• May 2025
    M T W T F S S
    « Apr    
     1234
    567891011
    12131415161718
    19202122232425
    262728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ADAKAH HIDAYAH TUHAN UNTUK ORANG DHALIM?

ADAKAH HIDAYAH TUHAN UNTUK ORANG DHALIM?

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di dalam teks Alqur’an pada Surat Jumu’ah ayat 5 dijelaskan bahwa Allah tidak akan memberikan hidayah kepada orang yang dhalim. Ayat tersebut menyatakan: “wallahu la yahdil qaumadh dhalimin”, yang artinya: “Allah tidak akan memberikan petunjuk bagi orang yang dhalim”. Jelas sekali teksnya. Berdasarkan ayat ini, maka tidak ada peluang atas orang yang dhalim untuk memperoleh petunjuk dari Allah SWT. Tidak ada. Jalan sudah tertutup untuk hal tersebut.

Di dalam pengajian pada Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya, maka hal itu saya jadikan sebagai pokok bahasan. Saya sampaikan ada beberapa kunci untuk memahami teks ini berdasarkan atas upaya untuk menghubungkan antar ayat atau antar konsep, sehingga dapat menjaring makna yang lebih konprehensif. Tentu saja upaya ini dilakukan dengan cara memahami teks dan konteks diksi dalam ayat yang berusaha untuk dipahami. Sekali lagi pemahaman ini bukan tafsir tetapi hanya upaya secara kntekstual dan tekstual atas ayat yang sepertinya “menutup” atas peluang sekecil apapun. Ada tiga hal yang saya jelaskan:

Pertama, menjelaskan ayat petunjuk atau hidayah. Sebagaimana makna teksnya bahwa hidayah itu adalah hak prerogative Allah untuk memberikannya kepada manusia. Artinya, ada orang yang memperoleh hidayah dan ada orang yang tidak memperoleh hidayah. Tetapi atas orang yang dhalim maka dalilnya jelas,  Allah tidak akan memberikan hidayah kepada ajaran Islam. Jika dengan berpedoman pada ayat ini, maka dipastikan siapa saja yang digolongkan orang dhalim maka tidak akan mendapatkan petunjuk. Secara terminology, hidayah adalah petunjuk Allah kepada manusia melalui Nabi-Nabinya, dan yang terakhir adalah petunjuk Allah melalui Nabi Muhammad SAW. Petunjuk tersebut terkait dengan jalan kebaikan. Yaitu petunjuk untuk beriman kepada Allah dan beramal shalih. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dinyatakan: “Qul amantu billahi tsummastaqim”. Katakanlah, “saya beriman kepada Allah dan akan istiqamah atasnya”. Istiqamah dalam beriman dan melaksanakan amalan-amalan sebagaimana yang diimani tersebut.

Kedua, ada tiga kata yang dapat dikaitkan dengan kata petunjuk atau hidayah, yaitu Rahman dan Rahim, keselamatan dan ajaran Islam. Jika dibuat bentuk segitiga, maka ajaran Islam berada di tengah di antara relasi antara hidayah, Rahman/Rahim dan selamat. Ketiganya merupakan relasi yang sistemik atau tidak berdiri sendiri-sendiri. Segi tiga ini untuk menjelaskan posisi orang yang dhalim apakah bisa mendapatkan hidayah atau tidak, masih ada peluang untuk mendapat hidayah atau tertutup sama sekali. Allah itu maha Rahman dan Rahim. Itu pasti. Allah itu pemberi keselamatan. Ini juga kepastian. Allah adalah yang memiliki ajaran agama sebagaimana yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Ini juga pasti. Dengan demikian, hidayah Allah kepada siapapun itu sangat tergantung atas datangnya ajaran Islam kepada manusia, yang dibarengi dengan keselamatan dan Rahman atau Rahim Tuhan. Sayyidina Umar bin Khattab mendapatkan hidayah dari Allah, sementara itu Abu Jahal tidak mendapatkannya. Sementara itu, Maurice Buchaille mendapatkan hidayah, tetapi Annemarie Schimmel tidak mendapatkannya. Bisa jadi ada tingkatan di dalam kedhaliman, sehingga ada yang dhalim mendapatkan petunjuk dan ada yang tidak mendapatkannya. Dalam kasus Sayyidina Umar bin Khattab, maka derajat kedhalimannya lebih ringan dibandingkan dengan Abu Jahal. Maka bisa dikategorikan bahwa ada gradasi atas kedhaliman tersebut. Ada kedhaliman besar, ada kedhaliman medium dan ada kedaliman kecil. Abu Jahal dapat dikategorikan sebagai orang dengan Tingkat kedhaliman luar biasa, karena keinginannya untuk mecelakai Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya, sementara Umar Bin Khattab tidak sejauh hal tersebut. Di dalam Riwayat dinyatakan bahwa Umar ingin membunuh adiknya tetapi tidak kesampaian sebab mendengarkan ayat Alqur’an dibaca adiknya. Sayyidina Umar bin Khattab justru mempercayai atas kenabian Muhammad SAW. Sementara Abu Jahal tidak sedikitpun tergerak hatinya untuk mempercayai ajaran Nabi Muhammad SAW bahkan ingin membunuhnya. Khalid bin Walid tentu juga melakukan kedhaliman tetapi tidak sebesar tingkat kedhaliman Abu Jahal dan Abu Lahab. Alqur’an banyak bercerita tentang individu yang dikenai adzab karena keingkarannya kepada Tuhan, misalnya Qarun, Kapitalis pertama di dunia.

Ada sejumlah kaum Nabi yang juga dapat dikategorikan sebagai kelompok dengan kedhaliman yang luar biasa, misalnya kaum Nabi Nuh yang akhirnya ditelah gelombang laut yang sangat dahsyat. Peristiwa banjir besar yang melanda Nabi Nuh berdasarkan Riwayat interteks dapat dinyatakan sebagai kebenaran, sebab tidak hanya Kitab Suci Alqur’an yang menjelaskannya, akan tetapi juga cerita di dalam Kitab Manawa Darma Sastra yang menceritakan mengenai Manu yang mengalami peristiwa banjir besar.

Selain itu juga kaum Nabi Luth atau Kaum Ad, yang melakukan tindakan sodomi dengan tingkat kedhaliman luar biasa sehingga diadzab dengan rihin shorshorin atau angin panas selama berhari-hari. Kota Sodom dan Gomorah itu kemudian sekarang dikenal sebagai Madain Shaleh. Demikian pula umat Nabi Hud, atau Kaum Tsamud yang juga diadzab Tuhan. Dengan demikian, ada individu yang kena adzab Tuhan dan juga ada sekelompok orang atau komunitas yang dikenai adzab Tuhan.

Dengan demikian, kedhaliman sesungguhnya tetap memiliki peluang untuk memperoleh hidayah Allah selama yang bersangkutan tidak “keterlaluan” di dalam kedhalimannya. Kedhaliman yang sangat besar sebagaimana contoh di atas merupakan gambaran orang yang dhalim yang tidak memperoleh hidayah, sementara yang tingkat kedhalimannya tergolong rendah atau bahkan medium, maka masih berpeluang untuk memperoleh hidayah Allah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

JAGA DIRI DENGAN IMAN DAN AMAL SALEH: PESAN NABI MUHAMMAD UNTUK KELUARGA

JAGA DIRI DENGAN IMAN DAN AMAL SALEH: PESAN NABI MUHAMMAD UNTUK KELUARGA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Saya rasanya jarang  meneteskan air mata mendengarkan khutbah Jum’at. Nyaris tidak pernah. Tetapi berbeda dengan khutbah yang disampaikan oleh Muhammad Firdus Ramadlan, SH., alumnus Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel, Jum’at, 09/05/2025 di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya.

Ada tiga hal yang akan saya sampaikan terkait dengan khutbah dimaksud, yaitu: Pertama, bahwa Nabi Muhammad SAW pada suatu Ketika mengumpulkan kerabatnya. Pamannya, keponakannya, istrinya, anaknya, seluruh keluarganya.kalau di Indonesia semacam pertemuan untuk silaturahmi keluarga. Berbagai bani-bani di dalam kerabat Nabi Muhammad SAW datang untuk menghadiri undangan Nabi Muhammad SAW. Pada waktu memberikan ceramah kepada kerabatnya, Nabi Muhammad SAW menyatakan kurang lebih sebagai berikut: “Wahai Bani Abdi Manaf, Bani Hasyim, Bani Quraisy dan seluruh yang hadir di tempat ini, saya sampaikan bahwa yang dapat menyelamatkan dirimu dari api neraka adalah perbuatan atau amalan kalian semua. Saya tidak dapat memberikan keselamatan. Meskipun semua kerabat saya, tetapi saya tidak mampu menyelamatkan jika amalan di dalam kehidupan kalian semua tidak baik. Termasuk juga anakku Fathimah, jika dia tidak melakukan kebaikan maka saya tidak akan bisa menolongnya.”

Lebih lanjut Nabi menyatakan: “janganlah kalian semua mengandalkan keturunan. Meskipun tidak keturunan orang baik, akan tetapi menjalankan kebaikan, maka dialah yang akan selamat. Di dalam Islam dikenal sebuah nama yang hebat, yaitu Iklimah, seorang yang hafal Alqur’an, ahli tafsir dan ahli ibadah, padahal dia adalah keturunan Abu Jahal seorang tokoh yang sangat membenci Islam dan sering berperang melawan umat Islam. Jadi keturunan tidak menjamin keselamatan akan tetapi amalah shalihan yang akan menyelamatkan.”

Ada anak orang jahat, seperti Abu Jahal tetapi menjadi orang yang saleh, tetapi juga ada anak seorang Nabi Nuh yang Bernama Kan’an yang mengingkari perintah ayahnya. Ada puyra Nabi Adam yang sangat saleh, yaitu Habil dan ada anak Nabi Adam yang durhaka yaitu Qabil. Ada Nabi Ibrahim yang dibangsakan kepada Azar yang pembuat patung berhala, yang musyrik, dan  Nabi Ibrahim adalah seorang rasulullah. Dengan demikian, setiap orang bisa menjadi terbaik siapapun orang tua kita, dan juga berpotensi menjadi jahat siapapun orang tua kita.

Kedua, sebagai umat Islam, maka posisi kita semua sama. Ajaran persamaan sebagai manusia merupakan ajaran yang mendasar. Allah menciptakan manusia dalam berbagai suku bangsa dan kabilah. Tidak ada kelebihan satu suku bangsa dan kabilah atas lainnya. Yang membedakan adalah ketaqwaannya. Di sisi Allah SWT yang lebih utama adalah ketaqwaannya. Dari sini bisa dipahami bahwa di hadapan Allah, orang yang Istimewa adalah yang paling bertaqwa. Orang yang mempertahankan imannya kepada Allah dan melakukan amalan shalih itulah yang utama. Islam mengajarkan berimanlah kepada Allah dan kemudian istiqamahlah. Kita diminta meyakini Allah adalah Tuhan kita dan kita diminta untuk konsisten di dalam keimanan dimaksud.

Kita adalah drurriyah Nabi Muhammad SAW dalam kategori keturunan fisikal atau genealogi nasab, akan tetapi adalah dzurriyah Nabi Muhammad SAW dalam konteks orang yang menjadi pengikut dan setia untuk menjalankan ajaran-ajarannya. Kita percaya kepada Tuhan Allah sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dan kita juga orang yang mengamalkan ajaran Islam sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Yakinlah bahwa kita adalah penganut setia ajaran Islam dengan segala konsekuensinya.

Ketiga, di dalam kehidupan ini ada dua hal yang diberikan otoritas oleh Allah untuk memberikan syafaat. Yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan kitab Suci Alqur’an.keduanya dikaitkan dengan konsep syafi’an liashhabihi. Yang bisa memberikan syafaat. Allah memang memberikan kapasitas sebagai pemberi syafaat kepada umat manusia. Itu artinya, bahwa yang akan mendapatkan syafaat adalah umat Islam. Umat Islam memiliki peluang untuk mendapatkan syafaat dari salah satunya. Jadi yang mendapatkan syafaat adalah orang yang menjadi sahabatnya. Yaitu orang Islam yang bersahabat dengan ajaran Nabi Muhammad dan orang yang bersahabat dengan Alqur’an.

Kita ini orang yang beruntung sebab insyaallah adalah orang yang istiqamah di dalam beriman kepada Allah SWT. Meskipun secara minimalis kita telah berkomitmen untuk meyakni akan keradaan Allah Dzat yang Maha kuasa, dan mempercayai Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT. Kita juga menjalankan ajaran Islam sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Insyaallah kita menjadi orang yang beruntung di dunia dan akherat.

Agar kita menjadi sahabat Nabi Muhammad SAW, maka ada instrument yang dapat digunakan yaitu dengan membaca shalawat, Allahumma shalli ‘ala Sayydina Muhammad, wa ‘ala ali Sayyidina Muhammad. Dan juga ada yang menjadi sahabat Alqur’an karena kecenderungannya untuk membaca Alqur’an bahkan menghafalnya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

SEKALI LAGI KONSEP “DIAM” DALAM ISLAM

SEKALI LAGI KONSEP “DIAM” DALAM ISLAM

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Diam tentu konsep yang sangat penting di dalam Islam. Begitu pentingnya maka mendapatkan perhatian yang sangat mendasar di dalam berbagai kitab, salah satunya adalah Kitab yang dikaji oleh Pak Dr. Cholil, Nashaihul ‘Ibad, karya Imam Nawawi Al Bantani. Saya ingin membahas sekali lagi konsep ini, setelah kemarin saya bahas mengenai “Diam Sebagai Tindakan Kearifan”.

Sebagaimana Nabi Muhammad SAW telah menyatakan di dalam haditsnya bahwa: “Barang siapa mempercayai Allah dan hari kiamat, maka hendaknya berkata yang baik atau lebih baik diam”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori. Jadi yang dikehendaki oleh Allah adalah berkata yang baik, dan diam jika tidak dapat berkata yang baik. Tentunya ada kriteria perkataan yang baik dan ada perkataan yang jelek, atau ada kriteria dalam berkata dan ada kriteria diam. Hal ini agar kita tidak jatuh pada generalisasi bahwa semua perkataan jelek dan diam itu baik. Ada perkataan yang baik yang harus dilakukan dan ada perkataan jelek yang lebih baik diam.

Marilah kita bahas persoalan ini dalam tiga hal, yaitu: pertama, perkataan yang baik atau perkataan yang amar ma’ruf dan nahyi mungkar. Di sinilah tempat bagi kaum da’I dalam menyebarkan Islam. Tetapi harus tetap berada di dalam konteks menyatakan yang perlu dan yang perlu dinyatakan. Jangan sampai para da’I juga melakukan Tindakan menyebarkan ujaran kebencian, hoaks atau berkata yang berkepatutan  sesuai dengan prinsip komunikasi di dalam Islam. Prinsip misalnya qaulan layyinan atau berbicara dengan lemah lembut atau berkata qaulan kariman atau perkataan yang memuliakan manusia.

Perkataan atau pernyataan yang mengandung nilai-nilai keagamaan, seperti menjelaskan tentang keadilan, kesamaan, toleransi, kerukunan, dan keselamatan dan nilai kesopanan, keutamaan ajaran Islam dan sebagainya tentu dianjurkan, akan tetapi perkataan atau pernyataan yang mengandung kebencian, permusuhan, kebohongan, pembunuhan karakter, ghibah, mengumpat  atau perkataan dan pernyataan yang bertentangan dengan kemualiaan Islam tentu dilarang oleh Islam.  Beragama berarti mengusung bagaimana membangun relasi dengan sesama manusia dalam coraknya yang bisa membahagiakan orang lain. Jangan sampai kit aitu beragama tetapi kehidupan kit aitu menyusahkan orang lain. Saya sangat suka dengan konsep doa di dalam agama Buddha yang menyatakan “semoga semua makhluk Bahagia”. Konsep ini sama dengan doa di dalam agama Islam: Wahai Tuhan kami berikan kepada kami keselamatan di dunia dan akherat”. Jadi tekanannya kepada kami, kita semua, bukan aku.

Kedua, diam di dalam ajaran Islam ini bermakna jangan menyatakan atau mengatakan sesuatu ucapan atau tulisan yang bisa melukai manusia atau pemeluk agama lain, suku lain dan golongan social lain. Prinsip utamanya adalah bagaimana membangun relasi social melalui pernyataan atau perkataan yang membuat orang lain senang dan Bahagia. Bahkan Islam mengajarkan bahwa “senyuman itu sedekah”. Kalau kita berkata dan membuat pernyataan yang membuat orang lain tertawa dan Bahagia, maka hal itu adalah sedekah yang murah tetapi bermanfaat. Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di Masjid Al Ihsan Ketintang Surabaya itu memiliki visi “mewujudkan komunitas Ngaji yang berbahagia”. Oleh karena itu tema-temanya ajaran Islam yang dikemas dengan konten kebahagiaan. Dengan tertawa maka akan muncul parasaan Bahagia.

Bagi saya, bahwa selama seseorang masih bisa tertawa maka peluang kebahagiaan itu masih ada. Bandingkan dengan orang yang ketagihan narkoba, maka dipastikan bahwa hidupnya akan penuh dengan kesulitan, dan untuk memenuhi kebutuhan atas zat adiktif dimaksud, maka terpaksa harus menyayat tubuhnya sendiri, dan menghisap darahnya untuk memenuhi kebutuhan perasaannya. Mereka merasakan tidak ada lagi kesusahan atau kesedihan tetapi semu. Berbeda dengan orang yang bisa tertawa yang bisa menghasilkan kebahagiaan.

Ketiga, sekali lagi diam itu tidak dimaksudkan dalam kebaikan dan Upaya untuk melakukan kebaikan. Misalnya kita ngaji bareng-bareng bada subuh Surat Al Waqiah yang dibaca Bersama maka itu bukan menghasilkan kebisingan akan tetapi menghasilkan rasa damai sesudah membacanya. Bacaan keras ayat Al Qur’an itu akan turut serta didengarkan oleh alam sekeliling kita, sehingga alam pun merasa berbahagian. Sayang belum ada penelitian bahwa alam sekitar yang ikut mendengarkan bacaan alqur’an juga marasakan kebahagiaan. Terhadap tumbuhan saya kira sudah ada hasil penelitiannya. Demikian pula mengenai keajaiban air yang didoakan.

Oleh karena itu jangan khawatir bagi orang yang sering membaca Surat Yasin atau membaa kalimat thayibah bersama-sama, dipastikan bahwa apa yang kita baca tersebut akan lebih dapat didengarkan oleh alam sekeliling kita. Coba kita pikirkan, bagaimana orang kesurupan makhluk halus lalu dirukyah tiba-tiba menjerit dan merasakan kehadiran bacaan ayat-ayat Alqur’an atau doa-doa lainnya. Hal itu berarti makhluk selain manusia  itu mendengarkannya.

Jadi adakalanya, kita berdoa dengan diam dan ada kalanya kita berdoa dengan suara lantang. Keduanya sama pentingnya di Tengah kehidupan social yang sekarang sedang terjadi. Dan mari kita berkeyakinan bahwa keduanya akan sampai kepada Allah SWT asal kita berada di atas garis kehidupan yang berisi syukur, sabar, tawakkal dan yang baik-baik, dan bukan di bawah garis tersebut, misalnya tidak bersyukur, suka marah, egois, merasa paling hebat dan seabrek pemikiran, sikap dan Tindakan yang mendegradasi makna doa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

DIAM SEBAGAI TINDAKAN KEARIFAN

DIAM SEBAGAI TINDAKAN KEARIFAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sungguh menarik ceramah yang disampaikan oleh Pak Cholil Uman, Dr, MPdI., yang memberikan ceramah agama di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Sebuah ceramah yang sangat menarik dengan tema pembahasan tentang “Diam dalam perspektif ajaran Islam”. Acara ini dilakukan pada Selasa, 06/05/2025, diikuti oleh Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) gabungan peserta dari Masjid Ar Raudhah Perumahan Sakura Regency Ketintang Surabaya dan jamaah Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency. Ceramah Pak Cholil menggunakan referensi Kitab Nashaihul Ibad.

Di dalam ceramahnya ini Pak Cholil mengupas tentang manfaat diam dalam konteks ajaran Islam dan kehidupan manusia, khususnya masyarakat Islam. Ada tiga hal yang akan saya bahas tentang ceramah Pak Cholil dimaksud. Pertama, sebuah hadits Nabi Muhammad SAW memberikan gambaran tentang bagaimana seharusnya akhlak umat Islam di dalam kehidupannya untuk relasi social yang harus dilewatinya. Ternyata “diam” menjadi kata kunci penting di dalam kehidupan. Orang yang diam ternyata memperoleh apresiasi yang sangat tinggi di hadapan Allah SWT. Rasulullah SAW menjelaskan di dalam salah satu haditsnya: “barang siapa beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaknya berbicara yang baik atau lebih baik diam”. Islam mengajarkan agar umat Islam tidak banyak omongnya sehingga banyak kesalahannya. Katsir kalam dalam Bahasa Arab suqiyah, ternyata tidak dikehendaki di dalam ajaran Islam. Umat Islam hendaknya berkata-kata yang baik, jika tidak bisa melakukannya, maka hendaknya diam. Banyak kerja dan bukan banyak kata. Di dalam peribahasa Indonesia dinyatakan: “tong kosong nyaring bunyinya”. Artinya orang yang banyak omong itu menandakan bahwa ilmunya tidak dalam”. Masyaallah.

Kedua, ada sejumlah manfaat “diam” di dalam ajaran Islam, yaitu: diam adalah awal ibadah. Diam itu merupakan awalnya ibadah kepada Allah. Ibadah itu, misalnya shalat tentu yang diperkenankan untuk membaca bacaan yang jahr hanyalah imam saja, sementara itu makmumnya harus berada di dalam nuansa diam. Bayangkan jika di dalam shalat berjamaah lalu, terjadi kesamaan membaca doa dalam keras, maka tentunya akan terjadi crowded. Tentu akan tidak bisa konsentrasi. Ibadah di dalam diam itu untuk membangun konsentrasi di dalam ibadahnya. Konsentrasi atau focus atau khusyu’ merupakan persyaratan agar ibadah diterima oleh Allah. Tanpa kekhusyuan maka ibadah akan menjadi sia-sia.

Tidak hanya di dalam ibadah yang diharuskan untuk berada di dalam konsentrasi penuh, tetapi juga di dalam relasi social. Umat Islam  diminta untuk tidak melakukan Tindakan yang dapat menyebabkan adanya ketidakserasian social, misalnya banyak menggunjing, banyak membulli, dan banyak melakukan kebohongan atas apa yang diucapkan. Lakukan pembicaraan sesuai dengan kepentingannya, sesuai dengan keperluannya. Omong yang penting dan yang penting diomongkan. Bicara yang perlu dan dibicarakan yang perlu. Jika prinsip ini dapat dilakukan, maka keselamatan akan didapatkan. Adanya kesalahpahaman, yang paling banyak diakibatkan karena omongan yang salah. Lalu, diam itu meningkatkan ibadah. Sekali lagi bahwa jika tidak banyak mengumbar omongan, maka dampaknya adalah ibadah kita akan meningkat. Orang yang sudah memasuki dunia ibadah yang sungguh-sungguh, maka akan dapat menghasilkan perilaku yang menghargai orang, yang memanusiakan manusia. Para waliyullah atau walisongo itu adalah orang yang mengajarkan Islam dengan perilaku dan bukan hanya dengan ucapan. Perilakunya menjadi contoh. Itulah sebabnya, Allah mengingatkan di dalam Alqur’an, bahwa: “sebuah dosa bagi seseorang di sisi Allah tentang perkataan yang tidak dilakukannya”. Jadi berdakwah atau menyebarkan ajaran Islam itu akan lebih afdhal dengan kesesuaian antara perkataan dan pernyataan. Masyaallah.

Berikutnya, diam itu seutama-utamanya ibadah. Bahkan dinyatakan bahwa diam itu lebih utama dibandingkan shalat dan puasa. Bagaimana kita memahami pernyataan ini? Diam ternyata menjadi kunci ibadah, shalat dan puasa. Di dalam shalat harus focus dan itu artinya kita memanfaatkan batin dan ucapan yang seharusnya dibaca dengan batin dan pikiran atau hati. Jika kita tidak mampu melakukannya, maka shalat kit aitu akan sia-sia. Khusyu’ adalah persyaratan di dalam ibadah shalat. Demikian pula puasa. Di dalam puasa itu tidak boleh menggunjing, dan yang pasti menggunjing itu dengan ucapan. Tidak ada menggunjing yang dilakukan sendirian, pasti ada kawannya. Puasa itu perisai diri agar kita tidak melakukan Tindakan yang dapat merusak pahala puasa, dan salah satunya adalah menggunjing atau menggosip. Termasuk kala kita menunaikan haji, maka kita juga diminta untuk tidak melakukan gunjingan, berbuat kefasikan dan berdebat yang tidak ada manfaatnya. Jadi diam merupakan Tindakan yang sangat baik.

Kemudian, diam itu perhiasan bagi orang-orang alim. Orang yang berilmu itu orang yang memahami secara mendalam tentang pengetahuannya. Dan yang bersangkutan akan menjaga agar melakukan yang terbaik dengan ilmunya. Mereka akan menempatkan pembicaraan sesuai dengan maqam dan tempatnya. Tidak berbicara dengan ilmunya kecuali dalam keyakinan akan kebenaran apa yang disampaikannya. Mereka akan menyampaikan yang benar dan diyakini kebenarannya.

Ketiga, ajaran tentang diam, sebenarnya merupakan ajaran Islam yang sangat substansial. Nabi Muhammad SAW seakan telah memprediksi akan terdapat  suatu zaman dimana pergunjingan, bullying, gossip justru menjadi komoditas. Zaman itu adalah zaman sekarang, suatu zaman yang banyak hiruk pikuk tentang konten media social. Melalui media social maka terdapat komodifikasi yang luar biasa. Betapa berseliweran di Tengah media social tentang gossip, bergunjing, bullying yang seakan menjadi ruh media social. Bahkan agamapun bisa menjadi komoditas, karena di dalam media social tersebut terjadi proses untuk saling menyalahkan di ruang public.

Sungguh ajaran Islam ini patut menjadi renungan. Jika di masa lalu, mulutmu harimaumu, maka sekarang tanganmu menjadi harimaumu. Inilah realitas social yang sedang kita hadapi dewasa ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MEMAHAMI PENGALAMAN RELIGIUS

MEMAHAMI PENGALAMAN RELIGIUS

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Artikel  ini merupakan tulisan lanjutan atas tulisan saya sebelumnya yang membahas tentang mati suri atau koma dengan judul “Pak Harun Dalam Pengalaman Religius Selama 11 Hari”.  Di dalam tulisan itu saya jelaskan tentang pengalaman religious yang bercorak individual. Ceramah ini saya sampaikan dalam pengajian Selasanan pada Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency yang diikuti oleh jamaah Masjid Ar Raudhah dan masjid Al ihsan, 29/04/2025. Ada tiga aspek yang saya jelaskan, yaitu:

Pertama, pengalaman religious merupakan bagian dari kajian psikhologi agama yang menekankan pada aspek pengalaman individual dalam konteks the experience of the holy atau pengalaman beragama.  Artinya bahwa pengalaman itu tidak bisa diduplikasi bahkan oleh yang empunya pengalaman. Sangat individual. Kebanyakan orang yang memiliki pengalaman adalah orang yang memiliki “kedekatan” khusus dengan Dzat Yang Maha Gaib. Pengalaman religious hanya dapat diperoleh melalui “kesamaan” gelombang antara manusia dengan kekuatan gaib. Sama seperti Peter Carey kala ditanya adakah Kanjeng Nyai Roro Kidul, maka jawabannya bahwa tergantung pada gelombang yang sama. Jika gelombangnya sama maka akan merasakan kehadirannya. Tetapi yang tidak memiliki gelombang yang sama dipastikan tidak akan memperoleh pengalaman dimaksud.

Mati suri merupakan bentuk pengalaman religious yang unik. Pengalaman pribadi seseorang yang telah meninggal secara klinis dan  akhirnya hidup kembali. Orang bisa berada di dalam naunsa mati, belum titik, di dalam kehidupan dan merasakan berbagai pengalaman di masa lalu yang diputar ulang. Semua dipertunjukkan dan semua diputar seperti memutar film tentang masa lalu. Pengalaman tersebut berupa pengalaman yang menyenangkan dan bisa juga pengalaman yang menyesakkan. Dalam kasus Pak Harun, sebagaimana tulisan sebelumnya maka didapati pengalaman yang menyenangkan yaitu di kala melakukan relasi social yang baik, dan merasakan penyiksaan di kala melakukan relasi social yang jelek.

Kedua, berdasarkan realitas empiris, maka ada beberapa pendekatan dalam memahami pengalaman religious, termasuk mati suri. Pandangan kaum atheis atau gnostis. Di dalam pendangan filsafat materialism atau positivism ini, maka yang tidak bisa diinderakan tentu bukanlah sesuatu yang bisa dinyatakan sebagai kebenaran. Jadi mereka tidak percaya ada kekuatan yang berbasis pada pengalaman religious. Tuhan tidak ada, dan kegaiban juga tidak ada. Yang ada hanya materi. Jadi jika manusia mati, maka disebabkan oleh rusaknya bagian tubuh manusia, misalnya jantung, paru-paru, otak, dan sebagainya. Kerusakan pada salah satu dari organ tersebut menyebabkan kematian. jadi gak ada dimensi roh atau bahkan jiwa. Yang ada hanya fisik belaka.

Lalu pandangan kaum agamawan. Di dalam pandangan ini, bahwa manusia terdiri dari sekurang-kurangnya jiwa dan raga. Jiwa itu abstrak sedangkan raga itu fisikal. Saya menyatakan bahwa manusia memiliki tiga dimensi, yaitu fisik atau raga, jiwa atau nafsu dan roh. Orang dinyatakan mati jika rohnya, bukan jiawanya, yang meninggalkan fisik atau raganya. Roh itu datang dari Tuhan dan akan Kembali kepada Tuhan. Roh itu bagian dari Tuhan, saya tidak berani menyatakan secara lebih tegas, karena Roh adalah tiupan Tuhan di kala manusia masih berada di dalam Rahim ibundanya. Sebagai tiupan Tuhan maka ada yang ditiupkan dan itulah yang disebut sebagai roh. Orang yang kemampuan paru-parunya di bawah 30 persen, maka peluangnya untuk mati lebih besar. Bisa tetap hidup jika dilakukan Upaya untuk membantu pernafasan dan mempertahankan organ tubuh lainnya. Bahkan ada orang yang bertahun-tahun berada di dalam nuansa koma, tetapi hidupnya tergantung pada alat-alat yang dipergunakan untuk mempertahankan hidupnya.

Di dalam ajaran Islam, bahwa kematian adalah haq atau kepastian, kapan datangnya kematian tidak ada yang tahu. Kapan ajal akan datang tidak ada yang memgetahuinya. Itu adalah hak Allah yang bersifat azali. Bahkan kala Nabi Muhammad SAW ditanya tentang Roh, maka Nabi menyatakan bahwa Roh adalah urusan Tuhan, dan kita hanya dibekali ilmu yang sangat sedikit. Bagaimana dengan suntik mati untuk orang yang sudah tidak berpeluang hidup dengan baik, maka disitulah takdir itu berlaku. Sesuai dengan takdir Tuhan, maka instrument kematian itu terjadi.

Ketiga, tentang mati suri sebagaimana diceritakan oleh Pak Harun, kiranya bisa diambil Pelajaran bahwa ternyata manusia yang beriman atau tidak beriman sesungguhnya akan mengalami “kehidupan” sesudah kematian. di kala seseorang mati suri itu ditunjukkan bahwa ada pengalaman kehidupan yang bisa diputar ulang oleh alam gaibnya, dan hal tersebut nyata atau fakta empiris transcendental. Bukan hasil rekayasa seseorang tetapi benar-benar sebuah fakta yang meyakinkan tentang keberadaan kehidupan sesudah kematian.

Jika keyakinan kita seperti itu, maka saya menjadi teringat akan lagunya Ebiet G. Ade, yang berjudul “Masih ada Waktu”. (nursyamcentre 06/03/23). Sebuah lagu yang perlu untuk direnungkan. Mumpung masih ada waktu hendaknya kita “…mumpung masih ada lesempatan buat kita,  mengumpulkan bekal perjalanan abadi, kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu entah sampai kapan tak ada bakal yang dapat menghitung… Yang terbaik hanyalah  segera bersujud mumpung kita masih diberi waktu”.

Wallahu a’lam bi shawab.