MEMPOSISIKAN PUASA RAMADLAN
MEMPOSISIKAN PUASA RAMADLAN
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Kali ini saya akan mengulas ceramah agama yang disampaikan oleh Ustadz Firdaus Ramadlan, SHI, Al Hafidz, pada acara Kuliah Tujuh Menit atau kultum yang diselenggarakan di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya, Sabtu, 22/03/2025. Acara kultum dilaksanakan bada shalat Isya’ dalam rangkaian shalat jamaah tarawih, yang diikuti oleh jamaah lelaki dan perempuan di masjid tersebut. Ustadz Firdus membahas tentang Kategori umat Islam yang berpuasa.
Ada tiga hal yang disampaikannya, yaitu: pertama, harapan akan semakin membaiknya amal ibadah kita di saat berpuasa dan setelah berpuasa. Yang menjadi harapan umat Islam adalah agar puasanya akan dapat mengantarkannya memperoleh derajat taqwa di hadapan Allah SWT. Puasa merupakan instrument untuk mawas diri atau ihtisaban. Sebuah Upaya untuk memonitor atas amalan ibadah kita sebelumnya. Jika amalan kita belumlah baik atau lebih baik, maka saatnya untuk memperbaikinya. Inilah makna “man shoma ramadlona imanan wahtisaban”. Orang berpuasa bukan untuk mencegah makan dan minum serta relasi seksual di siang hari, akan tetapi untuk mencegah hawa nafsu dalam melakukan perbuatan yang tercela. Kita berharap semoga puasa kita tahun ini, 1446 H, akan menjadi momentum dalam rangka untuk memperbaiki diri dalam beribadah kepada Allah dan juga memperbaiki diri dalam relasi dengan sesama umat manusia. Antara individu dengan individu, atau antara individu dengan keluarga, dengan komunitas dan dengan masyarakat.
Kedua, berdasarkan pendapat Imam Ghazali di dalam Ihya’ ulumiddin, bahwa kategori orang berpuasa itu dibagi menjadi tiga kategori. Ada yang disebut puasa orang awam. Yaitu puasa pada level terendah sebab puasa ini hanya untuk kepentingan mencegah nafsu fisikal saja. Puasa dijadikan sebagai sarana untuk mencegah makan dan minum, serta relasi seksual pada siang hari, sementara itu amalan lainnya belum diupayakan untuk dilakukan secara optimal. Memang sudah berpuasa, akan tetapi puasa yang sangat minimalis. Puasa badannya saja atau jasmaninya saja. Fisik yang biasanya makan dan minum pada siang hari lalu diubah menjadi malam hari. Tidak kurang tidak lebih. Tetapi aspek lainnya tidak diupayakan untuk dipuasakan. Misalnya ucapannya, telinganya, matanya dan alat inderawi lainnya. Semuanya masih berjalan apa adanya. Orang yang masih puasa dengan seperti ini disebut sebagai puasa orang awam. Perkara pahala, Allah sendiri yang akan memberikannya atau menentukannya.
Kemudian ada puasa orang yang khusus atau puasa orang yang khawash. Orang yang berpuasa melampaui orang awam dan sudah menambahkannya dengan mempuasakan alat pengindraan lainnya. Mata, telinga, mulut, tangan dan kakinya serta segenap perasaannya. Semua sudah dipuasakan. Ini sudah kategori orang yang berpuasa dengan kemajuan. Puasa orang yang khawash atau puasanya orang yang khusus. Tidak hanya kewajiban puasa dengan tidak makan dan minum akan tetapi sudah berpuasa dengan segenap jiwa dan raganya. Fisiknya puasa dan batinnya juga puasa. Maka dilakukanlah upaya untuk menyenangkan Allah dengan membaca Alqur’an, membaca wirid, membaca doa dan sebagainya. Puasa dengan segenap kasih sayang juga kepada sesama manusia artinya dengan mengeluarkan sedekah dan infaq. Puasa yang seperti ini merupakan puasa dengan kategori yang baik dan merupakan puasa hanya pada orang-orang khusus saja.
Lalu juga ada puasa yang berkategori khawash lil khawash atau puasa khusus yang khusus. Puasa yang dilakukan oleh orang yang sudah memiliki kedekatan dengan Allah. Orang yang sudah memasuki alam taqarrub ilallah. Orang yang raga, nafsu dan rohnya sudah sedemikian dekatnya dengan Allah. Orang yang sudah memiliki ainun basyirah. Mata batinnya sudah terbuka hijabnya dengan Allah. Bukan melihat Allah dengan fisikalnya akan tetapi merasakan kehadiran Allah di dalam batinnya. Orang yang sudah mengalami perasaan dalam berdekatan dengan Allah. Tidak ada di dalam batinnya atau hatinya kecuali Allah. Keluar masuknya nafas dengan ucapan Allah Allah. Yang bisa melakukan puasa seperti ini adalah para sahabat Nabi, tabiin dan tabiit tabiin, para ulama dan waliyullah, para ahli tasawuf yang sudah masuk dalam dunia batin hanya karena Allah.
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menjustifikasi puasa orang per orang, akan tetapi hanya sebagai peringatan untuk diri kita masing-masing bahwa ada indicator umum yang bisa dijadikan sebagai ukuran untuk mengevaluasi puasa kita sendiri. Puasa merupakan urusan pribadi manusia dengan Allah, sehingga tidak layak rasanya kita menjustifikasinya. Biarkanlah diri masing-masing yang akan mengevaluasinya.
Sekurang-kurangnya dengan memahami ukuran generalnya ini, maka kita akan dapat mengukur kesungguhan puasa kita, apakah masuk dalam kategori pertama, kedua atau ketiga.
Saya berkeyakinan bahwa dengan apapun puasa kita, maka Allah yang berhak untuk memberi ataupun tidak memberi pahala. Tetapi yakinlah bahwa Allah itu maha pemberi Rahmat sehingga semua orang yang telah beribadah kepadanya tentu akan berpotensi untuk mendapatkan rahmatnya.
Kita telah melakukan puasa dan semoga kita juga menjadi bagian dari orang yang mendapatkan ampunannya dan rahmatnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.