• January 2025
    M T W T F S S
    « Dec    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

HINDARI KAUM INKARUS SUNNAH

HINDARI KAUM INKARUS SUNNAH

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Salah satu di antara kelebihan dari Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya adalah mengedepankan diskusi yang lebih dominan dibanding ceramah atau penjelasan narasumber. Bahkan di dalam acara tahsinan pun juga dilakukan upaya untuk mendalami atas ayat-ayat yang ditahsinkan. Pada hari Kamis, 28/11/24, acara tahsinan sampai pada Surat Al Mujadilah ayat ke 9, yang intinya memberikan pencerahan kepada umat beriman agar tidak merencanakan untuk melakukan  perbuatan dosa, perlawanan dan durhaka kepada Rasulullah. Arti di dalam ayat 9 tersebut adalah: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan perbuatan dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Tetapi bicarakanlah tentang perbuatan kebajikan dan taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan kembali”.

Menilik atas ayat ini, maka ternyata Alqur’an itu sangat mendalam dalam menceritakan fenomena yang memang lazim terjadi di kalangan masyarakat. Ada pembicaraan rahasia yang kemudian mengandung dimensi kemadharatan. Allah menegaskan agar jika ada pembicaraan yang dianggap sebagai rahasia, maka diperkenankan dengan materi pembicaraan yang mengarah kepada kebaikan fid dini wad dunya wal akhirah. Ada tiga hal yang kita bicarakan;

Pertama, di antara kelompok yang bisa dinyatakan durhaka kepada Rasulullah SAW adalah kaum inkarus sunnah. Orang yang ingkar kepada Rasulullah. Mereka adalah orang yang menolak atas apa yang dicontohkan oleh Rasulullah. Mereka tidak mau menjalankan sunah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Mereka berkeyakinan hanya akan mengamalkan yang menjadi keyakinannya saja dan tidak mengamalkan atas apa yang disunnahkan oleh Rasulullah. Kelompok ini memang berkeyakinan atas keberadaan Allah SWT dan mempercayai atas firman Allah yang berupa Alqur’an akan tetapi tidak percaya tentang hadits-hadits yang menjadi basis bagi tindakan melakukan sunnah rasul.

Kaum inkarus sunnah menjadi fenomena di masa pemerintahan Islam Bani Umayyah dan terus berlanjut pada masa Bani Abbasiyah. Pada zaman imam-imam madzhab, aliran inkarus sunnah sudah berkembang di Timur Tengah. Ajaran kaum inkarus sunnah masuk ke Indonesia, Malaysia dan beberapa negara lainnya diperkirakan pada tahun 1970-an. Meskipun ajaran inkarus sunnah jelas-jelas bertentangan dengan prinsip Islam  yang diyakini oleh mayoritas umat Islam, akan tetapi tetap saja ada pengikutnya.

Bisa jadi keyakinan seperti ini tumbuh karena perbedaan tafsir atas sunnah yang dilakukan oleh para mufassir, ahli hadits  dan ahli fiqih. Dari pada berada di dalam perdebatan yang tidak kunjung selesai di antara para fuqaha dan ahli hadits atau ahli tafsir, maka mereka lebih baik menghindarinya. Mereka sampai pada asumsi bahwa yang bisa diterima hanyalah firman Tuhan di dalam Alqur’an saja. Sayangnya, saya tidak bisa menjelaskan lebih detail tentang mana yang diterima dan mana yang ditolak di dalam ajaran sunnah atau bahkan ditolak seluruhnya atau ditolak sebagiannya saja.

Kedua, sebagai orang yang berada di dalam paham ahli sunnah wal jamaah, maka sungguh tidak masuk nalar atas pemahaman agama yang menolak sunnah Nabi Muhammad SAW. Bagi saya bahwa antara apa yang terdapat di dalam Alqur’an dengan apa yang ada di dalam hadits Nabi Muhammad sebagai basis sunnah rasul tentu tidak bisa dipisahkah. Alqur’an menjelaskan hal-hal yang mujmal atau umum, dan hadits dalam bentuk  ketetapan, ucapan dan tindakan Rasul adalah penjelasan detailnya. Contoh dalam perintah shalat, maka Alqur’an hanya memberikan perintahnya saja dan sunnah Nabi yang menjelaskannya. Jadi orang melakukan shalat harus berbasis pada amalan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Jadi tentu benar perintah Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: “shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat”. Adapun bisa terjadi variasi di dalam pelaksanaan shalat,  maka hal tersebut merupakan konsekuensi dari tafsir para ulama tentang shalat Nabi Muhammad SAW. Jika ada doa dalam shalat yang berbeda, ada gerakan shalat yang berbeda, dan bacaan shalat yang berbeda, maka hal itu merupakan contoh yang diriwayatkan oleh generasi sahabat dan terus diwariskan oleh generasi tabi’in dan tabiit tabi’in dan sampai kepada kita sekarang. Ada banyak Riwayat yang menjelaskan tentang Nabi Muhammad membenarkan bacaan shalat sahabatnya dan membenarkan bacaan lainnya. Makanya ada Riwayat hadits yang menyatakan bacaan ini di dalam shalat dan ada bacaan itu di dalam shalat dan sebagainya.

Ketiga, Nabi Muhammad SAW merupakan tipe ideal dalam kasih sayang dan tipe ideal dalam kebebasan untuk mengekspresikan agamanya. Para sahabat sering melakukan ibadah dengan doa yang diekspresikannya dan kemudian dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Itulah sebabnya ada varian di dalam doa dan bacaan di dalam shalat. Ada kelompok yang menggunakan bacaan sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari  dan ahli hadits Imam Turmudzi. Yang kemudian berimplikasi atas penafsiran tentang hadits tersebut. Misalnya hadits tentang bacaan Alfatihah di dalam shalat. Imam Syafi’i mewajibkan bacaan Alfatihah di dalam shalat, sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan tidak wajib hanya keutamaan saja.

Dengan demikian, saya tidak membayangkan bagaimana seseorang bisa menjadi kelompok inkarus sunnah, padahal untuk melakukan ajaran agama tentu diperlukan tindakan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Jadi yang paling rasional adalah menyandingkan atas teks Alqur’an dan teks Hadits Nabi Muhammad SAW.

Oleh karena itu marilah kita beragama sebagaimana agama yang sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW berbasis pada pemahaman dari para ulama yang kita Yakini sebagai ahli di dalam penafsiran ajaran agama.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MENGHINDARI DOSA, DURHAKA DAN MENGHINA RASULULLAH

MENGHINDARI DOSA, DURHAKA DAN MENGHINA RASULULLAH

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Agama apapun dipastikan mengajarkan kepada hambanya untuk menghindarkan diri dari perbuatan dosa, perbuatan durhaka dan pernyataan atau  perbuatan yang menghina Rasulullah. Tentu Islam memiliki konsep di dalam hal ini. Islam melarang dengan tegas atas beberapa tindakan yang diidentifikasi sebagai mengandung perbuatan dosa, perbuatan durhaka dan menghina, mencela atau menjelekkan Rasulullah Muhammad SAW.

Inilah inti dari pembahasan di dalam acara tahsinan, yang diselenggarakan oleh Jamaah Nagi Bahagia atau disebut sebagai Komunitas Ngaji Bahagia (KNB), 20/11/2024.  Acara ini seperti biasa dilakukan setiap hari dan diikuti oleh jamaah Masjid Raudhoh Perumahan Sakura Ketintang Surabaya dan jamaah Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Acara  tahsinan ini sampai pada  Surat Al Mujadilah, pada Juz ke 28. Di antara ayat yang dibaca adalah mengenai pembicaraan yang terkait dengan dhihar atau menyamakan isteri dengan ibu kandung dan perbuatan  dosa, durhaka dan menjelekkan Rasululllah. Islam tidak melarang sekelompok orang melakukan pembicaraan tetapi tentu yang dibicarakan adalah mengenai kebaikan.

Ada tiga hal yang kita diskusikan di dalam acara tahsinan, yaitu: pertama,  terkait dengan larangan untuk berbuat dosa. Di dalam ayat ini disebut sebagai itsmi atau perbuatan dosa. Allah sungguh melarang agar seseorang tidak melakukan perbuatan dosa. Sebab dosa merupakan perbuatan  yang  mengandung kemadharatan, baik kemadharatan untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Untuk diri sendiri perbuatan dosa akan menjadi beban psikhologis dan beban spiritual. Seseorang akan menjadi gelisah, takut dan merasa bersalah. Kemudian juga akan membebani mindset bahwa kita akan masuk ke dalam neraka. Seseorang akan memperoleh duka nestapa karena terbayang dengan keadaan di neraka. Apalagi banyak sekali ayat Alqur’an yang menceritakan tentang penderitaan kehidupan di neraka. Oleh karena itu Allah memberikan solusi agar orang yang berbuat dosa segera bertaubat dengan melakukan perbuatan baik. Pertobatan dan perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang yang selesai melakukan dosa akan bisa menghapus dosanya tersebut.

Kedua, Allah juga melarang manusia untuk melakukan perbuatan durhaka. Perbuatan  durhaka itu berdimensi terhadap Allah, Rasulullah dan juga sesama umat manusia. Durhaka kepada Allah, misalnya kita memiliki mindset dan tindakan yang menyekutukan Tuhan, mengingkari keberadaannya, mengingkari syariatnya dan masih banyak lagi lainnya. Kemudian durhaka kepada Rasulullah, misalnya menjadi kelompok inkarus sunnah. Menolak sunnah rasul.  Melanggar atas apa yang disyariatkan Allah melalui Nabi Muhammad SAW.

Di dunia ini semakin banyak orang yang menjadi atheis atau tidak percaya kepada Tuhan. Di Eropa Barat, prosentase orang atheis semakin meningkat. Bahkan menunjukkan angka di bawah 30 persen. Di Belanda, Inggris, Swiss, Perancis, Spanyol dan negara-negara Skandinavia lainnya, maka jumlah orang yang percaya kepada Tuhan semakin menyusut. Mereka merasa cukup untuk berbuat baik saja tanpa harus mempercayai bahwa perbuatan baik tersebut seharusnya bersumber dari ajaran-ajaran agama. Mereka menjadi humanis nir teologis.

Kemudian yang tidak kalah penting juga durhaka kepada sesama manusia. Seseorang bisa durhaka terhadap orang tuanya. Mereka durhaka kepada saudaranya, gurunya, para ulama, dan juga masyarakat luas lainnya. Orang  merasa menjadi yang terhebat sehingga menyombongkan diri. Orang merasa paling pintar sehingga  tidak memerlukan orang lain. Mereka membuat kesombongan di dunia, yang merupakan perbuatan yang paling dibenci oleh Allah SWT.

Ketiga,  paham atau  tindakan yang merendahkan atau melecehkan Rasulullah. Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah adalah manusia yang ma’shum atau manusia yang tidak pernah melakukan perbuatan dosa. Manusia yang suci karena utusan Allah. Tidak ada cacat moral dan etika yang merusak kenabiannya. Tidak melakukan perbuatan dosa yang membatalkan kenabiannya. Rasulullah adalah makhluk Allah yang mendapatkan sebutan sebagai ulul azmi, Nabi pilihan yang diperuntukkan untuk manusia dengan berbagai karakter dan sifatnya yang menjengkelkan. Akan tetapi Nabi Muhammad SAW melakukan dakwahnya dengan kelemahlembutan. Di kala Nabi Muhammad SAW berdakwah di Thaif dan mendapatkan perlakuan yang sangat sadis dari masyarakat, maka Nabi tidak menerima usulan Malaikat Jibril agar mereka dihancurkan dengan dijepit dengan dua Gunung di dekat Thaif. Nabi justru menyatakan bahwa mereka melakukannya disebabkan oleh ketidaktahuannya. Nabi menyatakan bahwa dirinya diutus Allah untuk menyadarkan mereka dan bukan untuk menghancurkannya.

Oleh karena itu sungguh tidak selayaknya jika manusia melecehkan dan merendahkan kepribadian dan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad merupakan suri tauladan dalam kehidupan manusia. Nabi Muhammad SAW adalah uswah hasanah. Nabi merupakan role model kehidupan manusia. Contoh dalam perilaku religious, perilaku social, perilaku humanitas dan bahkan perilaku politiknya. Nabi merupakan contoh sempurna dari kehidupan manusia. Makanya menjadi tidak elok jika ada manusia yang melecehkan atau merendahkannya. Di dunia ini ada banyak tokoh orientalis yang melakukan tindakan melecehkan yang merendahkan Nabi Muhammad SAW.

Kita tentu sungguh bergembira bahwa meskipun kita tidak berjumpa dengan Nabi  Muhammad SAW akan tetapi tetap menghormati dan menyanjungnya sebagai Rasulullah. Nyaris tidak ada hari yang tidak diisi dengan shalawat sebagai ekspresi rasa cinta kepada-Nya. Kita semua yakin bahwa sebagai umat Islam yang mencintai Nabi Muhammad SAW, maka kita akan mendapatkan syafaatnya.

Wallahu ‘alm bi al shawab.

 

KAUM BERIMAN, KAUM AGNOTIS DAN KAUM ATHEIS

KAUM BERIMAN, KAUM AGNOTIS DAN KAUM ATHEIS

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Banyak sekali di dalam ayat Alqur’an yang menjelaskan tentang Iman atau yakin akan keberadaan Allah dan hal-hal yang terkait dengan keimanannya tersebut, lalu orang yang agnotis atau ragu-ragu akan keberadaan Allah dan hal-hal yang terkait dengan keraguannya itu dan ada orang yang atheis atau tidak percaya akan keberadaan Allah dan hal-hal yang terkait dengan ketidakyakinannya akan adanya Allah.

Saya menjelaskan hal ini di dalam acara tahsinan Alqur’an yang diselenggarakan di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya, Selasa, 19/11/2024. Acara tahsinan ini terkait dengan ayat di dalam Surat Al Mujadilah, yang membicarakan tentang orang yang mendustakan agama atau  menentang  Allah. Di dalam ayat 5, digambarkan tentang orang yang menentang Allah dan rasulnya.

Allah SWT menegaskan apakah manusia masih meragukan akan keberadaan Allah dan segala hal yang terkait dengan Allah tersebut. Mereka adalah orang yang menentang Allah dan rasulnya, maka dipastikan akan menuai kehinaan sebagaimana kehinaan atas orang yang menentang Allah di masa lalu. Padahal mereka sudah mendapatkan informasi tentang kehinaan bagi para penentang Allah dari para rasul yang memberikan berita tentang hal tersebut.

Sebagaimana yang diberitakan di dalam Kitab Suci, kitab-kitab Allah pada rasulnya, telah memberikan gambaran akan siksa atas orang yang mendustakan kebenaran ajaran Allah. Kaum Nabi Nuh yang ditelan oleh gelombang banjir besar pada zamannya, lalu kaum Tsamud yang dilaknat dengan angin panas selama berhari-hari, kaum Ad yang ditelan oleh gempa bumi yang dahsyat dan sebagainya. Berita-berita ini bukan hoaks tetapi kenyataan yang telah digambarkan di dalam Kitab Suci. Penderitaan tersebut merupakan bagian dari imbalan atas keingkarannya kepada Allah SWT.

Memang secara sosiologis dapat digambarkan tentang klasifikasi orang yang mempercayai Allah dan orang yang menentang Allah. Ada tiga klasifikasi atas hal tersebut, yaitu: pertama, kaum beriman adalah orang yang meyakini akan keberadaan Allah dan rasulnya yang memberikan pedoman untuk kehidupan sebagaimana tertuang di dalam Kitab Suci, seperti Alqur’an.

Di dalam kitab suci ini sudah dijelaskan dengan sangat jelas tentang bagaimana seseorang harus beriman kepada Allah dan rasulnya serta kitab suci yang telah diajarkan kepada umat manusia. Tentu saja ada yang beriman dan ada yang tidak beriman. Ada yang kemudian menjadi muslim yang taat dan ada yang tetap di dalam keingkarannya kepada ajaran kebenaran yang telah disampaikan kepadanya.

Sebagai contoh, ada Abu Jahal, Abu Lahab, dan ada Musailamah Al Kadzab sebagai representasi orang yang menolak kebenaran Islam. Mereka adalah realitas social yang dapat menjadi symbol atas orang yang ingkar akan kebenaran Allah. Sebaliknya ada Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman, Sayyidina Ali, dan lain-lain yang disebut sebagai assabiqunal awwalun, yang jumlahnya sebanyak 40 orang yang mula-mula percaya kepada Allah dan kenabian Muhammad SAW. Mereka ini adalah orang yang beriman kepada Allah dan rasulnya.

Kedua, kaum agnostic atau agnostisme. Mereka adalah orang yang  meragukan akan keberadaan Allah dan juga hal-hal yang terkait dengan Allah dimaksud. Seperti keberadaan Nabi Muhammad, Kitab Suci dan sebagainya. Sebenarnya mereka percaya tentang Tuhan, tetapi selalu di dalam keraguan antara percaya atau tidak percaya. Bagi mereka selalu meragukan semua berita yang terkait dengan kebenaran agama. Mereka percaya atau tidak percaya dengan dunia gaib bahkan juga dunia metafisika. Kebenaran hanya dapat diyakini atas hal-hal yang bisa diinderawikan atau dirasionalkan. Yang tidak observable atau rasionable dapat menimbulkan keraguan. Mereka kebanyakan adalah ahli filsafat yang meragukan atas hal-hal yang gaib.

Di dalam konsepsi Islam, maka orang yang ragu-ragu akan kebenaran agama adalah orang munafiq. Di luarnya kelihatan percaya kepada Tuhan tetapi batinnya tidak meyakininya. Orang yang selalu berubah-ubah tanpa pendirian. Hari ini percaya tentang Tuhan dan perilaku baik yang menyertainya, akan tetapi besuk akan bisa berubah.

Ketiga, orang yang tidak percaya keberadaan Allah dan hal-hal yang terkait dengan keyakinan tersebut. Kaum atheis adalah kaum yang sama sekali tidak yakin akan keberadaan Allah. Mereka tidak meyakini akan hal-hal yang gaib. Filsafat materialism mengajarkan bahwa hanya yang bersifat materi saja yang bisa dipercaya. Selain itu tidak.

Di dalam filsafat materialism, maka hanya yang bersifat dan berwujud material saja yang bisa diyakini keberadaannya. Karena Tuhan itu kegaiban, kehidupan sesudah kematian akan kegaiban, surga dan neraka adalah kegaiban, maka tidak layak untuk dipercaya. Bahkan di dalam tubuh  manusia juga tidak dipercayai adanya  roh. Orang bisa hidup karena organ tubuhnya baik dan orang mati karena organ tubuhnya rusak.

Mereka adalah orang kafir, yang intinya menolak akan keberadaan Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah dan diyakini keberadaannya. Mereka orang yang ingkar akan kebenaran agama. Kafir itu artinya menolak. Apa saja yang tidak sesuai dengan pikirannya dipastikan akan dotolaknya. Apa yang tidak dapat diyakini karena hal-hal gaib tentu sangat layak untuk ditolaknya.

Kita semua adalah orang yang beruntung sebab mempercayai keberadaan Allah tanpa sedikitpun keraguan. La raiba fiha. Tidak ada keraguan di dalamnya. Semua yang diajarkan oleh Nabi Muhammad sebagaimana yang tercantum di dalam Alqur’an maupun sunnah-sunnahnya kita yakini dan kita lakukan.

Oleh karena itu pantaslah jika kita harus bersyukur atas hidayah yang diberikan oleh Allah kepada kita. Tanpa hidayahnya dipastikan kita tidak bisa menjadi muslim yang benar.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

ANTARA ALIM DAN ARIF

ANTARA ALIM DAN ARIF

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebagaimana biasanya, Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) menyelenggarakan pengajian ba’da shubuh yang diikuti oleh jamaah yang nyaris setiap Selasa pagi hadir sebagai peserta pengajian. Selasa, 19/11/2024, saya mendapatkan amanah untuk memberikan ceramah setelah Selasa sebelumnya saya absen karena harus pagi-pagi berangkat ke Jakarta. Saya harus bertemu dengan Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, Menteri Agama, pada selasa siang. Itulah sebabnya Ustadz Dr. Cholil Uman yang menggantikannya. Saya yakin Ustadz Cholil lebih pantas menjadi penceramah agama dibandingkankan saya.

Di dalam ceramah ini, saya mengangkat isu, Antara Alim dan Arif. Dua konsep di dalam ajaran Islam, yang seringkali disamakan atau sekurang-kurangnya dipahami sebagai sesuatu yang identic. Saya tentu tidak menjelaskan dari aspek kebahasaan, khususnya Bahasa Arab, tetapi lebih ke dimensi sosiologis dari dua konsep dimaksud.

Ada tiga penjelasan saya, yaitu: pertama,  secara kontekstual-sosiologis, maka ada realitas social pemahaman akan agama Islam, yaitu kelompok awam. Kelompok awam merupakan realitas social dari keberagamaan kita. Bahkan kita ini merupakan kelompok ini. Kelompok awam ditandai dengan sangat sedikit atau sedikit pengetahuan agamanya. Hanya aspek luar saja. Kita tahu tatacara shalat dan tata cara sholat yang dilakukan tersebut berbasis pada apa yang dinyatakan oleh para ustadz yang memberikan pencerahan tentang agama. Jadi kita merupakan pengguna saja dari apa yang disampaikan oleh guru atau ustadz. Kita tidak mempelajari dan memahami secara mendalam tentang basis ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih yang terkait dengan pemahaman dan pengamalan agama. Jika kita paham juga hanya sebagian kecil saja tentang ajaran agama dimaksud. Kita semua kebanyakan berada di sini. Hanya sedikit ilmu agama yang kita ketahui. Misalnya di dalam acara tahsinan kita sampai pada Surat Al Mujadalah, yang isinya tentang dhihar. Misalnya  kita baru tahu bahwa dhihar itu dapat diganti dengan pembebasan budak, puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan atas 60 orang sebagai pengganti dhihar. Makanya, jangan mudah kita berkata dengan menyamakan istri  dengan ibu yang melahirkan. Sebagai konsekuensi sebagai orang awam, maka kita harus mengikuti atas penafsiran yang dilakukan oleh para alim. Orang yang memahami atas teks Islam dan penafsiran atas teks dimaksud. Kita ittiba’ saja atas apa yang dihasilkan dari ijtihad para ulama atas ajaran Islam.

Kedua, alim merupakan gambaran atas orang yang mengetahui tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Pengetahuan diperoleh melalui pendekatan penginderaan atau akal atau rasio. Melalui observasi maka orang akan dapat mengetahui tentang kebenaran empiris dan demikian pula dengan melalui akal atau rasio maka orang juga akan mendapatkan kebenaran. Ada orang yang memiliki pengetahuan sedikit dan ada juga yang memiliki sejumlah pengetahuan atau pengetahuan yang banyak. Melalui program pendidikan atau pelatihan, ceramah atau dakwah maka orang akan memiliki pengetahuan. Jadi orang alim adalah orang yang tahu, yang memahami dengan akalnya dan inderanya bahwa ada kebenaran pengetahuan atau ilmu pengetahuan.

Alim sebenarnya memiliki cakupan yang sangat luas. Selama ini kata alim hanya dipergunakan dalam ilmu agama saja. Jadi hanya orang yang mengetahui dan memahami ajaran Islam secara mendalam saja yang disebut sebagai alim. Ahli ilmu fiqih, ahli ilmu ushul fiqih, ahli ilmu tasawuf, ahli ilmu tafsir, ahli ilmu hadits dan sebagainya disebut sebagai orang alim. Sedangkan ahli ilmu kedokteran, ahli ilmu sosiologi, ahli ilmu teknologi, ahli rekayasa genetic, ahli astronomi dan sebagainya tidak disebut sebagai orang alim. Lalu dibuatlah penegasan bahwa alim dapat disematkan kepada orang yang mendalam ilmunya. Makanya dikenal ada orang alim dalam ilmu kedokteran, alim dalam ilmu teknologi, alim dalam ilmu ekonomi, alim dalam ilmu antropologi dan sebagainya. Lalu pertanyaannya, apakah orang yang tidak beragama Islam bisa dinyatakan sebagai alim. Jawabannya bisa. Sebab kealiman tidak dikaitkan dengan agama tetapi dengan spesialisasi keilmuan yang dikembangkannya.

Di Indonesia, bahkan kata alim itu memiliki perluasan makna. Yang disebut alim bukan orang yang memiliki ilmu pengetahuan tetapi orang yang menjalankan ajaran agama dengan benar. Seseorang dinyatakan alim jika perilaku beragamanya, perilaku sosialnya dan juga perilaku ekonomi dan budayanya sangat baik, sehingga yang bersangkutan dapat dilabel sebagai  orang alim. Kalau ada orang yang semakin baik perilakunya, maka dinyatakan sebagai semakin alim. Ini gambaran tentang pandangan orang Jawa tentang alim.

Ketiga, arif adalah konsep  khusus di dalam agama Islam. Arif sudah dipahami di dalam tradisi budaya masyarakat Jawa. Dan di dalam Bahasa Indonesia sudah diserap dengan kata kearifan. Artinya seseorang yang memahami tidak hanya dimensi kebenaran pengindraan, kebenaran rasional dan kebenaran etis, akan tetapi telah mengetahui rahasia Ketuhanan. Sudah terdapat pendekatan spiritual di dalam kehidupannya. Orang arif sudah tidak lagi memiliki hijab dengan Allah SWT. Jika Allah memiliki sifat lembah lembut, maka dia sudah menjalankan kelemahlembutan tersebut. Jika Allah memiliki sifat kasih sayang, maka orang arif juga sudah mengamalkan perilaku kasih sayang kepada sesama manusia.

Arif adalah suatu keadaan di mana seseorang sudah memahami dan melakukan apa yang diyakininya di dalam agama Islam. Sudah tidak lagi terdapat keraguan dalam membangun relasi dengan Allah atau hablum minan nas. Bahkan seluruh kehidupannya sudah didarmabaktikan hanya kepada Allah. Orang yang sudah memiki keikhlasan di dalam menjalani kehidupan dengan pengabdian hanya kepada Allah semata.

Orang yang arif sudah trans-ilmu pengetahuan. Sudah membenarkan ajaran agama melalui penginderaannya, melalui logika akalnya dan kemudian sudah memasuki kebenaran transcendental. Suatu kebenaran yang dipandu oleh spiritualitas dan kemudian melakukan apa yang dipahami dan disadarinya sehingga dapat membentuk pengalaman-pengalaman individual yang agung dalam membangun relasi dengan Allah dan Nabi Muhammad SAW.

Dengan demikian, orang alim itu mengetahui dan memahami pengetahuan sedangkan orang arif itu sudah melampauinya. Dia tahu, paham, sadar dan kemudian memiliki sejumlah pengalaman terkait dengan amalan-amalan yang sesuai dengan pengetahuan dan keyakinannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

ENERGI QUR’AN BAGI KEMANUSIAAN

ENERGI QUR’AN BAGI KEMANUSIAAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Ceramah yang dilakukan oleh Ustadz Sahid Sumitro, trainer pengembangan SDM, sungguh sangat menarik sebab membicarakan relasi antara energi Ka’bah, energi Qur’an dan energi spiritual yang sangat luar biasa. Energi tersebut memang tidak dapat diobservasi dengan pengindraan, akan tetapi berbasis pada pengalaman religious individual, ternyata dapat dirasakan di dalam diri manusia.

Pengajian ini dilaksanakan di Masjid Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency Surabaya, 15 Oktober 2024. Sebagaimana biasa, pengajian ini dilaksanakan secara interaktif dan penuh dengan gelak tawa sebagai ciri khas Komunitas Ngaji Bahagia (KNB). Pengajian ba’da shubuh tersebut dilakukan sebagai rangkaian kegiatan rutin harian dan selasanan. Setelah membacakan surat Alfatihah untuk kerabat yang sudah wafat, juga ngaji Surat Al Waqiah, yang sudah berjalan dalam waktu empat tahunan. Lalu ngaji Bahagia.

Pak Sahid menceritakan pengalamannya di masa lalu dalam kaitannya dengan energi doa dan surat Alfatihah. Pengalaman beragama adalah individual experience, sehingga sulit diduplikasi oleh orang lain. Tetapi begitulah psikhologi religion mengungkapkannya. Bahkan suatu pengalaman dari seseorang akan sulit untuk diduplikasi. Pengalaman tersebut bercorak sangat individual. Sungguh.

Diceritakan bahwa suatu Ketika abah Pak Sahid sakit dan harus masuk Intensif Care Unit (ICU). Parah tentu saja sakitnya. Pak Sahid sedang ada acara di Surabaya, sementara abahnya sakit di Banyuwangi. Pak Sahid tidak segera sampai ke Banyuwangi sebab perjalanan darat membutuhkan waktu yang cukup Panjang. Maka yang dilakukan adalah berdoa dengan menempatkan air di depannya. Biasalah terkadang kita berdoa dengan posisi seperti itu. Air adalah salah satu medium untuk dijadikan sebagai sarana untuk penyembuhan. Selain air yang ditaruh di depannya sewaktu berdoa menghadap kiblat, maka juga meminta kepada keluarganya di Banyuwangi sewaktu di ICU untuk menempatkan air di dalam botol dengan posisi tutupnya dibuka.

Pak Sahid kemudian pulang ke Banyuwangi dan langsung ke rumah sakit. Ternyata Bapaknya sudah Kembali sehat. Bapaknya bercerita bahwa di dalam mimpinya diberi air oleh Pak Sahid dan kala air yang dipenuhi doa tersebut diminumnya, maka badannya terasa menjadi lebih enak. Bapaknya kemudian Kembali sehat dan diperbolehkan pulang. Pelajaran yang diambil dari peristiwa ini adalah energi bacaan Alqur’an dan doa itu ternyata bergayung sambut dengan Bapaknya di dalam rumah sakit. Doa itu sungguh menjadi penyambung antara diri Pak Sahid dengan Bapaknya. Iniulah yang disebut sebagai energi doa yang bisa memancar dari orang yang berdoa dan orang yang didoakan. Suatu peristiwa pengalaman religious yang sangat meyakinkan.

Cerita ini kemudian saya sambung, bahwa antara dunia rohani bisa saling berhubungan. Beberapa hari yang lalu, saya takziyah kepada salah seorang famili yang wafat. Usianya masih muda, kira-kira 50-an tahun. Keponakan istri saya. dia komplikasi dari akibat diabet. Penyakit itu tidak dirasanya. Sebagai aktivis partai politik, maka perasaan hepinya lebih besar. Akhirnya tiba-tiba drop kesehatannya dan harus masuk di Rumah Sakit Bhayangkara. Rumah sakit kepolisian daerah Jawa Timur.

Karena penyakitnya tergolong berat, maka harus dirawat di Intensive Care Unit (ICU). Kala adiknya menunggu di ICU, maka almarhum bercerita bahwa keluarganya yang sudah meninggal, bapaknya, ibu dan neneknya sudah menunggunya. Dia cerita bahwa keadaan para almarhum itu enak tidak sengsara. Bahkan diceritakannya bahwa ibunya menunggunya di depan pintu. Sebagaimana biasa, adiknya lalu menimpali agar jangan berkata begitu. Rupanya takdir tidak dapat dihadang. Perempuan keponakan istri say aitu akhirnya wafat.

Dua peristiwa sebagaimana diceritakan Pak Sahid dan cerita say aini memberikan gambaran bahwa ada energi yang terdapat di dalam kehidupan ini, yang rasanya tidak masuk akal, irrational, dan secara akliyah tidak bisa diterima. Bagi kaum positivistic, yang selalu menggunakan ukuran observasi atau kebenaran berbasis empiris sensual atau pengindraan, maka peristiwa ini sungguh tidak bisa diterimanya. Ada energi bacaan Alquran dan doa yang sambung menyambung, seperti gelombang radio, televisi atau telepati yang berjalan sampai kepada tujuan.

Energi doa dan bacaan Alqur’an itu sungguh luar biasa. Itulah sebabnya Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW sudah memberikan panduannya agar anak yang saleh itu akan terus bisa berhubungan dengan orang tuanya dan bahkan kerabatnya yang sudah wafat. Doa dan bacaan Alqu’an akan sampai kepadanya atas keridlaan Allah SWT. Alangkah bahagianya keluarga kita yang sudah wafat akan tetapi memperoleh kiriman energi positif dari keluarganya yang masih hidup.

Dunia keyakinan seperti ini memang tidak dapat diempirik sensualkan bahkan juga tidak bisa diempirikkan seara rasional, namun hal ini benar-benar sebuah realitas transcendental yang nyata adanya.

Dewasa ini, semakin banyak ilmuwan di Barat yang tertarik dengan religiositas dan spiritualitas. Mereka melakukan kajian tentang psikhologi, religiositas dan spiritualitas. Di antara mereka adalah James M. Nelson dengan judul “Psichology, Religion, and Spirituality yang diterbitkan oleh penerbit terkenal Springer, 2009.

Meskipun kajian psikhologi, agama dan spiritualitas tersebut sulit tetapi bukan tidak bisa dikaji. Yang jelas ketiganya merupakan realitas transenden yang secara empiris bisa dibenarkan.

Wallahu a’lam bi al shawab.