MENCINTAI LINGKUNGAN: BERAGAMA UNTUK MASA DEPAN
MENCINTAI LINGKUNGAN: BERAGAMA UNTUK MASA DEPAN
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Saya telah menjelaskan dua Panca Cinta dari lima Panca Cinta yang sekarang sedang menjadi bahan pembicaraan khususnya di kalangan dunia Pendidikan Tinggi Islam dan Pendidikan Tinggi Agama Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha termasuk juga agama Konghucu. Kemudian juga menjadi pembicaraan di institusi Pendidikan Dasar dan Menengah, mulai Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasan Aliyah.
Kali ini, Selasa, 28/10/2025, di dalam Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya, saya menyampaikan tema tentang “Cinta Lingkungan”. Ada tiga hal yang saya sampaikan, yaitu:
Pertama, bahwa kelestarian lingkungan itu sangat tergantung kepada kehadiran manusia. Artinya, bahwa manusia memiliki peran yang sangat penting di dalam melestarikan lingkungan. Jika manusia memiliki kesadaran bahwa alam lingkungan itu tidak hanya milik kita sekarang ini, akan tetapi milik generasi yang akan datang, maka dipastikan bahwa manusia akan menjaga kelestarian lingkungan.
Alam ini bukan warisan kita kepada generasi yang akan datang akan tetapi pinjaman para generasi yang akan datang kepada kita. Sebagai pinjaman maka kita harus mengembalikannya dalam keadaan utuh dan tidak berkurang sedikitpun. Makna lain kita tidak boleh merusak alam lingkungan sebab yang akan menderita bukan kita sekarang akan tetapi generasi penerus kehidupan manusia.
Jika sekarang saja dengan deforestasi atau penggudulan hutan untuk kepentingan manusia, misalnya untuk perumahan, tempat rekreasi, villa, hotel dan kepentingan lainnya, maka akan terjadi banjir. Banjir Jakarta yang menenggelamkan wilayah Bekasi dan sekitarnya, tentu ada kaitannya dengan perusakan hutan di Kawasan Bogor atas, yang digunakan untuk pemenuhan hasrat serakah kehidupan manusia. Orang-orang kaya memilih wilayah Bogor karena udaranya yang segar lalu mereka membuat berbagai infrastruktur kehidupan yang tidak disadarinya akan menyebabkan banjir yang menenggelamkan wilayah di bawahnya, khususnya Jakarta, yang memang termasuk wilayah rendah.
Allah sesungguhnya sudah mengingatkan di banyak surat di dalam Alqur’an. Salah satu ayat di dalam Al Qur’an menyatakan di dalam Surat Ar Rum, 41: “Dhaharal fasadu fil barri wal bahri bima kasabat aidin nas”, yang artinya: “telah terjadi kerusakan di dataran dan lautan karena perbuatan manusia”. Ayat ini memberikan peringatan kepada manusia bahwa janganlah kamu semua merusak alam, sebab kerusakan alam akan berakibat terhadap dirimu sendiri.
Dewasa ini manusia semakin serakah. Mereka melakukan segalanya untuk pemenuhan hasrat kehidupannya. Mereka rusak hutan untuk bisnis. Pengelolaan hutan hakikatnya adalah untuk memenuhi hasrat ekonominya yang tak tertahankan. Moral hazard dan etika permissiveness yang dijadikan sebagai pedoman. Perusakan itu tidak hanya pada hutan yang seharusnya bisa direforestasi. Tebang satu tanam satu. Tebang 10 tanam sepuluh. Jika ratusan hektar hutan ditebang, maka juga seharusnya terdapat ratusan hektar yang dihijaukan. Tetapi mereka para konglomerat hanya menebang dan tidak melakukan penghutanan kembali. Yang menyedihkan adalah pada perusakan tambang sebagai sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui. Bahkan mereka lakukan korupsi gila-gilaan atas hal ini. Kasus Harvey Moeis, yang merusak tambang dan korupsi ratusan trilyun adalah contoh perusakan alam dan hutan secara sistemik atas nama pembangunan.
Kedua, alam makro kosmos dan mikro kosmos, tata surya atau jagad raya dan seluruh alam ini diciptakan Allah tidak dengan sia-sia. Semua mengandung arti dan makna. Semua fungsional bagi manusia. Kita diminta oleh Allah untuk mempelajari alam dan seluruh isinya. Berpikirlah tentang ciptaan Allah. “tafakkaru fi khalqillah”. Alam adalah tempat belajar bagi kita semua.
Alam itu berisi tentang segala sesuatu yang terkait dengan sebab dan akibat. Jika kita merusak alam, maka alam akan membawa bencana kepada kita. Ada hukum sebab akibat. “kullu sa’iin Sababa”, Alqur’an, Surat Al Kahfi, 84. Segala yang terjadi itu ada sebabnya. Hukum sebab akan diikuti dengan hukum akibat. Coba kita pikirkan ciptaan Tuhan yang berupa nyamuk. Kecil tetapi bisa menyebabkan sakit atau bahkan kematian.
Manusia berpikir bagaimana menemukan cara untuk menghindari nyamuk maka secara ekonomi kemudian dibuatlah pabrik-pabrik pengusir nyamuk atau pembunuh nyamuk biar nyamuk tidak semakin banyak populasinya dan mengancam kehidupan manusia. Ada sekian banyak merk di toko atau di mall tentang penyemprot nyamuk. Bahkan juga antibiotic untuk menihilkan virus yang disebabkan oleh nyamuk. Ahli obat atau apoteker lalu menemukan obat dan kemudian diproduksi oleh para pengusaha, dan kita yang menjadi penggunanya. Ada kerja sama dan kolaborasi yang menguntungkan manusia.
Allah berfirman di dalam Surat Ali Imran, 191, “… wa yatakkaruuna fi khalqis samawati wal ardl. Rabbana ma khalaqta hadza batila, subhanaka wa qina adzaban nar”, yang artinya “ … dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungi kami dari adzab neraka”. Sungguh bagi orang yang berpikir tentang langit dan bumi, maka tidak ada lain kecuali akan menyatakan bahwa tidak ada sesuatu atas ciptaan Allah itu yang sia-sia. Semua ada manfaatnya.
Ketiga, marilah kita hayati dengan segenap perasaan dan kesadaran, bahwa betapa Allah sudah menyediakan alam dan lingkungan untuk kehidupan kita semua. Alam diciptakan oleh Tuhan bukan untuk berdiri sendiri, akan tetapi untuk manusia. Ada hubungan timbal balik atau saling berkebutuhan. Disebut sebagai hubungan yang symbiosis mutualisme. Alam membutuhkan manusia untuk pelestariannya dan manusia membutuhkan alam untuk kehidupannya.
Dengan mencintai alam yang berada di dalam konteks ekoteologi, atau penghargaan bahwa alam itu diciptakan tidak sia-sia, alam itu sesama ciptaan Allah, bahwa manusia dan alam itu sesama ciptaan Allah, maka keduanya tidak akan saling mengekspolitasi. Hakikat ekoteologi adalah manusia dan alam adalah subyek. Manusia subyek dan alam juga subyek. Di dalam relasinya di antara keduanya bukan hubungan subyek-obyek, akan tetapi hubungan subyek-subyek.
Wallahu a’lam bi al shawab.
