ANTARA ALIM DAN ARIF
ANTARA ALIM DAN ARIF
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Sebagaimana biasanya, Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) menyelenggarakan pengajian ba’da shubuh yang diikuti oleh jamaah yang nyaris setiap Selasa pagi hadir sebagai peserta pengajian. Selasa, 19/11/2024, saya mendapatkan amanah untuk memberikan ceramah setelah Selasa sebelumnya saya absen karena harus pagi-pagi berangkat ke Jakarta. Saya harus bertemu dengan Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, Menteri Agama, pada selasa siang. Itulah sebabnya Ustadz Dr. Cholil Uman yang menggantikannya. Saya yakin Ustadz Cholil lebih pantas menjadi penceramah agama dibandingkankan saya.
Di dalam ceramah ini, saya mengangkat isu, Antara Alim dan Arif. Dua konsep di dalam ajaran Islam, yang seringkali disamakan atau sekurang-kurangnya dipahami sebagai sesuatu yang identic. Saya tentu tidak menjelaskan dari aspek kebahasaan, khususnya Bahasa Arab, tetapi lebih ke dimensi sosiologis dari dua konsep dimaksud.
Ada tiga penjelasan saya, yaitu: pertama, secara kontekstual-sosiologis, maka ada realitas social pemahaman akan agama Islam, yaitu kelompok awam. Kelompok awam merupakan realitas social dari keberagamaan kita. Bahkan kita ini merupakan kelompok ini. Kelompok awam ditandai dengan sangat sedikit atau sedikit pengetahuan agamanya. Hanya aspek luar saja. Kita tahu tatacara shalat dan tata cara sholat yang dilakukan tersebut berbasis pada apa yang dinyatakan oleh para ustadz yang memberikan pencerahan tentang agama. Jadi kita merupakan pengguna saja dari apa yang disampaikan oleh guru atau ustadz. Kita tidak mempelajari dan memahami secara mendalam tentang basis ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih yang terkait dengan pemahaman dan pengamalan agama. Jika kita paham juga hanya sebagian kecil saja tentang ajaran agama dimaksud. Kita semua kebanyakan berada di sini. Hanya sedikit ilmu agama yang kita ketahui. Misalnya di dalam acara tahsinan kita sampai pada Surat Al Mujadalah, yang isinya tentang dhihar. Misalnya kita baru tahu bahwa dhihar itu dapat diganti dengan pembebasan budak, puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan atas 60 orang sebagai pengganti dhihar. Makanya, jangan mudah kita berkata dengan menyamakan istri dengan ibu yang melahirkan. Sebagai konsekuensi sebagai orang awam, maka kita harus mengikuti atas penafsiran yang dilakukan oleh para alim. Orang yang memahami atas teks Islam dan penafsiran atas teks dimaksud. Kita ittiba’ saja atas apa yang dihasilkan dari ijtihad para ulama atas ajaran Islam.
Kedua, alim merupakan gambaran atas orang yang mengetahui tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Pengetahuan diperoleh melalui pendekatan penginderaan atau akal atau rasio. Melalui observasi maka orang akan dapat mengetahui tentang kebenaran empiris dan demikian pula dengan melalui akal atau rasio maka orang juga akan mendapatkan kebenaran. Ada orang yang memiliki pengetahuan sedikit dan ada juga yang memiliki sejumlah pengetahuan atau pengetahuan yang banyak. Melalui program pendidikan atau pelatihan, ceramah atau dakwah maka orang akan memiliki pengetahuan. Jadi orang alim adalah orang yang tahu, yang memahami dengan akalnya dan inderanya bahwa ada kebenaran pengetahuan atau ilmu pengetahuan.
Alim sebenarnya memiliki cakupan yang sangat luas. Selama ini kata alim hanya dipergunakan dalam ilmu agama saja. Jadi hanya orang yang mengetahui dan memahami ajaran Islam secara mendalam saja yang disebut sebagai alim. Ahli ilmu fiqih, ahli ilmu ushul fiqih, ahli ilmu tasawuf, ahli ilmu tafsir, ahli ilmu hadits dan sebagainya disebut sebagai orang alim. Sedangkan ahli ilmu kedokteran, ahli ilmu sosiologi, ahli ilmu teknologi, ahli rekayasa genetic, ahli astronomi dan sebagainya tidak disebut sebagai orang alim. Lalu dibuatlah penegasan bahwa alim dapat disematkan kepada orang yang mendalam ilmunya. Makanya dikenal ada orang alim dalam ilmu kedokteran, alim dalam ilmu teknologi, alim dalam ilmu ekonomi, alim dalam ilmu antropologi dan sebagainya. Lalu pertanyaannya, apakah orang yang tidak beragama Islam bisa dinyatakan sebagai alim. Jawabannya bisa. Sebab kealiman tidak dikaitkan dengan agama tetapi dengan spesialisasi keilmuan yang dikembangkannya.
Di Indonesia, bahkan kata alim itu memiliki perluasan makna. Yang disebut alim bukan orang yang memiliki ilmu pengetahuan tetapi orang yang menjalankan ajaran agama dengan benar. Seseorang dinyatakan alim jika perilaku beragamanya, perilaku sosialnya dan juga perilaku ekonomi dan budayanya sangat baik, sehingga yang bersangkutan dapat dilabel sebagai orang alim. Kalau ada orang yang semakin baik perilakunya, maka dinyatakan sebagai semakin alim. Ini gambaran tentang pandangan orang Jawa tentang alim.
Ketiga, arif adalah konsep khusus di dalam agama Islam. Arif sudah dipahami di dalam tradisi budaya masyarakat Jawa. Dan di dalam Bahasa Indonesia sudah diserap dengan kata kearifan. Artinya seseorang yang memahami tidak hanya dimensi kebenaran pengindraan, kebenaran rasional dan kebenaran etis, akan tetapi telah mengetahui rahasia Ketuhanan. Sudah terdapat pendekatan spiritual di dalam kehidupannya. Orang arif sudah tidak lagi memiliki hijab dengan Allah SWT. Jika Allah memiliki sifat lembah lembut, maka dia sudah menjalankan kelemahlembutan tersebut. Jika Allah memiliki sifat kasih sayang, maka orang arif juga sudah mengamalkan perilaku kasih sayang kepada sesama manusia.
Arif adalah suatu keadaan di mana seseorang sudah memahami dan melakukan apa yang diyakininya di dalam agama Islam. Sudah tidak lagi terdapat keraguan dalam membangun relasi dengan Allah atau hablum minan nas. Bahkan seluruh kehidupannya sudah didarmabaktikan hanya kepada Allah. Orang yang sudah memiki keikhlasan di dalam menjalani kehidupan dengan pengabdian hanya kepada Allah semata.
Orang yang arif sudah trans-ilmu pengetahuan. Sudah membenarkan ajaran agama melalui penginderaannya, melalui logika akalnya dan kemudian sudah memasuki kebenaran transcendental. Suatu kebenaran yang dipandu oleh spiritualitas dan kemudian melakukan apa yang dipahami dan disadarinya sehingga dapat membentuk pengalaman-pengalaman individual yang agung dalam membangun relasi dengan Allah dan Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian, orang alim itu mengetahui dan memahami pengetahuan sedangkan orang arif itu sudah melampauinya. Dia tahu, paham, sadar dan kemudian memiliki sejumlah pengalaman terkait dengan amalan-amalan yang sesuai dengan pengetahuan dan keyakinannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.