• December 2024
    M T W T F S S
    « Nov    
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    3031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENJAGA IMAN DARI GANGGUAN SYIRIK

MENJAGA IMAN DARI GANGGUAN SYIRIK

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Saya berkesempatan untuk memberikan ceramah agama di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Pada Selasa pagi, 03/12/2024, ba’da Shubuh. Acara pengajian rutin ini dikelola oleh Komunitas Ngaji Bahagia (KNB). Selasa yang lalu diisi oleh Ustadz Dr. Sahid Sumitro, trainer pengembangan SDM di berbagai tempat: Lembaga pemerintah, Lembaga swasta, dan juga Lembaga swadaya masyarakat. Pak Sahid merupakan seorang trainer andal dalam bidangnya.

Saya menyampaikan satu tema yang berjudul “Menjaga Iman dari Gangguan Syirik”. Tema ini dipicu oleh cerita Pak Bintara yang menemukan Jinglot, di depan rumahnya. Jinglot itu diyakini sebagai makhluk yang sudah mati tetapi masih hidup. Tanda hidupnya adalah rambutnya bisa memanjang bahkan melampaui badannya. Panjangnya kira-kira 10 cm-20 cm. badannya kering, tetapi kukunya bisa memanjang dan juga rambutnya. Makanya, ada yang menganggap Jinglot adalah makhluk yang memiliki kekuatan atau energi. Kebanyakan beranggapan energi negative. Wallahu a’lam.

Saya sampaikan tiga hal, yaitu: pertama, iman merupakan ajaran pokok di dalam Islam. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan di dalam hadits Nabi Muhammad SAW sewaktu didatangi oleh Malaikat Jibril untuk mengajarkan tentang Iman, Islam dan Ihsan. Iman adalah percaya kepada Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari akhir dan Takdir Allah. Di dalam iman terdapat kegaiban. Iman itu keyakinan sehingga ada yang tidak bisa dipertanyakan. Sebagaimana Sayyidina Abu Bakar yang mempercayai iman tanpa keraguan sedikitpun. Iman dengan lesannya dan juga iman dengan hatinya. Ada orang yang lesannya beriman tetapi hatinya tidak beriman atau yang disebut sebagai orang munafik.

Iman merupakan ajaran Islam yang mendasar, melalui iman kepada Allah, maka akan menyatu  secara sistemik dalam iman kepada lainnya. Alqur’an misalnya menjelaskan tentang “aku beriman kepada Allah dan kemudian beristiqamah”. Perilaku istiqamah tidak akan terjadi jika tidak mendalam keyakinannya kepada Allah dimaksud. Iman kepada malaikat, makhuk gaib yang ada di dalam ajaran Islam, yang pernah datang kepada Nabi menyerupai orang yang sangat tampan di kala Nabi Muhammad bersama para sahabatnya. Ada seseorang yang tiba-tiba datang dan tiba-tiba pergi. Di kala para sahabat Nabi bertanya, maka Nabi menjelaskan bahwa yang datang tersebut adalah Malaikat Jibril untuk mengajarkan tentang Iman, Islam dan Ihsan.

Kitab suci dengan Nabi Muhammad SAW merupakan dunia keyakinan yang berwujud. Kitab suci dapat dibuktikan dengan otentisitas Alqur’an sebagai Kitab Suci dan kehadiran Nabi Muhammad SAW yang juga manusia sebagaimana manusia lainnya. Namun Nabi Muhammad SAW merupakan insan kamil atau manusia sempurna yang semua perbuatannya dipandu oleh wahyu Allah. Lalu ada hari akhir atau kiyamat dan kepastian atau takdir Allah yang berlaku bagi semua manusia dan alam seluruhnya.

Kedua, dalam rukun iman tersebut ada yang harus diyakini tanpa bisa dibuktikan. Misalnya eksistensi Allah dengan sifat, af’al dan dzatnya. Tidak ada satupun makhluk selain Nabi Muhammad SAW yang bisa bermuwajahah  dengan Allah. Nabi-nabi lainnya tidak memiliki kemampuan untuk bertemu Allah. Nabi Musa yang meminta bertemu dengan Allah di atas Bukit Thursina, maka Musa kemudian pingsan karena Gunung Thursina tidak mampu untuk menampung kekuasaan Allah. Inilah kegaiban pertama dan utama yang tidak mungkin manusia dengan ilmu pengetahuannya untuk menyibaknya. Sejauh-jauhnya hanyalah hipotesis tentang keberadaan Zat yang sempurna untuk menciptakan alam dan tata surya. Alam dan tata surya tidak mungkin terjadi dengan sendirinya kecuali ada desain sempurna yang menciptakannya. Keteraturan tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Pasti ada Akal Agung yang mendesainnya. Dan itulah yang dikenal sebagai Tuhan.

Keberadaan Rasul dan Kitab Suci dapat dibuktikan secara saintific. Melalui ilmu pengetahuan yang semakin maju, maka sesuatu di masa lalu yang dianggap sebagai mu’jizat, maka sekarang bisa dibuktikan kebenarannya. Fir’aun yang tenggelam di laut merah bisa dibuktikan kebenarannya. Bulan terbelah bisa dibuktikan kebenarannya. Malam lailatul qadar dapat dibuktikan kebenarannya. Dan masih banyak lainnya. Demikian pula hari akhir atau dikenal sebagai hari kiamat juga bisa dihipotesiskan melalui kajian-kajian empiris melalui studi astronomi. Semenjak ditemukannya teori big bang dan black hole maka kebenaran kiamat akan menjadi kenyataan. Melalui teori Stephen Hawking maka suatu ketika alam dan tata suryanya dapat ditelan oleh lubang hitam yang akan menyerap semuanya.

Ketiga, kita harus menjaga iman kepada Allah agar tidak jatuh kepada kemusyrikan. Di dunia ini banyak benda yang diyakini memiliki kekuatan atau dinamisme. Di dalam konsep lain disebut sebagai energi. Energi itu bisa positif dan bisa negative. Energi positif itu, misalnya energi Ka’bah atau energi dzikir atau bacaan Alqur’an. Dan energi negative dan positif bisa datang dari benda-benda yang ada di sekitarnya. Keris, akik, dan benda-benda antic lainnya bisa mengandung energi positif atau negative. Yang positif bisa datang dari malaikat dan yang jahat datang dari setan atau iblis.

Orang boleh saja untuk memiliki atau menggunakan berbagai akik atau bahkan keris yang dianggapnya memiliki energi yang baik bagi dirinya, akan tetapi jangan lupa bahwa energi tersebut adalah energi yang dianggap positif. Meskipun bukan penganut aliran serba kekuatan atau dinamisme, tetapi kita bisa percaya bahwa ada kekuatan atau energi yang dikandung oleh benda-benda tertentu. Hal tersebut merupakan kekayaan dunia, artinya bahwa semua suku bangsa di dunia memiliki kepercayannya seperti ini.

Di dalam Islam diajarkan agar jangan sampai kepercayaan akan benda-benda dunia, selain yang diajarkan Islam, dapat menyebabkan manusia tergelincir di dalam pemahaman dan perilaku syirik atau menyekutukan Tuhan. Ada syirik khofi atau menyekutukan Tuhan dengan samar-samar. Dan ada yang menyekutukan Tuhan secara nyata atau syirik jahri. Ada orang yang melakukan sesaji di pohon-pohon besar dengan keyakinan ada hal yang bisa dilakukan oleh pohon tersebut untuk menyelamatkan atau menyengsarakan. Jika kita meyakini seperti ini, maka kita sudah jatuh pada syirik jahri. Ada alat-alat sesaji dan diyakini sebagai instrument keselamatan. Kemudian ada yang khofi atau tersembunyi adalah jika kita meyakini ada kekuatan gaib yang bisa menyelamatkan atau menyengsarakan tetapi kita tidak melakukan upacara atau sesaji terhadapnya. Memahami atau mempercayai tanpa melakukan Tindakan apapun merupakan syirik khofi.

Berbeda dengan keyakinan atas manusia yang dianggap memiliki energi positif atau negative. Manusia bisa mendapatkan energi tersebut melalui serangkaian riyadhoh atau pelatihan. Sejauh kita tidak meyakini bahwa kebaikan atau kesengsaraan itu mutlak dari manusia tersebut, maka kita akan selamat dari pemahaman dan prilaku syirik. Kita meyakini bahwa para waliyullah adalah orang yang memiliki kelebihan karena usahanya diridloi oleh Allah. Energi positif yang digunakan untuk kebaikan tentu dapat diyakini dan tidak menjadi penyebab kemusyrikan. Energi positif para waliyullah akan bisa bertemu dengan energi Allah yang Maha Agung. Jika energi positif tersebut dipastikan datang dari Allah, maka kita dapat  mempercayainya dan bukan merupakan kemusyrikan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

HINDARI KAUM INKARUS SUNNAH

HINDARI KAUM INKARUS SUNNAH

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Salah satu di antara kelebihan dari Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya adalah mengedepankan diskusi yang lebih dominan dibanding ceramah atau penjelasan narasumber. Bahkan di dalam acara tahsinan pun juga dilakukan upaya untuk mendalami atas ayat-ayat yang ditahsinkan. Pada hari Kamis, 28/11/24, acara tahsinan sampai pada Surat Al Mujadilah ayat ke 9, yang intinya memberikan pencerahan kepada umat beriman agar tidak merencanakan untuk melakukan  perbuatan dosa, perlawanan dan durhaka kepada Rasulullah. Arti di dalam ayat 9 tersebut adalah: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan perbuatan dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Tetapi bicarakanlah tentang perbuatan kebajikan dan taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan kembali”.

Menilik atas ayat ini, maka ternyata Alqur’an itu sangat mendalam dalam menceritakan fenomena yang memang lazim terjadi di kalangan masyarakat. Ada pembicaraan rahasia yang kemudian mengandung dimensi kemadharatan. Allah menegaskan agar jika ada pembicaraan yang dianggap sebagai rahasia, maka diperkenankan dengan materi pembicaraan yang mengarah kepada kebaikan fid dini wad dunya wal akhirah. Ada tiga hal yang kita bicarakan;

Pertama, di antara kelompok yang bisa dinyatakan durhaka kepada Rasulullah SAW adalah kaum inkarus sunnah. Orang yang ingkar kepada Rasulullah. Mereka adalah orang yang menolak atas apa yang dicontohkan oleh Rasulullah. Mereka tidak mau menjalankan sunah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Mereka berkeyakinan hanya akan mengamalkan yang menjadi keyakinannya saja dan tidak mengamalkan atas apa yang disunnahkan oleh Rasulullah. Kelompok ini memang berkeyakinan atas keberadaan Allah SWT dan mempercayai atas firman Allah yang berupa Alqur’an akan tetapi tidak percaya tentang hadits-hadits yang menjadi basis bagi tindakan melakukan sunnah rasul.

Kaum inkarus sunnah menjadi fenomena di masa pemerintahan Islam Bani Umayyah dan terus berlanjut pada masa Bani Abbasiyah. Pada zaman imam-imam madzhab, aliran inkarus sunnah sudah berkembang di Timur Tengah. Ajaran kaum inkarus sunnah masuk ke Indonesia, Malaysia dan beberapa negara lainnya diperkirakan pada tahun 1970-an. Meskipun ajaran inkarus sunnah jelas-jelas bertentangan dengan prinsip Islam  yang diyakini oleh mayoritas umat Islam, akan tetapi tetap saja ada pengikutnya.

Bisa jadi keyakinan seperti ini tumbuh karena perbedaan tafsir atas sunnah yang dilakukan oleh para mufassir, ahli hadits  dan ahli fiqih. Dari pada berada di dalam perdebatan yang tidak kunjung selesai di antara para fuqaha dan ahli hadits atau ahli tafsir, maka mereka lebih baik menghindarinya. Mereka sampai pada asumsi bahwa yang bisa diterima hanyalah firman Tuhan di dalam Alqur’an saja. Sayangnya, saya tidak bisa menjelaskan lebih detail tentang mana yang diterima dan mana yang ditolak di dalam ajaran sunnah atau bahkan ditolak seluruhnya atau ditolak sebagiannya saja.

Kedua, sebagai orang yang berada di dalam paham ahli sunnah wal jamaah, maka sungguh tidak masuk nalar atas pemahaman agama yang menolak sunnah Nabi Muhammad SAW. Bagi saya bahwa antara apa yang terdapat di dalam Alqur’an dengan apa yang ada di dalam hadits Nabi Muhammad sebagai basis sunnah rasul tentu tidak bisa dipisahkah. Alqur’an menjelaskan hal-hal yang mujmal atau umum, dan hadits dalam bentuk  ketetapan, ucapan dan tindakan Rasul adalah penjelasan detailnya. Contoh dalam perintah shalat, maka Alqur’an hanya memberikan perintahnya saja dan sunnah Nabi yang menjelaskannya. Jadi orang melakukan shalat harus berbasis pada amalan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Jadi tentu benar perintah Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: “shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat”. Adapun bisa terjadi variasi di dalam pelaksanaan shalat,  maka hal tersebut merupakan konsekuensi dari tafsir para ulama tentang shalat Nabi Muhammad SAW. Jika ada doa dalam shalat yang berbeda, ada gerakan shalat yang berbeda, dan bacaan shalat yang berbeda, maka hal itu merupakan contoh yang diriwayatkan oleh generasi sahabat dan terus diwariskan oleh generasi tabi’in dan tabiit tabi’in dan sampai kepada kita sekarang. Ada banyak Riwayat yang menjelaskan tentang Nabi Muhammad membenarkan bacaan shalat sahabatnya dan membenarkan bacaan lainnya. Makanya ada Riwayat hadits yang menyatakan bacaan ini di dalam shalat dan ada bacaan itu di dalam shalat dan sebagainya.

Ketiga, Nabi Muhammad SAW merupakan tipe ideal dalam kasih sayang dan tipe ideal dalam kebebasan untuk mengekspresikan agamanya. Para sahabat sering melakukan ibadah dengan doa yang diekspresikannya dan kemudian dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Itulah sebabnya ada varian di dalam doa dan bacaan di dalam shalat. Ada kelompok yang menggunakan bacaan sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari  dan ahli hadits Imam Turmudzi. Yang kemudian berimplikasi atas penafsiran tentang hadits tersebut. Misalnya hadits tentang bacaan Alfatihah di dalam shalat. Imam Syafi’i mewajibkan bacaan Alfatihah di dalam shalat, sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan tidak wajib hanya keutamaan saja.

Dengan demikian, saya tidak membayangkan bagaimana seseorang bisa menjadi kelompok inkarus sunnah, padahal untuk melakukan ajaran agama tentu diperlukan tindakan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Jadi yang paling rasional adalah menyandingkan atas teks Alqur’an dan teks Hadits Nabi Muhammad SAW.

Oleh karena itu marilah kita beragama sebagaimana agama yang sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW berbasis pada pemahaman dari para ulama yang kita Yakini sebagai ahli di dalam penafsiran ajaran agama.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MENGHINDARI DOSA, DURHAKA DAN MENGHINA RASULULLAH

MENGHINDARI DOSA, DURHAKA DAN MENGHINA RASULULLAH

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Agama apapun dipastikan mengajarkan kepada hambanya untuk menghindarkan diri dari perbuatan dosa, perbuatan durhaka dan pernyataan atau  perbuatan yang menghina Rasulullah. Tentu Islam memiliki konsep di dalam hal ini. Islam melarang dengan tegas atas beberapa tindakan yang diidentifikasi sebagai mengandung perbuatan dosa, perbuatan durhaka dan menghina, mencela atau menjelekkan Rasulullah Muhammad SAW.

Inilah inti dari pembahasan di dalam acara tahsinan, yang diselenggarakan oleh Jamaah Nagi Bahagia atau disebut sebagai Komunitas Ngaji Bahagia (KNB), 20/11/2024.  Acara ini seperti biasa dilakukan setiap hari dan diikuti oleh jamaah Masjid Raudhoh Perumahan Sakura Ketintang Surabaya dan jamaah Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Acara  tahsinan ini sampai pada  Surat Al Mujadilah, pada Juz ke 28. Di antara ayat yang dibaca adalah mengenai pembicaraan yang terkait dengan dhihar atau menyamakan isteri dengan ibu kandung dan perbuatan  dosa, durhaka dan menjelekkan Rasululllah. Islam tidak melarang sekelompok orang melakukan pembicaraan tetapi tentu yang dibicarakan adalah mengenai kebaikan.

Ada tiga hal yang kita diskusikan di dalam acara tahsinan, yaitu: pertama,  terkait dengan larangan untuk berbuat dosa. Di dalam ayat ini disebut sebagai itsmi atau perbuatan dosa. Allah sungguh melarang agar seseorang tidak melakukan perbuatan dosa. Sebab dosa merupakan perbuatan  yang  mengandung kemadharatan, baik kemadharatan untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Untuk diri sendiri perbuatan dosa akan menjadi beban psikhologis dan beban spiritual. Seseorang akan menjadi gelisah, takut dan merasa bersalah. Kemudian juga akan membebani mindset bahwa kita akan masuk ke dalam neraka. Seseorang akan memperoleh duka nestapa karena terbayang dengan keadaan di neraka. Apalagi banyak sekali ayat Alqur’an yang menceritakan tentang penderitaan kehidupan di neraka. Oleh karena itu Allah memberikan solusi agar orang yang berbuat dosa segera bertaubat dengan melakukan perbuatan baik. Pertobatan dan perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang yang selesai melakukan dosa akan bisa menghapus dosanya tersebut.

Kedua, Allah juga melarang manusia untuk melakukan perbuatan durhaka. Perbuatan  durhaka itu berdimensi terhadap Allah, Rasulullah dan juga sesama umat manusia. Durhaka kepada Allah, misalnya kita memiliki mindset dan tindakan yang menyekutukan Tuhan, mengingkari keberadaannya, mengingkari syariatnya dan masih banyak lagi lainnya. Kemudian durhaka kepada Rasulullah, misalnya menjadi kelompok inkarus sunnah. Menolak sunnah rasul.  Melanggar atas apa yang disyariatkan Allah melalui Nabi Muhammad SAW.

Di dunia ini semakin banyak orang yang menjadi atheis atau tidak percaya kepada Tuhan. Di Eropa Barat, prosentase orang atheis semakin meningkat. Bahkan menunjukkan angka di bawah 30 persen. Di Belanda, Inggris, Swiss, Perancis, Spanyol dan negara-negara Skandinavia lainnya, maka jumlah orang yang percaya kepada Tuhan semakin menyusut. Mereka merasa cukup untuk berbuat baik saja tanpa harus mempercayai bahwa perbuatan baik tersebut seharusnya bersumber dari ajaran-ajaran agama. Mereka menjadi humanis nir teologis.

Kemudian yang tidak kalah penting juga durhaka kepada sesama manusia. Seseorang bisa durhaka terhadap orang tuanya. Mereka durhaka kepada saudaranya, gurunya, para ulama, dan juga masyarakat luas lainnya. Orang  merasa menjadi yang terhebat sehingga menyombongkan diri. Orang merasa paling pintar sehingga  tidak memerlukan orang lain. Mereka membuat kesombongan di dunia, yang merupakan perbuatan yang paling dibenci oleh Allah SWT.

Ketiga,  paham atau  tindakan yang merendahkan atau melecehkan Rasulullah. Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah adalah manusia yang ma’shum atau manusia yang tidak pernah melakukan perbuatan dosa. Manusia yang suci karena utusan Allah. Tidak ada cacat moral dan etika yang merusak kenabiannya. Tidak melakukan perbuatan dosa yang membatalkan kenabiannya. Rasulullah adalah makhluk Allah yang mendapatkan sebutan sebagai ulul azmi, Nabi pilihan yang diperuntukkan untuk manusia dengan berbagai karakter dan sifatnya yang menjengkelkan. Akan tetapi Nabi Muhammad SAW melakukan dakwahnya dengan kelemahlembutan. Di kala Nabi Muhammad SAW berdakwah di Thaif dan mendapatkan perlakuan yang sangat sadis dari masyarakat, maka Nabi tidak menerima usulan Malaikat Jibril agar mereka dihancurkan dengan dijepit dengan dua Gunung di dekat Thaif. Nabi justru menyatakan bahwa mereka melakukannya disebabkan oleh ketidaktahuannya. Nabi menyatakan bahwa dirinya diutus Allah untuk menyadarkan mereka dan bukan untuk menghancurkannya.

Oleh karena itu sungguh tidak selayaknya jika manusia melecehkan dan merendahkan kepribadian dan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad merupakan suri tauladan dalam kehidupan manusia. Nabi Muhammad SAW adalah uswah hasanah. Nabi merupakan role model kehidupan manusia. Contoh dalam perilaku religious, perilaku social, perilaku humanitas dan bahkan perilaku politiknya. Nabi merupakan contoh sempurna dari kehidupan manusia. Makanya menjadi tidak elok jika ada manusia yang melecehkan atau merendahkannya. Di dunia ini ada banyak tokoh orientalis yang melakukan tindakan melecehkan yang merendahkan Nabi Muhammad SAW.

Kita tentu sungguh bergembira bahwa meskipun kita tidak berjumpa dengan Nabi  Muhammad SAW akan tetapi tetap menghormati dan menyanjungnya sebagai Rasulullah. Nyaris tidak ada hari yang tidak diisi dengan shalawat sebagai ekspresi rasa cinta kepada-Nya. Kita semua yakin bahwa sebagai umat Islam yang mencintai Nabi Muhammad SAW, maka kita akan mendapatkan syafaatnya.

Wallahu ‘alm bi al shawab.

 

KAUM BERIMAN, KAUM AGNOTIS DAN KAUM ATHEIS

KAUM BERIMAN, KAUM AGNOTIS DAN KAUM ATHEIS

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Banyak sekali di dalam ayat Alqur’an yang menjelaskan tentang Iman atau yakin akan keberadaan Allah dan hal-hal yang terkait dengan keimanannya tersebut, lalu orang yang agnotis atau ragu-ragu akan keberadaan Allah dan hal-hal yang terkait dengan keraguannya itu dan ada orang yang atheis atau tidak percaya akan keberadaan Allah dan hal-hal yang terkait dengan ketidakyakinannya akan adanya Allah.

Saya menjelaskan hal ini di dalam acara tahsinan Alqur’an yang diselenggarakan di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya, Selasa, 19/11/2024. Acara tahsinan ini terkait dengan ayat di dalam Surat Al Mujadilah, yang membicarakan tentang orang yang mendustakan agama atau  menentang  Allah. Di dalam ayat 5, digambarkan tentang orang yang menentang Allah dan rasulnya.

Allah SWT menegaskan apakah manusia masih meragukan akan keberadaan Allah dan segala hal yang terkait dengan Allah tersebut. Mereka adalah orang yang menentang Allah dan rasulnya, maka dipastikan akan menuai kehinaan sebagaimana kehinaan atas orang yang menentang Allah di masa lalu. Padahal mereka sudah mendapatkan informasi tentang kehinaan bagi para penentang Allah dari para rasul yang memberikan berita tentang hal tersebut.

Sebagaimana yang diberitakan di dalam Kitab Suci, kitab-kitab Allah pada rasulnya, telah memberikan gambaran akan siksa atas orang yang mendustakan kebenaran ajaran Allah. Kaum Nabi Nuh yang ditelan oleh gelombang banjir besar pada zamannya, lalu kaum Tsamud yang dilaknat dengan angin panas selama berhari-hari, kaum Ad yang ditelan oleh gempa bumi yang dahsyat dan sebagainya. Berita-berita ini bukan hoaks tetapi kenyataan yang telah digambarkan di dalam Kitab Suci. Penderitaan tersebut merupakan bagian dari imbalan atas keingkarannya kepada Allah SWT.

Memang secara sosiologis dapat digambarkan tentang klasifikasi orang yang mempercayai Allah dan orang yang menentang Allah. Ada tiga klasifikasi atas hal tersebut, yaitu: pertama, kaum beriman adalah orang yang meyakini akan keberadaan Allah dan rasulnya yang memberikan pedoman untuk kehidupan sebagaimana tertuang di dalam Kitab Suci, seperti Alqur’an.

Di dalam kitab suci ini sudah dijelaskan dengan sangat jelas tentang bagaimana seseorang harus beriman kepada Allah dan rasulnya serta kitab suci yang telah diajarkan kepada umat manusia. Tentu saja ada yang beriman dan ada yang tidak beriman. Ada yang kemudian menjadi muslim yang taat dan ada yang tetap di dalam keingkarannya kepada ajaran kebenaran yang telah disampaikan kepadanya.

Sebagai contoh, ada Abu Jahal, Abu Lahab, dan ada Musailamah Al Kadzab sebagai representasi orang yang menolak kebenaran Islam. Mereka adalah realitas social yang dapat menjadi symbol atas orang yang ingkar akan kebenaran Allah. Sebaliknya ada Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman, Sayyidina Ali, dan lain-lain yang disebut sebagai assabiqunal awwalun, yang jumlahnya sebanyak 40 orang yang mula-mula percaya kepada Allah dan kenabian Muhammad SAW. Mereka ini adalah orang yang beriman kepada Allah dan rasulnya.

Kedua, kaum agnostic atau agnostisme. Mereka adalah orang yang  meragukan akan keberadaan Allah dan juga hal-hal yang terkait dengan Allah dimaksud. Seperti keberadaan Nabi Muhammad, Kitab Suci dan sebagainya. Sebenarnya mereka percaya tentang Tuhan, tetapi selalu di dalam keraguan antara percaya atau tidak percaya. Bagi mereka selalu meragukan semua berita yang terkait dengan kebenaran agama. Mereka percaya atau tidak percaya dengan dunia gaib bahkan juga dunia metafisika. Kebenaran hanya dapat diyakini atas hal-hal yang bisa diinderawikan atau dirasionalkan. Yang tidak observable atau rasionable dapat menimbulkan keraguan. Mereka kebanyakan adalah ahli filsafat yang meragukan atas hal-hal yang gaib.

Di dalam konsepsi Islam, maka orang yang ragu-ragu akan kebenaran agama adalah orang munafiq. Di luarnya kelihatan percaya kepada Tuhan tetapi batinnya tidak meyakininya. Orang yang selalu berubah-ubah tanpa pendirian. Hari ini percaya tentang Tuhan dan perilaku baik yang menyertainya, akan tetapi besuk akan bisa berubah.

Ketiga, orang yang tidak percaya keberadaan Allah dan hal-hal yang terkait dengan keyakinan tersebut. Kaum atheis adalah kaum yang sama sekali tidak yakin akan keberadaan Allah. Mereka tidak meyakini akan hal-hal yang gaib. Filsafat materialism mengajarkan bahwa hanya yang bersifat materi saja yang bisa dipercaya. Selain itu tidak.

Di dalam filsafat materialism, maka hanya yang bersifat dan berwujud material saja yang bisa diyakini keberadaannya. Karena Tuhan itu kegaiban, kehidupan sesudah kematian akan kegaiban, surga dan neraka adalah kegaiban, maka tidak layak untuk dipercaya. Bahkan di dalam tubuh  manusia juga tidak dipercayai adanya  roh. Orang bisa hidup karena organ tubuhnya baik dan orang mati karena organ tubuhnya rusak.

Mereka adalah orang kafir, yang intinya menolak akan keberadaan Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah dan diyakini keberadaannya. Mereka orang yang ingkar akan kebenaran agama. Kafir itu artinya menolak. Apa saja yang tidak sesuai dengan pikirannya dipastikan akan dotolaknya. Apa yang tidak dapat diyakini karena hal-hal gaib tentu sangat layak untuk ditolaknya.

Kita semua adalah orang yang beruntung sebab mempercayai keberadaan Allah tanpa sedikitpun keraguan. La raiba fiha. Tidak ada keraguan di dalamnya. Semua yang diajarkan oleh Nabi Muhammad sebagaimana yang tercantum di dalam Alqur’an maupun sunnah-sunnahnya kita yakini dan kita lakukan.

Oleh karena itu pantaslah jika kita harus bersyukur atas hidayah yang diberikan oleh Allah kepada kita. Tanpa hidayahnya dipastikan kita tidak bisa menjadi muslim yang benar.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

ANTARA ALIM DAN ARIF

ANTARA ALIM DAN ARIF

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebagaimana biasanya, Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) menyelenggarakan pengajian ba’da shubuh yang diikuti oleh jamaah yang nyaris setiap Selasa pagi hadir sebagai peserta pengajian. Selasa, 19/11/2024, saya mendapatkan amanah untuk memberikan ceramah setelah Selasa sebelumnya saya absen karena harus pagi-pagi berangkat ke Jakarta. Saya harus bertemu dengan Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, Menteri Agama, pada selasa siang. Itulah sebabnya Ustadz Dr. Cholil Uman yang menggantikannya. Saya yakin Ustadz Cholil lebih pantas menjadi penceramah agama dibandingkankan saya.

Di dalam ceramah ini, saya mengangkat isu, Antara Alim dan Arif. Dua konsep di dalam ajaran Islam, yang seringkali disamakan atau sekurang-kurangnya dipahami sebagai sesuatu yang identic. Saya tentu tidak menjelaskan dari aspek kebahasaan, khususnya Bahasa Arab, tetapi lebih ke dimensi sosiologis dari dua konsep dimaksud.

Ada tiga penjelasan saya, yaitu: pertama,  secara kontekstual-sosiologis, maka ada realitas social pemahaman akan agama Islam, yaitu kelompok awam. Kelompok awam merupakan realitas social dari keberagamaan kita. Bahkan kita ini merupakan kelompok ini. Kelompok awam ditandai dengan sangat sedikit atau sedikit pengetahuan agamanya. Hanya aspek luar saja. Kita tahu tatacara shalat dan tata cara sholat yang dilakukan tersebut berbasis pada apa yang dinyatakan oleh para ustadz yang memberikan pencerahan tentang agama. Jadi kita merupakan pengguna saja dari apa yang disampaikan oleh guru atau ustadz. Kita tidak mempelajari dan memahami secara mendalam tentang basis ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih yang terkait dengan pemahaman dan pengamalan agama. Jika kita paham juga hanya sebagian kecil saja tentang ajaran agama dimaksud. Kita semua kebanyakan berada di sini. Hanya sedikit ilmu agama yang kita ketahui. Misalnya di dalam acara tahsinan kita sampai pada Surat Al Mujadalah, yang isinya tentang dhihar. Misalnya  kita baru tahu bahwa dhihar itu dapat diganti dengan pembebasan budak, puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan atas 60 orang sebagai pengganti dhihar. Makanya, jangan mudah kita berkata dengan menyamakan istri  dengan ibu yang melahirkan. Sebagai konsekuensi sebagai orang awam, maka kita harus mengikuti atas penafsiran yang dilakukan oleh para alim. Orang yang memahami atas teks Islam dan penafsiran atas teks dimaksud. Kita ittiba’ saja atas apa yang dihasilkan dari ijtihad para ulama atas ajaran Islam.

Kedua, alim merupakan gambaran atas orang yang mengetahui tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Pengetahuan diperoleh melalui pendekatan penginderaan atau akal atau rasio. Melalui observasi maka orang akan dapat mengetahui tentang kebenaran empiris dan demikian pula dengan melalui akal atau rasio maka orang juga akan mendapatkan kebenaran. Ada orang yang memiliki pengetahuan sedikit dan ada juga yang memiliki sejumlah pengetahuan atau pengetahuan yang banyak. Melalui program pendidikan atau pelatihan, ceramah atau dakwah maka orang akan memiliki pengetahuan. Jadi orang alim adalah orang yang tahu, yang memahami dengan akalnya dan inderanya bahwa ada kebenaran pengetahuan atau ilmu pengetahuan.

Alim sebenarnya memiliki cakupan yang sangat luas. Selama ini kata alim hanya dipergunakan dalam ilmu agama saja. Jadi hanya orang yang mengetahui dan memahami ajaran Islam secara mendalam saja yang disebut sebagai alim. Ahli ilmu fiqih, ahli ilmu ushul fiqih, ahli ilmu tasawuf, ahli ilmu tafsir, ahli ilmu hadits dan sebagainya disebut sebagai orang alim. Sedangkan ahli ilmu kedokteran, ahli ilmu sosiologi, ahli ilmu teknologi, ahli rekayasa genetic, ahli astronomi dan sebagainya tidak disebut sebagai orang alim. Lalu dibuatlah penegasan bahwa alim dapat disematkan kepada orang yang mendalam ilmunya. Makanya dikenal ada orang alim dalam ilmu kedokteran, alim dalam ilmu teknologi, alim dalam ilmu ekonomi, alim dalam ilmu antropologi dan sebagainya. Lalu pertanyaannya, apakah orang yang tidak beragama Islam bisa dinyatakan sebagai alim. Jawabannya bisa. Sebab kealiman tidak dikaitkan dengan agama tetapi dengan spesialisasi keilmuan yang dikembangkannya.

Di Indonesia, bahkan kata alim itu memiliki perluasan makna. Yang disebut alim bukan orang yang memiliki ilmu pengetahuan tetapi orang yang menjalankan ajaran agama dengan benar. Seseorang dinyatakan alim jika perilaku beragamanya, perilaku sosialnya dan juga perilaku ekonomi dan budayanya sangat baik, sehingga yang bersangkutan dapat dilabel sebagai  orang alim. Kalau ada orang yang semakin baik perilakunya, maka dinyatakan sebagai semakin alim. Ini gambaran tentang pandangan orang Jawa tentang alim.

Ketiga, arif adalah konsep  khusus di dalam agama Islam. Arif sudah dipahami di dalam tradisi budaya masyarakat Jawa. Dan di dalam Bahasa Indonesia sudah diserap dengan kata kearifan. Artinya seseorang yang memahami tidak hanya dimensi kebenaran pengindraan, kebenaran rasional dan kebenaran etis, akan tetapi telah mengetahui rahasia Ketuhanan. Sudah terdapat pendekatan spiritual di dalam kehidupannya. Orang arif sudah tidak lagi memiliki hijab dengan Allah SWT. Jika Allah memiliki sifat lembah lembut, maka dia sudah menjalankan kelemahlembutan tersebut. Jika Allah memiliki sifat kasih sayang, maka orang arif juga sudah mengamalkan perilaku kasih sayang kepada sesama manusia.

Arif adalah suatu keadaan di mana seseorang sudah memahami dan melakukan apa yang diyakininya di dalam agama Islam. Sudah tidak lagi terdapat keraguan dalam membangun relasi dengan Allah atau hablum minan nas. Bahkan seluruh kehidupannya sudah didarmabaktikan hanya kepada Allah. Orang yang sudah memiki keikhlasan di dalam menjalani kehidupan dengan pengabdian hanya kepada Allah semata.

Orang yang arif sudah trans-ilmu pengetahuan. Sudah membenarkan ajaran agama melalui penginderaannya, melalui logika akalnya dan kemudian sudah memasuki kebenaran transcendental. Suatu kebenaran yang dipandu oleh spiritualitas dan kemudian melakukan apa yang dipahami dan disadarinya sehingga dapat membentuk pengalaman-pengalaman individual yang agung dalam membangun relasi dengan Allah dan Nabi Muhammad SAW.

Dengan demikian, orang alim itu mengetahui dan memahami pengetahuan sedangkan orang arif itu sudah melampauinya. Dia tahu, paham, sadar dan kemudian memiliki sejumlah pengalaman terkait dengan amalan-amalan yang sesuai dengan pengetahuan dan keyakinannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.