• February 2025
    M T W T F S S
    « Jan    
     12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    2425262728  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

CARA SEDERHANA MENCINTAI RASUL

CARA SEDERHANA MENCINTAI RASUL

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Pada hari Selasa,  17 September 2024, jama’ah Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency yang tergabung dalam Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) mendapat asupan bergizi secara spiritual dalam ngaji Bahagia yang pencerahnya adalah Ustadz Sahid, trainer Sumber Daya Manusia (SDM) di berbagai tempat. Di birokrasi, perusahaan maupun Organisasi Non Pemerintah (ORNOP).

Tema yang disampaikan tentang Maulid Nabi Muhammad SAW tetapi perspektif lain, yaitu bagaimana cara-cara sederhana mencintai Nabi Muhammad SAW. Tema ini lebih banyak dikaitkan dengan dimensi religious mengenai cara mencintai Rasulullah Muhammad SAW. Hal-hal yang sederhana sebagai penanda atas kecintaan kita kepada Nabiyullah Muhammad SAW. Mungkin kita lebih konsentrasi pada meniru Nabi Muhammad SAW dalam hal-hal yang besar, tetapi ternyata yang kecil-kecil dan sederhana tetapi sangat mendasar kita melupakannya.

Ada tiga hal yang disampaikan oleh Pak Sahid, yaitu: pertama, bersyukur kepada Allah SWT karena kita bisa menjadi umat Islam, yang hingga hari ini masih sangat setia kepada Allah SWT dan juga mencintai Nabi Muhammad SAW. Rasa cinta tersebut dihadirkan dengan banyaknya masyarakat lewat masjid menyelenggarakan acara Mauludan dengan tujuan untuk mencintai Nabi Muhammad SAW. Di antara bukti mencintai Rasul adalah dengan menggelar peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sungguh Bahagia kita hari ini, karena Allah masih memberikan kita nyawa. Dengan nyawa yang masih menempel di badan, maka kita masih bisa bertaubat atas kekhilafan kita di masa lalu dan juga menambah ibadah di masa yang akan datang. Selain itu pada sisa usia kita juga dikaruniai semakin religious dengan bukti adanya ngaji rutin, tahsinan Alqur’an dan merutinkan bacaan Alqur’an dan shalat berjamaah.

Kedua, mencintai Nabi Muhammad SAW itu dengan hal-hal yang kelihatannya sepele. Kita ini mencontoh Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah Nabi Muhammad SAW itu teladan bagi kita. Sebagaimana dijelaskan di dalam Alqur’an: “laqad kana lakum fi rasulillahi uswatun hasanah. Sesungguhnya di dalam diri Rasulullah itu teladan kebaikan”. Semua kebaikan Rasul itu merupakan teladan bagi kita.

Coba kita perhatikan diri, apakah kita sudah mencontoh Rasulullah dalam doa-doa sehari-hari. Misalnya mau makan, kita berdoa sebagaimana doa Rasulullah. Selesai makan apakah kita berdoa seperti Rasulullah. Apakah kalau mau masuk toilet kita berdoa kepada Allah dan demikian juga kala keluar. Apakah kita mendahulukan kaki kiri untuk masuk toilet dan keluar dengan kaki kanan. Apakah kalau mau tidur kita juga berdoa kepada Allah dan jika bangun tidur juga berdoa kepada Allah SWT. Kalau kita mau memakai baju atau celana atau sepatu dimulai dengan kaki atau tangan kanan, dan melepasnya dengan kaki atau tangan kiri.

Inilah contoh kita mencintai Rasulullah Muhammad SAW. Jika Rasulullah mengutamakan shalat jamaah, apakah kita juga melakukannya. Terutama shalat Shubuh seperti ini. Sangat luar biasa. Dan yang bisa melakukannya tidak banyak. Kita tentu bersyukur sebab kita dikaruniai usia yang Panjang dan bisa melakukan shalat jamaah. Masyaallah ini merupakan nikmat Allah SWT yang tiada tiaranya. Semoga kita semua mendapatkan rahmat Allah SWT agar kita dapat memasuki surganya.

Ketiga, ada yang juga sangat hebat di dalam mencintai Rasulullah yaitu dengan membaca shalawat kepada-Nya. Sesungguhnya Allah SWT dan para Malaikat bershalawat atau mengucapkan salam kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW. Di dalam Alqur’an dinyatakan: innallaha wa malaikatahu yushalluna ‘alan Nabiyyi ya ayyuhal ladzina amanu shallu ‘alaihi wasallimu taslima”. Sesungguhnya Allah dan malaikatnya bershalawat kepada Nabi Muhammad, wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kepada-Nya”.

Jika Allah SWT Tuhan seru sekalian alam dan para Malaikat yang patuh kepada Allah SWT membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, bagaimana kita yang hambanya Allah lalu tidak mengikuti petunjuk dan pedoman yang sudah diberikan oleh Allah SWT.

Jadi alangkah indahnya jika kita semua dapat mengikuti apa yang dicontohkan oleh Allah dan para malaikat tersebut. Allah memerintahkan kepada kita, bukan perintah wajib tetapi sunnah muakkad, agar kita selalu membaca shalawat. Prinsipnya tiada hari tanpa bacaan shalawat. Perkara banyaknya tergantung kepada kemampuan, tetapi lazimkan memnaca shalawat. Allah sangat mencintai orang yang beribadah dengan sitiqamah.

Rasulullah diberi kekuasaan oleh Allah untuk memberikan syafaat pada hari kiamat. Dan salah satu kata kunci untuk membuka kran syafaat itu adalah bacaan shalawat. Artinya, semakin rutin membaca shalawat maka akan semakin besar peluang kita untuk mendapatkan syafaat agung dari Nabi Agung Muhammad SAW.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

HINDARI KESOMBONGAN

HINDARI KESOMBONGAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tiada yang lebih indah dan membahagiakan di usia yang tidak lagi bisa disebut muda, kecuali  secara bersama-sama dalam usia yang dewasa lalu kita dapat  memperbaiki bacaan Alqur’an atau tahsinan Alqur’an dan juga sedikit memahami terjamah Alqur’an sesuai dengan ayat di dalam Surat yang dibaca. Kami adalah komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency yang nyaris setiap pagi belajar membaca Alqur’an secara benar.

Pada hari Rabo, 11/09/2024, Jamaah KNB terlibat di dalam tahsinan: Pak Mulyanta, Pak Hardi, Pak Suryanto, Pak Rusmin, Pak Budi, saya dan Ustadz Alief Rifqi, Al Hafidz, dan beberapa orang lainnya berhalangan hadir. Kita belajar Alqur’an dan telah sampai pada Surat Alqiyamah, ayat 33-35.

Ayat ini membahas tentang kesombongan dan perintah dengan tegas agar kita jangan melakukannya. Bunyi ayat tersebut adalah: “tsumma dzahaba ila ahlihi yatamattha. Aula laka fa aula. Tsumma aula laka fa aula”. Yang artinya: “Kemudian dia pergi kepada keluarganya dengan kesombongan. Celakalah kamu maka celakalah. Sekali lagi celakalah kamu (manusia), maka celakalah”. Ayat ini menggambarkan betapa Allah SWT memberi peringatan yang sedemikian kerasnya kepada manusia agar jangan sombong, karena kesombongan akan membawa kepada kecelakaan, terutama kecelakaan di alam akherat.

Sombong adalah penyakit hati yang sering tanpa kita sadari. Sebuah penyakit yang menghinggapi hati manusia bahwa ada kelebihan di dalam dirinya, atau ada kelebihan pada dirinya yang tidak dimiliki oleh orang lain. Ada di dalam diri kita penyakit sombong dan hal itu merupakan bagian tidak terpisahkan dari “perasaan” bahwa kita memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang lain.

Kelebihan tersebut bisa kelebihan akan ilmu yang kita miliki. Kita merasa bahwa kita memiliki ilmu yang melebihi orang lain. Ilmu kita lebih hebat dibandingkan dengan orang lain. Ilmu kita lebih banyak dan konprehensif dibandingkan dengan orang lain. Kita serba lebih. Makanya kita lalu menganggap orang lain dipastikan kalah dengan kita. Contoh yang sederhana misalnya dengan kemampuan berbahasa yang lebih banyak maka kita dapat menyombongkan diri bahwa kita yang paling hebat. Orang lain berada di bawah kita. Bahkan kita bisa  menghina orang lain karena kelebihan yang kita miliki tersebut. Ini merupakan kesombongan iblisiyah. Iblis merasa lebih tahu dan lebih baik, maka Iblis menentang Tuhan kala akan menjadikan Adam sebagai khalifahnya.

Kelebihan lainnya misalnya terkait dengan kekayaan atau harta. Kita merasa bahwa kitalah yang paling kaya. Kita merasa  memiliki kelebihan harta dibandingkan dengan orang lain. Harta yang kita miliki itu lebih banyak dan lebih besar dibandingkan orang lain. Dengan harta yang kita miliki maka semua yang kita inginkan akan dapat dicapai. Dengan kelebihan harta itu lalu kita menganggap rendah orang lain bahkan menghina orang lain. Penyakit ini bisa dikaitkan dengan Qarun, seorang kapitalis di zaman baheula. Ini merupakan kesombongan qaruniyah. Kekayaannya itu luar biasa banyaknya, sehingga dia bisa melakukan apa saja. Dia menyombongkan diri dengan kelebihan hartanya tersebut. Pada akhirnya dia mati di dalam gempa bumi yang menenggelamkan diri dan hartanya. Ternyata harta tidak dapat menyelamatkannya.

Kelebihan berikutnya adalah jabatan. Jabatan ada kaitannya dengan kekuasaan. Dengan jabatannya itu dapat membuat kesombongan karena  dia merasa memiliki kekuasaan yang dapat menentukan apa saja. Kekuasaan sering membuat orang terlena. Merasa bahwa kekuasaan tersebut akan selamanya dimilikinya. Dengan kekuasaan yang menjadi efek jabatan tersebut maka orang bisa melakukan apa saja. Bisa semena-mena atas lainnya. Bisa meminggirkan orang lain. Bahkan juga bisa membikin aturan untuk melestarikan kekuasaannya. Bisa melestarikan kekuasaan untuk keluarganya. Penyakit hati seperti ini bisa dikaitkan dengan prilaku Fir’aun atau prilaku Namrud. Hal ini bisa disebut kesombongan fir’auniyah atau kesombongan Namrudiyah. Sedemikian besar kekuasannya sampai-sampai dia merasa sebagai Tuhan. Kehidupannya  berakhir tragis di kala jabatan dan kekuasaannya tidak dapat menyelamatkannya.

Allah sampai dua kali mengulang kata “celakalah bagi orang yang sombong”. Itu berarti betapa pentingnya larangan Allah untuk melakukan kesombongan. Jangan sombong. Jangan sombong. Begitulah Allah mengingatkan kepada manusia akan adanya penyakit hati di dalam diri manusia dimaksud. Allah juga menyatakan agar kita tidak berjalan di muka bumi dengan kesombongan. Wa la tamsyi fil ardhi maraha”. Allah melarang agar manusia tidak berjalan di muka bumi dengan kesombongan. Meskipun manusia memiliki kelebihan di dalam ilmu, kekayaan dan kekuasaan.

Di atas langit ada langit. Di atas kemampuan kita ada kemampuan orang lain. Makanya janganlah menjadi manusia yang merasa paling pintar sendiri, paling kaya sendiri, paling berkuasa sendiri. Di atas kepintaran, kekayaan dan kekuasaan kita ada kekuasaan orang lain yang lebih tinggi. Yang boleh sombong hanya Allah saja, sebab Allah itu Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Kaya tetapi juga Maha Rahman dan Rahim.

Manusia itu diciptakan untuk saling memperkuat satu dengan lainnya. Ada yang ahli bahasa, ada yang ahli matematika. Ada yang ahli ilmu social tetapi juga ada yang ahli antropologi. Ada yang ahli ekonomi dan ada yang ahli agama. Oleh karena itu, selayaknya manusia harus menghargai kelebihan yang lain, dan jangan menganggap dirinya yang paling segalanya.

Adakah di antara kita yang seperti itu? Marilah kita muhasabah atas diri kita agar kita bisa selamat menuju ke surganya Allah yang penuh dengan kenikmatan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

KEBENARAN AGAMA: AINUL YAQIN, ILMUL YAQIN DAN HAQQUL YAQIN

KEBENARAN AGAMA: AINUL YAQIN, ILMUL YAQIN DAN HAQQUL YAQIN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Akhir-akhir ini pembicaraan tentang relasi agama-agama sedang booming. Perbincangan tersebut terutama melalui channel Youtube, yang hingar bingar. Kita tentu bergembira dengan perbincangan relasi agama-agama karena tentu akan membawa kepada pendewasaan bagi pemeluk agama. Tentu yang diharapkan adalah semakin meningkatnya pemahaman agama yang benar dengan tetap berpegang teguh pada toleransi beragama yang selama ini telah menjadi ciri khas di dalam kehidupan beragama di Indonesia.

Selasa, 10/09/2024, jamaah Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency yang tergabung di dalam Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) mendapatkan asupan spiritual yang terkait dengan menemukan kebenaran agama berdasarkan metode ‘ainul yaqin, ilmul yaqin wa haqqul yaqin. Ketiganya merupakan metode yang bisa dijadikan sebagai sarana untuk menemukan kebenaran agama.

Agama memang menyajikan kebenaran yang bersifat mutlak. The ultimate concerned. Kebenaran mutlak tersebut misalnya terkait dengan kebenaran Tuhan. Keberadaan Tuhan merupakan bagian dari truth Claimed yang tidak bisa dibantah. Dalil kemutlakan Tuhan itulah yang menjadi ciri khas keyakinan di dalam beragama. Selama ini kita memahami agama itu lebih banyak dimensi doktrinernya terutama terkait dengan rukun iman. Keberadaan Allah, Malaikat, Rasul, Kitab Suci, Surga dan neraka, Hari Kiamat, serta Takdir merupakan doktrin keimanan yang harus diyakini. Tanpa melalui kajian atau pendalaman, tentu ada di antara kita yang langsung mengucapkan “Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”. Ini merupakan doktrin  yang harus diyakini kebenarannya tanpa ragu-ragu.

Di dalam pengajian di KNB saya sampaikan tiga hal terkait dengan cara dalam mempelajari kebenaran agama, khususnya Islam. Pertama, kajian yang bertumpu pada konsep ‘ainul yaqin. Konsep ini bisa diterjemahkan sebagai kajian berdasarkan atau melalui pengindraan. Ada perluasan makna dari ‘ain atau mata menjadi penginderaan. Jika dimaknai sebagai penginderaan maka seluruh panca indera kita bisa digunakan untuk memahami ajaran agama. Karena penginderaan, maka yang dipahami adalah hal-hal yang bersifat bendawi. Di dalam Islam disebut sebagai ciptaan Tuhan. Khalqillah. Islam mengajarkan agar manusia belajar tentang ciptaan Allah. Ciptaan yang bersifat material atau bendawi. Tafakkaru fi khalqillah. Manusia diminta oleh Allah untuk memahami ajaran agama tersebut berdasar atas apa yang dipahami dari penginderaannya. Kita diberi seperangkat alat penginderaan, seperti mata, telinga, hidung, dan sebagainya yang berfungsi untuk mengenal ciptaan Allah. Dari mengenal ciptaan Allah itulah akhirnya kita sampai pada kesepahaman bahwa semua yang diciptakannya itu adalah untuk mempelajari akan keberadaan Allah. Kita diberi kecerdasan untuk memilah mana yang benar dan mana yang salah. Jika kita mendengar tentang kebenaran maka kita akan membenarkannya, dan sebaliknya. Jika kita melihat matahari, lalu berpikir bahwa matahari tentu ada yang menciptakannya. Jika kita menghirup udara segar, maka dipastikan bahwa udara yang segar itu juga ada yang menciptakannya. Demikanlah seterusnya.

Kedua, konsep ‘ilmul yaqin. Yaitu cara menemukan kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Kebenaran penginderaan bisa menghasilkan kebenaran, akan tetapi kebenaran yang dihasilkannya tentu sangat terbatas pada kemampuan manusia untuk menginderakannya atau melihat, mendengar, merasakan dan sebagainya. Melalui pendekatan ilmul yaqin, maka kebenaran itu akan lebih meyakinkan. Misalnya kita mendengar dari para penceramah agama tentang proses penciptaan manusia di dalam Alqur’an. Dimulai dari masuknya sperma ke dalam Rahim perempuan. Lalu jadilah manusia. Dengan pendekatan doktriner, kita yakin kebenarannya. Tidak ragu-ragu. Kita mendengar bahwa Fir’aun tenggelam di kala mengejar Nabi Musa. Kita mendengar ada sejumlah pemuda yang tertidur di Goa selama 3.5 abad, dan sebagainya. Kita semua mendengarnya dari teks suci Alqur’an. Maka secara doktriner kita wajib mempercayainya.

Kebenaran ilmu pengetahuan itu melalui verifikasi. Jadi harus diverifikasi apakah pernyataan di dalam Alqur’an tersebut apa benar. Ternyata bahwa dunia sains atau dunia ilmu pengetahuan membenarkannya. Misalnya kajian tentang penciptaan manusia di dalam Aqur’an, atau kebenaran Fir’aun tenggelam di Laut Mati melalui kajian atas mumminya, atau keberadaan pemuda Ashabul Kahfi berdasarkan manuskrip Laut mati atau dokumen Qumron. Yang lagi mengedepan sekarang tentang nasab Kaum Ba’alawi. Berdasarkan cerita-cerita di dalam berbagai teks ada yang menyatakan sanadnya tersambung kepada Rasulullah. Tetapi lalu dikaji dengan ilmu nasab atas keberadaan tokoh Ba’alawi atas kitab-kitab sezaman, maka tidak didapati tokoh historis dimaksud. Berdasarkan kajian ilmiah yang dilakukan Kyai Imad, maka akan menghasilkan ilmul yaqin, bahwa nasab Ba’alawi tidak tersambung kepada Rasulullah. Ini berdasar atas ilmu yang menggunakan prinsip verifikasi. Ilmu merupakan system pengetahuan berbasis riset atau penelitian untuk menghasilkan kebenaran ilmiah atau teori.

Ketiga,  haqqul yaqin. Kebenaran yang diyakini kebenarannya atau kebenaran sebenar-benarnya. Haqqul yakin adalah kebenaran yang diperoleh melalui kebenaran observasional atau penginderaan lalu dikaji secara ilmiah dan akan menghasilkan kebenaran yang asasi. Kita akan semakin meyakini kebenaran Alqur’an setelah membaca hasil penelitian atau mendengarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli di bidangnya. Fir’aun tenggelam telah didapatkan hasil penelitiannya, Ashabul Kahfi sudah didapatkan verifikasi atas kebenarannya, kita mendapatkan hasil kajian tentang bulan pernah terbelah. Semua ini menggambarkan bahwa melalui ilmu yaqin, maka yang semula doktriner akhirnya menjadi kenyataan dalam ilmu pengetahuan. Hal ini yang saya sebut sebagai kebenaran yang sebenar-benarnya atau kebenaran asasi atau kebenaran hakiki. Dalam design Tuhan lalu ada perangkat test DNA untuk menguji nasab siapa dari siapa.

Di dalam Alqur’an dikenal konsep afala tubsirun atau apakah kamu melihatnya atau dimensi penginderaan lalu menjadi afala ta’qilun atau memikirkannya melalui kesadaran dan akhirnya menjadi afala tadzakkarun atau membenarkannya dengan kesadaran. Sesungguhnya prinsip di dalam menemukan kebenaran tersebut dapat dikomparasikan dengan prinsip di dalam menemukan kebenaran di dunia sains yaitu empiric sensual atau observasional, lalu empiric rasional atau empiris berbasis pemikiran, lalu empiris etis atau dibenarkan berbasis pada etika dan yang terakhir kebenaran berbasis empiric transcendental atau keyakinan atas kegaiban di dalam kehidupan.

Wallahu a’lam bi al shawab

 

 

MENGKAJI AGAMA-AGAMA UNTUK MEMPERKUAT IMAN

MENGKAJI AGAMA-AGAMA UNTUK MEMPERKUAT IMAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Akhir-akhir ini perbincangan mengenai ilmu perbandingan agama atau bisa disebut sebagai studi agama-agama mulai menghangat kembali. Ilmu ini cukup lama terlelap dalam tidurnya. Semenjak digaungkan oleh Prof. Dr. Mukti Ali, mantan Menteri Agama RI, maka seakan-akan ilmu ini mati suri. Makanya lalu diubah menjadi program studi ilmu agama-agama. Nyaris di seluruh Perguruan Tinggi Islam, maka tidak lagi menggunakan nomenklatur Ilmu Perbandingan Agama,  tetapi menggunakan nomenklatur Studi Agama-Agama.

Nama itu tidak penting. Begitulah Shakespeare, menyatakannya. Perubahan nama ini tentu dimaksudkan agar kajian atas agama dan beragama tersebut tidak dalam kerangka membandingkan mana yang lebih benar dibanding dengan lainnya, akan tetapi memberikan gambaran bahwa ada agama-agama yang bisa dikaji dari berbagai perspektif sesuai dengan agama dan pemeluk agamanya. Melalui nomenklatur baru diharapkan program studi ini lebih memberikan peluang untuk berkembang.

Dalam acara ngaji di Masjid Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency, 03/04/2024, maka saya sampaikan kepada Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) bahwa mempelajari agama-agama itu penting di dalam kerangka untuk memperkuat iman dan pengamalan beragama kita. Melalui pengkajian agama lain dalam konteks keimanan dan pengamalan beragama akan menyebabkan iman dan pengamalan atas agama kita akan semakin kuat dan bukan untuk melemahkan iman dan ibadah ritual kita. Di sisi lain juga untuk memahami agama orang lain dan menghormati pemeluk agama lain.

Mengkaji agama dapat dilakukan dengan cara membandingkan agama-agama dalam aspek teologisnya, ritualnya, pengetahuan agamanya, konsekuensi beragamanya, dan bahkan juga pengalaman beragamanya. Kita bandingkan untuk bisa memahami agama-agama dimaksud dengan harapan kita dapat memperkuat keyakian keberagamaan yang kita miliki.  Dalam kaitan ini, maka perbandingan agama atau studi agama-agama mengalami tiga fase, yang saya sebut sebagai madzhab studi agama-agama atau madzhab dalam perbandingan agama.

Pertama, memahami agama dengan membandingkan satu agama dengan lainnya. Misalnya mengkaji ketuhanan agama Kristen dikaji dari dimensi keyakinan dalam agama Islam. Mengkaji ritual agama Katolik dikaji dari perspektif ajaran ritual dalam Islam, atau mengkaji konsekuensi beragama umat Buddha dengan tinjauan agama Islam, dan sebagainya. Kajian ini akan menghadirkan perbedaan yang berujung, bahwa keyakinan, ritual dan konsekuensi beragama pengaut agama lain salah dan yang benar adalah keyakinan, ritual dan konsekuensi beragama dalam agama saya.

Studi agama atau perbandingan agama di dalam konteks seperti ini kira-kira didapati tahun 1960-1970-an. Jika kita baca tulisan-tulisan, skripsi atau makalah,  di berbagai Perguruan Tinggi Agama Islam, maka akan didapati kajian misalnya Yesus Kristus dalam Tinjauan Alqur’an atau Trimurti dalam Tinjauan Alqur’an atau Maryam dalam Bibel perspektif Alqur’an. Intinya bahwa studi ini membahas tentang dunia keyakinan dan ritual dalam Agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha atau Konghucu dalam pandangan Islam. Berakhir pada “menyalahkan” agama lain.

Kedua,  memahami agama sebagai penganut agamanya. Madzhab ini muncul kira-kia tahun 1980-2000-an. Madzab studi agama atau perbandingan agama yang baru ini dikemukan oleh Prof. Dr. Mukti Ali, mantan Menteri Agama RI, di dalam berbagai perkuliahannya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada masa Prof.  Mukti Ali, maka ilmu perbandingan agama menuai masa kejayaannya. Studi agama ini menjadi ikon di kalangan dosen yang mengambil program studi Islamic studies. Kajian perbandingan agama merupakan part of Islamic studies. Muridnya   banyak yang kemudian menjadi pakar dalam bidang ini. Hanya sayangnya bahwa kajian ini kemudian meredup atau nyaris tidak terdengar suaranya. Studi agama-agama kalah pamor dengan studi pemikiran Islam karena kehadiran Gus Dur, Cak Nur, Johan Effendi dan sebagainya. Dan jangan lupa bahwa dedengkotnya adalah Prof. Harun Nasution, yang kemudian menjadi ikon bagi pengembangan studi pemikiran Islam di IAIN Jakarta dan juga di Indonesia.

Ketiga, kajian studi agama dalam perspektif teks atau manuscript. Studi perbandingan agama dalam kajian teks yang menghadirkan bukti-bukti akurat dari berbagai teks atau manuskrip kuno yang dapat dipertanggungjawabkan. Periode ketiga ini sangat menarik disebabkan tingkat kesahihannya  dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah atau akademis. Melalui kajian-kajian yang dilakukan oleh Menachem Ali, maka kebenaran teks dengan cara mengkomparasikan dengan teks sezaman dalam tema yang sama, maka akan dihasilkan sebuah kesimpulan bahwa teks tertentu itu sahih. Teks tersebut memiliki keakuratan dan keabsahan karena terdapat bukti lain yang membenarkannya.

Madzab ketiga ini memang berat, sebab seseorang yang melakukan kajian harus memahami berbagai bahasa di dalam teks yang dikaji. Misalnya mengkaji tentang kesahihan bahwa Nabi Ibrahim pernah dibakar oleh Namrud, maka harus dihadirkan teks yang sezaman dalam berbagai teks lainnya. Jika tidak ditemukan di dalam Injil Kanonik, maka dapat dilacak dari Injil Aposkrif. Jika tidak didapatkan maka harus dicari di dalam teks Talmud atau Zabur. Jika tidak didapatkan maka dapat dilacak di dalam Teks Taurat. Jika di dalam teks Taurat Yahudi tidak didapatkan maka dapat dilacak di Taurat Samariyah. Begitulah rumitnya madzhab ketiga.

Jadi bagi yang tidak memiliki kemampuan tersebut, maka kita tinggal mendengarkan berbagai tayangan di Youtube sambil nyerufut qahwah. Minum kopi sambil mendengarkan youtube akan dapat dua manfaat, ilmu dan kenikmatan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

ALQUR’AN KITAB SUCI ORISINAL (2)

ALQUR’AN KITAB SUCI ORISINAL (2)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tulisan ini bukanlah termasuk dalam kajian tafsir atas Alqur’an akan tetapi lebih banyak dan bercorak kajian sosiologis-historis. Oleh karena itu jika kemudian terdapat pembacaan atas suatu ayat atau penjelasan tentang ayat Alqur’an bukan berarti berada di dalam kawasan tafsir tetapi hanya merupakan terjemahan dan pemahaman secara umum saja.  Hal ini perlu ditegaskan agar kita bisa memahami bahwa sebuah tulisan tentang Alqur’an tidaklah mesti berada di dalam ilmu tafsir akan tetapi bisa juga sosiologis, antropologis atau historis.

Alqur’an memang diturunkan di dalam Bahasa Arab, sebagai bahasa yang digunakan oleh Allah kepada umat Nabi Muhammad SAW yang memang pada awalnya berbahasa Arab. Oleh karena itu untuk memahami tafsir Alqur’an tentu saja harus menguasai Bahasa Arab dengan berbagai tata bahasanya, kosa katanya, langgam bahasanya, dan makna umum atau khasnya. Orang tidak hanya cukup untuk memahami Alqur’an melalui penguasaan Bahasa Arab secara umum, akan tetapi harus memahami ilmu nahwu, Sharaf, balaghah, ilmu arudh, ilmu qiraat dan sebagainya. Belum lagi ragam metodologi penafsiran, misalnya tafsir maudhui, tafsir ijmali, tafsir ra’yi, tafsir riwayah, dan sebagainya.

Salah satu keuntungan dari kodifikasi atas teks Alqur’an pada masa Usman bin Affan adalah memastikan bahwa urutan surat, ayat dan tulisan dalam Alqur’an dipastikan tidak berbeda dengan hafalan dan tulisan di dalam Alqur’an. Jadi Alqur’an yang kita baca sekarang dengan Alqur’an pada zaman Usman bin Affan dan masa tabiin dan tabiit-tabin tersebut sama. Yang berbeda adalah gaya penulisan,  bentuk tulisan dan cara membacanya. Yang saya maksud dengan gaya penulisan tentu terkait dengan model khat atau tulisan yang berkembang sesuai dengan tradisi pada masyarakatnya. Misalnya khat atau tulisan cetakan Alqur’an India atau mushaf India dan cetakan Singapura atau cetakan Mesir tentu bisa berbeda.

Alqur’an memang sudah lama dicetak, cetakan pertama dilakukan di Hamburg Jerman tahun 1694 pada Percetakan Abraham  Hincklemann dengan cetakan lengkap, ada tanda baca, tanda huruf, dan penomoran ayat. Cetakan ini menggunakan qiraat Ashim atas Riwayat  Hafs. Kemudian   misalnya cetakan India tahun 1870 M, sedangkan Alqur’an cetakan Singapura pada tahun 1860. Lalu ada cetakan Mesir tahun 1924 dan 1926. Di dalam cetakan Mesir tersebut tidak didapatkan harakat. Tetapi untuk cetakan India dan Singapura menggunakan harakat. Itulah sebabnya Alqur’an cetakan India dan Singapura banyak beredar di Indonesia. Cetakan Alqur’an yang sekarang di Indonesia, tentu diilhami oleh Alqur’an cetakan India dan Singapura dimaksud. Alqur’an dicetak dengan harakat tentu untuk memudahkan bagi masyarakat Nusantara yang tidak menguasai Bahasa Arab.

Alqur’an yang dicetak di Mesir tidak berharakat sebab masyarakat Mesir adalah masyarakat pengguna Bahasa Arab, sehingga lebih mudah untuk dapat membaca Alqur’an dan selain itu juga untuk kepentingan menjaga berbagai ragam bacaan di dalam Alqur’an. Pemerintah Mesir pada tahun 1924 juga menyelenggarakan upaya untuk membakukan bacaan Alqur’an dan dipililah bacaan Ashim atas Riwayat Hafs. Alqur’an cetakan Mesir ini kemudian disebarkan di seluruh dunia.

Sesuai dengan penuturan Menachem Ali, bahwa dari sisi tulisan atau rangkaian huruf maka tidak ada perbedaan antara satu dan lainnya. Meskipun berbeda cetakan dan tempat pencetakan Alqur’an, akan tetapi sama saja dalam teksnya. Yang berbeda adalah cara membacanya. Kita mengenal ada yang disebut sebagai Qira’ah Sab’ah atau tujuh cara membaca Alqur’an. Cara membacanya bukan teksnya. Juga dikenal ada qiraah asyrah atau bacaan 10 cara membaca Alqur’an.

Di dalam perkembangnya maka dikenal ada tujuh ragam bacaan Alqur’an. Berdasarkan nuonline (30/10/2021) dinyatakan ada tujuh imam di dalam bacaan Alqur’an. untuk memudahkan membacanya maka saya sebut nama-nama terakhirnya atau depannya saja, meskipun juga nama kepanjangannya. Yaitu Imam Nafi’ (Imam Nafi’ ibn Abdurrahman), Imam Ibn Katsir (Imam Abdullah Ibn Katsir), Imam  Amar (Imam Abu Amar Zabban ibn Al A’la Al Bashri),  Imam Abdullah (Imam Abdullah  ibn Amir al Syami), Imam Ashim (Imam Ashim bin Abi Al Najud al Kufi), Imam Al Zayyat (Imam Hamzah al Zayyat), dan Imam Hamzah (Imam Ali ibn Hamzah al Kissai).

Perbedaan atas langgam bacaan juga berimplikasi atas cara membacanya, sehingga jika orang tidak hati-hati akan beranggapan bahwa ada banyak versi di dalam Alqur’an. Jadi yang berbeda adalah cara membacanya, bukan teksnya. Semua teks Alqur’an sudah teruji tidak ada perbedaan. Satu teks adanya. Berdasarkan atas manuskrip-manuskrip yang didapatkan, maka diketahui bahwa urutan surat dan ayat di dalam Alqur’an teruji kesahihannya. Suatu contoh di manuskrip kuno Alqur’an di dalam Museum Birmingham, yang hanya tiga surat, ternyata susunan surat dan ayatnya sama dengan susunan surat dan ayat di dalam teks Alqur’an di dalam Mushaf Usman bin affan.

Kita tentu bersyukur bahwa Alqur’an yang kita yakini itu mengandung kesahihan dan terjaga thula makan wa  zaman, sepanjang tempat dan sepanjang waktu, yang menggambarkan bahwa Alqur’an itu memang benar-benar terjaga. Yang Alqur’an sudah terjaga secara azali, dan yang hadits dijaga melalui kehadiran imam-imam hadits yang melakukan seleksi secara akurat dan tepat.

Dua sumber hukum Islam sebagaimana terdapat di dalam Islam sungguh dapat menjadi sandaran atau pedoman tentang bagaimana kita membangun relasi dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam semesta.

Wallahu a’lam bi al shawab.