• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENJADI YANG TERBAIK UNTUK DIRI SENDIRI

MENJADI YANG TERBAIK UNTUK DIRI SENDIRI

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang sangat sering saya bacakan terutama dalam acara Wisuda Sarjana berbunyi: “Khairun nas anfa’uhum linnas” yang artinya: “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”. Hadits ini memberikan gambaran bahwa bermanfaat bagi orang lain adalah ciri utama bagi manusia yang terbaik. Namun demikian, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa manusia juga harus menjadi yang terbaik untuk dirinya sendiri. Inilah yang saya sampaikan dalam pengajian pada  acara Ngaji Bahagia pada Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya, 03/06/2025.

Saya menyatakan ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu: Pertama, secara dekonstruktif, bahwa manusia yang terbaik adalah yang terbaik bagi orang lain. Ini pasti. Tetapi juga jangan lupa, manusia juga harus menjadi yang terbaik untuk fisiknya, untuk jiwa dan untuk rohnya. Ini bukan dalil, akan tetapi bisa direnungkan: “khoriun nas anfuhum lijasadihi wa li nafsihi wa liruhihi. Sekali lagi ini bukan hadits apalagi Qur’an, tetapi hanya maqalah dari orang awam. Namun demikian penting untuk direnungkan, bahwa manusia yang terbaik adalah yang bermanfaat bagi jasadnya sendiri, bagi jiwanya dan bagi rohnya. Dengan demikian, seseorang akan dinilai bermanfaat jika dia menjadi yang terbaik untuk jasadnya, untuk jiwanya dan untuk rohnya. Tidak mungkin orang akan menjadi baik untuk orang lain,  jika jasad, jiwa dan rohnya sendiri tidak baik.

Kedua, jasad yang baik ditandai dengan adanya makanan dan minuman yang baik. Yang dimakan adalah  bahan-bahan yang sumber makanan yang  proses dan produknya baik. Di dalam konsep Islam disebut sebagai makanan dan minuman yang halalan thayyiban. Tidak cukup halal tetapi yang baik untuk kesehatan tubuh. Misalnya, daging kambing tentu halal selama hewan tersebut memang bukan hewan hasil pencurian, akan tetapi menjadi kurang baik jika dimakan oleh orang yang memiliki potensi asam urat dan kolesterol yang tinggi. Halal tetapi kurang thayib. Gula tentu makanan halal selama diproses dengan halal, akan tetapi menjadi kurang thayib jika dijadikan bahan makanan atau minuman orang yang memiliki diabetes.

Berikutnya, anfa’uhum linafsihi atau bermanfaat bagi jiwanya. Jiwa itu terletak di antara jasad dan roh. Dengan nafsu tersebut maka manusia menjadi memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu.  Nafsulah yang menggerakkan seseorang untuk memilah dan memilih perbuatan mana yang dianggap penting dan mana yang dianggap tidak penting. Mana perbuatan yang bermanfaat bagi diri dan orang lain dan mana perbuatan yang tidak bermanfaat bagi diri dan orang lain. Makanya terdapat nafsu amarah yang berkecenderungan ke arah fisikal atau nafsu biologis atau nafsu kebinatangan. Lalu ada nafsu muthmainnah yang cenderung kepada kebaikan bersearah kepada perilaku malaikat. Jadi ada jiwa yang kal hayawan dan ada yang kal malaikah.

Tidak kalah menarik adalah anfa’uhum li ruhini atau bermanafaat bagi ruhnya. Ruh yang ada di dalam diri manusia adalah produk tiupan Allah. Artinya ada dimensi ketuhanan di dalam ruh tersebut. Makanya, ruh tentu memiliki ciri utama kebaikan. Ciri yang mendasar adalah kepatuhan kepada Allah. Namun demikian, ruh itu netral. Jadi sangat tergantung kepada nafsunya. Apakah nafsu kebaikan atau keburukan. Jika nafsu yang berkembang di dalam kehidupan adalah kebaikan tentu ruh itu akan menjadi bahagia, dan jika jiwanya cenderung kepada kejahatan, tentu ruh akan menjadi sengsara.

Ketiga, fisik, jiwa dan roh harus memperoleh asupan yang baik dan bermanfaat. Jasad harus diisi dengan kebaikan dan kemanfaatan. Sebagaimana tadi bahwa jasad harus diisi dengan asupan-asupan biologis yang bermanfaat. Jangan makan dan minum yang macam-macam yang tidak sesuai dengan kemampuan fisik dan yang terpenting halalan thayyiban. Lalu juga jiwa kita diisi dengan silaturrahmi atau berbuat baik kepada sesama manusia. Relasi social yang baik akan sangat menentukan atas kebaikan jiwa kita. Orang yang suka memaafkan, suka berbuat jujur, suka berbuat yang menyenangkan orang lain, orang yang suka membuat orang lain bahagia dan yang tidak kalah penting adalah orang yang suka sedekah, maka akan sangat berpengaruh atas kebaikan jiwa. Ini merupakan prinsip agar jiwa  selalu berada di dalam kebaikan. Jiwa yang akan menjadi muthmainnah dan bukan jiwa yang amarah termasuk jiwa yang lawwamah.

Kemudian yang tidak kalah menarik adalah mengisi roh dengan ibadah kepada Allah SWT. Roh berasal dari Tuhan, maka roh juga senang jika diisi dengan kebaikan, dan kebaikan roh itu sangat tergantung kepada seberapa banyak ibadah yang bisa dilakukan. Jaga dzikir atau wirid, jaga shalat, jaga puasa, dan jaga roh dengan terus berbaik sangka kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah itu maha Rahman dan Rahim, maka agar Rahman dan Rahim tersebut berada di dalam tubuh kita, maka harus diisi dengan kebaikan kepada diri kita, kepada jiwa kita dan kepada roh kita.

Saya kira, para jamaah masjid Al Ihsan sebagai anggota jamaah Ngaji Bahagia adalah orang yang beruntung, sebab setidak-tidaknya tiga hal ini sudah dilakukan seberapapun kita dapat  melakukannya. Insyaallah Tuhan yang memiliki roh, jiwa dan raga akan bersearah dengan kebaikan yang mampu dan harus kita lakukan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENCERMATI PARA MUNAFIQIN

MENCERMATI PARA MUNAFIQIN

Prof. Dr. Nur Syam, Msi

Acara Ngaji Bahagia tentu selalu menghadirkan kebahagiaan. Kalau tidak mengapa namanya seperti itu. Pada pagi, Selasa, 27 Mei 2025, ketepatan ngaji Bahagia ini diikuti oleh banyak sahabat yang selama ini terlibat di dalam kegiatan ngaji bareng. Tema pagi ini juga menarik sebab mengkaji tentang munafiq sebagai fenomena social dan keagamaan. Tema ini dipicu oleh acara tahsinan yang sudah sampai kepada pembahasan tentang Surat Al Munafiqun, maka tentu terkait dengan siapa dan apa saja yang disebut sebagai munafiqun dimaksud.

Ada beberapa penjelasan terkait dengan munafiq, yaitu:

Pertama, tanda-tanda kaum munafiq sebagaimana diungkapkan di dalam hadits sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori sebagai berikut: “idza haddatsa  kadzdzaba, wa idza wa’ada   akhlafa, wa idza’tumina khana”, artinya: “jika berkata bohong, dan jika berjanji ingkar dan jika diberi amanah berdusta”. Melalui hadits ini dapat dipahami bahwa ada pertanda sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa orang munafik itu sedemikian mudah untuk dikenali. Suka berbohong, suka ingkar janji dan suka berdusta.

Melalui hadits ini tentu kita dapat  mencoba untuk memahami diri kita sendiri, apakah kita termasuk orang yang diindikatori sebagai munafik. Sekaligus juga menjadi bahan berhati-hati, agar jangan mudah kita berkata bohong, jangan mudah kita ingkar janji,  dan jangan berdusta jika diberi amanah. Ada di antara umat Islam  yang sedemikian mudah untuk mengucapkan sesuatu yang tidak tepat dan benar. Contoh yang sangat sederhana, misalnya kita berjanji di suatu tempat untuk bertemu, ada sahabat yang belum datang, kala ditanya sampai mana, maka dengan enteng menjawab sudah dekat 10 menit lagi,  padahal masih jauh jarak yang harus ditempuhnya. Jika hal seperti ini secara terus menerus dilakukan, bukan tidak mungkin suatu ketika akan  menjadi kebiasaan. Atau akan menjadi tabiat atau perilaku yang bersumber dari kebiasaan secara kontinu dan kemudian menjadi kebiasaan sehari-hari.

Di sini, Islam mengajarkan agar kita bicara apa adanya. Qaulan sadidan. Berkata yang jujur dan  yang benar, dan jangan menutupi atas sesuatu yang sesungguhnya salah. Nyatakan yang benar itu benar dan nyatakan yang salah itu salah. Jika harus terlambat di dalam suatu pertemuan, maka ungkapkan apa adanya agar dipahami secara benar oleh orang lain. Oleh karena itu kita harus benar-benar menjaga agar sesuatu yang jelek tidak menjadi kebiasaan. Ada pepatah Jawa yang menyatakan: “esuk tempe sore dele” atau pagi bicara tempe, sore bicara kedelei. Atau di dalam bahasa Jawa disebut sebagai: “mencla, mencle”. Atau orang yang tidak konsisten antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Ini baru munafiq secara insaniyah atau munafiq ‘indan nas. Di dalam bahasa yang  ilmiah bisa disebut sebagai munafiq sosiologis atau munafiq antar manusia.

Yang paling berat, sebagaimana diceritakan di dalam Surat Al Munafiqun adalah terkait dengan munafiq di hadapan Allah dan Rasulnya. Dari mulutnya menyatakan mempercayai Allah dan apa yang diajarkan oleh Rasulnya, akan tetapi di dalam batin mengingkarinya atau bahkan memusuhinya. Pada zaman Rasulullah sudah banyak orang yang seperti ini, artinya banyak kaum Makkah dan Madinah yang seakan-akan percaya kepada ajaran Nabi Muhammad SAW akan tetapi secara empiris mereka melakukan gerakan untuk melawan Nabi Muhammad SAW. Misalnya kabilah yang sudah menyetujui perjanjian damai di dalam Perjanjian Madinah atau Piagam Madinah, tetapi secara diam-diam mereka melakukan konspirasi dengan musuh-musuh Islam, maka Nabi Muhammad berperang terhadap kabilah  yang semacam ini.

Jadi tidak benar, jika Nabi Muhammad SAW itu mengembangkan Islam dengan pedang, sebagaimana tuduhan para ahli orientalis, yang menyatakan bahwa Islam disiarkan dengan peperangan. Peperangan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW hakikatnya adalah untuk mempertahankan umat Islam dari rongrongan dan fitnah yang dilakukan oleh kabilah-kabilah yang ingin menghancurkan Islam.  Nabi Muhammad SAW sudah menduga akan banyak manusia yang mengingkari janjinya sendiri. Janji hanya sebagai pemanis hubungan social. Memuji padahal menggebuki, menyanjung tetapi sesungguhnya menelikung. Zaman Nabi Muhammad SAW sudah banyak orang yang seperti ini.

Yang tidak kalah menarik juga banyaknya orang yang diberikan amanah atau kepercayaan, akan tetapi kemudian berkhianat. Ada banyak contoh kehidupan yang secara transparan menggambarkan kenyataan seperti ini. Banyak para pemimpin yang kemudian menyalahgunakan kewenangannya. Abuse of power. Sewenang-wenang di dalam menggunakan kekuasaannya. Di kala belum menjadi pemimpin berperilaku baik dan memohon dukungan, akan tetapi setelah menjadi pemimpin berlaku mengingkarinya. Begitu transparan realitas social yang terbentang di hadapan kita tentang kenyataan ini, betapa mudah kita menemukan orang yang diberi amanah tetapi menyelewengkannya.

Dalam Sejarah kita dapat  membaca  orang minafiqun dalam skala besar, misalnya Musailamah al Kadzdzab, seorang munafiq besar yang semula mengakui Allah dan Nabi Muhammad tetapi itu hanya pura-pura. Bahkan dia menyatakan bahwa wahyu kepada Muhammad itu salah alamat, mestinya kepada Ali. Dia mencoba untuk menyaingi kesusastraan tinggi Alqur’an dengan puisi hasil ciptaannya. Lalu terdapat juga Ibnu Ziyad yang memerintahkan Umar bin Saad, seorang pemimpin  bala tantara Muawiyah untuk membunuh Sayidina Husein RA. Kemudian juga terdapat sekelompok orang Khawarij yang membunuh Sayyidina Ali karena perbedaan pendapat. Ibnu Muljam yang membunuh Sayyidina Ali RA., adalah orang yang beranggapan bahwa hanya pendapatnya sendiri yang benar dan selain itu salah. Dianggapnya bahwa Sayyidina Ali RA sudah keluar dari Islam karena tidak menggunakan hukum Allah dalam menyelesaikan konflik antar umat Islam kala itu.

Dengan demikian, orang munafik itu ada di mana-mana, ada di masa lalu dan ada pada masa sekarang. Dan bahkan juga ada di sekitar kita.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

SYUKUR SEBAGAI PENDORONG DOA

SYUKUR SEBAGAI PENDORONG DOA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kala saya menulis artikel ini, sesungguhnya saya gamang. Bukan apa-apa, sebab sayapun belum tentu bisa menjadi orang dengan tingkat kesyukuran yang sangat tinggi, luar biasa, di dalam kehidupan. Adakalanya, saya masih merasakan belum secara optimal di dalam bersyukur kepada Allah. Contoh kecil saja, misalnya saya terbangun jam 01 malam dan kemudian tidak bisa lagi tertidur sampai pagi, maka ada rasa gelisah. Ada rasa cemas bahwa pagi hari dipastikan akan lemas, badan kurang fit dan sebagainya.

Padahal seharusnya saya bersyukur kepada Allah karena dibangunkan di malam hari dan saya bisa berdzikir kepada-Nya. Tentu tuntas semua amalan shalat malam. Benar amalan itu dilakukan tetapi di dalam hati ada yang masih terasa mengganjal karena kepagian bangunnya. Seharusnya merasa bersyukur karena masih diberi peluang untuk hidup. Ini sebagai tasyakkur yang sangat besar, karena dengan masih diberikan hidup berarti masih ada peluang untuk memohon ampunan kepada Allah atas semua kekhilafan dan dosa.

Beberapa hari yang lalu saya membaca di media social tentang orang-orang yang kapalnya karam di lautan  (Selat Bali), karena tersapu ombak besar yang menerjangnya. Mereka berempat berkeinginan untuk meraih kembali kapalnya, akan tetapi ombak besar kembali menerjangnya sehingga mereka berempat terpisah. Akan tetapi dengan kemampuan berenang yang sangat baik, akhirnya mereka bisa bertemu dan berenang bersama. Selama empat hari terapung-apung di laut tentu menguras tenaga dan menghadirkan rasa haus yang luar biasa. Tetapi didapatkan air mineral di dalam botol sehingga bisa diminumnya. Mereka makan ikan mentah untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Sampai suatu saat mereka mendengar suara orang yang sedang mengaji. Dan akhirnya mereka berempat selamat. Ternyata keluarganya melakukan upaya untuk membaca Alqur’an pada waktu keempat orang tersebut terapung-apung di laut. Mereka meyakini bahwa suara orang mengaji tersebut merupakan kiriman keajaiban dari suara orang mengaji bersama-sama di rumahnya. Saya tidak bisa membayangkan kebahagiaan yang dirasakannya akibat selamat dari kecelakaan laut yang menakutkan. Ini merupakan bentuk syukur yang sangat besar, sebab menyangkut hidup dan mati. Sebuah pengalaman religious yang menarik untuk diceritakan. (Tribun Banyuwangi, 25/05/2025).

Rasa syukur tentu tidak harus datang dari peristiwa besar, akan tetapi juga bisa berasal dari kehidupan sehari-hari. Ada saja yang membuat kita seharusnya bersyukur. Adakalanya, kita bersyukur itu hanya atas peristiwa-peristiwa besar saja, sehingga yang kecil itu dianggap biasa saja. Kita bisa bangun tidur dengan perasaan enak saja merupakan hal yang harus disyukuri. Bisa makan dengan enak saja harus disyukuri. Tidak harus makanan yang lezat, makanan yang biasa saja tetapi jika tubuh dalam keadaan sehat, maka makanan itu akan terasa lezat. Kita bisa membayar hutang dengan tertib, jika memiliki kreditan, maka kita akan bersyukur. Rejeki dari Allah bisa datang dari mana saja. Allah dipastikan akan memberikan rejeki atas usaha yang kita lakukan, besar atau kecil. Rasanya yang penting cukup. Cukup itu tidak berkurang  dan berlebihan yang sangat. Cukup itu rejeki yang berkah. Nikmat digunakan dan tidak sia-sia. Rejeki yang berkah itu jika digunakan akan bertambah-tambah kebaikannya.

Kita ini makhluk yang terhingga sehingga juga urusannya dengan keterhinggaan. Itulah sebabnya doa pun harus dilakukan banyak kali agar doa tersebut bisa sampai ke hadhirat Allah SWT. Berbeda dengan orang yang sudah sampai maqam kasyaf atau tempat yang rasa ketuhanannya sudah transparan, sehingga bisa dengan mudah untuk bertemu dengan Dzat Yang Tidak Terhingga. Allah adalah Dzat Yang Tidak Terhingga. Makanya, jika yang tidak terhingga melakukan suatu amalan, maka Yang Tidak Terhingga akan dengan mudah bertemu dengan yang memiliki kapasitas yang gelombangnya sama.

Nabi Muhammad SAW adalah makhluk manusia ciptaan Allah yang memiliki otoritas bertemu dengan Dzat Yang Tidak Terhingga, Allah SWT. Makanya Nabi Muhammad SAW dapat bertemu Allah di suatu tempat yang penuh ketidakterhinggaan. Allah Dzat Yang Tidak Terhingga berada di suatu tempat Yang Tidak Terhingga, dan Nabi Muhammad SAW dapat masuk ke dalam Dzat Yang Tidak Terhingga.

Nabi Musa dinyatakan sebagai Nabi yang dapat berbicara dengan Allah, tetapi tidak memiliki kapasitas untuk bertemu dengan Allah. Kala berbicara dengan Allah, maka keduanya di dalam gelombang yang sama, Nabi Musa dapat masuk ke dalam Dzat Yang Tidak Terhingga. Tetapi di saat Nabi Musa ingin bertemu dengan Allah, maka tempat yang digunakan adalah Bukit Thursina yang bukan Dzat yang Tidak Terhingga, maka bukit itupun hancur lebur. Nabi Sulaiman juga  seorang Nabi yang bisa bercakap-cakap dengan Binatang, tentu karena terdapat gelombang yang sama di antara keduanya. Kelebihan tersebut tentu karena kekuasaan Allah SWT yang kemudian dikaruniakan kepada hambanya.

Kita bukanlah mereka yang memperoleh kelebihan atau mu’jizat yang agung. Kita adalah makhluk yang biasa saja dengan kedekatan dengan Allah yang sangat biasa saja. Oleh karena itu, maka di dalam berdoa juga akan mengalami “kendala” yang datang dari diri kita sendiri. Di antara kendala tersebut adalah kurangnya rasa syukur dimaksud. Yang menulis artikel ini juga berada di dalam keadaan seperti itu.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

BUTUH PROSES DALAM KESUKSESAN DOA

BUTUH PROSES DALAM KESUKSESAN DOA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) itu merupakan kelompok ngaji yang unik. Dinyatakan unik tentu karena di dalam acara tersebut terdapat Upaya untuk tertawa ceria sebanyak-banyaknya, sekurang-kurangnya 17 kali. Ini supaya kita sehat. Temanya pun sangat temporal. Tidak ada yang baku, harus ini atau itu. Bahkan juga terkadang tema itu datang dari peserta pengajian. Maklumlah peserta pengajian ini merupakan orang yang sudah malang melintang di dalam profesinya masing-masing. Bahkan  saya sering menyatakan bahwa pengajian ini menggunakan “Tafsir Jalan Lain” bukan “Tafsir Jalalain”.

Tema yang kita bahas pada hari Selasa, 19/05/2025 adalah tentang bagaimana doa akan sampai kepada Allah dan kira-kira butuh waktu berapa lama. Ini tema baru tentang doa dan berbeda dengan pembahasan atas doa-doa pada pengajian sebelumnya. Di dalam pengajian ini sudah pernah dibahas Trilogi: Ikhtiar, doa dan tawakkal. Baca buku saya “Islam Itu Indah” diterbitkan oleh Nur Syam Centre Publishing, 2024. Kali ini saya menjelaskan tiga hal, yaitu:

Pertama, teologi doa atau theocentrisme-doa.  Doa itu memiliki makna teologis. Artinya bahwa berdoa itu adalah perintah Tuhan untuk manusia. Allah yang memerintah kita untuk berdoa kepadanya. Doa itu arti gampangnya adalah permohonan atau upaya untuk mendapatkan sesuatu dari Allah sesuai dengan yang diinginkan. Bisa untuk mendapatkan rejeki yang halal dan thayyib, bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat, bisa untuk mendapat kebahagian dan juga untuk mendapatkan surganya Allah kelak di alam akherat.

Doa  harus dibarengi dengan ibadah. Coba kita perhatikan di dalam Surat Al Fatihah, maka dinyatakan: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. yang artinya: “Kepada-Mu Ya Allah kami menyembah dan kepada-Mu kami memohon”. Harus ada keseimbangan. Tidak boleh hanya berdoa tanpa ibadah. Doa dan ibadah adalah keseimbangan yang diciptakan oleh Allah untuk manusia.  Di dalam ibadah ada doa dan doa adalah ibadah.

Di dalam Alqur’an juga terdapat ayat yang menyatakan agar manusia memohon kepada Allah melalui doa. Ayat tersebut berbunyi: “Ud’uni astajib lakum”. Yang artinya: “berdoalah kepada-Ku dan Aku akan mengabulkannya”.  Ini janji Allah kepada umat Islam. Dan saya kira juga janji Allah kepada uma-umat Nabi terdahulu sebelum datangnya Islam. Allah sendiri yang meminta agar manusia berdoa.

Kedua, doa sebagai kebutuhan manusia atau antropocentrisme-doa. Semenjak 4.000 tahun SM, manusia sudah mencari Tuhan. Manusia sudah mencari dan menemukan Tuhan. Keyakinan tentang Tuhan itulah yang menyebabkan manusia ingin berbakti kepada yang diyakininya. Orang menyembah Tuhan yang diyakini sebagai Dzat yang berkuasa. Manusia memang membutuhkan agama. Di dalam kajian psikhologi, misalnya dinyatakan bahwa manusia membutuhkan spiritualitas.  Manusia memiliki kebutuhan untuk mengekspresikan kebutuhan spiritualitasnya. Tidak hanya kebutuhan biologis yang ingin dipenuhinya, akan tetapi juga kebutuhan psikhologis termasuk kebutuhan spiritualitas.

Orang yang mempercayai Tuhan, dipastikan akan memiliki kebutuhan untuk berdoa. Ada dimensi kemanusiaan di dalam doa yang dilantunkannya. Bagi sekelompok orang yang masuk di dalam pemahaman agama yang esoteris atau ahli tasawuf yang telah memasuki dunia “kedalaman” beragama, maka akan merasakan betapa nikmatnya berdoa. Seseorang akan merasakan ada “kehadiran” Tuhan dalam batinnya. Maklum bahwa mereka telah memiliki ‘ainun bashirah atau pengalaman batin yang berhubungan dengan Tuhannya.

Bagi orang yang awam dalam pengalaman beragama, maka yang terpenting adalah berdoa kepada Allah di dalam ibadah yang kita lakukan. Jangan lelah berdoa, karena Allah memerintahkan kita untuk berdoa. Bisa dilakukan langsung kepada Allah dan boleh juga dengan berwashilah kepada Nabi Muhammad SAW. Boleh berjuang sendiri dan boleh memohon pertolongan. Dan salah satunya makhluk Allah yang diberi otoritas untuk memberikan syafaat adalah Nabi Muhammad SAW. Berdoalah dengan berwashilah kepadanya.

Ketiga, doa itu  melalui proses. Ada proses agar doa sampai kepada Allah SWT. Memang ada orang yang doanya langsung kepada Allah dan Allah langsung membalasnya. Doa para kekasih Allah dipastikan akan langsung diijabah oleh Allah. Doa Nabi Muhammad SAW dan Nabi-Nabi lainnya bisa langsung diijabah oleh Allah. Bahkan juga para waliyullah, orang yang sangat dekat kepada Allah. Di dalam mitos, misalnya Kanjeng Sunan Bonang dapat mengubah buah kelapa menjadi kelihatan seperti emas, sehingga Raden Sahid takjub dan mau menjadi muridnya. Lewat peristiwa itu, maka Raden Sahid kemudian bertapa dalam waktu yang sangat lama, tiga tahun, dan kemudian mendapatkan ainun bashirah dari Allah dan kemudian menjadi waliyullah penyebar Islam di tanah Jawa.

Bagi orang awam, maka rasanya ada proses yang harus dilampaui. Tidak bisa begitu berdoa,  begitu dikabulkan. Ada proses yang bahkan panjang agar sampai kehadhirat Allah SWT. Misalnya, pagi kita berdoa lalu doa tersebut  terdorong ke atas. Untuk bisa terdorong ke atas, maka dibutuhkan tiga sikap dan tindakan yaitu syukur, sabar dan tawakkal. Ketiganya adalah kunci. Jika kita berdoa lalu diiringi dengan tiga kata kunci ini, maka doa akan terdorong ke atas. Dan jika ada salah satu yang berkurang maka doa akan bisa turun lagi. Doa itu kemudian akan berada di batas antara langit dan bumi. Jika syukur, sabar dan tawakkal itu terus berlangsung, maka doa akan terdorong ke atas ke langit pertama, jika persyaratannya terpenuhi akan terdorong ke langit kedua, ketiga, sampai langit ketujuh. Hal ini bisa terjadi jika sabar, syukur dan tawakkal tersebut terjaga dengan baik. Kira-kira untuk sampai ke langit ketujuh butuh waktu tujuh hari sebagaimana Allah menciptakan langit tujuh lapis dalam waktu tujuh hari. Sab’a samawatin”. Lalu akan terus ke atas dan diproses apakah  doa akan dikabulkan langsung, atau ditunda atau bahkan akan diberikan di alam akherat.

Dengan kata lain, agar doa kita bisa diijabah oleh Allah, at minimum, membutuhkan waktu tujuh sampai 10 hari. Ini tafsir lain atas proses perjalanan doa, dan hal ini hanya tafsir yang tentu bisa disalahkan atau diragukan. Yang tidak boleh diragukan adalah manusia membutuhkan berdoa kepada Allah. Jika gelombang Allah dengan orang yang berdoa sama, maka doa akan cepat dikabulkan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

ADAKAH HIDAYAH TUHAN UNTUK ORANG DHALIM?

ADAKAH HIDAYAH TUHAN UNTUK ORANG DHALIM?

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di dalam teks Alqur’an pada Surat Jumu’ah ayat 5 dijelaskan bahwa Allah tidak akan memberikan hidayah kepada orang yang dhalim. Ayat tersebut menyatakan: “wallahu la yahdil qaumadh dhalimin”, yang artinya: “Allah tidak akan memberikan petunjuk bagi orang yang dhalim”. Jelas sekali teksnya. Berdasarkan ayat ini, maka tidak ada peluang atas orang yang dhalim untuk memperoleh petunjuk dari Allah SWT. Tidak ada. Jalan sudah tertutup untuk hal tersebut.

Di dalam pengajian pada Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya, maka hal itu saya jadikan sebagai pokok bahasan. Saya sampaikan ada beberapa kunci untuk memahami teks ini berdasarkan atas upaya untuk menghubungkan antar ayat atau antar konsep, sehingga dapat menjaring makna yang lebih konprehensif. Tentu saja upaya ini dilakukan dengan cara memahami teks dan konteks diksi dalam ayat yang berusaha untuk dipahami. Sekali lagi pemahaman ini bukan tafsir tetapi hanya upaya secara kntekstual dan tekstual atas ayat yang sepertinya “menutup” atas peluang sekecil apapun. Ada tiga hal yang saya jelaskan:

Pertama, menjelaskan ayat petunjuk atau hidayah. Sebagaimana makna teksnya bahwa hidayah itu adalah hak prerogative Allah untuk memberikannya kepada manusia. Artinya, ada orang yang memperoleh hidayah dan ada orang yang tidak memperoleh hidayah. Tetapi atas orang yang dhalim maka dalilnya jelas,  Allah tidak akan memberikan hidayah kepada ajaran Islam. Jika dengan berpedoman pada ayat ini, maka dipastikan siapa saja yang digolongkan orang dhalim maka tidak akan mendapatkan petunjuk. Secara terminology, hidayah adalah petunjuk Allah kepada manusia melalui Nabi-Nabinya, dan yang terakhir adalah petunjuk Allah melalui Nabi Muhammad SAW. Petunjuk tersebut terkait dengan jalan kebaikan. Yaitu petunjuk untuk beriman kepada Allah dan beramal shalih. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dinyatakan: “Qul amantu billahi tsummastaqim”. Katakanlah, “saya beriman kepada Allah dan akan istiqamah atasnya”. Istiqamah dalam beriman dan melaksanakan amalan-amalan sebagaimana yang diimani tersebut.

Kedua, ada tiga kata yang dapat dikaitkan dengan kata petunjuk atau hidayah, yaitu Rahman dan Rahim, keselamatan dan ajaran Islam. Jika dibuat bentuk segitiga, maka ajaran Islam berada di tengah di antara relasi antara hidayah, Rahman/Rahim dan selamat. Ketiganya merupakan relasi yang sistemik atau tidak berdiri sendiri-sendiri. Segi tiga ini untuk menjelaskan posisi orang yang dhalim apakah bisa mendapatkan hidayah atau tidak, masih ada peluang untuk mendapat hidayah atau tertutup sama sekali. Allah itu maha Rahman dan Rahim. Itu pasti. Allah itu pemberi keselamatan. Ini juga kepastian. Allah adalah yang memiliki ajaran agama sebagaimana yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Ini juga pasti. Dengan demikian, hidayah Allah kepada siapapun itu sangat tergantung atas datangnya ajaran Islam kepada manusia, yang dibarengi dengan keselamatan dan Rahman atau Rahim Tuhan. Sayyidina Umar bin Khattab mendapatkan hidayah dari Allah, sementara itu Abu Jahal tidak mendapatkannya. Sementara itu, Maurice Buchaille mendapatkan hidayah, tetapi Annemarie Schimmel tidak mendapatkannya. Bisa jadi ada tingkatan di dalam kedhaliman, sehingga ada yang dhalim mendapatkan petunjuk dan ada yang tidak mendapatkannya. Dalam kasus Sayyidina Umar bin Khattab, maka derajat kedhalimannya lebih ringan dibandingkan dengan Abu Jahal. Maka bisa dikategorikan bahwa ada gradasi atas kedhaliman tersebut. Ada kedhaliman besar, ada kedhaliman medium dan ada kedaliman kecil. Abu Jahal dapat dikategorikan sebagai orang dengan Tingkat kedhaliman luar biasa, karena keinginannya untuk mecelakai Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya, sementara Umar Bin Khattab tidak sejauh hal tersebut. Di dalam Riwayat dinyatakan bahwa Umar ingin membunuh adiknya tetapi tidak kesampaian sebab mendengarkan ayat Alqur’an dibaca adiknya. Sayyidina Umar bin Khattab justru mempercayai atas kenabian Muhammad SAW. Sementara Abu Jahal tidak sedikitpun tergerak hatinya untuk mempercayai ajaran Nabi Muhammad SAW bahkan ingin membunuhnya. Khalid bin Walid tentu juga melakukan kedhaliman tetapi tidak sebesar tingkat kedhaliman Abu Jahal dan Abu Lahab. Alqur’an banyak bercerita tentang individu yang dikenai adzab karena keingkarannya kepada Tuhan, misalnya Qarun, Kapitalis pertama di dunia.

Ada sejumlah kaum Nabi yang juga dapat dikategorikan sebagai kelompok dengan kedhaliman yang luar biasa, misalnya kaum Nabi Nuh yang akhirnya ditelah gelombang laut yang sangat dahsyat. Peristiwa banjir besar yang melanda Nabi Nuh berdasarkan Riwayat interteks dapat dinyatakan sebagai kebenaran, sebab tidak hanya Kitab Suci Alqur’an yang menjelaskannya, akan tetapi juga cerita di dalam Kitab Manawa Darma Sastra yang menceritakan mengenai Manu yang mengalami peristiwa banjir besar.

Selain itu juga kaum Nabi Luth atau Kaum Ad, yang melakukan tindakan sodomi dengan tingkat kedhaliman luar biasa sehingga diadzab dengan rihin shorshorin atau angin panas selama berhari-hari. Kota Sodom dan Gomorah itu kemudian sekarang dikenal sebagai Madain Shaleh. Demikian pula umat Nabi Hud, atau Kaum Tsamud yang juga diadzab Tuhan. Dengan demikian, ada individu yang kena adzab Tuhan dan juga ada sekelompok orang atau komunitas yang dikenai adzab Tuhan.

Dengan demikian, kedhaliman sesungguhnya tetap memiliki peluang untuk memperoleh hidayah Allah selama yang bersangkutan tidak “keterlaluan” di dalam kedhalimannya. Kedhaliman yang sangat besar sebagaimana contoh di atas merupakan gambaran orang yang dhalim yang tidak memperoleh hidayah, sementara yang tingkat kedhalimannya tergolong rendah atau bahkan medium, maka masih berpeluang untuk memperoleh hidayah Allah.

Wallahu a’lam bi al shawab.