SYUKUR SEBAGAI PENDORONG DOA
SYUKUR SEBAGAI PENDORONG DOA
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Kala saya menulis artikel ini, sesungguhnya saya gamang. Bukan apa-apa, sebab sayapun belum tentu bisa menjadi orang dengan tingkat kesyukuran yang sangat tinggi, luar biasa, di dalam kehidupan. Adakalanya, saya masih merasakan belum secara optimal di dalam bersyukur kepada Allah. Contoh kecil saja, misalnya saya terbangun jam 01 malam dan kemudian tidak bisa lagi tertidur sampai pagi, maka ada rasa gelisah. Ada rasa cemas bahwa pagi hari dipastikan akan lemas, badan kurang fit dan sebagainya.
Padahal seharusnya saya bersyukur kepada Allah karena dibangunkan di malam hari dan saya bisa berdzikir kepada-Nya. Tentu tuntas semua amalan shalat malam. Benar amalan itu dilakukan tetapi di dalam hati ada yang masih terasa mengganjal karena kepagian bangunnya. Seharusnya merasa bersyukur karena masih diberi peluang untuk hidup. Ini sebagai tasyakkur yang sangat besar, karena dengan masih diberikan hidup berarti masih ada peluang untuk memohon ampunan kepada Allah atas semua kekhilafan dan dosa.
Beberapa hari yang lalu saya membaca di media social tentang orang-orang yang kapalnya karam di lautan (Selat Bali), karena tersapu ombak besar yang menerjangnya. Mereka berempat berkeinginan untuk meraih kembali kapalnya, akan tetapi ombak besar kembali menerjangnya sehingga mereka berempat terpisah. Akan tetapi dengan kemampuan berenang yang sangat baik, akhirnya mereka bisa bertemu dan berenang bersama. Selama empat hari terapung-apung di laut tentu menguras tenaga dan menghadirkan rasa haus yang luar biasa. Tetapi didapatkan air mineral di dalam botol sehingga bisa diminumnya. Mereka makan ikan mentah untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Sampai suatu saat mereka mendengar suara orang yang sedang mengaji. Dan akhirnya mereka berempat selamat. Ternyata keluarganya melakukan upaya untuk membaca Alqur’an pada waktu keempat orang tersebut terapung-apung di laut. Mereka meyakini bahwa suara orang mengaji tersebut merupakan kiriman keajaiban dari suara orang mengaji bersama-sama di rumahnya. Saya tidak bisa membayangkan kebahagiaan yang dirasakannya akibat selamat dari kecelakaan laut yang menakutkan. Ini merupakan bentuk syukur yang sangat besar, sebab menyangkut hidup dan mati. Sebuah pengalaman religious yang menarik untuk diceritakan. (Tribun Banyuwangi, 25/05/2025).
Rasa syukur tentu tidak harus datang dari peristiwa besar, akan tetapi juga bisa berasal dari kehidupan sehari-hari. Ada saja yang membuat kita seharusnya bersyukur. Adakalanya, kita bersyukur itu hanya atas peristiwa-peristiwa besar saja, sehingga yang kecil itu dianggap biasa saja. Kita bisa bangun tidur dengan perasaan enak saja merupakan hal yang harus disyukuri. Bisa makan dengan enak saja harus disyukuri. Tidak harus makanan yang lezat, makanan yang biasa saja tetapi jika tubuh dalam keadaan sehat, maka makanan itu akan terasa lezat. Kita bisa membayar hutang dengan tertib, jika memiliki kreditan, maka kita akan bersyukur. Rejeki dari Allah bisa datang dari mana saja. Allah dipastikan akan memberikan rejeki atas usaha yang kita lakukan, besar atau kecil. Rasanya yang penting cukup. Cukup itu tidak berkurang dan berlebihan yang sangat. Cukup itu rejeki yang berkah. Nikmat digunakan dan tidak sia-sia. Rejeki yang berkah itu jika digunakan akan bertambah-tambah kebaikannya.
Kita ini makhluk yang terhingga sehingga juga urusannya dengan keterhinggaan. Itulah sebabnya doa pun harus dilakukan banyak kali agar doa tersebut bisa sampai ke hadhirat Allah SWT. Berbeda dengan orang yang sudah sampai maqam kasyaf atau tempat yang rasa ketuhanannya sudah transparan, sehingga bisa dengan mudah untuk bertemu dengan Dzat Yang Tidak Terhingga. Allah adalah Dzat Yang Tidak Terhingga. Makanya, jika yang tidak terhingga melakukan suatu amalan, maka Yang Tidak Terhingga akan dengan mudah bertemu dengan yang memiliki kapasitas yang gelombangnya sama.
Nabi Muhammad SAW adalah makhluk manusia ciptaan Allah yang memiliki otoritas bertemu dengan Dzat Yang Tidak Terhingga, Allah SWT. Makanya Nabi Muhammad SAW dapat bertemu Allah di suatu tempat yang penuh ketidakterhinggaan. Allah Dzat Yang Tidak Terhingga berada di suatu tempat Yang Tidak Terhingga, dan Nabi Muhammad SAW dapat masuk ke dalam Dzat Yang Tidak Terhingga.
Nabi Musa dinyatakan sebagai Nabi yang dapat berbicara dengan Allah, tetapi tidak memiliki kapasitas untuk bertemu dengan Allah. Kala berbicara dengan Allah, maka keduanya di dalam gelombang yang sama, Nabi Musa dapat masuk ke dalam Dzat Yang Tidak Terhingga. Tetapi di saat Nabi Musa ingin bertemu dengan Allah, maka tempat yang digunakan adalah Bukit Thursina yang bukan Dzat yang Tidak Terhingga, maka bukit itupun hancur lebur. Nabi Sulaiman juga seorang Nabi yang bisa bercakap-cakap dengan Binatang, tentu karena terdapat gelombang yang sama di antara keduanya. Kelebihan tersebut tentu karena kekuasaan Allah SWT yang kemudian dikaruniakan kepada hambanya.
Kita bukanlah mereka yang memperoleh kelebihan atau mu’jizat yang agung. Kita adalah makhluk yang biasa saja dengan kedekatan dengan Allah yang sangat biasa saja. Oleh karena itu, maka di dalam berdoa juga akan mengalami “kendala” yang datang dari diri kita sendiri. Di antara kendala tersebut adalah kurangnya rasa syukur dimaksud. Yang menulis artikel ini juga berada di dalam keadaan seperti itu.
Wallahu a’lam bi al shawab.
