Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

UNTUK BERBUAT BAIK HARUS DIPAKSA DULU

UNTUK BERBUAT BAIK HARUS DIPAKSA DULU

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sesungguhnya yang terbaik adalah melakukan tindakan berbasis kesadaran. Namun demikian untuk memulai perbuatan yang baik ternyata membutuhkan pemaksaan. Lalu melalui pemaksaan akhirnya menjadi kebiasaan. Yang dimaksud dengan perbuatan baik atau amalan shalihan itu teruntuk Allah SWT dalam bentuk beribadah dan teruntuk manusia juga dalam kerangka beribadah.

Ungkapan ini disampaikan oleh Ustadz M. Thoha Mahsun dalam ceramah bagi jamaah Shalat Tarawih di Masjid Al Ihsan Ketintang Surabaya, pada 14 Maret 2024. Acara pengajian ini dilakukan setelah shalat Isya’ berjamaah dan kemudian dilanjutkan dengan shalat tarawih berjamaah dan shalat witir berjamaah. Ustadz Thoha mengutip pernyataan Kyai Shaleh dari Pondok Pesantren Ngalah Pasuruan.

Kyai Sholeh adalah adalah guru saya. Beliau  yang mendirikan Pondok Pesantren Ngalah dan kemudian juga  Universitas Yudharta Pasuruan. Saya ikut terlibat di masa awal pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Yudharta pada tahun 2010-an. Saya ingat betul pada waktu mendirikan program Studi Ekonomi Islam, yang waktu itu saya menjadi Sekretaris Kopertais Wilayah IV. Benar-benar usaha yang maksimal untuk mewujudkannya. Bahkan Kasubdit Perguruan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, sempat hadir untuk terlibat di dalam pendirian prodi ekonomi Islam dimaksud.

Kyai Shaleh adalah mursyid tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang berafiliasi ke Pesantren Kedinding Surabaya, Kyai Usman Al Ishaqi. Beliau adalah tokoh multikulturalisme  yang luar biasa. Jika Kyai Shaleh mengadakan acara di Pesantren atau perguruan tingginya, maka turut hadir kawan-kawan lintas agama. Suatu hal yang nyaris tidak pernah dilakukan adalah memberikan ceramah di perkantoran. Suatu ketika Kyai Sholeh berpesan: “Saya yang menyiarkan Islam wasathiyah di masyarakat dan Pak Nur yang melakukannya di birokrasi atau pemerintahan”. Ungkapan ini masih membekas di pemikiran saya hingga saat ini.

Kala Beliau ditanya oleh Ustadz Thoha tentang bagaimana mendawamkan ibadah, maka Kyai Sholeh menyatakan dengan satu kata: “dipaksa”. Beribadah kepada Allah tentunya menghadirkan kesadaran, akan tetapi untuk melanggengkan ibadah kepada Allah ternyata memang harus dipaksa. Tidak bisa mentradisi dengan sendirinya. Diperlukan upaya untuk memaksanya dan kemudian mentradisikannya. Di dalam ungkapan Bahasa Jawa didapatkan ungkapan “witing tresno jalaran soko kulino”. Artinya: “cinta itu karena kebiasaan”.  Untuk membiasakan beribadah, maka diperlukan pemaksaan terlebih dahulu dan lama kelamaan akan memunculkan rasa cinta untuk beribadah.

Untuk beribadah itu tentu dalam rangka memenuhi keinginan roh yang dipancarkan oleh Allah kepada diri manusia. Ibadah itu tujuannya terkait dengan  yang gaib atau batiniah atau spiritual. Berbeda dengan keinginan untuk memenuhi kebutuhan fisik yang instingtif. Maka tanpa dibiasakan juga akan terjadi karena kebutuham fisik tersebut bersifat fisikal atau jasmani. Jika kita lapar, maka ada tuntutan badaniyah untuk memenuhinya. Hal ini sungguh berbeda dengan beribadah yang tuntutannya bersifat abstrak, rohaniyah atau spiritualitas. Oleh karena itu, agar menjadi kebiasaan maka diperlukan pemaksaaan terlebih dahulu.

Suatu contoh betapa susahnya membiasakan bangun jam 03.00 pagi. Jam seperti itu tentu secara badaniyah sedang enak-enaknya tidur. Apalagi jika tidurnya agak kemalaman, misalnya jam 24.00 WIB. Dipastikan akan kesulitan bangun jam 03.00 WIB atau jam 03.30 WIB. Penting diingat bahwa tidur yang terbaik itu pukul 23.00-02.00 WIB. Inilah yang disebut sebagai the golden time of sleeping. Waktu ini sangat baik untuk merecovery tubuh.

Oleh karena itu orang yang ingin menggapai kesehatan yang prima,  maka menjaga waktu tidur itu sangat penting. Tetapi bagi yang terbiasa bangun malam untuk ibadah, misalnya pukul 02.30 atau 03.00 atau pukul 03.30 WIB, maka dipastikan pada jam tersebut akan terbangun. Ada strategi melakukannya agar bisa bangun dengan memohon kepada Allah agar dibangunkan pada pukul yang kita kehendaki. Untuk dapat melakukannya tentu dipaksa terlebih dahulu, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan.

Cobalah kita kalkulasi, jika dibandingkan waktu kita untuk bermunajat kepada Allah dengan tindakan lainnya tentu sungguh tidak berimbang. Misalnya, waktu kita lebih banyak  digunakan untuk menonton Youtube, Tiktok, IG atau bermain game di Gadget. Sungguh sangat minim waktu yang kita gunakan untuk bercengkerama dengan Allah melalui bacaan wirid atau dzikir kepada-Nya. Makanya yang terbaik adalah dengan memohon kepada Allah agar diberikan kenikmatan yang berupa rahmatnya Allah SWT. Yang menentukan kita akan masuk surga adalah rahmat Allah kepada hambanya.

Puasa inilah yang dapat menjadi cara umat Islam untuk mendapatkan rahmat Allah. Bukankah sudah berkali-kali disampaikan kepada kita semua, bahwa puasa itu pada sepertiga awalnya adalah rahmat, separohnya adalah ampunan dan sepertiga akhirnya adalah dijauhkan dari api neraka. Jika kita mendengarkan pernyataan ini, maka kita dapat bergembira sebab tahun ini kita masih ditemui oleh Bulan Ramadlan. Pak Thoha menyatakan bahwa: “ada kawannya, yang tiga hari menjelang puasa dipanggil Allah. Gantian memijat dengan istrinya, kala suaminya itu memijat tiba-tiba terjatuh  dan ternyata meninggal dunia”.

Oleh karena itu, kita harus bersyukur karena masih bisa menemui bulan Ramadlan tahun ini, 1445 H atau tahun 2024 M. Dan doa yang kita panjatkan adalah semoga kita masih bisa dipertemukan dengan Ramadlan tahun depan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

PUASA SEBAGAI INSTRUMEN KETAQWAAN

PUASA SEBAGAI INSTRUMEN KETAQWAAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Jika dibaca ujung dari Surat Al Baqarah ayat 183, laallakum tattaqun, bahwa ujung akhir dari puasa adalah menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Jamaah shalat Tarawih rasanya sudah hafal betul dengan ayat yang menjadi dasar pelaksanaan puasa. Hampir setiap pelaksanaan puasa di bulan Ramadlan dipastikan akan dibacakan ayat ini. Semua televisi dan media social juga menyuarakan hal yang sama. Membacakan dalil kewajiban berpuasa.

Kita semua tentu bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah kepada kita semua menjadi umat Islam. Ada banyak orang di luar sana yang tidak menjadi muslim meskipun sudah mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh. Kita menjadi Islam karena factor lingkungan. Dalam teori sosiologi behavioral, disebutkan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh factor lingkungan. Hal ini senafas dengan ungkapan Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa “setiap manusia dilahirkan dalam kesucian, dan orang tuanya yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani dan Majusi.”

Tujuan antara dari puasa adalah menjadikan orang muslim yang berpuasa menjadi bertaqwa kepada Allah SWT. Lalu, apa indicator umum tentang orang yang bertaqwa kepada Allah SWT? Ada tiga hal yang penting untuk dipahami tentang indicator ketaqwaan, yaitu:

Pertama, orang yang bisa membangun keselarasan antara ibadah, kemanusiaan dan kebaikan. Allah mewajibkan manusia untuk melakukan ibadah wajib dan juga ibadah sunnah. Melakukan ibadah wajib dan sunnah adalah konsekuensi dari persaksian yang  dilakukan atas keberadaan atau eksistensi Allah dan Muhammad sebagai rasulnya. Ibadah merupakan kunci sebagai manusia bertaqwa. Jika manusia tidak melakukan peribadahan kepada Allah sesuai dengan ajaran di dalam Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, maka berarti  tidak bisa dinyatakan sebagai orang muslim.

Konsekuensi mukmin adalah muslim. Ibadah kepada Allah tentu tidak berdiri sendiri akan tetapi terkait dengan dimensi kemanusiaan. Itulah sebabnya, Allah mengajari bahwa ibadah yang dilakukan dengan berjamaah akan bernilai lebih tinggi dibandingkan beribadah sendirian. Hal ini berarti ada dimensi kemanusiaan di dalam beribadah kepada Allah SWT. Dua hal yaitu peribadahan kepada Allah dan kemanusiaan akan berdampak jika kemudian berkaitan dengan kebaikan. Tiga aspek ini bekerja secara sistemik, sehingga kala kehilangan salah satunya akan menyebabkan nilai ketaqwaan itu nyaris tiada.

Di dalam sejarah Islam misalnya bisa dijadikan sebagai ibrah tentang keislamannya Ibn Muljam, kaum Khawarij. Seorang ahli ilmu Alqur’an, pengajar Alqur’an, ahli hukum Islam dan seabrek kapasitas yang dimiliki dalam beribadah dan berilmu keislaman. Akan tetapi dimensi peribahannya kepada Allah  tidak terkait secara sistemik dengan dimensi kemanusiaan dan kebaikan. Dia melakukan pembunuhan terhadap Khalifah Sayyidina Ali Karramahu wajhah, menantu Nabi Muhammad dan seseorang yang tidak tertandingi dalam ilmu keislaman dan kewiraiannya. Sayyidina Ali  harus dibunuh karena dianggapnya telah melakukan kesalahan. Dianggapnya tidak menggunakan hukum Allah, la hukma illa lillah.

Kedua,   menghindari kedlaliman terhadap diri sendiri atau kepada orang lain. Pendholiman atas diri sendiri terjadi karena melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam atau apa yang diperintahkan oleh Allah dan disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pendholiman kepada orang lain adalah di kala dia melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Orang menjadi menderita terhadap apa yang dilakukannya. Dimensinya sangat luas seperti melakukan ketidakadilan, pemaksaan atas nama kekuasaan atau atas nama kepentingan, dan melakukan kekerasan atas nama kekuasaan atau kepentingan. Misalnya prilaku raja-raja yang dhalim, seperti Fir’aun yang akhirnya tenggelam di laut Merah pada zaman Nabi Musa. Fir’aun melakukan pendholiman atas Nabi Musa  dan kaumnya yang bermukim di Mesir. Lalu Raja Namrud yang membakar Nabi Ibrahim AS, atau Kaum Ad yang melakukan tindakan melawan kebenaran sebagaimana yang disyiarkan oleh Nabi Hud, atau kelompok Quraisy yang melakukan pendholiman kepada Nabi Muhammad SAW.

Ketiga, orang yang bisa menjaga keseimbangan di dalam beribadah kepada Allah dan berbuat baik bagi kemanusiaan. Yaitu orang yang lebih banyak berpikir kemaslahatan bagi umat. Tidak ada yang diperjuangkannya kecuali agar apa yang dilakukan tersebut memiliki makna dan manfaat bagi orang lain. Ada maslahah ‘ammah dan maslahah khas yang dilakukannya.  Jika menjadi presiden, maka tidak ada di dalam kepemimpinan kecuali merumuskan kebijakan yang menguntungkan dan maslahah bagi rakyatnya. Yang diperjuangkannya adalah membuat rakyatnya menjadi sejahtera dan berbahagia karena pemihakan kebijakan negara kepada masyarakatnya. Jika seorang pemimpin dalam level organisasi, baik organisasi pemerintahan maupun organisasi perusahaan dan organisasi kemasyarakatan, maka tidak ada yang dilakukannya  kecuali untuk membuat kebahagiaan yang ditandai dengan kenyamanan, keamanan dan ketentraman yang dipimpinnya. Semua merasa memiliki kontribusi karena merasakan dilibatkan di dalam proses pencapaian tujuan. Secara internal terjadi kepuasan pelanggan internal atau internal customer satisfaction. Jika seorang dosen maka yang dilakukan tidak hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan, akan tetapi juga membimbing agar terjadi pengembangan ilmu yang signifikan dengan keahliannya. Diajaknya, mahasiswanya untuk belajar menemukan atau to discover something lewat proses pendampingan dan pembimbingan. Misalnya mendorong kemampuan meneliti dan menulis dan sebagainya.

Dengan demikian, menjadi orang bertaqwa kepada Allah tidak hanya dengan melakukan ibadah mahdhoh atau ibadah wajib, meskipun sangat penting, akan tetapi juga membangun kehidupan yang memberikan peluang bagi orang lain untuk menikmati kebaikan, kemaslahatan dan kebahagiaan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

PUASA UNTUK UMAT TERDAHULU

PUASA UNTUK UMAT TERDAHULU

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Puasa merupakan ibadah yang universal dalam konteks semua agama memiliki ritual puasa meskipun tatacara dan jenisnya berbeda-beda. Tentu yang berbeda sekarang. Di masa lalu bisa saja puasa itu sama saja, yaitu menahan lapar dan minum dan relasi seksualitas di siang hari dan diperkenankannya di malam hari. Mengenai jumlah hari  bisa saja berbeda, tetapi hakikat puasa adalah menahan hawa nafsu manusia yang seringkali kebablasan di dalam kehidupan.

Alqur’an menyatakan: “ya ayyuhal ladzina amanu kutiba alaikumus shiyam, kama kutiba alal ladzina min qablikum la’allakum tattaqun”. (Alqur’an, Surat Al Baqarah, 183). Yang artinya: “wahai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu untuk berpuasa sebagaimana umat terdahulu agar kamu bertaqwa”. Ayat ini jelas menyatakan bahwa umat Islam dan umat sebelum turunnya Islam sebagai agama telah diwajibkan oleh Allah untuk melakukan puasa. Artinya dengan pendekatan doktriner harus diyakini bahwa ada puasa yang dilakukan oleh umat sebelum Islam, yaitu umat Nasrani, Hindu, Buddha dan Yahudi dan juga umat agama-agama lainnya.

Jika Alqur’an menyatakan agar umat Islam berpuasa sebagaimana umat sebelumnya ternyata memang benar adanya. Umat Yahudi melakukan puasa sebagaimana  umat Nasrani, Yahudi, Hindu, Buddha dan Yahudi juga melakukan puasa. Ada beberapa penjelasan yang kita dapatkan di media social, bahwa umat Yahudi melakukan puasa dengan pantangan makan, umat Nasrani atau Protestan dan Katolik juga melakukan puasa menjelang paskah yang diakhir pada Jum’at Agung dengan pantangan makan, sedangkan umat Buddha juga melakukan puasa misalnya dengan pantangan makan dalam sehari. Bahkan di kalangan para Bante, maka mereka pantang makan pada jam 12 siang ke atas. Mereka hanya makan sekali saja sebelum jam 12 siang dan jika tidak makan sebelum jam tersebut, maka harus menunggu esok hari untuk makan. Di kalangan orang Hindu juga terdapat puasa dengan melakukan pantangan atas makanan.

Nabi Adam melakukan puasa tiga kali dalam sebulan, akan tetapi juga ada yang menyatakan bahwa puasa Nabi Adam adalah berpuasa sehari semalam dan ada juga yang menyatakan berpuasa pada tanggal 10 Dzulhijjah kala bertemu kembali dengan Hawwa. Namun juga ada yang menyatakan bahwa puasa Nabi Adam adalah selama 40 hari 40 malam setiap tahun.

Nabi Idris berpuasa sepanjang hayat. Setiap hari melakukan puasa dan mengakhiri puasa pada malam hari. Puasanya sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam sekarang. Berpuasa di siang hari dan berbuka di malam hari. Nabi Nuh berpuasa tiga hari setiap bulan, dan kala berada di dalam kapal sewaktu banjir besar melanda dunia, maka Nabi Nuh melakukan puasa setiap hari. Beliau di dalam kapal dengan pengikutnya selama enam bulan. Jadi berarti berpuasa setiap hari selam enam bulan. Nabi Ibrahim berpuasa sewaktu dibakar oleh Raja Namrud selama tujuh hari tujuh malam. Jadi Nabi Ibrahim berpuasa selama tujuh hari tujuh malam tersebut.

Nabi Dawud dikenal melaksanakan puasa yang hingga sekarang masih dikenal dengan puasa Dawud yaitu puasa dengan teknik sehari puasa sehari tidak. Puasa yang dilakukan dengan selang seling.  Artinya bahwa pada era Nabi Dawud sudah dikenal puasa. Sedangkan Nabi Musa berpuasa selama 40 hari dalam setahun. Cara berpuasa Nabi Musa kemudian diikuti oleh umat Yahudi. Kemudian Nabi Isa juga melakukan puasa selama 40 hari selama 24 jam dan pantang memakan daging atau hewan yang bernyawa.

Puasa sesungguhnya merupakan ajaran universal yang dilakukan oleh Nabi dan Rasul dengan berbagai varian. Akan tetapi sebagaimana yang terjadi bahwa kemudian puasa-puasa yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul tersebut  berubah sesuai dengan penafsiran ahli-ahli agama pada masa berikutnya. Perubahan tersebut tentu dapat dikaitkan dengan pemikiran dan pemahaman atas agama yang diyakininya. Sebagai contoh yang sangat realistis, Nabi Ibrahim dikenal sebagai Bapak Monotheisme atau Rasul yang secara tegas menyatakan bahwa Tuhan Maha Esa. Bisa saja dinyatakan sebagai keesaan Tuhan yang bersifat murni. Demikian pula ajaran Nabi Ismail yang menjadi nenek moyang Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi ajaran monotheisme tersebut kemudian menjadi berubah dengan menempatkan patung-patung sebagai sesembahannya. Dari monotheisme menjadi polytheisme. Semua suku di Jazirah Arab memiliki patung-patung Tuhan, tetapi yang terbesar hanya tiga saja, yaitu: Al Lata, Al Manat dan Al Uzza. Dengan demikian terdapat penafsiran yang berubah atas ajaran Nabi Ibrahim yang diteruskan oleh Nabi Ismail. Demikian pula ihwal perubahan puasa dari umat Nabi ke umat Nabi lainnya. Terjadi pemahaman yang bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman.

Puasa di dalam Islam sudah berjalan selama 1400 tahun lebih. Namun demikian, puasa di dalam Islam tidak berubah, baik cara dan substansinya. Puasa dilakukan selama satu bulan, yaitu bulan qamariyah yang usianya 29 atau 30 hari. Adakalanya puasa dilakukan dalam 29 hari dan adakalanya dilakukan selama 30 hari. Ada perbedaan dalam menentukan kapan puasa Ramadlan dimulai dan kapan diakhiri. Ada dua metode yaitu rukyatul hilal dengan prinsip imkanur rukyah dan ada metode hisab dengan prinsip wujudul hilal. Meskipun berbeda dalam penetapan kapan puasa dilakukan, akan tetapi substansi puasa tetaplah sama, yaitu menahan makan dan minum serta tidak melakukan relasi seksual pada  siang hari. Dan yang terpenting bahwa umat Islam yang berpuasa harus menjaga diri agar tidak terdapat perbuatan yang mengurangi dan membatalkan puasa.

Kita patut bersyukur meskipun puasa sudah berjalan semenjak Nabi Muhammad, Sahabat, Tabiin dan Tabiit-tabiin dan hingga sekarang ternyata ibadah puasa tersebut masih orisinal sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Bukankah hal ini menandakan orisinalitas Islam yang melampaui tempat dan zaman.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

MENYIKAPI PERBEDAAN AWAL RAMADLAN 1445 H

MENYIKAPI PERBEDAAN AWAL RAMADLAN 1445 H

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Pada tahun 2024 Masehi atau tahun 1445 Hijriyah ternyata terdapat perbedaan dalam menetapkan tanggal 1 Ramadlan. Organisasi Muhammadiyah menetapkan tanggal 11 Maret 2024 sebagai awal Ramadlan, sementara NU dan Pemerintah menetapkan tanggal 12 Maret 2024 sebagai awal Ramadlan. Perbedaan ini tentu tidak mengagetkan, sebab tidak sekali dua kali hal ini terjadi tetapi sudah berkali-kali.

Hal inilah yang menjadi pokok pembahasan dalam ceramah saya di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya, 11/03/2024. Ceramah ini dilaksanakan ba’da shalat Isya’ dan diakhiri dengan shalat Tarawih dan Shalat Witir. Masjid al Ihsan memang menyelenggarakan ceramah secara rutin, setiap malam selama bulan Ramadlan. Tentu tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman kepada para jamaah Masjid Al Ihsan.

Ada tiga hal yang saya sampaikan kepada jamaah shalat tarawih, yaitu: pertama, sudah saatnya kita bersyukur kepada Allah karena diberikan kesehatan sehingga insyaallah dapat melaksanakan puasa. Bukankah kita berdoa kepada Allah nyaris setiap hari dengan doa: “Allahumma bariklana fi rajab wa sya’ban wa balighna ramadlan.” Yang artinya kurang lebih adalah “Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan pertemukan dengan bulan Ramadlan”.  Kita semua bersyukur karena kita dapat berjumpa dengan bulan Ramadlan yang kita idamkan. Kita sudah dipertemukan dengan bulan Ramadlan tentu karena Allah mengabulkan permohonan kita. Oleh karena itu penting untuk memohon usia yang panjang yang sehat, yang mendapatkan cahaya Allah dan tetap di dalam keimanan kepada Allah. Doa itu adalah: “Allahumma thawwil umurana wa shahih ajsadana wa nawwir qulubana wa tsabbith imanana”.

Kedua,  kita bersyukur kepada Allah karena Allah sudah memberikan kepada kita kekuatan untuk beribadah seperti ibadah puasa. Ibadah  puasa adalah ibadah fisik. Kita sungguh bersyukur karena sudah melaksanakan shalat dan membaca syahadat. Kita sudah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah. Kita sudah menyaksikan dengan ucapan, dan hati kita bahwa Allah merupakan Tuhan seru sekalian alam, Tuhan yang menciptakan seluruh alam dan Tuhan yang menjadi tempat kita semua untuk mengabdi dan menyembahnya. Kita sudah melaksanakan shalat wajib dan shalat sunnah. Melaksanakan shalat merupakan bentuk pengabdian kepada Allah yang terbaik. Shalat itu tiang agama. “Ashhalatu ‘imaduddin. faman aqamaha faqad aqamaddin, faman hadamaha faqad hadamaddin”. “Shalat adalah tiang agama, siapa yang mendirikannya adalah mendirikan agama dan barang siapa yang meninggalkannya maka merubuhkan agama”. Kita mesti bersyukur kepada Allah atas semua hidayahnya, sehingga kita dapat menjadi umat Islam, umat yang disayang oleh Rasulullah dan umat yang dirahmati oleh Allah SWT. Lalu kita juga sudah mengeluarkan zakat sebagai kewajiban sebagai umat Islam. Kita harus menyisihkan sebagian kecil harta untuk kepentingan kaum miskin, kaum dhuafa’. Melalui ajaran tentang zakat ini, maka Allah mengajarkan agar sesama manusia saling menyayangi dan mengasihi. Dan di antara kita juga sudah ada yang melaksanakan umrah dan haji. Hanya saja untuk haji maka ada ketentuan bagi yang mampu.

Ketiga,  sesungguhnya ada pertanyaan dasar tentang puasa, yaitu: kenapa puasa di Indonesia berbeda memulainya dan juga bisa berbeda mengakhirinya. Terjadinya perbedaan memulai dan mengakhiri puasa disebabkan oleh perbedaan metode di dalam menetapkan tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawal. Muhammadiyah menggunakan metode hisab dengan wujudul hilal. Dengan rumus hisab yang sudah disepakati oleh Majelis Tarjih di Muhammadiyah, maka ditetapkan selama hilal sudah wujud dalam derajad sekecil-kecilnya, misalnya 0,01 derajat maka hilal sudah wujud dan berarti bulan sudah berganti. Maka berarti tanggal 1 sudah berlangsung. Tetapi yang menggunakan metode ru’yatul hilal dalam wujud imkanur ru’yah, maka hilal akan dinyatakan sebagai  awal ramadlan jika ketinggiannya sudah mencapai sekurang-kurangnya dua derajad. Bahkan Menteri-Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) sudah menetapkan ketetapan baru sekurang-kurangnya tiga  derajad. Jadi untuk menentukan tanggal 1 Ramadlan dan Syawal, maka ketinggian hilal harus tiga derajad.  Jika  kurang dari tiga derajad tentu  tidak memenuhi standart ru’yah atau dilihat dengan mata meskipun melalui teknologi teleskop. Munculnya dua metode ini terkait dengan Sabda Nabi Muhammad SAW bahwa agar kita memulai puasa dengan munculnya hilal dan mengakhirinya dengan munculnya hilal. Jika hilal tidak kelihatan dengan ru’yah, maka agar diistikmalkan atau digenapkan menjadi 30 hari. Oleh karena lalu muncul penafsiran, ada yang melihat melalui perhitungan atau hisab dan ada yang melihatnya melalui pandangan mata atau ru’yah.

Jika kita puasa, maka kita harus yakin atas kebenaran apa yang kita lakukan. Agama itu terkait dengan I’tiqadiyah atau aqidah atau keyakinan. Maka kita harus yakin. Jangan sampai kita beribadah tidak dengan keyakinan. Bagi yang meyakini memulai puasa hari Senin, 11/03/2024, maka puasalah dengan keyakinan. Bagi yang puasa hari Selasa, 12/03/2024 maka puasalah dengan keyakinan. Inilah yang disebut sebagai religious internum. Keyakinan di dalam masing-masing agama di dalam dimensi ke dalam.

Namun demikian, ada yang harus diperhatikan adalah terkait dengan bagaimana kita mengangkat persoalan perbedaan awal Ramadlan, maka yang dilakukan adalah menghargai keyakinan yang berbeda dimaksud. Ada kebenaran bagi mereka sebab semuanya berada di dalam tafsir atas ajaran agama. Penghargaan dan toleransi ini yang disebut sebagai dimensi eksternum atau bagaimana  membangun relasi yang baik di antara yang berbeda.

Inilah keunikan Indonesia. Negeri dengan organisasi keagamaan yang sangat banyak dan masing-masing memberikan penafsiran yang bisa sama dan juga berbeda. Dan keunikan lainnya, bahwa meskipun berbeda akan tetapi solidaritas, harmoni dan kerukunan intern dan antar umat beragama tetap terjalin dengan baik dan bermanfaat. Marilah kita jadikan perbedaan bukan sebagai factor menyebab disharmoni akan tetapi untuk merajut kerukunan. Bhinneka Tunggal Ika.

Wallahu a’lam bi al shawab.

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di dalam pengajian Selasanan di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency pada 05/03/2024, maka saya ikut memberikan penjelasan atas ceramah agama yang disampaikan oleh Ustadz Sahid dengan tema Puasa Full Cinta, sebagaimana yang sudah saya unggah di nursyam.uinsby.ac.id dan juga sudah saya share di komunitas WAG yang saya terlibat di dalamnya.

Saya memberikan penjelasan bahwa ajaran-ajaran Islam yang selama itu menjadi doktrin atau berada di dalam wilayah keyakinan, akan tetapi lama kelamaan akhirnya bisa dibuktikan secara saintifik. Ajaran Islam yang semula diyakini saja keberadaannya, akhirnya melalui kajian ilmiah berhasil dibuktikan. Sungguh Allah SWT telah memberikan peluang bagi ahli sains untuk memberikan justifikasi bahwa ajaran Islam benar dan ada yang relevan dengan kajian ilmiah.

Di dalam Islam terdapat dua aspek ajaran yaitu ajaran doctrinal dan ajaran tentang pemikiran. Yang doctrinal adalah ajaran inti di dalam Islam yang terkait dengan doktrin-doktrin agama. Tentang Tuhan, tentang Malaikat, tentang Rasul, tentang Hari qiyamat, tentang Roh  dan tentang takdir adalah berkaitan dengan doktrin yang mau tidak mau orang harus percaya. Tidak perduli masuk akal atau tidak, rasional atau tidak. Yang diwajibkan adalah mempercayai kebenarannya. Inilah kebenaran mutlak yang manusia beragama tidak boleh meragukannya. La raiba fihi. Ada dunia kegaiban yang manusia harus meyakininya dengan sepenuh hati, jiwa dan raga.

Namun demikian ada juga yang mengandung dimensi kebenaran akal atau ratio kita membenarkannya. Misalnya ajaran etika untuk mengajarkan relasi antar manusia, maka rasio kita membenarkannya. Melalui ajaran etika maka manusia memiliki kesopanan, manusia memiliki tata cara untuk saling berkomunikasi dan manusia memiliki kemampuan untuk menyatakan mana relasi social yang boleh dan mana yang tidak. Di dunia ini ada banyak etika social yang didasari oleh ajaran agama. Dunia menjadi teratur yang salah satunya didasarkan atas ajaran agama, misalnya ajaran kasih sayang, saling memberi dan ajaran untuk berbuat baik.

Di dalam kaitannya dengan mukjizat para Nabi atau Rasul juga merupakan kejadian yang tidak masuk akal manusia. Ada mu’jizat yang akal manusia tidak mampu untuk memikirkannya. Salah satu kelebihan Nabi atau rasul adalah dikaruniai dengan mu’jizat yang melampaui batas akal manusia. Misalnya Nabi Isa dapat menghidupkan orang yang wafat, Nabi Sulaiman dapat berbicara dengan binatang, Nabi Musa dapat membelah laut dengan tongkatnya, Nabi Ibrahim tidak terbakar karena api, Nabi Muhammad SAW dapat membelah bulan, dan kalam Allah Alqur’an yang hanya bisa dijelaskan dengan “kata” sebagai mu’jizat.

Alqur’an inilah yang banyak bercerita tentang kejadian-kejadian yang disebut sebagai mu’jizat. Alqur’an sebagai Kitab Suci banyak menceritakan tentang kejadian masa lalu, misalnya tentang jasad Fir’aun yang berada di pantai Laut Merah, Bulan terbelah, isra’ dan mi’raj,  malam lailatul qadar, dan Nabi Ibrahim yang tidak mempan dibakar oleh Raja Namrud dan lain-lain. Ada banyak kejadian aneh yang terdapat di dalam Alqur’an yang menggambarkan tentang  dunia mu’jizat yang penuh misteri. Dan sebagaimana dipahami bahwa tidak semua mu’jizat tersebut dapat dijelaskan dengan akal manusia melalui penelitian di bidang sains.

Namun demikian, semakin banyak fenomena mu’jizat Nabi yang bisa dijelaskan dengan penjelasan sains. Ada banyak ahli sains yang menjadi muslim setelah melakukan kajian yang mendalam tentang informasi di dalam Alqur’an. Ada beberapa yang fenomenal, misalnya dibenarkannya bahwa Fir’aun itu mati di laut sebab di dalam mulutnya terdapat kandungan garam yang tidak mungkin itu terjadi pada manusia yang tidak tenggelam di laut. Di dalam studi yang dilakukan oleh Maurice Buchaile maka dipastikan bahwa Fir’aun yang semasa dengan Nabi Musa itu tenggelam di laut kala Fir’aun tersebut mengejar Nabi Musa yang menyeberangi laut Merah dalam pelariannya dari Mesir ke Palestina. Kala Nabi Musa menyeberangi laut, maka Fir’aun dan bala tentaranya mengikutinya, akan tetapi akhirnya Fir’aun dan tentaranya tenggelam di laut, dan jasad Fir’aun tersebut terkubur di pantai dan ditemukan dalam studi untuk diawetkan. Kala Buchaille menelitinya maka sampai kesimpulan bahwa Fir’aun tersebut memang tenggelam di laut. Dalam waktu 400 tahun barulah mu’jizat Nabi Musa tersebut terkuak dan menjadi penyebab masuk Islamnya Buchaille.

Yang juga tidak kalah menarik adalah kebenaran mu’jizat Nabi Muhammad tentang bulan terbelah. Di masa Nabi Muhammad SAW hal tersebut menjadi mu’jizat sampai kemudian ditemukan kenyataan bahwa bulan memang memiliki indicator di bulan terdapat patahan-patahan yang menandakan pernah terbelah. Di masa lalu, bulan terbelah merupakan mu’jizat, akan tetapi di kala manusia dengan ilmu pengetahuannya dapat menyingkap secara empiris bahwa bulan terdapat patahan yang menggambarkan tentang bulan pernah terbelah, maka mu’jizat tersebut ternyata secara empiris benar.

Bahkan juga puasa. Di masa lalu puasa menjadi ajaran yang wajib dilakukan sebagai rukun Islam. Umat Islam harus melakukannya. Tetapi seirama dengan kajian empiris tentang puasa dari dimensi Kesehatan, maka puasa ternyata memang dapat menjadikan seseorang lebih sehat. Benarlah sabda Nabi Muhammad SAW shumu tasihhu.  Berpuasalah agar menjadi sehat.

Wallahu a’lam bi al shawab.