ADAKAH HIDAYAH TUHAN UNTUK ORANG DHALIM?
ADAKAH HIDAYAH TUHAN UNTUK ORANG DHALIM?
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Di dalam teks Alqur’an pada Surat Jumu’ah ayat 5 dijelaskan bahwa Allah tidak akan memberikan hidayah kepada orang yang dhalim. Ayat tersebut menyatakan: “wallahu la yahdil qaumadh dhalimin”, yang artinya: “Allah tidak akan memberikan petunjuk bagi orang yang dhalim”. Jelas sekali teksnya. Berdasarkan ayat ini, maka tidak ada peluang atas orang yang dhalim untuk memperoleh petunjuk dari Allah SWT. Tidak ada. Jalan sudah tertutup untuk hal tersebut.
Di dalam pengajian pada Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya, maka hal itu saya jadikan sebagai pokok bahasan. Saya sampaikan ada beberapa kunci untuk memahami teks ini berdasarkan atas upaya untuk menghubungkan antar ayat atau antar konsep, sehingga dapat menjaring makna yang lebih konprehensif. Tentu saja upaya ini dilakukan dengan cara memahami teks dan konteks diksi dalam ayat yang berusaha untuk dipahami. Sekali lagi pemahaman ini bukan tafsir tetapi hanya upaya secara kntekstual dan tekstual atas ayat yang sepertinya “menutup” atas peluang sekecil apapun. Ada tiga hal yang saya jelaskan:
Pertama, menjelaskan ayat petunjuk atau hidayah. Sebagaimana makna teksnya bahwa hidayah itu adalah hak prerogative Allah untuk memberikannya kepada manusia. Artinya, ada orang yang memperoleh hidayah dan ada orang yang tidak memperoleh hidayah. Tetapi atas orang yang dhalim maka dalilnya jelas, Allah tidak akan memberikan hidayah kepada ajaran Islam. Jika dengan berpedoman pada ayat ini, maka dipastikan siapa saja yang digolongkan orang dhalim maka tidak akan mendapatkan petunjuk. Secara terminology, hidayah adalah petunjuk Allah kepada manusia melalui Nabi-Nabinya, dan yang terakhir adalah petunjuk Allah melalui Nabi Muhammad SAW. Petunjuk tersebut terkait dengan jalan kebaikan. Yaitu petunjuk untuk beriman kepada Allah dan beramal shalih. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dinyatakan: “Qul amantu billahi tsummastaqim”. Katakanlah, “saya beriman kepada Allah dan akan istiqamah atasnya”. Istiqamah dalam beriman dan melaksanakan amalan-amalan sebagaimana yang diimani tersebut.
Kedua, ada tiga kata yang dapat dikaitkan dengan kata petunjuk atau hidayah, yaitu Rahman dan Rahim, keselamatan dan ajaran Islam. Jika dibuat bentuk segitiga, maka ajaran Islam berada di tengah di antara relasi antara hidayah, Rahman/Rahim dan selamat. Ketiganya merupakan relasi yang sistemik atau tidak berdiri sendiri-sendiri. Segi tiga ini untuk menjelaskan posisi orang yang dhalim apakah bisa mendapatkan hidayah atau tidak, masih ada peluang untuk mendapat hidayah atau tertutup sama sekali. Allah itu maha Rahman dan Rahim. Itu pasti. Allah itu pemberi keselamatan. Ini juga kepastian. Allah adalah yang memiliki ajaran agama sebagaimana yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Ini juga pasti. Dengan demikian, hidayah Allah kepada siapapun itu sangat tergantung atas datangnya ajaran Islam kepada manusia, yang dibarengi dengan keselamatan dan Rahman atau Rahim Tuhan. Sayyidina Umar bin Khattab mendapatkan hidayah dari Allah, sementara itu Abu Jahal tidak mendapatkannya. Sementara itu, Maurice Buchaille mendapatkan hidayah, tetapi Annemarie Schimmel tidak mendapatkannya. Bisa jadi ada tingkatan di dalam kedhaliman, sehingga ada yang dhalim mendapatkan petunjuk dan ada yang tidak mendapatkannya. Dalam kasus Sayyidina Umar bin Khattab, maka derajat kedhalimannya lebih ringan dibandingkan dengan Abu Jahal. Maka bisa dikategorikan bahwa ada gradasi atas kedhaliman tersebut. Ada kedhaliman besar, ada kedhaliman medium dan ada kedaliman kecil. Abu Jahal dapat dikategorikan sebagai orang dengan Tingkat kedhaliman luar biasa, karena keinginannya untuk mecelakai Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya, sementara Umar Bin Khattab tidak sejauh hal tersebut. Di dalam Riwayat dinyatakan bahwa Umar ingin membunuh adiknya tetapi tidak kesampaian sebab mendengarkan ayat Alqur’an dibaca adiknya. Sayyidina Umar bin Khattab justru mempercayai atas kenabian Muhammad SAW. Sementara Abu Jahal tidak sedikitpun tergerak hatinya untuk mempercayai ajaran Nabi Muhammad SAW bahkan ingin membunuhnya. Khalid bin Walid tentu juga melakukan kedhaliman tetapi tidak sebesar tingkat kedhaliman Abu Jahal dan Abu Lahab. Alqur’an banyak bercerita tentang individu yang dikenai adzab karena keingkarannya kepada Tuhan, misalnya Qarun, Kapitalis pertama di dunia.
Ada sejumlah kaum Nabi yang juga dapat dikategorikan sebagai kelompok dengan kedhaliman yang luar biasa, misalnya kaum Nabi Nuh yang akhirnya ditelah gelombang laut yang sangat dahsyat. Peristiwa banjir besar yang melanda Nabi Nuh berdasarkan Riwayat interteks dapat dinyatakan sebagai kebenaran, sebab tidak hanya Kitab Suci Alqur’an yang menjelaskannya, akan tetapi juga cerita di dalam Kitab Manawa Darma Sastra yang menceritakan mengenai Manu yang mengalami peristiwa banjir besar.
Selain itu juga kaum Nabi Luth atau Kaum Ad, yang melakukan tindakan sodomi dengan tingkat kedhaliman luar biasa sehingga diadzab dengan rihin shorshorin atau angin panas selama berhari-hari. Kota Sodom dan Gomorah itu kemudian sekarang dikenal sebagai Madain Shaleh. Demikian pula umat Nabi Hud, atau Kaum Tsamud yang juga diadzab Tuhan. Dengan demikian, ada individu yang kena adzab Tuhan dan juga ada sekelompok orang atau komunitas yang dikenai adzab Tuhan.
Dengan demikian, kedhaliman sesungguhnya tetap memiliki peluang untuk memperoleh hidayah Allah selama yang bersangkutan tidak “keterlaluan” di dalam kedhalimannya. Kedhaliman yang sangat besar sebagaimana contoh di atas merupakan gambaran orang yang dhalim yang tidak memperoleh hidayah, sementara yang tingkat kedhalimannya tergolong rendah atau bahkan medium, maka masih berpeluang untuk memperoleh hidayah Allah.
Wallahu a’lam bi al shawab.