BERDAKWAHLAH MESKI SATU TANDA KEBAIKAN
BERDAKWAHLAH MESKI SATU TANDA KEBAIKAN
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Sebagaimana biasanya, maka Hari Selasa adalah waktu ngaji Selasanan, yang diikuti oleh Jama’ah Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) yang diselenggarakan di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency. Selasa, 24/09/2024, saya yang mengantarkan perbincangan tentang kehidupan keberagamaan kita, sebagai konsekuensi atas pemahaman kita atas ajaran Islam. Saya yang memberikan taushiyah setelah hari Selasa sebelumnya, Pak Sahid yang memberikan ceramah.
Saya menjadikan topik dakwah sebagai kewajiban kita sebagai umat Islam. Ketepatan yang dibaca oleh Imam Shalat Rawatib di Masjid Al Ihsan, Ustadz Syahwal al Hafidz, pada jamaah shalat Subuh, adalah ayat yang berbunyi: “waltakum minkum ummatuy yad’una ilal Khairi wa ya’muruna bil ma’ruf wa yanhauna ‘anil munkar wa ulaika humul muflihun”. “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajian, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Dari ayat ini kemudian dimaknai bahwa dakwah itu adalah kewajiban kifayah atau kewajiban segolongan orang dan bukan semua orang. Jadi dakwah bukanlah kewajiban semua orang atau perorangan. Jika sudah ada yang melakukan dakwah maka lainnya tidak lagi memiliki kewajiban tersebut, namun jika tidak ada satupun yang melaksanakan dakwah maka semuanya bersalah atau berdosa. Sekali lagi berdakwah itu fardhu kifayah. Tidak mengikat kepada semua orang Islam.
Berdakwah itu mengajak kepada alkhairu atau kebaikan umum artinya bahwa yang didakwahkan adalah kebaikan yang bersifat “kebaikan” bagi semua. Pesan yang tertuang di dalam alkhairu adalah semua orang memahami sebagai kebaikan. Misalnya menolong orang, maka semua memiliki pemahaman yang sama tentang pemberian pertolongan dimaksud. Memberi makan bagi manusia, siapa saja, adalah kebaikan umum. Memberikan keadilan bagi siapa saja adalah kebaikan umum. Kebaikan yang dimensinya duniawi. Akan tetapi kita juga wajib berdakwah dalam konteks alma’ruf, kebaikan khusus, yang terkait dengan agama. Misalnya mendakwahkan tentang kebenaran Islam, mendakwahkan kebenaran Alqur’an, mendakwahkan kebenaran ajaran ritual di dalam Islam. Dakwah khusus tersebut dikaitkan dengan truth claimed atau klaim kebenaran akan ajaran Islam.
Kita juga diminta oleh Allah untuk melakukan nahi mungkar atau melarang dilakukannya tindakan kejahatan, kejelekan, keburukan dan sebagainya. Semua tindakan yang dapat merugikan diri dan masyarakat harus dilarang. Kemungkaran itu banyak sekali jenisnya. Bisa keburukan dalam perspektif agama, negara dan masyarakat. Agama melarang, negara melarang dan masyarakat juga melarang, misalnya berjudi. Ketiganya merupakan satu kesatuan system. Jika masyarakat dan negara melarang maka agama juga melarangnya. Inilah yang disebut sebagai antara negara, masyarakat dan agama itu memiliki relasi yang symbiosis atau saling membutuhkan.
Lalu jika yang bisa berdakwah adalah orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang baik tentang Kitab Suci Alqur’an atau Al Hadits, lalu bagaimana umat Islam yang lain, yang hanya bisa mengamalkan ajaran Islam dan tidak memiliki sejumlah pengetahuan yang memadai tentang Islam, maka jawabannya adalah bahwa semua umat Islam memiliki kemampuan berdakwah dengan caranya dan sesuai dengan kemampuannya. Yang bisa berdakwah dengan hartanya, maka berdakwah dengan hartanya, yang bisa berdakwah dengan perilakunya maka berdakwahlah dengan perilakunya, yang bisa berdakwah dengan kebaikan maka berdakwah dengan kebaikannya, yang bisa bisa berdakwah dengan kekuasaan, maka bisa berdakwah dengan kekuasaannya.
Salah satu hadits yang sering dijadikan acuan adalah “Ballighu ‘anni walau ayatan” atau “sampaikan ajaran Islam walaupun satu ayat”. Ayat ini sering diterjemahkan dalam pemahaman ayat Alqur’an atau hadits. Jadi artinya dakwah itu menyampaikan ayat Alqur’an atau hadits. Pemahaman seperti ini tentu mereduksi atas makna ayat yang general yang memiliki cakupan sangat luas. Makanya kata ayatan ini saya coba memahaminya bermakna “walaupun satu tanda kebenaran atau kebaikan”.
Ayat dengan demikian dimaknai sebagai tanda, baik yang bercorak kauniyah maupun qauliyah. Bagi yang bisa berdakwah dengan ayat-ayat qauliyah, maka diminta untuk berdakwah dengan ayat-ayat qauliyah yaitu Alqur’an dan hadits. Tetapi bagi yang bisanya berdakwah dengan cara lain, melalui ayat-ayat kauniyah, tanda-tanda alam, tanda-tanda kemanusiaan dan tanda-tanda yang observable atau dapat dipahami dari pancaindera, maka dakwah tentu bisa menggunakan hal seperti itu.
Orang bisa membaca tanda-tanda kebaikan pada diri seseorang. Misalnya orang yang selalu berpuasa Sunnah Senin dan Kamis, lalu melihatnya bahwa orang tersebut memiliki kesabaran dan rasa syukur atas semua yang didapatkannya. Maka secara empirik, orang akan dapat menarik kesimpulan bahwa hal itu disebabkan oleh perilaku keberagamaannya. Hal ini dapat diperkuat dengan pembicaraan antara pelaku dengan pelaku. Jika memang benar bahwa puasa itu yang menyebabkannya, maka itulah dakwah dalam bentuk percontohan. Tidak perlu dalil dari Alqur’an dengan hadits, tetapi perilaku itulah yang didakwahkannya. Ada banyak contoh lain yang bisa ditampilkan.
Jika kita memahami bahwa makna ballighu ‘anni walau ayatan seperti ini, maka siapapun umat Islam akan bisa melakukan dakwah, baik yang diniatkan maupun tidak diniatkan secara langsung. Jadi tanpa disadari bahwa perilaku yang tampil di permukaan tersebut dapat menjadi media dakwah yang luar biasa.
Wallahu a’lam bi al shawab.