• September 2024
    M T W T F S S
    « Aug    
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    30  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

HINDARI KESOMBONGAN

HINDARI KESOMBONGAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tiada yang lebih indah dan membahagiakan di usia yang tidak lagi bisa disebut muda, kecuali  secara bersama-sama dalam usia yang dewasa lalu kita dapat  memperbaiki bacaan Alqur’an atau tahsinan Alqur’an dan juga sedikit memahami terjamah Alqur’an sesuai dengan ayat di dalam Surat yang dibaca. Kami adalah komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency yang nyaris setiap pagi belajar membaca Alqur’an secara benar.

Pada hari Rabo, 11/09/2024, Jamaah KNB terlibat di dalam tahsinan: Pak Mulyanta, Pak Hardi, Pak Suryanto, Pak Rusmin, Pak Budi, saya dan Ustadz Alief Rifqi, Al Hafidz, dan beberapa orang lainnya berhalangan hadir. Kita belajar Alqur’an dan telah sampai pada Surat Alqiyamah, ayat 33-35.

Ayat ini membahas tentang kesombongan dan perintah dengan tegas agar kita jangan melakukannya. Bunyi ayat tersebut adalah: “tsumma dzahaba ila ahlihi yatamattha. Aula laka fa aula. Tsumma aula laka fa aula”. Yang artinya: “Kemudian dia pergi kepada keluarganya dengan kesombongan. Celakalah kamu maka celakalah. Sekali lagi celakalah kamu (manusia), maka celakalah”. Ayat ini menggambarkan betapa Allah SWT memberi peringatan yang sedemikian kerasnya kepada manusia agar jangan sombong, karena kesombongan akan membawa kepada kecelakaan, terutama kecelakaan di alam akherat.

Sombong adalah penyakit hati yang sering tanpa kita sadari. Sebuah penyakit yang menghinggapi hati manusia bahwa ada kelebihan di dalam dirinya, atau ada kelebihan pada dirinya yang tidak dimiliki oleh orang lain. Ada di dalam diri kita penyakit sombong dan hal itu merupakan bagian tidak terpisahkan dari “perasaan” bahwa kita memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang lain.

Kelebihan tersebut bisa kelebihan akan ilmu yang kita miliki. Kita merasa bahwa kita memiliki ilmu yang melebihi orang lain. Ilmu kita lebih hebat dibandingkan dengan orang lain. Ilmu kita lebih banyak dan konprehensif dibandingkan dengan orang lain. Kita serba lebih. Makanya kita lalu menganggap orang lain dipastikan kalah dengan kita. Contoh yang sederhana misalnya dengan kemampuan berbahasa yang lebih banyak maka kita dapat menyombongkan diri bahwa kita yang paling hebat. Orang lain berada di bawah kita. Bahkan kita bisa  menghina orang lain karena kelebihan yang kita miliki tersebut. Ini merupakan kesombongan iblisiyah. Iblis merasa lebih tahu dan lebih baik, maka Iblis menentang Tuhan kala akan menjadikan Adam sebagai khalifahnya.

Kelebihan lainnya misalnya terkait dengan kekayaan atau harta. Kita merasa bahwa kitalah yang paling kaya. Kita merasa  memiliki kelebihan harta dibandingkan dengan orang lain. Harta yang kita miliki itu lebih banyak dan lebih besar dibandingkan orang lain. Dengan harta yang kita miliki maka semua yang kita inginkan akan dapat dicapai. Dengan kelebihan harta itu lalu kita menganggap rendah orang lain bahkan menghina orang lain. Penyakit ini bisa dikaitkan dengan Qarun, seorang kapitalis di zaman baheula. Ini merupakan kesombongan qaruniyah. Kekayaannya itu luar biasa banyaknya, sehingga dia bisa melakukan apa saja. Dia menyombongkan diri dengan kelebihan hartanya tersebut. Pada akhirnya dia mati di dalam gempa bumi yang menenggelamkan diri dan hartanya. Ternyata harta tidak dapat menyelamatkannya.

Kelebihan berikutnya adalah jabatan. Jabatan ada kaitannya dengan kekuasaan. Dengan jabatannya itu dapat membuat kesombongan karena  dia merasa memiliki kekuasaan yang dapat menentukan apa saja. Kekuasaan sering membuat orang terlena. Merasa bahwa kekuasaan tersebut akan selamanya dimilikinya. Dengan kekuasaan yang menjadi efek jabatan tersebut maka orang bisa melakukan apa saja. Bisa semena-mena atas lainnya. Bisa meminggirkan orang lain. Bahkan juga bisa membikin aturan untuk melestarikan kekuasaannya. Bisa melestarikan kekuasaan untuk keluarganya. Penyakit hati seperti ini bisa dikaitkan dengan prilaku Fir’aun atau prilaku Namrud. Hal ini bisa disebut kesombongan fir’auniyah atau kesombongan Namrudiyah. Sedemikian besar kekuasannya sampai-sampai dia merasa sebagai Tuhan. Kehidupannya  berakhir tragis di kala jabatan dan kekuasaannya tidak dapat menyelamatkannya.

Allah sampai dua kali mengulang kata “celakalah bagi orang yang sombong”. Itu berarti betapa pentingnya larangan Allah untuk melakukan kesombongan. Jangan sombong. Jangan sombong. Begitulah Allah mengingatkan kepada manusia akan adanya penyakit hati di dalam diri manusia dimaksud. Allah juga menyatakan agar kita tidak berjalan di muka bumi dengan kesombongan. Wa la tamsyi fil ardhi maraha”. Allah melarang agar manusia tidak berjalan di muka bumi dengan kesombongan. Meskipun manusia memiliki kelebihan di dalam ilmu, kekayaan dan kekuasaan.

Di atas langit ada langit. Di atas kemampuan kita ada kemampuan orang lain. Makanya janganlah menjadi manusia yang merasa paling pintar sendiri, paling kaya sendiri, paling berkuasa sendiri. Di atas kepintaran, kekayaan dan kekuasaan kita ada kekuasaan orang lain yang lebih tinggi. Yang boleh sombong hanya Allah saja, sebab Allah itu Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Kaya tetapi juga Maha Rahman dan Rahim.

Manusia itu diciptakan untuk saling memperkuat satu dengan lainnya. Ada yang ahli bahasa, ada yang ahli matematika. Ada yang ahli ilmu social tetapi juga ada yang ahli antropologi. Ada yang ahli ekonomi dan ada yang ahli agama. Oleh karena itu, selayaknya manusia harus menghargai kelebihan yang lain, dan jangan menganggap dirinya yang paling segalanya.

Adakah di antara kita yang seperti itu? Marilah kita muhasabah atas diri kita agar kita bisa selamat menuju ke surganya Allah yang penuh dengan kenikmatan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

KEBENARAN AGAMA: AINUL YAQIN, ILMUL YAQIN DAN HAQQUL YAQIN

KEBENARAN AGAMA: AINUL YAQIN, ILMUL YAQIN DAN HAQQUL YAQIN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Akhir-akhir ini pembicaraan tentang relasi agama-agama sedang booming. Perbincangan tersebut terutama melalui channel Youtube, yang hingar bingar. Kita tentu bergembira dengan perbincangan relasi agama-agama karena tentu akan membawa kepada pendewasaan bagi pemeluk agama. Tentu yang diharapkan adalah semakin meningkatnya pemahaman agama yang benar dengan tetap berpegang teguh pada toleransi beragama yang selama ini telah menjadi ciri khas di dalam kehidupan beragama di Indonesia.

Selasa, 10/09/2024, jamaah Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency yang tergabung di dalam Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) mendapatkan asupan spiritual yang terkait dengan menemukan kebenaran agama berdasarkan metode ‘ainul yaqin, ilmul yaqin wa haqqul yaqin. Ketiganya merupakan metode yang bisa dijadikan sebagai sarana untuk menemukan kebenaran agama.

Agama memang menyajikan kebenaran yang bersifat mutlak. The ultimate concerned. Kebenaran mutlak tersebut misalnya terkait dengan kebenaran Tuhan. Keberadaan Tuhan merupakan bagian dari truth Claimed yang tidak bisa dibantah. Dalil kemutlakan Tuhan itulah yang menjadi ciri khas keyakinan di dalam beragama. Selama ini kita memahami agama itu lebih banyak dimensi doktrinernya terutama terkait dengan rukun iman. Keberadaan Allah, Malaikat, Rasul, Kitab Suci, Surga dan neraka, Hari Kiamat, serta Takdir merupakan doktrin keimanan yang harus diyakini. Tanpa melalui kajian atau pendalaman, tentu ada di antara kita yang langsung mengucapkan “Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”. Ini merupakan doktrin  yang harus diyakini kebenarannya tanpa ragu-ragu.

Di dalam pengajian di KNB saya sampaikan tiga hal terkait dengan cara dalam mempelajari kebenaran agama, khususnya Islam. Pertama, kajian yang bertumpu pada konsep ‘ainul yaqin. Konsep ini bisa diterjemahkan sebagai kajian berdasarkan atau melalui pengindraan. Ada perluasan makna dari ‘ain atau mata menjadi penginderaan. Jika dimaknai sebagai penginderaan maka seluruh panca indera kita bisa digunakan untuk memahami ajaran agama. Karena penginderaan, maka yang dipahami adalah hal-hal yang bersifat bendawi. Di dalam Islam disebut sebagai ciptaan Tuhan. Khalqillah. Islam mengajarkan agar manusia belajar tentang ciptaan Allah. Ciptaan yang bersifat material atau bendawi. Tafakkaru fi khalqillah. Manusia diminta oleh Allah untuk memahami ajaran agama tersebut berdasar atas apa yang dipahami dari penginderaannya. Kita diberi seperangkat alat penginderaan, seperti mata, telinga, hidung, dan sebagainya yang berfungsi untuk mengenal ciptaan Allah. Dari mengenal ciptaan Allah itulah akhirnya kita sampai pada kesepahaman bahwa semua yang diciptakannya itu adalah untuk mempelajari akan keberadaan Allah. Kita diberi kecerdasan untuk memilah mana yang benar dan mana yang salah. Jika kita mendengar tentang kebenaran maka kita akan membenarkannya, dan sebaliknya. Jika kita melihat matahari, lalu berpikir bahwa matahari tentu ada yang menciptakannya. Jika kita menghirup udara segar, maka dipastikan bahwa udara yang segar itu juga ada yang menciptakannya. Demikanlah seterusnya.

Kedua, konsep ‘ilmul yaqin. Yaitu cara menemukan kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Kebenaran penginderaan bisa menghasilkan kebenaran, akan tetapi kebenaran yang dihasilkannya tentu sangat terbatas pada kemampuan manusia untuk menginderakannya atau melihat, mendengar, merasakan dan sebagainya. Melalui pendekatan ilmul yaqin, maka kebenaran itu akan lebih meyakinkan. Misalnya kita mendengar dari para penceramah agama tentang proses penciptaan manusia di dalam Alqur’an. Dimulai dari masuknya sperma ke dalam Rahim perempuan. Lalu jadilah manusia. Dengan pendekatan doktriner, kita yakin kebenarannya. Tidak ragu-ragu. Kita mendengar bahwa Fir’aun tenggelam di kala mengejar Nabi Musa. Kita mendengar ada sejumlah pemuda yang tertidur di Goa selama 3.5 abad, dan sebagainya. Kita semua mendengarnya dari teks suci Alqur’an. Maka secara doktriner kita wajib mempercayainya.

Kebenaran ilmu pengetahuan itu melalui verifikasi. Jadi harus diverifikasi apakah pernyataan di dalam Alqur’an tersebut apa benar. Ternyata bahwa dunia sains atau dunia ilmu pengetahuan membenarkannya. Misalnya kajian tentang penciptaan manusia di dalam Aqur’an, atau kebenaran Fir’aun tenggelam di Laut Mati melalui kajian atas mumminya, atau keberadaan pemuda Ashabul Kahfi berdasarkan manuskrip Laut mati atau dokumen Qumron. Yang lagi mengedepan sekarang tentang nasab Kaum Ba’alawi. Berdasarkan cerita-cerita di dalam berbagai teks ada yang menyatakan sanadnya tersambung kepada Rasulullah. Tetapi lalu dikaji dengan ilmu nasab atas keberadaan tokoh Ba’alawi atas kitab-kitab sezaman, maka tidak didapati tokoh historis dimaksud. Berdasarkan kajian ilmiah yang dilakukan Kyai Imad, maka akan menghasilkan ilmul yaqin, bahwa nasab Ba’alawi tidak tersambung kepada Rasulullah. Ini berdasar atas ilmu yang menggunakan prinsip verifikasi. Ilmu merupakan system pengetahuan berbasis riset atau penelitian untuk menghasilkan kebenaran ilmiah atau teori.

Ketiga,  haqqul yaqin. Kebenaran yang diyakini kebenarannya atau kebenaran sebenar-benarnya. Haqqul yakin adalah kebenaran yang diperoleh melalui kebenaran observasional atau penginderaan lalu dikaji secara ilmiah dan akan menghasilkan kebenaran yang asasi. Kita akan semakin meyakini kebenaran Alqur’an setelah membaca hasil penelitian atau mendengarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli di bidangnya. Fir’aun tenggelam telah didapatkan hasil penelitiannya, Ashabul Kahfi sudah didapatkan verifikasi atas kebenarannya, kita mendapatkan hasil kajian tentang bulan pernah terbelah. Semua ini menggambarkan bahwa melalui ilmu yaqin, maka yang semula doktriner akhirnya menjadi kenyataan dalam ilmu pengetahuan. Hal ini yang saya sebut sebagai kebenaran yang sebenar-benarnya atau kebenaran asasi atau kebenaran hakiki. Dalam design Tuhan lalu ada perangkat test DNA untuk menguji nasab siapa dari siapa.

Di dalam Alqur’an dikenal konsep afala tubsirun atau apakah kamu melihatnya atau dimensi penginderaan lalu menjadi afala ta’qilun atau memikirkannya melalui kesadaran dan akhirnya menjadi afala tadzakkarun atau membenarkannya dengan kesadaran. Sesungguhnya prinsip di dalam menemukan kebenaran tersebut dapat dikomparasikan dengan prinsip di dalam menemukan kebenaran di dunia sains yaitu empiric sensual atau observasional, lalu empiric rasional atau empiris berbasis pemikiran, lalu empiris etis atau dibenarkan berbasis pada etika dan yang terakhir kebenaran berbasis empiric transcendental atau keyakinan atas kegaiban di dalam kehidupan.

Wallahu a’lam bi al shawab

 

 

MENGKAJI AGAMA-AGAMA UNTUK MEMPERKUAT IMAN

MENGKAJI AGAMA-AGAMA UNTUK MEMPERKUAT IMAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Akhir-akhir ini perbincangan mengenai ilmu perbandingan agama atau bisa disebut sebagai studi agama-agama mulai menghangat kembali. Ilmu ini cukup lama terlelap dalam tidurnya. Semenjak digaungkan oleh Prof. Dr. Mukti Ali, mantan Menteri Agama RI, maka seakan-akan ilmu ini mati suri. Makanya lalu diubah menjadi program studi ilmu agama-agama. Nyaris di seluruh Perguruan Tinggi Islam, maka tidak lagi menggunakan nomenklatur Ilmu Perbandingan Agama,  tetapi menggunakan nomenklatur Studi Agama-Agama.

Nama itu tidak penting. Begitulah Shakespeare, menyatakannya. Perubahan nama ini tentu dimaksudkan agar kajian atas agama dan beragama tersebut tidak dalam kerangka membandingkan mana yang lebih benar dibanding dengan lainnya, akan tetapi memberikan gambaran bahwa ada agama-agama yang bisa dikaji dari berbagai perspektif sesuai dengan agama dan pemeluk agamanya. Melalui nomenklatur baru diharapkan program studi ini lebih memberikan peluang untuk berkembang.

Dalam acara ngaji di Masjid Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency, 03/04/2024, maka saya sampaikan kepada Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) bahwa mempelajari agama-agama itu penting di dalam kerangka untuk memperkuat iman dan pengamalan beragama kita. Melalui pengkajian agama lain dalam konteks keimanan dan pengamalan beragama akan menyebabkan iman dan pengamalan atas agama kita akan semakin kuat dan bukan untuk melemahkan iman dan ibadah ritual kita. Di sisi lain juga untuk memahami agama orang lain dan menghormati pemeluk agama lain.

Mengkaji agama dapat dilakukan dengan cara membandingkan agama-agama dalam aspek teologisnya, ritualnya, pengetahuan agamanya, konsekuensi beragamanya, dan bahkan juga pengalaman beragamanya. Kita bandingkan untuk bisa memahami agama-agama dimaksud dengan harapan kita dapat memperkuat keyakian keberagamaan yang kita miliki.  Dalam kaitan ini, maka perbandingan agama atau studi agama-agama mengalami tiga fase, yang saya sebut sebagai madzhab studi agama-agama atau madzhab dalam perbandingan agama.

Pertama, memahami agama dengan membandingkan satu agama dengan lainnya. Misalnya mengkaji ketuhanan agama Kristen dikaji dari dimensi keyakinan dalam agama Islam. Mengkaji ritual agama Katolik dikaji dari perspektif ajaran ritual dalam Islam, atau mengkaji konsekuensi beragama umat Buddha dengan tinjauan agama Islam, dan sebagainya. Kajian ini akan menghadirkan perbedaan yang berujung, bahwa keyakinan, ritual dan konsekuensi beragama pengaut agama lain salah dan yang benar adalah keyakinan, ritual dan konsekuensi beragama dalam agama saya.

Studi agama atau perbandingan agama di dalam konteks seperti ini kira-kira didapati tahun 1960-1970-an. Jika kita baca tulisan-tulisan, skripsi atau makalah,  di berbagai Perguruan Tinggi Agama Islam, maka akan didapati kajian misalnya Yesus Kristus dalam Tinjauan Alqur’an atau Trimurti dalam Tinjauan Alqur’an atau Maryam dalam Bibel perspektif Alqur’an. Intinya bahwa studi ini membahas tentang dunia keyakinan dan ritual dalam Agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha atau Konghucu dalam pandangan Islam. Berakhir pada “menyalahkan” agama lain.

Kedua,  memahami agama sebagai penganut agamanya. Madzhab ini muncul kira-kia tahun 1980-2000-an. Madzab studi agama atau perbandingan agama yang baru ini dikemukan oleh Prof. Dr. Mukti Ali, mantan Menteri Agama RI, di dalam berbagai perkuliahannya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada masa Prof.  Mukti Ali, maka ilmu perbandingan agama menuai masa kejayaannya. Studi agama ini menjadi ikon di kalangan dosen yang mengambil program studi Islamic studies. Kajian perbandingan agama merupakan part of Islamic studies. Muridnya   banyak yang kemudian menjadi pakar dalam bidang ini. Hanya sayangnya bahwa kajian ini kemudian meredup atau nyaris tidak terdengar suaranya. Studi agama-agama kalah pamor dengan studi pemikiran Islam karena kehadiran Gus Dur, Cak Nur, Johan Effendi dan sebagainya. Dan jangan lupa bahwa dedengkotnya adalah Prof. Harun Nasution, yang kemudian menjadi ikon bagi pengembangan studi pemikiran Islam di IAIN Jakarta dan juga di Indonesia.

Ketiga, kajian studi agama dalam perspektif teks atau manuscript. Studi perbandingan agama dalam kajian teks yang menghadirkan bukti-bukti akurat dari berbagai teks atau manuskrip kuno yang dapat dipertanggungjawabkan. Periode ketiga ini sangat menarik disebabkan tingkat kesahihannya  dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah atau akademis. Melalui kajian-kajian yang dilakukan oleh Menachem Ali, maka kebenaran teks dengan cara mengkomparasikan dengan teks sezaman dalam tema yang sama, maka akan dihasilkan sebuah kesimpulan bahwa teks tertentu itu sahih. Teks tersebut memiliki keakuratan dan keabsahan karena terdapat bukti lain yang membenarkannya.

Madzab ketiga ini memang berat, sebab seseorang yang melakukan kajian harus memahami berbagai bahasa di dalam teks yang dikaji. Misalnya mengkaji tentang kesahihan bahwa Nabi Ibrahim pernah dibakar oleh Namrud, maka harus dihadirkan teks yang sezaman dalam berbagai teks lainnya. Jika tidak ditemukan di dalam Injil Kanonik, maka dapat dilacak dari Injil Aposkrif. Jika tidak didapatkan maka harus dicari di dalam teks Talmud atau Zabur. Jika tidak didapatkan maka dapat dilacak di dalam Teks Taurat. Jika di dalam teks Taurat Yahudi tidak didapatkan maka dapat dilacak di Taurat Samariyah. Begitulah rumitnya madzhab ketiga.

Jadi bagi yang tidak memiliki kemampuan tersebut, maka kita tinggal mendengarkan berbagai tayangan di Youtube sambil nyerufut qahwah. Minum kopi sambil mendengarkan youtube akan dapat dua manfaat, ilmu dan kenikmatan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

ALQUR’AN KITAB SUCI ORISINAL (2)

ALQUR’AN KITAB SUCI ORISINAL (2)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tulisan ini bukanlah termasuk dalam kajian tafsir atas Alqur’an akan tetapi lebih banyak dan bercorak kajian sosiologis-historis. Oleh karena itu jika kemudian terdapat pembacaan atas suatu ayat atau penjelasan tentang ayat Alqur’an bukan berarti berada di dalam kawasan tafsir tetapi hanya merupakan terjemahan dan pemahaman secara umum saja.  Hal ini perlu ditegaskan agar kita bisa memahami bahwa sebuah tulisan tentang Alqur’an tidaklah mesti berada di dalam ilmu tafsir akan tetapi bisa juga sosiologis, antropologis atau historis.

Alqur’an memang diturunkan di dalam Bahasa Arab, sebagai bahasa yang digunakan oleh Allah kepada umat Nabi Muhammad SAW yang memang pada awalnya berbahasa Arab. Oleh karena itu untuk memahami tafsir Alqur’an tentu saja harus menguasai Bahasa Arab dengan berbagai tata bahasanya, kosa katanya, langgam bahasanya, dan makna umum atau khasnya. Orang tidak hanya cukup untuk memahami Alqur’an melalui penguasaan Bahasa Arab secara umum, akan tetapi harus memahami ilmu nahwu, Sharaf, balaghah, ilmu arudh, ilmu qiraat dan sebagainya. Belum lagi ragam metodologi penafsiran, misalnya tafsir maudhui, tafsir ijmali, tafsir ra’yi, tafsir riwayah, dan sebagainya.

Salah satu keuntungan dari kodifikasi atas teks Alqur’an pada masa Usman bin Affan adalah memastikan bahwa urutan surat, ayat dan tulisan dalam Alqur’an dipastikan tidak berbeda dengan hafalan dan tulisan di dalam Alqur’an. Jadi Alqur’an yang kita baca sekarang dengan Alqur’an pada zaman Usman bin Affan dan masa tabiin dan tabiit-tabin tersebut sama. Yang berbeda adalah gaya penulisan,  bentuk tulisan dan cara membacanya. Yang saya maksud dengan gaya penulisan tentu terkait dengan model khat atau tulisan yang berkembang sesuai dengan tradisi pada masyarakatnya. Misalnya khat atau tulisan cetakan Alqur’an India atau mushaf India dan cetakan Singapura atau cetakan Mesir tentu bisa berbeda.

Alqur’an memang sudah lama dicetak, cetakan pertama dilakukan di Hamburg Jerman tahun 1694 pada Percetakan Abraham  Hincklemann dengan cetakan lengkap, ada tanda baca, tanda huruf, dan penomoran ayat. Cetakan ini menggunakan qiraat Ashim atas Riwayat  Hafs. Kemudian   misalnya cetakan India tahun 1870 M, sedangkan Alqur’an cetakan Singapura pada tahun 1860. Lalu ada cetakan Mesir tahun 1924 dan 1926. Di dalam cetakan Mesir tersebut tidak didapatkan harakat. Tetapi untuk cetakan India dan Singapura menggunakan harakat. Itulah sebabnya Alqur’an cetakan India dan Singapura banyak beredar di Indonesia. Cetakan Alqur’an yang sekarang di Indonesia, tentu diilhami oleh Alqur’an cetakan India dan Singapura dimaksud. Alqur’an dicetak dengan harakat tentu untuk memudahkan bagi masyarakat Nusantara yang tidak menguasai Bahasa Arab.

Alqur’an yang dicetak di Mesir tidak berharakat sebab masyarakat Mesir adalah masyarakat pengguna Bahasa Arab, sehingga lebih mudah untuk dapat membaca Alqur’an dan selain itu juga untuk kepentingan menjaga berbagai ragam bacaan di dalam Alqur’an. Pemerintah Mesir pada tahun 1924 juga menyelenggarakan upaya untuk membakukan bacaan Alqur’an dan dipililah bacaan Ashim atas Riwayat Hafs. Alqur’an cetakan Mesir ini kemudian disebarkan di seluruh dunia.

Sesuai dengan penuturan Menachem Ali, bahwa dari sisi tulisan atau rangkaian huruf maka tidak ada perbedaan antara satu dan lainnya. Meskipun berbeda cetakan dan tempat pencetakan Alqur’an, akan tetapi sama saja dalam teksnya. Yang berbeda adalah cara membacanya. Kita mengenal ada yang disebut sebagai Qira’ah Sab’ah atau tujuh cara membaca Alqur’an. Cara membacanya bukan teksnya. Juga dikenal ada qiraah asyrah atau bacaan 10 cara membaca Alqur’an.

Di dalam perkembangnya maka dikenal ada tujuh ragam bacaan Alqur’an. Berdasarkan nuonline (30/10/2021) dinyatakan ada tujuh imam di dalam bacaan Alqur’an. untuk memudahkan membacanya maka saya sebut nama-nama terakhirnya atau depannya saja, meskipun juga nama kepanjangannya. Yaitu Imam Nafi’ (Imam Nafi’ ibn Abdurrahman), Imam Ibn Katsir (Imam Abdullah Ibn Katsir), Imam  Amar (Imam Abu Amar Zabban ibn Al A’la Al Bashri),  Imam Abdullah (Imam Abdullah  ibn Amir al Syami), Imam Ashim (Imam Ashim bin Abi Al Najud al Kufi), Imam Al Zayyat (Imam Hamzah al Zayyat), dan Imam Hamzah (Imam Ali ibn Hamzah al Kissai).

Perbedaan atas langgam bacaan juga berimplikasi atas cara membacanya, sehingga jika orang tidak hati-hati akan beranggapan bahwa ada banyak versi di dalam Alqur’an. Jadi yang berbeda adalah cara membacanya, bukan teksnya. Semua teks Alqur’an sudah teruji tidak ada perbedaan. Satu teks adanya. Berdasarkan atas manuskrip-manuskrip yang didapatkan, maka diketahui bahwa urutan surat dan ayat di dalam Alqur’an teruji kesahihannya. Suatu contoh di manuskrip kuno Alqur’an di dalam Museum Birmingham, yang hanya tiga surat, ternyata susunan surat dan ayatnya sama dengan susunan surat dan ayat di dalam teks Alqur’an di dalam Mushaf Usman bin affan.

Kita tentu bersyukur bahwa Alqur’an yang kita yakini itu mengandung kesahihan dan terjaga thula makan wa  zaman, sepanjang tempat dan sepanjang waktu, yang menggambarkan bahwa Alqur’an itu memang benar-benar terjaga. Yang Alqur’an sudah terjaga secara azali, dan yang hadits dijaga melalui kehadiran imam-imam hadits yang melakukan seleksi secara akurat dan tepat.

Dua sumber hukum Islam sebagaimana terdapat di dalam Islam sungguh dapat menjadi sandaran atau pedoman tentang bagaimana kita membangun relasi dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam semesta.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

ALQUR’AN KITAB ORISINAL (1)

ALQUR’AN KITAB ORISINAL (1)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di dalam artikel pendek ini tentu tidak semua hal tentang Alqur’an dapat dijelaskan. Tulisan ini hanya sekedar eksplorasi secara ringkas untuk menggambarkan bahwa Alqur’an adalah kitab yang terjaga keasliannya berdasarkan atas kajian-kajian manuskrip tentang Alqur’an. Tulisan ini bukan tafsir Alqur’an akan tetapi hanyalah survey sosiologis-historis tentang Alqur’an dengan referensi yang sangat terbatas. Artikel ini memuat tentang perdebatan dan perbandingan dengan teks-teks kitab lainnya secara general.

Perdebatan tentang Kitab Suci nyaris terus terjadi sepanjang masa, semenjak Kitab Suci tersebut diturunkan oleh Tuhan kepada nabi atau rasul. Semua kitab suci. Tidak terkecuali juga Kitab Suci Alqur’an. Kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW ini juga mengalami perdebatan semenjak di diturunkan hingga sekarang. Jika di masa lalu tidak dipercayai sebagai wahyu Allah SWT, maka di masa sekarang tentu berbeda perdebatannya.

Tentu bisa dihitung dengan jari orang yang mempercayai bahwa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada orang-orang Quraisy adalah wahyu Allah SWT. Di masa awal hanya ada sebanyak 40 orang yang kemudian dikenal sebagai assabiqunal awwalun. Di antara mereka adalah Khadijah, Abu Bakar As shiddiq, Ali bin Abi Thalib dan sebagainya. Merekalah orang yang mempercayai kenabian Muhammad sehingga mempercayai bahwa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW adalah wahyu Allah yang kelak dikenal sebagai Alqur’an.

Tidak hanya Alqur’an yang terus menjadi perdebatan, akan tetapi juga kitab Taurat dan injil. Taurat adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa AS. Sedangkan kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa AS. Juga ada Zabur atau Talmud yang diturunkan kepada Nabi Dawud. Hakikat diturunkannya kitab-kita tersebut secara berurutan atau bergantian adalah untuk melakukan koreksi atas kitab-kitab yang sudah ditulis sebelumnya atau dikodifikasi oleh umat agama masing-masing. Kitab suci memang dikodifikasi oleh umat agama masing-masing setelah Sang Rasul wafat. Kitab Taurat ditulis setelah Nabi Musa wafat kira-kira puluhan tahun, Kitab Injil ditulis oleh umatnya kira-kira 60 tahun setelah ketiadaan Nabi Isa. Dan Kitab Suci Alqur’an ditulis untuk kodifikasi pada masa Khulafaur Rasyidin, Usman bin Affan, pada tahun 25-30 hijrah.

Semula wahyu Allah kepada Nabi Muhammad tertulis di dalam pelepah kurma, tulang hewan atau batu dan juga dihafal oleh banyak sahabat. Akan tetapi lama kelamaan bisa saja terjadi kerusakan tulisan tersebut dan juga semakin banyak sahabat yang wafat, sehingga Khalifah ketiga berusaha untuk mengkodifikasi kitab suci Alqur’an, sehingga kitab Suci Alqur’an tersebut disebut sebagai Mushaf Usmani. Meskipun bervariasi cetakan dan bacaannya, akan tetapi semua Kembali kepada teks yang sudah dibakukan oleh Usman bin Affan.

Pada masa Rasulullah sebenarnya sudah ada upaya untuk menuliskan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad. Ada banyak sahabat Nabi yang bisa menulis dan kepadanya diperintahkan untuk menulis teks Alqur’an, ayat demi ayat atau wahyu demi wahyu. Setelah Nabi wafat, maka naskah Alqur’an yang sudah terkumpulkan tersebut disimpan di rumah Hafsah binti Umar, istri Nabi, dan kemudian disimpan di rumah Umar bin Khatab dan setelah itu disimpan di rumah Usman bin Affan. Jadi bukan hanya dihafal akan tetapi benar-benar tertulis. Dan bahkan Nabi terlibat dalam verifikasi atas kumpulan teks-teks tersebut.

Berbeda dengan Taurat yang terdapat variasi-variasi di dalam teks dan bunyi teks atau kandungan teksnya, misalnya ada Taurat yahudi dan taurat Samariyah, maka injil juga ditulis oleh banyak murid Isa atau di dalam agama Kristiani disebut sebagai Yesus Kristus. Sekurang-kuranya ada empat yang disebut sebagai Injil  Kanonik atau  injil yang diakui oleh gereja, misalnya Injil Matius, Injil Markus, Injil Yohanes dan Injil Lukas, juga terdapat beberapa Injil yang disebut sebagai Injil apokrif atau Injil yang tidak dijadikan sebagai rujukan utama bahkan ada yang ditolak, misalnya Injil Barnabas. Injil Barnabas merupakan salah satu teks yang ditulis oleh Barnabas sebagai hawariyyun atau pra penolong Isa Al Masih.

Dipastikan bahwa dalam kerangka untuk kodifikasi Alqur’an yang masih berada di dalam berbagai tulisan tersebut dibicarakan oleh para sahabat Nabi. Keuntungannya, ada yang hafal seluruh isi teks Alqur’an dan ada yang tertulis, sehingga tidak sulit untuk menyamakan pandangan tentang bagaimana susunan suratnya, susunan ayatnya, susunan bunyi teksnya dan juga tata letaknya. Jadi tidak hanya mengandalkan ingatan atau hafalan tetapi juga dicrosscheck dengan tulisan atau tulisan dicrosscheck dengan hafalan. Inilah barangkali makna Allah akan menjaga kitab suci Al qur’an.

Jarak antara Nabi Musa dan Isa adalah 1500 tahun. Nabi Musa keluar dari Mesir pada tahun 1513 SM pada saat usianya 80 tahun. Dan wafat tahun 1473 SM. Sedangkan jarak antara Nabi Isa dengan Nabi Muhammad adalah 571 tahun terhitung dari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Jadi jarak antara Nabi Musa dengan Nabi Isa selama 15 abad, sedangkan jarak antara Nabi Isa dengan Nabi Muhammad adalah enam abad.

Jika kita menggunakan premis bahwa setiap Nabi yang lahir belakangan adalah koreksi atas ajaran agama sebelumnya, maka jarak waktu koreksi dari Nabi Musa ke Isa itu luar biasa panjangnya, sedangkan jarak koreksi dari Nabi Isa ke Nabi Muhammad relative lebih pendek. 15 abad berbading 6 abad. Koreksi atas ajaran agama sebelumnya itu secara sosiologis sangat dimungkinkan sebab telah menjadi kecenderungan umat manusia untuk mengubah apa yang sudah diyakininya. Semula asli dan kemudian karena factor penafsiran sehingga makin lama makin jauh penafsiran atas ajaran agama tersebut, bahkan lama-lama menjadi berubah.

Inilah yang mengilhami atas pandangan Peter Berger, bahwa agama adalah kabar angin dari langit. Sebagai kabar angin maka tentu akan mengalami  perubahan di tengah perubahan social dan penafsiran demi penafsirannya. Makanya, ada yang mendekati maknanya dengan makna teksnya dan ada yang jauh dari makna teksnya. Dan ini adalah keniscayaan di dalam dunia beragama.

Wallahu a’lam bi al shawab.