• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENCINTAI LINGKUNGAN: BERAGAMA UNTUK MASA DEPAN

MENCINTAI LINGKUNGAN: BERAGAMA UNTUK MASA DEPAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Saya telah menjelaskan dua Panca Cinta dari lima Panca Cinta yang sekarang sedang menjadi bahan pembicaraan khususnya di kalangan dunia Pendidikan Tinggi Islam dan Pendidikan Tinggi Agama Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha termasuk juga agama Konghucu. Kemudian juga menjadi pembicaraan di institusi Pendidikan Dasar dan Menengah, mulai Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasan Aliyah.

Kali ini, Selasa, 28/10/2025,  di dalam Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya,  saya menyampaikan tema tentang “Cinta Lingkungan”.  Ada tiga hal yang saya sampaikan, yaitu:

Pertama,    bahwa kelestarian lingkungan itu sangat tergantung kepada kehadiran manusia. Artinya, bahwa manusia memiliki peran yang sangat penting di dalam melestarikan lingkungan. Jika manusia memiliki kesadaran bahwa alam lingkungan itu tidak hanya milik kita sekarang ini, akan tetapi milik generasi yang akan datang, maka dipastikan bahwa manusia akan menjaga kelestarian lingkungan.

Alam ini bukan warisan kita kepada generasi yang akan datang akan tetapi pinjaman para generasi yang akan datang kepada kita. Sebagai pinjaman maka kita harus mengembalikannya dalam keadaan utuh dan tidak berkurang sedikitpun. Makna lain kita tidak boleh merusak alam lingkungan sebab yang akan menderita bukan kita sekarang akan tetapi generasi penerus kehidupan manusia.

Jika sekarang saja dengan deforestasi atau penggudulan hutan untuk kepentingan manusia, misalnya untuk perumahan, tempat rekreasi, villa, hotel dan kepentingan lainnya, maka akan terjadi banjir. Banjir Jakarta yang menenggelamkan wilayah Bekasi dan sekitarnya, tentu ada kaitannya dengan perusakan hutan di Kawasan Bogor atas, yang digunakan untuk pemenuhan hasrat serakah kehidupan manusia. Orang-orang kaya memilih wilayah Bogor karena udaranya yang segar lalu mereka membuat berbagai infrastruktur kehidupan yang tidak disadarinya akan menyebabkan banjir yang menenggelamkan wilayah di bawahnya, khususnya Jakarta, yang memang termasuk wilayah rendah.

Allah sesungguhnya sudah mengingatkan di banyak surat di dalam Alqur’an. Salah satu ayat di dalam Al Qur’an menyatakan di dalam Surat Ar Rum, 41: “Dhaharal fasadu fil barri wal bahri bima kasabat aidin nas”, yang artinya:  “telah terjadi kerusakan di dataran dan lautan karena perbuatan manusia”. Ayat ini memberikan peringatan kepada manusia bahwa janganlah kamu semua merusak alam, sebab kerusakan alam akan berakibat terhadap dirimu sendiri.

Dewasa ini manusia semakin serakah. Mereka melakukan segalanya untuk pemenuhan hasrat kehidupannya. Mereka rusak hutan untuk bisnis. Pengelolaan hutan hakikatnya adalah untuk memenuhi hasrat ekonominya yang tak tertahankan. Moral hazard dan etika permissiveness yang dijadikan sebagai pedoman. Perusakan itu tidak hanya pada hutan yang seharusnya bisa direforestasi. Tebang satu tanam satu. Tebang 10 tanam sepuluh. Jika ratusan hektar hutan ditebang, maka juga seharusnya terdapat ratusan hektar yang dihijaukan. Tetapi mereka para konglomerat hanya menebang dan tidak melakukan penghutanan kembali. Yang menyedihkan adalah pada perusakan tambang sebagai sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui. Bahkan mereka lakukan korupsi gila-gilaan atas hal ini. Kasus Harvey Moeis, yang merusak tambang dan korupsi ratusan trilyun adalah contoh perusakan alam dan hutan secara sistemik atas nama pembangunan.

Kedua,  alam makro kosmos dan mikro kosmos, tata surya atau jagad raya dan seluruh alam ini diciptakan Allah tidak dengan sia-sia. Semua mengandung arti dan makna. Semua fungsional bagi manusia. Kita diminta oleh Allah untuk mempelajari alam dan seluruh isinya. Berpikirlah tentang ciptaan Allah. “tafakkaru fi khalqillah”. Alam adalah tempat belajar bagi kita semua.

Alam itu berisi tentang segala sesuatu yang terkait dengan sebab dan akibat. Jika kita merusak alam, maka alam akan membawa bencana kepada kita. Ada hukum sebab akibat. “kullu sa’iin Sababa”,  Alqur’an, Surat Al Kahfi, 84. Segala yang terjadi itu ada sebabnya. Hukum sebab akan diikuti dengan hukum akibat. Coba kita pikirkan ciptaan Tuhan yang berupa nyamuk. Kecil tetapi bisa menyebabkan sakit atau bahkan kematian.

Manusia  berpikir bagaimana menemukan cara untuk menghindari nyamuk maka secara ekonomi kemudian dibuatlah pabrik-pabrik pengusir nyamuk atau pembunuh nyamuk biar nyamuk tidak semakin banyak populasinya dan mengancam kehidupan manusia. Ada sekian banyak merk di toko atau di mall tentang penyemprot nyamuk. Bahkan juga antibiotic untuk menihilkan virus yang disebabkan oleh nyamuk. Ahli obat atau apoteker lalu menemukan obat dan kemudian diproduksi oleh para pengusaha, dan kita yang menjadi penggunanya. Ada kerja sama dan kolaborasi yang menguntungkan manusia.

Allah berfirman di dalam Surat Ali Imran, 191, “… wa yatakkaruuna  fi khalqis samawati wal ardl. Rabbana  ma khalaqta hadza batila, subhanaka wa qina adzaban nar”, yang artinya “ … dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungi kami dari adzab neraka”. Sungguh bagi orang yang berpikir tentang langit dan bumi, maka tidak ada lain kecuali akan menyatakan bahwa tidak ada sesuatu atas ciptaan Allah itu yang sia-sia. Semua ada manfaatnya.

Ketiga, marilah kita hayati dengan segenap perasaan dan kesadaran, bahwa betapa Allah  sudah menyediakan alam dan lingkungan untuk kehidupan kita semua. Alam diciptakan oleh Tuhan bukan untuk berdiri sendiri, akan tetapi untuk manusia. Ada hubungan timbal balik atau saling berkebutuhan. Disebut sebagai hubungan yang symbiosis mutualisme. Alam membutuhkan manusia untuk pelestariannya dan manusia membutuhkan alam untuk kehidupannya.

Dengan mencintai alam yang berada di dalam konteks ekoteologi, atau penghargaan bahwa alam itu diciptakan tidak sia-sia, alam itu sesama ciptaan Allah, bahwa manusia dan alam itu sesama ciptaan Allah, maka keduanya tidak akan saling mengekspolitasi. Hakikat ekoteologi adalah manusia dan alam adalah subyek. Manusia subyek dan alam juga subyek. Di dalam relasinya di antara keduanya bukan hubungan subyek-obyek,  akan tetapi hubungan subyek-subyek.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

UANGPUN PUNYA SPIRITUALITAS

UANGPUN PUNYA SPIRITUALITAS

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Selasa, 7/10/2025, jamaah pengajian Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency mendapatkan asupan ilmu yang luar biasa dari Pak Sahid Sumitro, trainer Pengembangan SDM di berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Sebuah tema yang menarik yaitu; “Cinta Uang”. Ceramah ini mengupas tentang bagaimana caranya kita mencintai uang sebagai piranti untuk tukar menukar barang atau jasa. Kajian ini termasuk bagian dari “The Psychology of Money”. Saya ingin membahasnya dalam tiga hal, yaitu:

Pertama, uang memang hanyalah benda, sebagaimana benda lainnya. Tidak lebih sebagaimana kertas yang bisa dilipat, bisa digulung, bisa sobek dan bahkan bisa dibakar. Uang hanyalah kertas, Cuma bedanya bahwa uang memiliki nilai sebagaimana tertera di dalam uang kertas tersebut atau uang logam lainnya.

Pandangan orang atau kaum positivistic, bahwa uang adalah kertas yang bernilai sesuai denga nominal ternyata tidak sepenuhnya benar. Ada sebuah pengalaman yang disampaikan oleh Pak Sahid tentang uang dimaksud. Orang Jepang memiliki budaya yang sangat tinggi dalam menghargai uang. Uang tidak hanya dianggap kertas yang bergambar dan bernilai sesuai dengan tulisan di dalamnya, akan tetapi mangandung makna yang luar biasa. Dinyatakan oleh orang Jepang, bahwa di dalam uang terdapat gambar Perdana Menteri maka uang itu berarti memiliki status yang tidak sama dengan kertas-kertas lainnya. Foto Perdana Menteri itu harus dihormati. Perdana Menteri adalah pimpinan negara, maka harus dihormati sebagaimana layaknya kita menghormati para pimpinan negara. Bayangkan seandainya di dalam dompet kita ada foto orang tua atau kakek kita dan sebagainya, maka foto itu tidak akan dilipat, tetapi ditempatkan pada tempat yang layak. Melipat foro orang tua adalah sebuah kesalahan.

Bagi orang Jepang, budaya menghormat kepada pimpinan negara, orang tua atau leluhuradalah mutlak baginya. Oleh karena itu orang jepang akan menempatkan uang  dalam makna yang tinggi. Rasanya ini berbeda dengan orang Indonesia, yang kelihatannya kurang menghargai terhadap uang. Uang itu ditaruh di dompet dengan ditekuk atau dilipat sesuai dengan dompetnya. Ini tidak berlaku bagi orang Jepang. Pak Sahid menegaskan: “Makanya, semenjak saya bertemu Orang Jepang tersebut, saya tidak pernah melipat uang. Uang saya taruh di dompet memanjang supaya uang tidak terlipat”.

Uang itu memiliki energi yang bisa positif ata negative. Jika kita menempatkannya secara baik, maka uang itu akan merasakah “senang”, dan jika uang itu ditempatkan dengan cara yang tidak baik, maka uang akan merasa “tidak senang”. Karena uang itu energi, maka dia akan bisa menarik lainnya. Atau dia bisa juga mengeluarkan lainnya. Uang akan menarik atau menolak kehadiran uang lainnya. Energi ini begitu kuat dan sangat tergantung kepada perilaku kita terhadap uang.

Ada lima larangan untuk perlakuan kita terhadap uang, yaitu: jangan dilipat, jangan disobek, jangan dikucek-kucek, jangan dirusak, dan jangan diinjak-injak. Jika kita melakukannya, berarti kita bersyukur dan mencintai atas uang yang kita miliki. Uang memiliki energi, dan jika hal itu dilakukan, maka akan keluar energi negative dari uang, sehingga uang itu tidak akan menguntungkan atau tidak bermanfaat.

Kedua, para leluhur kita sesungguhnya sudah memiliki ujaran yang bagus. Uang itu mencari kawannya. Artinya bahwa uang yang berada di seseorang dengan banyak, maka uang lainnya akan masuk ke orang tersebut Bersama uang-uang lainnya. Sebuah ujaran yang memberikan Gambaran bahwa uang berkecenderunga. Berkumpul dengan kawannya. Padahal terkadang kita sinis melihat orang mencium uang. Dianggapnya sebagai perilaku materialistis. Padahal mencium uang itu adalah bagian dari rasa Syukur kita atas kenikmatan Allah kepada diri kita melalui washilah uang. Mencium uang sebagai tanda Syukur tentu sangat baik dan itulah bentuk penghargaan kita atas uang dan nilai yang ada di dalamnya.

Mencium uang dianggap sebagai Tindakan yang tidak terpuji bahkan dicibir sebagai tanda orang yang metarialistis. Padahal itulah ekspresi kebergamaan yang sangat dianjurkan oleh Islam. Mencium sebagai tanda Syukur adalah ekspresi orang beragama, sebagaimana kita mencium yang kita cintai di dalam kehidupan. di kala kita melewati makam Rasulullah, maka kita melambaikan tangan atau membungkuk sebagai tanda cinta kita kepada Rasulullah. Ketika kita thawaf, maka di rukun Yamani kita melambaikan tangan sambil berdoa. Tidak lain adalah symbol kecintaan kita kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.

Ketiga, saya memberikan garis bawah atas ceramah Pak Sahid yang sangat menarik. Hari kamis, 2/10/25, saya menjadi narasumber dalam acara ekoteologi untuk Pendidikan pesantren, dan di dalam forum yang diikuti oleh para kyai dan pimpinan pondok pesan tren se Indonesia itu saya sampaikan bahwa agar tidak terjadi kerusakan lingkungan, sebagai akibat prilaku permissiveness, maka diperlukan Upaya memahami konsep “spiritualitas alam”. Alam itu tidak semata-mata fisik akan tetapi ada spiritualitasnya. Alam dan manusia sebagai sesama ciptaan Allah tidak hanya terdiri dari fisik semata, akan tetapi ada jiwa dan rohnya. Artinya, bahwa alam dan manusia sama-sama bertasbih kepada Allah SWT.  Di dalam Alqur’an surat Jumu’ah, ayat 1,  dinyatakan: “yusabbihu lillahi ma fis samai wal ardh”. Artinya: “senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi”.

Hal ini memberikan Gambaran bahwa semua makhluk Allah sesungguhnya bertasbih atau menyucikan Allah SWT. Tentu saja kita tidak tahu bagaimana alam itu bertasbih, tetapi mari kita Yakini bahwa semua ciptaan Allah itu menyucikan Allah SWT.

Nabi Sulaiman AS yang bisa memahami bahasa makhluk Allah. Hanya Beliau yang memahami bagaimana alam itu bertasbih. Tetapi juga tidak menutup kemungkinan ada manusia yang karena izin Allah diberikan kekuasaan untuk memahaminya. Seperti halnya ada orang yang bisa memasuki alam kegaiban dari Makhluk Allah selain manusia.

Dengan meyakini bahwa alam itu memiliki dunia spiritual, maka aka dapat menjadi sarana untuk saling menghargai antara manusia dan alam. Dan ini bukan hal yang tidak bisa dilakukan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENCINTAI ILMU: BERAGAMA UNTUK MASA DEPAN

MENCINTAI ILMU: BERAGAMA UNTUK MASA DEPAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Salah satu yang  membahagiakan di dalam kehidupan ini adalah di saat kita  bisa tertawa bersama-sama. Tertawa lepas lagi.  Hal itu terjadi karena pertemuan dengan sesama jamaah ngaji bahagia. Sebuah komunitas yang berkeinginan menjadikan tersenyum dan tertawa sebagai Solusi kebahagiaan. Jadi,  ya ngaji, ya tertawa, ya bahagia. Trilogy yang menjadi visi Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) Masjid Al Ihsan.

Kali ini tema yang saya angkat adalah mengenai “cinta terhadap ilmu pengetahuan”. Sebuah tema yang menarik di tengah keinginan untuk belajar ilmu pengetahuan secara lebih luas. Sebuah tema yang saya angkat sesuai dengan Panca Cinta, sebagaimana yang digagas oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Menag, di dalam konteks Beragama Berbasis Cinta (BBC). Ngaji ini diselenggarakan pada tanggal 30/09/2025 di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Ada tiga hal yang saya sampaikan, yaitu:

Pertama, Islam itu hadir untuk mencerdaskan kehidupan manusia. Bisa dibayangkan bahwa ayat pertama yang turun di Goa Hira yang disampaikan kepada Nabi Muhammad adalah iqra atau bacalah. Secara lebih lanjut, bunyi ayat pertama yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Muhammad adalah: “iqra’. Bismi rabbikal ladzi khalaq. Khalaqal insana min ‘alaq, iqra’ warabbukal akramul  ladzi ‘allama bil Qalam. Allamal insana ma lam ya’lam”. Muhammad di dalam uzlahnya itu diminta oleh Malaikat Jibril untuk membaca,  akan tetapi Muhammad tidak mampu membacanya. Ma ana bi qari’in, saya tidak bisa membacanya. Yang diminta membaca adalah bismi rabbika, bacalah nama Tuhanmu. Jadi jangan dibayangkan Muhammad  diberi selembar kertas oleh Malaikat Jibril,  lalu Muhammad harus membacanya. Yang diminta untuk membaca adalah Nama Tuhanmu, Nama Allah yang menjadi ilah dan rab atas semua hambanya. Itulah sebabnya Muhammad menyatakan tidak mampu membacanya. Di dalam ayat ini Malaikat Jibril mengajarkan tentang Nama Allah yang Maha Agung yang menjadi sesembahan seluruh alam dan juga  Tuhan yang Maha Esa yang menguasai dan memiliki seluruh alam. Untuk menyebut itulah yang Muhammad belum bisa melakukannya.

Membaca adalah pintu untuk memahami, menyadari dan menghayati atas ayat-ayat Tuhan, baik ayat qauliyah maupun ayat kauniyah. Membaca teks Alqur’an dan Hadits dan membaca alam secara keseluruhan. Membaca itu yang disentuh mata atau iqra’ bil aini, lalu membaca dengan pikiran atau iqra’ bir ra’yi dan membaca dengan batin atau hati atau iqra’ bi qalbi. Kedua, Ada tingkatan di dalam konteks iqra’. Yang dilakukan oleh kita setiap hari adalah iqra’ bil aini yaitu dengan membaca Alqur’an dan terjemahannya. Membaca dan memahami sedikit artinya. Ini yang disebut dengan membaca dengan panca indra. Sedangkan bagi para ahli ilmu pengetahuan, maka membacanya dengan pikiran atau membaca melalui penelitian atas alam semesta. Lalu yang ahli batin atau spiritual maka membacanya dengan hati dan  perasaan atau bil qalbi.

Melalui bacaan atas alam, maka ada saintis yang kemudian menjadi muslim. Melalui pendekatan rasional, maka kebenaran agama di dalam teks-teksnya dapat dikaji dengan perangkat riset ilmiah. Yang sangat terkenal adalah Maurice Buchaile yang melakukan kajian atas mummi Fir’aun yang di dalam Alqur’an dinyatakan tenggelam di laut, dan terbukti secara empiris bahwa di mulut Fir’aun memang terdapat zat garam yang sangat berlebih dibandingkan dengan manusia pada umumnya. Maka, Buchaile pun masuk Islam. Islam mengajarkan addinu huwal aqlu. La dina liman la aqla lahu. “Agama adalah akal, dan tidak beragama bagi  yang tidak berakal”. Orang  yang  tidak memanfaatkan akalnya dinyatakan sekan-akan tidak beragama.

Membaca dengan batin atau iqra bil qalbi. Membaca dengan hati adalah membaca dengan cara yang mendalam atau membaca dalam dimensi esoteris. Level ini memasuki dunia tasawuf atau membaca dengan ihsan. Kita menyembah Allah dan Allah itu berada di depan kita, seakan-akan kita bermuwajahah atau bertemu dengan Allah. Tentu saja kita menyadari bahwa yang bisa melakukannya hanyalah Nabi Muhammad SAW, sedangkan Nabi lain, misalnya Nabi Musa hanya bisa bercakap-cakap tetapi tidak mampu untuk bertemu dalam satu pertemuan khusus. Tentang Nabi Muhammad SAW itu bertemu dengan badan, jiwa dan rohnya atau rohnya saja, masih menjadi perdebatan di  kalangan ahli ilmu kalam. Untuk yang seperti ini, maka dalilnya wallahu a’lam bi al shawab. Tetapi bagi orang-orang khusus, tentu ada yang memiliki pengalaman terbukanya hijab atau penghalang antara hamba dan rabnya. Ada cerita-cerita yang dapat diyakini bahwa ada orang-orang yang diberi ototitas untuk bisa “merasakan” kehadiran Allah di dalam ibadah-ibadahnya.

Ketiga, mencari ilmu adalah kewajiban. “Thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli Muslimin wa muslimatin”, yang artinya: “mencari ilmu merupakan kewajiban atas kaum Muslimin dan kaum muslimat”. Mencari ilmu itu hukumnya wajib secara perseorangan utamanya mencari ilmu agama. Sedangkan untuk mencari ilmu umum itu tergantung kepentingan, bisa dinyatakan sebagai wajib kifayah atau kewajiban atas sebagian saja.

Mencari ilmu bisa dalam bentuk pendidikan formal seperti sekolah, baik di SD, SMP, SMA atau MI, MTs, MA dan sampai PTU dan PTKI. Tetapi juga bisa belajar secara nonformal, misalnya kursus atau lainnya, dan bisa juga secara informal. Yang kita lakukan setiap hari mulai Senin sampai Jum’at, dengan tahsinan dan ceramah agama adalah pendidikan informal. Kita belajar di sini dan kita memahami ilmu agama di sini.

Sungguh suatu kebahagiaan, bahwa di saat usia kita semakin  merambat senior, dan kita semakin menyadari tentang pentingnya belajar. Kita sudah mengamalkan iqra, sebagaimana diprintahkan membaca kepada Nabi Muhammad SAW. Kita semua berharap bahwa dengan mencintai ilmu pengetahuan, maka akan menambah amalan ibadah kita, terutama membaca shalawat, sehingga kita akan menjadi sahabatnya Nabi Muhammad SAW.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

MENCINTAI ALLAH DAN RASULNYA SEBAGAI SATU KESATUAN

MENCINTAI  ALLAH DAN RASULNYA SEBAGAI SATU KESATUAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sahabat ngaji bahagia yang tergabung di dalam Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) tentu memperoleh asupan ilmu terkait dengan mahabbah kepada Allah SWT dan Rasulnya, Muhammad SAW. Pada ngaji bahagia, 23/09/2025, secara sengaja saya menyampaikan satu materi yang sangat penting, dan sekarang sedang menjadi perbincangan di tingkat nasional, sebagai gagasan Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Menag, yang dikonsepsikannya sebagai Beragama Berbasis Cinta (BBC) yang secara implementatif diwujudkan dalam dunia pendidikan dengan konsep Kurikulum Berbasis Cinta (KBC).

Saya mengawalinya dengan pertanyaan, kenapa mencintai Allah dan rasulnya itu merupakan satu kesatuan yang sistemik? Pertanyaan ini yang kemudian saya bahas dalam waktu 90 menit di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Perbincangan tentang cinta pastilah menarik. Makanya, ceramah ini mendapatkan respon yang memadai dari jamaah ngaji bahagia. Saya membahas hal ini dalam tiga hal, yaitu:

Pertama, Islam adalah agama cinta. Agama yang mengajarkan tentang Rahman dan Rahim atau Islam rahmatan lil alamin. Bukan hanya Rahmat bagi umat Islam tetapi seluruh umat manusia dan alam semesta. Menjadi umat Islam, sebagaimana pesan agama, maka seharusnya mengembangkan pemahaman, sikap dan perilaku yang mencintai sesama manusia sebagai representasi ajaran Islam yang mendasar.

Cinta kepada Allah sekaligus cinta kepada Rasulullah Muhammad SAW. Tidak bisa dipisahkan. Bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Artinya mencintai Allah dan sekaligus mencintai rasul-Nya. Dikisahkan dalam suatu ceramah Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan di Aula Universitas KH. Abdullah Faqih (UNKAFA) oleh Habib Muhammad bin Abubakar, bahwa pada saat Nabi Ibrahim AS diturunkan ke bumi oleh Allah, sebagaimana desain untuk menciptakan manusia sebagai khalifah Allah, maka di arasy dilihatnya terdapat sebuah tulisan yang berbunyi “La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah”, yang artinya: “Tidak ada Tuhan kecuali Allah Muhammad Rasulullah”. Sambil berdoa dengan doa yang terbiasa kita baca: “Rabbana dhalamna ‘anfusana wain lam taghfirlana wa tarhamna la nakunanna minal khasirin”. (Surat Al A’raf, ayat 23).  Yang artinya: “Wahai Tuhan kami, alangkah dhalimnya diri kami  dan jika Engkau tidak mengampuni kami, maka sesungguhnya kami adalah orang yang sangat merugi”.

Nabi Allah Adam AS berdoa dan melafalkan kalimat tauhid “la ilaha illallah Muhammadur Rasulullah”. Sebuah kalimat yang mengesakan Allah dan sekaligus menyatakan Muhammad sebagai utusannya. Tentu ada pertanyaan, pada waktu Nabi Adam diciptakan Allah, Nabi Muhammad SAW belum lahir, lalu bagaimana ada Nama Allah dan Muhammad SAW? Maka jawabannya yang terlihat di dalam Arasy adalah Nur Muhammad yang sudah diciptakan oleh Allah jauh sebelum Allah menciptakan alam semesta. Nur Muhammad itulah yang kemudian secara fisikal menjadi Nabi Muhammad SAW pada masanya. Yaitu sebagai rasul terakhir yang menutup seluruh fungsi kenabian. La nabiyya ba’dahu.

Coba kita perhatikan, kalimat tauhid tersebut berbeda dengan syahadat. Di dalam kalimat persaksian kita, “Asyahadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, maka di dalam kalimat ini terdapat huruf “wawu” yang diterjemahkan menjadi “dan” yang maknanya adalah perbedaan antara khaliq dan makhluk. Maka kata “wawu” tersebut menjadi pembeda antara Allah sebagai Rab dan Ilah serta Muhammad sebagai ciptaan dan utusan.

Kemenyatuan antara Allah dan rasulnya tersebut bisa dipahami dari bacaan shalawat yang agung. Shalawat adalah medium untuk menghubungkan Allah SWT dan Muhammad SAW dan umat Islam. Dengan shalawat yang dibaca, maka akan menjadi  medium untuk meyakini keberadaan Allah SWT dan sekaligus keyakinan bahwa Muhammad SAW adalah rasulnya.

Allah SWT mengajarkan tentang shalawat dengan sedemikian indahnya. Ungkapan di dalam Alqur’an yang selalu menjadi bagian di dalam khutbah jum’at dan khutbah lainnya adalah: “innallaha wa malaikatahu yushalluna ‘alan nabiyyi ya ayyuhal ladzina amanu shallu alaihi wa sallimu taslima”. (Surat Al Ahzab, ayat 56).  Yang artinya: “sesungguhnya Allah dan malaikatnya bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, wahai orang yang beriman bershalawatlah kepada Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghomatan  kepadanya”.

Menilik atas pernyataan ini, betapa pentingnya membaca shalawat. Barang siapa yang shalawatnya banyak tentu akan mendapatkan pahala yang banyak. Jika umat Islam membaca shalawat sekali,  maka diberikan pahala 10 kali lipat. Oleh karena itu, bagi orang yang beragama dengan kalkulasi kuantitas, maka tentu akan sangat menyenangkan. Semakin banyak membaca shalawat semakin besar potensi pahalanya.

Trilogy Tuhan, Rasul dan Manusia dipertemukan di dalam bacaan shalawat. Tuhan yang menciptakan ajaran kebaikan, rasul yang menyampaikan dan manusia yang menjalankannya. Allah SWT yang sedemikian suci, yang sedemikian gaibnya, dan yang sedemikian transendennya harus berhubungan dengan manusia ciptaannya, maka Allah SWT menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai perantaranya. Muhammad SAW adalah washilah atau perantara antara Tuhan dan manusia. Melalui kehadiran Nabi Muhammad SAW, maka manusia dapat berhubungan dengan Allah SWT dengan cara-cara yang umum atau khusus.

Sungguh kita ini manusia yang beruntung sebab memiliki washilah agung dan bisa menjadi perantara yang dipastikan kehadirannya. Nabi Muhammad SAW adalah syafi’an li ashhabihi.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

KASIH SAYANG ALLAH KEPADA HAMBANYA

KASIH SAYANG ALLAH KEPADA HAMBANYA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Dalam dua hari, 19 dan 20/09/2025,  secara berturut-turut saya sempatkan untuk memberikan siraman rohani bagi jamaah shalat shubuh di Mushalla Raudlatul Jannah di desa tempat kelahiran saya. Di Dusun Semampir, Desa Sembungrejo, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban. Ada urusan di desa untuk mengambil sertifikat tanah yang sudah dibaliknamakan atas nama anak-anak. Saya berkesempatan untuk bertemu dengan kawan-kawan saya yang pada waktu kecil bermain bersama-sama. Saya bersyukur karena kawan-kawan saya  termasuk yang rajin shalat subuh berjamaah di Mushalla di depan rumah saya.

Memang saya sengaja memberikan asupan rohani sebagai pengetahuan spiritual yang tentu juga penting di dalam kehidupan. Jamaahnya tidak banyak tetapi yang shalat adalah orang-orang yang nyaris setiap shubuh berjamaah. Lelaki dan Perempuan. Saya mengenal secara pribadi dengan para jamaah, karena kebanyakan adalah kawan-kawan saya dan ada beberapa yang usianya relative lebih muda. Lelaki dan Perempuan saya mengenalnya dengan baik.

Ada tiga hal yang saya sampaikan di Mushalla Raudhatul Athfal, 20/09/2025, yaitu: pertama, kasih sayang Allah itu tergambar di dalam kata Rahman dan Rahim. Jika kita membaca Surat Alfatihah pastilah didahului dengan ucapan: “Bismillahir rahmanir Rahim”, yang artinya: “Dengan menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang”. Kitab Suci Alqur’an dimulai dengan menyebut hakikat sifat Allah yang sangat agung, yaitu sifat Rahman dan Rahim, Maha Penyayang dan Pengasih”. Allah sebagaimana pandangan para ahli ilmu kalam atau teologi dinyatakan memiliki sifat-safat yang wajib bagi Allah, sifat yang dipastikan menyatu dengan Allah. Bagi kaum Mutakallimin yang sepaham dengan Imam Asy’ari, maka sifat Allah itu ada sebanyak 20, dimulai dari sifat wujud, qidam, baqa’ dan seterusnya sampai mutakalliman. Sementara itu bagi pengikut Imam Maturidi, maka sifat Allah itu sebanyak 13 saja, sama dimulai dari sifat wujud, qidam, baqa’ dan seterusnya. Yang membedakannya adalah kata aliman, hayyan, sami’an, bashiran, mutakalliman termasuk dalam sifat Allah menurut Imam Asy’ari, sedangkan kata tersebut tidak dimasukkan dalam sifat Allah oleh Imam Maturidi. Tetapi keduanya termasuk aliran Ahli Sunnah wal jamaah.

Kedua, Rahman adalah hakikat sifat Allah yang menyayangi pada semua makhluknya di alam ciptaannya. Alam dunia maupun alam gaib. Semuanya mendapat limpahan sayang Allah atau Rahman Allah SWT. Jika manusia tidak dibedakan. Siapapun akan mendapatkan sayang Allah tersebut. Etnis China, Amerika, Eropa, Negro, Indian dan sebagainya, semua mendapatkan Rahman Allah SWT. Tidak dibedakan satu dengan lainnya. Semuanya mendapatkan sayang Allah. Semua diberi peluang untuk makan, minum dan memenuhi kebutuhan fisikal lainnya. Tentang kualitas makan itu hal yang berbeda. Semua diberikan kekayaan sesuai dengan takarannya. Ada yang kaya, miskin atau fakir tentu semuanya mendapatkan jatahnya masing-masing. Hakikatnya semua mendapatkan sayang Allah, hanya kualitas dan kuantitasnya yang bisa saja berbeda. Jadi sifat sayang Allah itu bercorak umum, bagi siapa saja dan di mana saja. Tidak terkecuali.

Ketiga, Rahim adalah hakikat sifat Allah yang mengasihi pada umatnya yang beriman kepadanya. Jika Rahman Allah bercorak umum maka Rahim Allah bercorak khusus. Rahman diberikan kepada semua manusia dan makhluk hidup lainnya, sedangkan Rahim Allah hanya diberikan kepada orang yang meyakini keberadaan Allah. Orang yang memiliki iman kepada Allah SWT. Umat Islam yang telah memiliki iman kepada Allah dan meyakini kenabian Muhammad SAW adalah orang yang potensial mendapatkan kasih sayang Allah SWT. Rahim Allah itu ujung akhirnya adalah kehidupan di surga sebagaimana dijanjikan oleh Allah sebagaimana di dalam Surat An Naba’, ayat 31: “inna lil muttaqina mafaza” yang artinya “sungguh orang-orang yang beriman mendapatkan kemenangan”. Orang yang beriman atau bertaqwa merupakan orang yang akan memperoleh kemenangan yaitu kemenangan melawan kekafiran, kemusyrikan atau kemunafikan. Mereka adalah orang yang dijanjikan oleh Allah untuk menjadi penghuni surganya. Pada ayat lain, Surat Al Bayyinah, ayat 7, dinyatakan: “ulaika hum khairul bariyyah” atau artinya: “mereka itu adalah yang sebaik-baik makhluk”. Artinya bahwa orang yang beriman adalah orang yang memperoleh status sebagai sebaik-baik manusia.

Allah SWT sudah memberikan contoh tentang sebaik-baik manusia yang merupakan representasi atas sifat Rahman dan Rahim Allah SWT. Rahman dan Rahim Allah itu sangat abstrak atau sangat hakiki, makanya agar sifat Allah itu bisa dipahami oleh manusia, maka Allah memberikan sifat Rahman dan Rahim tersebut ke dalam diri Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW adalah contoh realistis atas sifat Allah SWT tersebut. Nabi Muhammad SAW yang di dalam dirinya terdapat sifat kemanusiaan selain sifat kenabian dapat menjadi contoh atas kasih sayang Allah SWT kepada umat manusia.

Kita sungguh bersyukur sebab dapat menjadi umat Islam. Meskipun kita tidak sezaman dengan Nabi Muhammad SAW, akan tetapi kita dapat membaca, memahami dan menghayati tabiat Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang berupa sifat Rahman dan Rahimnya Allah SWT. Nabi Muhammad SAW adalah contoh manusia dengan perilaku yang mengajarkan kasih sayang kepada manusia dan perilaku kasih sayang tersebut dilakukannya. Memang Nabi Muhammad SAW adalah teladan kebaikan.

Wallahu a’lam bi al shawab.