• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENJADI YANG TERBAIK UNTUK DIRI SENDIRI

MENJADI YANG TERBAIK UNTUK DIRI SENDIRI

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang sangat sering saya bacakan terutama dalam acara Wisuda Sarjana berbunyi: “Khairun nas anfa’uhum linnas” yang artinya: “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”. Hadits ini memberikan gambaran bahwa bermanfaat bagi orang lain adalah ciri utama bagi manusia yang terbaik. Namun demikian, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa manusia juga harus menjadi yang terbaik untuk dirinya sendiri. Inilah yang saya sampaikan dalam pengajian pada  acara Ngaji Bahagia pada Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya, 03/06/2025.

Saya menyatakan ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu: Pertama, secara dekonstruktif, bahwa manusia yang terbaik adalah yang terbaik bagi orang lain. Ini pasti. Tetapi juga jangan lupa, manusia juga harus menjadi yang terbaik untuk fisiknya, untuk jiwa dan untuk rohnya. Ini bukan dalil, akan tetapi bisa direnungkan: “khoriun nas anfuhum lijasadihi wa li nafsihi wa liruhihi. Sekali lagi ini bukan hadits apalagi Qur’an, tetapi hanya maqalah dari orang awam. Namun demikian penting untuk direnungkan, bahwa manusia yang terbaik adalah yang bermanfaat bagi jasadnya sendiri, bagi jiwanya dan bagi rohnya. Dengan demikian, seseorang akan dinilai bermanfaat jika dia menjadi yang terbaik untuk jasadnya, untuk jiwanya dan untuk rohnya. Tidak mungkin orang akan menjadi baik untuk orang lain,  jika jasad, jiwa dan rohnya sendiri tidak baik.

Kedua, jasad yang baik ditandai dengan adanya makanan dan minuman yang baik. Yang dimakan adalah  bahan-bahan yang sumber makanan yang  proses dan produknya baik. Di dalam konsep Islam disebut sebagai makanan dan minuman yang halalan thayyiban. Tidak cukup halal tetapi yang baik untuk kesehatan tubuh. Misalnya, daging kambing tentu halal selama hewan tersebut memang bukan hewan hasil pencurian, akan tetapi menjadi kurang baik jika dimakan oleh orang yang memiliki potensi asam urat dan kolesterol yang tinggi. Halal tetapi kurang thayib. Gula tentu makanan halal selama diproses dengan halal, akan tetapi menjadi kurang thayib jika dijadikan bahan makanan atau minuman orang yang memiliki diabetes.

Berikutnya, anfa’uhum linafsihi atau bermanfaat bagi jiwanya. Jiwa itu terletak di antara jasad dan roh. Dengan nafsu tersebut maka manusia menjadi memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu.  Nafsulah yang menggerakkan seseorang untuk memilah dan memilih perbuatan mana yang dianggap penting dan mana yang dianggap tidak penting. Mana perbuatan yang bermanfaat bagi diri dan orang lain dan mana perbuatan yang tidak bermanfaat bagi diri dan orang lain. Makanya terdapat nafsu amarah yang berkecenderungan ke arah fisikal atau nafsu biologis atau nafsu kebinatangan. Lalu ada nafsu muthmainnah yang cenderung kepada kebaikan bersearah kepada perilaku malaikat. Jadi ada jiwa yang kal hayawan dan ada yang kal malaikah.

Tidak kalah menarik adalah anfa’uhum li ruhini atau bermanafaat bagi ruhnya. Ruh yang ada di dalam diri manusia adalah produk tiupan Allah. Artinya ada dimensi ketuhanan di dalam ruh tersebut. Makanya, ruh tentu memiliki ciri utama kebaikan. Ciri yang mendasar adalah kepatuhan kepada Allah. Namun demikian, ruh itu netral. Jadi sangat tergantung kepada nafsunya. Apakah nafsu kebaikan atau keburukan. Jika nafsu yang berkembang di dalam kehidupan adalah kebaikan tentu ruh itu akan menjadi bahagia, dan jika jiwanya cenderung kepada kejahatan, tentu ruh akan menjadi sengsara.

Ketiga, fisik, jiwa dan roh harus memperoleh asupan yang baik dan bermanfaat. Jasad harus diisi dengan kebaikan dan kemanfaatan. Sebagaimana tadi bahwa jasad harus diisi dengan asupan-asupan biologis yang bermanfaat. Jangan makan dan minum yang macam-macam yang tidak sesuai dengan kemampuan fisik dan yang terpenting halalan thayyiban. Lalu juga jiwa kita diisi dengan silaturrahmi atau berbuat baik kepada sesama manusia. Relasi social yang baik akan sangat menentukan atas kebaikan jiwa kita. Orang yang suka memaafkan, suka berbuat jujur, suka berbuat yang menyenangkan orang lain, orang yang suka membuat orang lain bahagia dan yang tidak kalah penting adalah orang yang suka sedekah, maka akan sangat berpengaruh atas kebaikan jiwa. Ini merupakan prinsip agar jiwa  selalu berada di dalam kebaikan. Jiwa yang akan menjadi muthmainnah dan bukan jiwa yang amarah termasuk jiwa yang lawwamah.

Kemudian yang tidak kalah menarik adalah mengisi roh dengan ibadah kepada Allah SWT. Roh berasal dari Tuhan, maka roh juga senang jika diisi dengan kebaikan, dan kebaikan roh itu sangat tergantung kepada seberapa banyak ibadah yang bisa dilakukan. Jaga dzikir atau wirid, jaga shalat, jaga puasa, dan jaga roh dengan terus berbaik sangka kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah itu maha Rahman dan Rahim, maka agar Rahman dan Rahim tersebut berada di dalam tubuh kita, maka harus diisi dengan kebaikan kepada diri kita, kepada jiwa kita dan kepada roh kita.

Saya kira, para jamaah masjid Al Ihsan sebagai anggota jamaah Ngaji Bahagia adalah orang yang beruntung, sebab setidak-tidaknya tiga hal ini sudah dilakukan seberapapun kita dapat  melakukannya. Insyaallah Tuhan yang memiliki roh, jiwa dan raga akan bersearah dengan kebaikan yang mampu dan harus kita lakukan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..