dalam cerita Alqur’an kemudian Nabi Ismail digantikan dengan seekor domba besar dan kemudian dijadikan sebagai tradisi hari raya Idul Adha atau hari raya korban.

Ketiga, peristiwa Nabi Sulaiman AS yang bekerja sehingga melupakan ritual yang harus dilakukannya. Sebagai ganti atas kealpaannya itu, maka Nabi Sulaiman mengobankan 700 onta yang dimilikinya. Bisa dibayangkan sekali saja melupakan ritual, maka sebanyak itu korban yang harus dilakukannya. Mari kita bayangkan apa yang kita lakukan tatkala kita melalaikan perintah Tuhan. Betapa jauhnya. Begitulah pengorbanan atas kecintaan dunia itu. Semua ini menggambarkan kepada kita bahwa kita tidak boleh merasa bahwa dunia materi yang kita miliki itu adalah milik kita.

Hakikat yang memiliki adalah Allah SWT. Kala kita lalai melakukan ritual karena mencintai dunia dan kala kita mencintai manusia melebihi kecintaan kepada Allah begitu besar pengorbanannya, maka hal ini harus menjadi perhatian kita semua.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PADANG  MAHSYAR: HARI PENENTUAN KE SURGA ATAU NERAKA

PADANG  MAHSYAR: HARI PENENTUAN KE SURGA ATAU NERAKA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Jika saya pulang ke Tuban, maka salah satu hal yang harus saya lakukan adalah memberikan pengajian pendek terkait dengan Islam dan segala hal yang terkait dengannya. Makanya saya memberikan pengajian kepada jamaah Mushalla Raudhatul Jannah, sebuah Mushallah di depan rumah saya. Kali ini saya memberikan pengajian ba’da shubuh pada jamaah lelaki dan perempuan di mushalla tersebut. Pengajian ini dilakukan pada Hari Ahad, 19 Maret 2023.

Tidak ada tema khusus. Terserah saya apa temanya. Pagi itu saya memberikan ceramah agama dengan tema tentang apa saja yang menyelamatkan kita dari panasnya Padang Mahsyar, yang dikenal sebagai salah satu bagian dari keyakinan umat Islam atas hal-hal yang gaib. Wajib dipercayai tetapi belum bisa dilihat secara empiris apa barangnya. Sebagai umat Islam, maka kita diwajibkan percaya kepada hal-hal yang gaib sebagaimana di dalam surat Al Baqarah, ayat 3: “alladzina yu’minuna bil ghaibi, wa yuqimunash shalata wa mimma razaqnahum yunfiqun”. Yang artinya kurang lebih: “orang-orang yang memercayai atas hal-hal gaib, dan mendirikan shalat serta menginfaqkan sebagian hartanya yang didapatkannya”.

Di dalam Islam, banyak hal yang gaib yang harus dipercayai, misalnya keberadaan Allah SWT, Malaikat, Surga dan Neraka, Padang Mahsyar dan sebagainya. Pada saat di Padang Mahsyar dan juga jembatan Shirathal Mustaqim, maka sesungguhnya manusia tidak memiliki kekuatan dan juga penolong. Di dalam surat Ath Thariq, ayat 10 dinyatakan: “fa ma lahu min quwwatiu wa la nashir”, yang artinya: “maka manusia tidak lagi mempunyai suatu kekuatan dan tidak pula ada penolong”. Jika secara tekstual, maka ada pada suatu saat di kala semua rahasia dibuka, yaum al mahsyar, maka manusia tidak lagi memiliki  kekuatan dan juga tidak memiliki penolong. Saat yang begitu menakutkan.

Tetapi bagi umat Islam, maka ada empat hal yang dapat menjadi penolongnya atas seizin Allah SWT. Yang bisa menjadi penolong tersebut adalah: pertama, kitab suci Al qur’an yang dibaca oleh umat Islam. Jika kita terus membaca Alqur’an, maka Alqur’an akan menjadi penolong hamba Allah. Siapa yang menjadi sahabatnya Alqur’an, maka dia akan memperoleh syafaat Alqur’an. Atas izin Allah SWT, maka Al Qur’an dapat menjadi penolong manusia yang membacanya.

Kedua, Nabi Muhammad SAW. Berbahagialah kita karena menjadi umat Nabi Muhammad SAW. Dengan menjadi umat Nabi Muhammad SAW, maka peluang kita untuk memperoleh syafaatnya sangat besar. Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya Nabi dan Rasul yang diberikan keistimewaan Allah SWT untuk menjadi pensyafaat bagi hambanya. Caranya adalah dengan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. “Allahuma shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali sayyidina Muhammad”. Allah dan para malaikat juga melakukan bacaan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, jika kita membaca shalawat sebanyak-banyaknya maka peluang untuk memperoleh syafaat Nabi Muhammad  SAW juga sangat besar.

Ketiga, orang yang membangun masjid yaitu orang yang mendirikan masjid dan orang yang memakmurkan masjid. Mendirikan masjid tidak hanya dimaknai sebagai orang yang membangun fisik masjid atau mushalla atau langgar atau surau,  akan tetapi orang yang meramaikan masjid. Jadi kalau kita itu menjalankan shalat jamaah di masjid, menjadi jamaah ngaji di masjid atau menjadi jamaah kajian di masjid dan memberikan donasi kepada masjid, maka kita  termasuk orang yang mendirikan masjid. Jadi kita harus bisa membangun masjid dan meramaikan masjid. Mereka yang seperti itu yang termasuk “bana masjidan” yang akan diganjar oleh Allah dengan surga dalam bentuk dibangunkan rumah di surga.

Alangkah bahagianya kala kita bisa membangun masjid dengan jalan mendirikan fisik masjid dan juga menjadi orang yang meramaikan masjid dengan kegiatan-kegiatan keagamaan dan juga kegiatan ilmu lainnya.

Keempat, amalan shalih yang dilakukan di dalam kehidupan selama di dunia. Kita berbuat yang baik kepada Allah, dan kita juga berbuat baik kepada sesama manusia dan bahkan berbuat baik kepada alam semesta. Berbuat baik kepada Allah adalah dengan menjalankan amalan-amalan yang diwajibkan dan disunnahkan oleh Allah dan menjauhi larangannya Allah SWT. Kemudian berbuat baik kepada sesama manusia yaitu memiliki sifat-sifat yang baik di dalam pergaulan dan relasi social kita semua.

Kita ini telah menjadi orang yang dewasa bahkan juga ada yang tua, maka doa kita kepada Allah adalah agar kita dipanjangkan usia, diberi kesehatan yang prima, diberikan cahaya kebaikan oleh Allah dan tetap beriman kepada-Nya. Jika kita bisa memperoleh gambaran hidup seperti ini, maka inilah yang kemudian disebut sebagai kabahagiaan di dunia dan semoga juga memperoleh kebahagiaan di akherat. Amin.

Wallahu a’lam bi al shawab.

OJO MUNG LAMIS: PRINSIP MENGEDEPANKAN  PERKATAAN YANG BENAR

OJO MUNG LAMIS: PRINSIP MENGEDEPANKAN  PERKATAAN YANG BENAR

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tidak ada manusia yang tidak memiliki relasi dengan manusia lain. Manusia memang hidup dalam dunia sosial yang terdiri dari banyak orang dalam berbagai penggolongan sosialnya. Ada penggolongan sosial berbasis suku, misalnya etnis Jawa, Madura, Batak, Sunda dan sebagainya. Ada juga penggolongan sosial berbasis pada politik, seperti keterlibatan seseorang dalam politik, misalnya orang PKB, orang PPP, orang Golkar, orang Demokrat, orang PDIP dan sebagainya. Ada juga penggolongan agama, misalnya orang Islam, orang Kristen, orang Katolik, orang Hindu, orang Buddha, orang Konghucu, orang kebatinan dan sebagainya. Dan ada juga penggolongan berbasis ekonomi, misalnya  petani, pengusaha, pedagang, wong gede, wong cilik dan sebagainya.

Di dalam pergaulan tersebut, biasanya seseorang akan menggunakan pengetahuan budayanya untuk menjadi pattern for behaviour di dalam relasi sosialnya. Orang Jawa akan menggunakan pengetahuan budayanya sebagai orang Jawa untuk berkomunikasi dengan lainnya. Demikian pula orang Madura, orang Betawi, orang Banjar dan sebagainya. Sementara itu lawan relasinya juga akan menggunakan pengetahuan budayanya. Lalu apakah tidak terjadi benturan di antara pengetahuan budaya pada masing-masing. Jawabannya tidak sebab di dalam kebudayaan tersebut ada pola umum yang bisa dipahami maknanya oleh orang lain yang berbeda budaya. Pedomannya adalah pola umum kebudayaan, yang hal tersebut dimiliki oleh semua pelaku kebudayaan.

Bangsa Indonesia tentu beruntung karena memiliki common platform yang berupa Bahasa Indonesia, sehingga antara satu suku dengan lainnya bisa berkomunikasi. Keuntungan menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di dalam pergaulan antar suku tentu merupakan hal yang perlu diapresiasi. Andaikan yang dijadikan bahasa resmi di dalam pergaulan itu bahasa Jawa karena mayoritas, tentu suku lain akan merasa menjadi warga negara kelas dua. Sebagai contoh di Afghanistan  ada sebanyak tujuh suku bangsa, akan tetapi yang dijadikan bahasa resmi negara adalah Bahasa Fasthun, sehingga suku bangsa lainnya merasa tidak memilikinya.

Di dalam kehidupan sosial, maka manusia menggunakan bahasa sebagai cara untuk menyampaikan gagasan, ide atau pikiran. Komunikasi tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan lisan atau tulisan. Jika tulisan menghasilkan feedback, sedangkan di dalam pernyataan lisan akan menghasilkan respon. Feedback itu terkait dengan kesan tidak langsung yang diakibatkan oleh bacaan atas tulisan, sedangkan respon adalah kesan langsung yang diterima oleh lawan pembicaraan. Makanya, ada orang yang langsung menanggapi atas pembicaraan orang dan ada yang tidak langsung karena membaca dari tulisan. Dalam konteks tersebut, maka ada orang yang berbicara dengan seganap perasaan dan hatinya dan ada yang berbicara hanya sekedar basa-basi.

Di dalam berkomunikasi maka sesungguhnya terdapat suatu etika agar orang bicara dengan kejujuran atau antara apa yang diucapkan di bibir dengan hati nurani harus memiliki kesamaan. Di tengah kenyataan sosial yang semakin kompleks, maka ada banyak orang yang berkata dengan kepura-puraan. Hanya di bibir saja. Apa yang dikatakan hanya untuk pemanis relasi sosial. Orang berkata tidak dengan hati nuraninya. Di dalam Bahasa Jawa dikenal konsep inggih-inggih boten kepanggih atau “iya-iya tetapi tidak menjadi kenyataan”. Atau di dalam Bahasa Inggris disebut  lip sing atau nyanyian bibir. Orang yang semacam ini di dalam filsafat Jawa diajari dengan konsep ojo mung lamis. Yang artinya kurang lebih adalah jangan hanya di bibir, jangan hanya berbicara yang baik-baik saja atau berbicara yang manis-manis saja.

Seirama dengan perubahan sosial yang cepat, maka banyak sikap dan tindakan yang ambivalen atau sikap ganda. Hal ini tentu terkait dengan semakin kompleksnya relasi sosial, sehingga menyebabkan orang bisa bermuka dua atau bermuka banyak. Bisa dinyatakan di dalam Bahasa pewayangan sebagai Dasamuka atau orang yang memiliki sepuluh wajah. Jadi,  kala bertemu dengan Si Fulan akan bercerita begini dan kepada Si Dadap akan bercerita begitu dan kepada Si Waru bercerita lain lagi.

Ojo mung lamis merupakan filsafat hidup orang Jawa agar di dalam relasi sosial kita menyatakan atau bertindak apa adanya. Jangan dibuat-buat, jangan direkayasa. Berkata apa adanya. Jangan di depan orang menyatakan ini, tetapi di belakang menyatakan itu. Hidup agar berterus terang, apa adanya. Kalau suka katakan suka,  kalau tidak suka katakan tidak suka. Jangan hanya karena ingin menyenangkan orang tertentu kita harus menyatakan yang tidak sesuai dengan hati.    Nabi Muhammad SAW menyatakan: “quill l haqqa wa law kana murran”, yang artinya: “berkatalah yang benar walaupun hal itu pahit”. Ungkapan ini menggambarkan agar kita tetap menyatakan apa adanya meskipun itu pahit untuk dinyatakan dan pahit untuk didengarkan.

Bahkan yang lebih berat lagi adalah konsep munafik atau orang yang berpura-pura percaya kepada kebaikan, moral dan agama padahal sebenarnya tidak. Dia menyatakan iman kepada Allah, dia menyatakan amalan ibadah, dia menyatakan mentaati moralitas agama padahal di dalam kenyatannya sama sekali tidak. Jadi ada perbedaan antara apa yang diucapkan dan apa yang menjadi kenyataannya. Di depan orang menyatakan mempercayai kebaikan tetapi di dalam realitas kehidupannya ternyata tidak.

Di dalam kehidupan ini kita tidak boleh lamis, ojo mung lamis, tetapi kita harus menyatakan yang sesungguhnya. Suatu kesamaan antara apa yang dinyatakan dan apa yang dilakukan. Janganlah menjadi orang yang hanya mengedepankan kebaikan di muka sedangkan kelakuannya berbeda. Yang lamis  saja diharapkan tidak  dilakukan, apa lagi kalau kita sampai mendustakan kebenaran yang sesungguhnya sudah diketahui.

Wallahu a’lam bi al shawab.