Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

HARTA BUKAN MILIK KITA SEUTUHNYA

HARTA BUKAN MILIK KITA SEUTUHNYA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kali ini saya akan melakukan pambahasan tentang ceramah yang dilakukan oleh Ustadz, M. As’ad, SE, Al Hafidz, di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Ceramah dalam paket acara Kuliah Tujuh Menit atau Kultum diselenggarakan bada Shalat Isya’ pada Hari Kamis, 03/2025. Di dalam kesempatan ini disampaikan ceramah agama dengan tema: “Harta yang menjadi milik kita”.

Di dalam ceramahnya, Ustadz As’ad membahas tentang harta yang sesungguhnya milik kita. Disampaikannya dalam tiga hal, yaitu: pertama, kita diberi Allah ketercukupan harta, sehingga bisa melakukan puasa dengan tenang, bisa bersedekah dengan senang, dan bisa menjalankan amal ibadah puasa yang tercukupkan. Misalnya, kita dapat memberikan ta’jil yang cukup untuk jamaah shalat magrib dan yang berbuka puasa. Itulah sebabnya tidak ada lain kecuali kita harus bersyukur kepada Allah SWT. Dan pada saat sekaranglah waktu yang tepat untuk berterima kasih  atau bersyukur kepada Allah SWT. Alhamdulillahi rabbil alamin di lesan, di hati dan di perasaan. Sungguh indah orang yang bisa bersyukur kepada Allah SWT.

Kedua, tidak ada orang yang tidak mencintai harta. Bayangkan ada orang yang sama sekali tidak mencintai harta. Semua sadar bahwa dengan harta maka kebutuhan-kebutuhan kehidupan akan dapat dipenuhi. Mau makan enak, mau minum enak, mau tidur enak semuanya bisa dilakukan dengan harta. Orang bisa makan di restorant mewah, orang bisa minum kopi nikmat tentu bisa dipenuhi dengan harta, orang mau tidur nikmat di hotel berbintang semuanya bisa dipenuhi dengan harta yang berlimpah. Kebutuhan duniawi bisa dipenuhi dengan ketercukupan harta. Jadilah kaya supaya badan dan kebutuhannya bisa terpenuhi dengan maksimal.

Harta menjadi idola bagi semua manusia. Makanya banyak orang yang lupa waktu untuk bekerja karena ingin menjadi kaya. Bahkan untuk menjadi kaya orang harus bermoral hazard. Moral ngawur untuk menjadi dan meraih kekayaan. Semua dilakukan agar bisa kaya. Ada orang yang ingin kaya dengan melakukan korupsi, melakukan penyuapan dan melakukan tindakan yang menyimpang dari etika ekonomi. Sungguh manusia bisa menempuh apa saja agar bisa menjadi kaya. Orang seperti itu beranggapan bahwa kebahagiaan itu terletak pada harta yang berlimpah ruah. Mereka tidak tahu bagaimana Nasib Qarun, kapitalis masa lalu, yang hartanya sangat luar biasa tetapi akhirnya tertelan bumi dengan segenap hartanya. Ternyata harta tidak menyelamatkannya.

Ketiga, apa yang sesungguhnya menjadi harta milik kita? Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan bahwa yang menjadi harta kita sesungguhnya, yaitu ma akalta, apa yang engkau makan. Jika makan lalu makanan itu sudah sampai di perut, lalu sebagian untuk menjadi kekuatan tubuh, berupa protein dan karbohidrat yang bermanfaat atau yang kemudian sisa makanan  yang tidak bermanfaat dan menjadi kotoran, maka itulah harta kita. Lalu, ma labista atau apa yang kamu pakai. Bisa berupa baju, celana, asesori lainnya dan segala yang kita pakai baik dalam kesendirian atau di dalam relasi social, maka itulah harta kita. Berikutnya adalah ma shadaqta atau yang apa engkau sedekahkan. Yang kita berikan kepada orang lain atau kepada lainnya, seperti zakat, infaq dan sedekah serta wakaf maka itulah yang disebut sebagai harta kita yang sesungguhnya. Jadi harta yang diakumulasi bukanlah harta yang sebenarnya. Hakikat harta hanyalah tiga hal di atas. Apa yang kita makan, apa yang kita pakai dan apa yang kita sedekahkan atau diberikan kepada orang lain.

Dari uraian ini, maka sesungguhnya ada harta yang bermanfaat di kala hidup, dan ada harta yang bermanfaat di kala sudah meninggal. Harta yang menumpuk adalah harta yang bersifat keduniawian. Hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis dan social terbatas. Harta itu tetap penting tetapi sebenarnya bukan milik kita yang sesungguhnya. Harta tersebut milik Allah SWT. Harta yang dititipkan kepada kita. Harta ini bisa diambil sewaktu-waktu. Seperti hartanya Qarun, hartanya Fir’aun, Hartanya Nebukadnezar, hartanya Namrudz dan juga hartanya orang-orang kaya sekarang ini.

Harta yang abadi bukan yang berupa tumpukan uang, bukan yang tersimpan di bank dalam bentuk giro, simpanan dan sebagainya. Bukan dalam bentuk saham di perusahaan akan tetapi harta yang disedekahkan di jalan Allah. Fi sabilillah. Harta yang berupa sedekah, infaq, zakat dan wakaf adalah harta abadi untuk diri kita. Harta inilah yang akan dibawa kelak di akherat yang akan meringankan di kala kita dihisab. Sedangkan harta yang bertumpuk yang hanya diakumulasi saja maka justru akan memberatkan diri kita jika tidak dimanfaatkan untuk kebaikan demi kebaikan.

Jika kita mati, maka yang tertinggal bersama kita adalah shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang bisa mendoakan. Harta seberapa banyaknya, seperti orang kaya di dunia dengan harta di atas Rp3000 trilyun, ternyata tidak ada manfaatnya. Ini hanyalah kekayaan duniawi yang tidak abadi. Kekayaan sementara yang tentu bisa bermanfaat untuk dirinya atau tidak bermanfaat bagi dirinya.

Tulisan ini tidak dimaksudkan agar kita tidak berusaha menjadi kaya. Menjadi kaya penting tetapi sebagaimana pernyataan Syekh Hasan Syadzili,  pemuka tarekat Syadziliyah, bahwa harta adalah washilah terbaik untuk cepat sampai kepada Allah, akan tetapi jika harta tersebut ditasarufkan untuk kebaikan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..