MENGHENTIKAN KORUPSI: ANTARA TUNTUTAN DAN SISTEM POLITIK
MENGHENTIKAN KORUPSI: ANTARA TUNTUTAN DAN SISTEM POLITIK
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Pengajian pada Selasa pagi, 09/07/2025, sungguh Istimewa. Bukan karena penceramahnya tetapi karena diskusi yang disajikannya. Sebagaimana biasanya, pengajian ini diselenggarakan dengan diskusi antara narasumber sebagai pemantik pembahasan dengan audience yang aktif berpendapat. Tema kita pada pagi itu, sesungghnya di seputar relasi antara agama dan negara tetapi dalam level pembahasan yang berada di permukaan. Tidak masuk di dalam kedalaman pembahasan yang benar-benar mendasar. Hanya kulitnya saja.
Ada tiga pembahasan terkait dengan tema ini, yaitu: pertama, Indonesia, sesungguhnya berada di dalam konteks relasi antara agama dan negara yang simbiotik mutualisme. Yaitu negara membutuhkan agama sebagai dasar moralitasnya, dan agama membutuhkan negara untuk mengatur relasi antar warga beragama. Jadi bukan hubungan antara agama dan negara yang bercorak menyatu, misalnya sebagaimana di Iran, yang termasuk negara Islam. Di Timur Tengah banyak negara yang berada di dalam negara Islam, sebab antara agama dan negara merupakan satu kesatuan. Indonesia juga pasti bukan negara sekular karena tidak memisahkan sedemikian kuat atau terdapat garis demarkasi yang memisahkan antara agama dan negara. Negara-negara di Eropa banyak yang menggunakan konsep negeri secular. Agama berada di dalam ruang private dan negara berada di ruang public. Indonesia menempatkan agama di ruang public artinya agama dijadikan sebagai panduan moralitas di dalam bernegara.
Kedua, Indonesia jelas merupakan negara yang berketuhanan artinya bukan negara agama dan juga bukan negara secular. Sebab agama dijadikan sebagai basis moralitas dan bahkan di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Berbeda dengan Singapura merupakan negara secular yang memisahkan urusan agama dan negara. Di Indonesia bahkan didapatkan beberapa undang-undang dan peratruran daerah yang menjadikan agama sebagai basisna, misalnya ada Perda-Perda Syariah, selain Undang-Undang yang terkait dengan pengamalan agama, misalnya Undang-Undang Zakat, Undang-Undang Wakaf, Undang-Undang Perkawinan dan sebagainya.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, akan tetapi terdapat paradoks yang sangat luar biasa, yaitu masih terjadinya korupsi yang nyaris sudah memasuki semua elemen masyarakat. Mulai dari selevel Menteri sampai selevel kepala desa dan bahkan melibatkan masyarakat. Apparat pemerintah bahkan juga orang swasta. Dari dunia birokrasi sampai pihak pengusaha.
Sampai di sini, maka diskusi terjadi. Pak Dr. Wardi, salah seorang dosen di Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya, menyatakan bahwa “di Indonesia itu agama tidak dijadikan sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang benar. Buktinya, banyak sekali korupsi yang dilakukan oleh masyarakat yang sesungguhnya kaum beragama. Kalau melihat korupsi di Indonesia rasanya sangat sulit diberantas, sebab korupsi itu sudah menjamah semua elemen masyarakat Indonesia, terutama terkait dengan perilaku politik. Sekarang ini orang tidak malu untuk melakukan tindakan menyimpang. Orang tidak malu melakukan korupsi. Jadi dianggap hal yang biasa saja. Sebenarnya dari undang-undang atau regulasi sudah ada semua hal untuk menghentikan korupsi, akan tetapi selalu lemah di dalam implementasinya. Undang-undang atau regulasi hanya di atas kertas belaka tetapi tidak di dalam pelaksanaannya. Law enforcement tidak terdapat di negeri ini”.
Kemudian, Pak Abdullah, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, juga menyatakan bahwa “korupsi yang paling parah sebenarnya ada di wilayah politik. Bisa dibayangkan bahwa biaya politik untuk menjadi Bupati dan Wakil Bupati itu sebesar Rp70 Miliar. Jika misalnya Yang Calon Bupati mengeluarkan lebih sedikit, misalnya Rp10 milyar dan Wakil Bupatinya mengeluarkan Rp60 miliar, maka dipastikan akan terjadi masalah. Karena masing-masing akan mencari jalan agar biaya politik tersebut tertutupi. Untuk mengembalikan biaya politik tersebut dapat melalui pengangkatan jabatan, pendapatan daerah dan proyek-proyek pemerintah. Jika seperti ini, maka dipastikan akan terjadi rebutan lahan proyek. Yang paling repot adalah bawahan bupati dan wakil bupati, sebab akan terkait kepada siapa kepatuhan akan diberikan. Itulah sebabnya di dalam banyak kasus korupsi pada pemerintah daerah terkait dengan pengangkatan jabatan dan pengadaan barang dan jasa dalam proyek-proyek di pemerintah daerah.”
Ketiga, Orde Reformasi memang bertujuan untuk melakukan koreksi atas penyelewengan di masa Orde Baru, di antaranya adalah koreksi atas penyelenggaraan negara yang dinilai telah melenceng dari tujuan kemerdekaan. Makanya dilakukan perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945 dengan melakukan revisi secara mendasar. Di antara yang mendasar adalah perubahan terkait dengan system pemilihan presiden dan wakil presiden dari system pemilihan perwakilan dan permusyawaratan oleh MPR menjadi demokrasi langsung. Tujuannya tentu jelas agar tingkat elektabilitas dan akseptabilitasnya semakin kuat. Tidak dibayangkan bahwa pilihan langsung akan mengarah ke pilihan bebas yang mengandung bias, misalnya politik uang.
Dan itulah yang terjadi sekarang, sebab melalui money politics akan menyebabkan terjadinya korupsi yang semakin transparan. Di dalam pilihan DPRD atau DPR, maka setiap caleg harus merogoh koceknya untuk membeli suara rakyat. Dan rakyat pun merespon dengan menerima uang dari caleg dengan catatan mereka akan memilih yang terbesar. Bagi calon yang tidak membeli suara, maka jangan harap akan memperoleh suara rakyat. Itulah sebabnya sekarang terjadi pandangan bahwa yang melakukan korupsi adalah rakyat.
Itulah sebabnya ada keinginan sementara para ahli agar kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang asli sebab telah terjadi kesalahan arah di dalam demokrasi di Indonesia. Telah terjadi disorientasi politik bagi bangsa Indonesia, yang ditandai dengan paradoks demokrasi. Jauh panggang dari api.
Wallahu a’lam bi al shawab.
