• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KESEJAJARAN EPISTEMOLOGY TIMUR DAN BARAT

KESEJAJARAN EPISTEMOLOGY TIMUR DAN BARAT

Saya membaca karya Prof. Syed Hussein Al Attas, “Mitos Pribumi Malas” pada awal tahun 80-an. Buku ini merupakan karya yang sangat penting dalam kajian sejarah sosial, khususnya masyarakat Asia Tenggara dilihat dari perspektif bagaimana sesungguhnya perilaku masyarakat Malaysia, Indonesia, Thailand dan juga Filipina. Buku ini merupakan karya penting sebagai kritik atas dominasi kuasa Barat yang menghegemoni dan sekaligus juga mengkoersi masyarakat Asia Tenggara. Di antara konsep yang diproduksinya adalah perilaku pribumi malas sebagaimana yang dikonsepsikan para akademisi Barat dalam melihat relasi perilaku kerja masyarakat di Asia Tenggara.

Lalu, kira-kira 40 tahun berikutnya, saya bertemu dengan salah seorang putranya, Prof. Syed Farid Al Attas, dalam International Conference, yang diselenggarakan Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, 30-31 Oktober 2019. Bertepatan saya dan Prof. Dr. Tan Sri Noordin bin Kardi, juga menjadi keynote speaker pada acara tersebut. Prof. Farid membawakan paper “ Contending Islamic Epistemology”, Prof. Noordin membawakan makalah “Paradigms in Islamic Education” dan saya membacakan makalah “Moderation of Religion: Preaching Friendly Islam in the Milenial Era”.

Tulisan ini akan membahas semangat untuk melihat kembali potensi kita sebagai Orang Timur dalam percaturan dunia akademik dalam relasinya dengan Barat, sebagaimana dipaparkan oleh Prof. Farid Al Attas. Semua bermula dari kajian orientalisme, yang memandang selain Barat itu inferior dan semua yang dari Barat itu superior. Baratlah yang paling hebat dalam peradaban dan Timur yang selalu berada dalam keterbelakangan peradaban. Dunia dipilah dalam dua kategori superioritas Barat dan inferioritas Timur.

Dan yang menjadi problem adalah dunia Timur kemudian larut dalam konsepsi Barat termasuk di dalam kajian ilmiah, misalnya akadenisi Timur yang selalu menjadikan konsep atau teori akademisi Barat sebagai rujukan. Kita selalu menjadikan konsepsi orang Barat, misalnya Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, Clifford Geertz, dan sebagainya untuk menjadi rujukan dalam kajian-kajian yang dilakukan di Indonesia.

Kita merasa bangga jika bisa menjadikan mereka ini sebagai rujukan-rujukan yang menghiasi karya-karya ilmiah kita. Inilah problem utama kita yang harus disingkirkan dalam kerangka untuk mengembangkan jati diri sebagai bangsa Timur. Jangan pernah merasa inferior dalam mengkaji terhadap ahli-ahli dari dunia Timur yang ternyata juga tidak kalah hebat dalam percaturan keilmuan.

Sesungguhnya ada banyak ahli yang bisa dijadikan rujukan dalam kajian sosial kemasyarakatan. Di antara nama yang hebat adalah Ibn Khaldun dan Al Biruni. Ibn Khaldun adalah ahli sejarah sosial yang menemukan konsep tentang masyarakat menetap (permukiman) dan masyarakat pengembara (nomaden). Berdasarkan studi yang dilakukan dengan sangat metodologis, beliau sebenarnya merupakan ahli ilmu sosial yang andal. Karya-karyanya dibahas oleh ribuan orang di dunia untuk memahami pemikiran sosiologis dan antropologisnya. Dan anehnya, beliau jarang menjadi rujukan dalam kajian-kajian ilmiah kita.

Bahkan banyak kajian dan tokoh yang sesungguhnya bisa dijadikan rujukan dalam kerangka memahami masyarakat Asia, khususnya Asia Tenggara. Di Filipina terdapat seorang tokoh yang sebenarnya menggelorakan semangat Asia, Jose Rizal yang menjadi ikon kemerdekaan Filipina. Beliau menggagas tentang sebenarnya bangsa Asia bukanlah sebagaimana yang dikonsepsikan oleh orang Barat selama ini. Bahkan di Indonesia terdapat tokoh, misalnya Prof. Koentjaraningrat ahli antropologi yang tidak diragukan lagi. Akan tetapi seberapa banyak kita menjadikannya sebagai tokoh hebat yang memiliki kapasitas akademis yang sangat mumpuni.

Jika kita berkeinginan untuk mengangkat tokoh-tokoh lokal untuk konsumsi internasional, bukanlah berarti kita ini anti Barat, tetapi yang penting menempatkan ahli-ahli itu dalam kapasitasnya. Jadi, perlu ditempatkan ahli seperti Weber, Durkheim, Marx sebagai orang Eropa yang ahli dalam kajian-kajian masyarakat dunia, dan juga menempatkan Ibn Khaldun, al Biruni, Koentjaraningrat, Kartini, Jose Rizal sebagai orang Timur yang juga memiliki kajian-kajian dalam dunia internasional.

Contoh lain, kita menempatkan Christopher Columbus, sebagai penemu benua Amerika. Sebenarnya dia semula tidak tahu bahwa yang ditemukannya merupakan benua lain. Dianggapnya tanah yang dipijaknya adalah India. Itulah sebabnya dia menamai orang penduduk asli Amerika, sebagai Orang Indian. Menyadari kesalahan konsepsinya itu, maka dia menamakan Amerika dengan West India, sedangkan India ke timur disebut sebagai East India. Konsep India berasal dari Bahasa Arab Al Hind, yang kemudian dijadikan sebagai nama negara di sana. Jika berbicara tentang penemu-penemu pulau atau benua baru, kita lebih senang menggunakan Orang Barat ketimbang Orang Timur, misalnya Ibn Batuthah.

Ada nama lain, misalnya Kartini. Bukankah beliau adalah tokoh perempuan hebat yang menggelorakan semangat Asia atau Asia Tenggara. Peletak dasar konsepsi emansipasi ini merupakan tokoh perempuan yang seharusnya bisa menjadi rujukan semangat untuk mengkaji dan menggelorakan kajian Asia Tenggara menjadi rujukan dunia akademis internasional.

Dengan demikian, seharusnya kita menempatkan Asia Tenggara itu sejajar dengan Barat dalam level apapun. Dalam dunia akademis sudah seharusnya kita membawa semangat dan pengakuan bahwa ada sejumlah ahli di dunia Timur yang bisa menjadi rujukan. Oleh karena itu sudah seharusnya kita merasa bahwa inferioritas Timur dan superiositas Barat itu hanya ada dalam konsep dan tidak sungguh-sungguh ada dalam realitas empiris.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

PROBLEMATIKA STANDARISASI DOSEN MA’HAD ALY

PROBLEMATIKA STANDARISASI DOSEN MA’HAD ALY

Hari Kamis, 23 Oktober 2019, saya diminta untuk presentasi tentang “Merumuskan Kebijakan Penyetaraan Standar Kompetensi Dosen Ma’had Aly Bebrbasis Pengalaman Mengajar di Pondok Pesantren” pada Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Direktorat PD Pontren) pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama (Kemenag) RI di Jakarta, tepatnya di Hotel Ara Serpong. Acara ini dihadiri oleh para direktur Ma’had Aly se Indonesia, dan juga dihadiri oleh para pejabat Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Pak Aceng dan Pak Rusydi, serta beberapa narasumber, di antaranya adalah Prof. Dr. Thib Raya, MA dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya menyampaikan tiga hal mendasar yang saya kira penting untuk diperbincangkan, yaitu: pertama, standarisasi berdasarkan regulasi. Menurut UU No 14 Tahun 2005, bahwa dosen adalah seseorang yang memiliki kualifikasi dan kompetensi tertentu. Dosen wajib memiliki kualifikasi: Akademik, Kompetensi, Sertifikat pendidik, Sehat jasmani dan rohni dan Memenuhi kualifikasi lain sesuai dengan aturan.

Secara akademik, dosen harus lulus Strata 1, Diploma 4 dari perguruan tinggi terakkreditasi untuk mengajar di Program Pendidikan Dasar dan Menengah, Harus lulus program pasca sarjana yang terakreditasi sesuai bidang keahlian, Minimal master untuk mengajar S1, Doktor untuk Program Pasacasrjana.

Secara professional, dosen harus bekerja minimal dua tahun, dengan Jabatan akademik asisten ahli, dan harus lulus sertifikasi, meliputi: kualifikasi akademik dalam tri darma PT, persepsi dari atasan, sejawat, mahasiswa dan diri sendiri tentang kompetensi pedagogi, profesional, sosial dan kepribadian. Kontribusi dosen yang bersangkutan dalam pengembangan tri darma perguruan tinggi.

Kedua, Standar akademis: dosen minimal lulusan master untuk mengajar setara program sarjana dan doktor untuk mengajar pada program pasca sarjana. Lalu, Standart profesional: telah lulus program sertifikasi dosen dan dibuktikan dengan sertifikasi pendidik. Yang penting juga standar relevansi dan linearitas yang memadai, serta standar ketercukupan dalam kompetensi akademis, pedagogis, sosial dan kepribadian.

Sebagai dosen Ma’had Aly yang merupakan program pendidikan formal, maka dosen harus memenuhi standar umum sesuai dengan regulasi (standart akademis, standart profesional), harus memenuhi standart Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), harus memenuhi standart kompetensi dosen, harus memenuhi standar Badan Standar Nasional Indonesia (BSNI).

Ketiga, Sesuai dengan KKNI, pengalaman kerja profesional dapat dimasukkan dalam level 8 untuk mengajar di program sarjana dan level 9 untuk program pascasarjana. Level 8 dan 9 dinyatakan sebagai tenaga ahli dalam bidangnya. Jika dosen bergelar master dan mengajar pada program sarjana, pengalaman mengajarnya dapat dihitung sebagai modalitas penyetaraan. Jika dosen bergelar doktor dan mengajar di program sarjana atau pascasarjana, pengalaman mengajarnya dapat dihitung sebagai modalitas penyetaraan.

Namun demikian terdapat problem yang saya kira harus diselesaikan terkait dengan status dosen tersebut. Banyak pengajar di Ma’had Aly yang belum memiliki standart kualifikasi akademik, tidak hanya lulusan program master atau doctor, bahkan juga tidak memiliki ijazah setara program sarjana. Inilah yang menjadi kendala dalam kerangka untuk menyetarakan kualifikasi dosen dimaksud.

Oleh karena itu, yang perlu dipikirkan adalah menjabarkan kualifikasi dosen Ma’had Aly sebagai keahlian khusus. Sebagaimana diketahui standart kualifikasi dosen itu berdasarkan pendidikan, pengalaman bekerja di dunia industry, profesi dan otodidak dalam bentuk keahlian khusus. Untuk menyatarakan dosen Ma’had Aly dengan jabatan dosen, maka yang perlu dibuatkan indikatornya adalah “apakah para pendidik Ma’had Aly tersebut memenuhi kriteria sebagai keahlian khusus?”. Jika dinyatakan pendidik Ma’had Aly sebagai keahlian khusus, maka yang perlu dipertimbangkan adalah “kekhususan” atau “distingsi” yang terdapat di dalam program pendidikan pada Ma’had Aly.

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Nomor 7114 tahun 2017 tentang Standar Pendidikan, Standar Penelitian dan Standar Pengabdian Masyarakat Ma’had Aly, dinyatakan bahwa ada tiga kualifikasi pendidikan Ma’had Aly, yaitu: pendidikan khusus keagamaan (tafaqquh fiddin), berbasis Kitab Kuning, dan berbasis pesantren. Melalui tiga kekhususan ini, maka yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana merumuskan indicator-indikatornya, sehingga menghasilkan bahwa dosen Ma’had Aly bisa dikategorikan sebagai “keahlian khusus” dimaksud. Misalnya: ilmu yang dipelajari memang bercorak khusus, penguasaan kitab kuning yang luar biasa dan juga pengalaman menjadi santri dan berapa lama mengajarkan ilmu dimaksud. Ketiga kekhususan ini harus terintegrasi membentuk kualifiasi yang tidak bisa diperoleh dari program pendidikan keagamaan lainnya.

Selain itu, bisa juga dirumuskan tentang Kualifikasi akademik dosen Ma’had Aly adalah berpendidikan sarjana, pasca sarjana dan keahlian khusus yang diakui oleh komunitas pesantren. Melalui kualifikasi ini, maka peluang bagi pendidik yang belum memiliki pengakuan kualifikasi akademik dan profesi akan dapat menjadi pendidik pada program Ma’had Aly.

Dan saya kira yang juga diperlukan adalah memahami induk regulasi tentang Ma’had Aly, apakah UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, ataukah UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Jika menggunakan UU Pesantren, yang di dalamnya terdapat peluang bagi pendidik untuk mengajar program sarjana dengan keahlian khusus sebagaimana dimaksudkan oleh pendidikan Ma’had Aly, maka tentu peluang itu tetap ada. Hanya saja, ke depan tentu perlu dipertimbangkan agar para pendidik Ma’had Aly memenuhi kualifikasi standar akademik. Jadi, perlu untuk dilakukan percepatan pencapaian kualifikasi akademis dimaksud.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

 

 

 

CHARACTER EDUCATION FOR MILLENIAL

CHARACTER EDUCATION FOR MILLENIAL

Pada tanggal 23 Oktober 2019, saya diminta untuk memberikan presentasi tentang Pendidikan Akhlak bagi Madrasah Aliyah di Yogyakarta. Acara ini dikemas untuk melakukan revisi terhadap pedoman pembelajaran berbasis karakter yang selama ini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari lembaga pendidikan di bawah koordinasi Kementerian Agama (Kemenag).

Hadir pada acara ini, Kepala Pusat Pendidikan Agama dan Keagamaan pada Badan Penelitian, Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan (Balitbangdiklat) Kemenag RI, Prof. Dr. Amsal Bachtiar, MA, dan jajarannya serta Kepala Madrasah Aliyah se Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan diselenggarakan di Hotel Jayakarta, Yogyakarta. Prof. Amsal Bachtiar, mengemukaan mengenai tantangan para guru dalam pembelajaran di Era Milenial dalam kaitannya dengan pendidikan karakter. Dalam presentasi ini dipandu oleh Avisantoso, salah seorang pejabat pada Pusat Penda Balitbangdiklat. Saya secara khusus menyampaikan tiga hal mendasar sebagai instrument untuk memperkaya wawasan mengenai pendidikan karakter bagi anak didik di Madrasah. Pertama, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Amsal bahwa kita sedang menghadapi era baru pembelajaran, khususnya bagi anak-anak milenial. Ada sejumlah tantangan yang harus diperhatikan oleh para guru, khususnya guru pendidikan agama dan budi pekerti. Jika kita salah mengelola program pembelajaran terhadap generasi milenial, maka akan berakibat terhadap masa depannya. Perlu ketetapan manajemen pembelajaran yang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan generasi milenial. Kehadiran TI telah mengubah program pembelajaran konvensional menjadi supra modern. Kehadiran TI telah memperbanyak sumber belajar selain guru, ulama, dsb. Kehadiran TI telah mengubah peta pelanggan pendidikan menjadi go international. Kehadiran TI telah mengubah proyek pendidikan dari base on human capacity to technological capacity.

Munculnya aplikasi pendidikan tentu memberi keuntungan bagi program pendidikan. Guru dan partner didiknya akan mudah menemukan solusi pembelajaran. Melalui aplikasi teknologi informasi, mitra didik akan dengan mudah mengakses informasi tentang pembelajaran. Real time siswa dapat mendapatkan soal dan sekaligus jawaban dalam mata pelajaran.

Para milenial adalah generasi teknologi informasi. Para milenial adalah orang yang belajar dari pengalaman dan petualang. Para milenial adalah pembelajar cepat dan mudah. Para milenial adalah generasi yang memilki talenta yang banyak. Mereka kurang menyukai kemapanan, suka mencoba-coba dan pembelajar yang suka berganti-ganti.

Di sinilah makna penting pendidikan karakter bagi anak milenial. Pendidikan karakter hakikatnya adalah pembelajaran dengan menyentuh empat kecerdasan sekaligus. Tujuan pendidikan karakter adalah untuk menghasilkan mitra didik yang cerdas dan benar. Cerdas inteligensi rationalitasnya. Cerdas inteligensi emosionalitasnya. Cerdas inteligensi sosialnya. Cerdas inteligensi spiritualnya.

Oleh karena itu, desain pendidikan karakter harus dirumuskan sedemikian rupa. Character education is essentially an education based on honesty, sincerity, responsibility and trustworthiness; that is to be honest and sincere in every activity, to be responsible and trustworthy when being given a mandate. This kind of education is able to be carried out only on the grounds that it is supported by every level of national component. There should be environment, executor and policy that support that kind of education.

Character education has three basic principles. First, religious principle, the principle of monotheism which is based on the belief that there is no God but Allah and that the Prophet Muhammad is His messenger. These two concepts constitute the manifestation of syahadah: “La ilaha illah, Muhammdur Rasulullah.” This concept would then be implemented in the concept of worship and morals which constitute the basic principle of Islamic teachings.

Secondly, the national principle. This principle alludes the enforcement of the four national pillars which include Pancasila (the Five Principle), the1945 Constitution, the Unity in Diversity, the United Nation of the Republik of Indonesia. These pillars are significant because the nation must still exist in the midst of the global relationship. This nation should remain on Pancasila, because it has been tested as a binder for this nation. What has been established by the founding father of this country would not be abandoned whatsoever. There should be no other ideology in this country but Pancasila.

Thirdly, the implementative principle. On this principle, all the concepts of education for the sake of God (lillah) and for God (billah) reflected in the concept of honesty, sincerity, responsibility, trustworthiness, openness and accountability will be translated into indicators that can be assessed and tested. Through the measurable learning process, evaluation and materials, it will be seen how much education is successful.

Teknologi Informasi tidak akan bisa menggantikan peran guru dengan empat kecerdasan yang dimiliknya. Guru tetap dibutuhkan untuk mendidik mitra didik agar memiliki karakter yang baik. Guru merupakan contoh bagi mitra didiknya dalam perilaku atau akhlaknya. Guru tidak hanya mengajar pengetahuan akan tetapi mentransfer pengalaman. Jika para guru bisa menggunakan program pendidikan karakter dengan sentuhan terhadap empat kecerdasan sekaligus, maka dipastikan bahwa pendidikan Indonesia akan menuai kesuksesan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

 

 

MELAWAN RADIKALISME DENGAN MODERASI BERAGAMA

MELAWAN RADIKALISME DENGAN MODERASI BERAGAMA

Bersamaan dengan momentum Peringatan Hari Santri Nasional (HSN), 22/10/2019, saya dihadirkan di Universitas Trunojoyo Madura (UTM) untuk menjadi narasumber dalam acara “Pekan Sosiologi Nasional” yang digelar di universitas tersebut. Selain saya hadir juga Dr. Abdul Aziz Faiz dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Khoirul Rosyadi, PhD., dari UTM. Selain itu juga hadir Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya (FISIB), Surokim, MSi., dan segenap dosen dan mahasiswa FISIB UTM.

Sebagaimana biasa, maka saya sampaikan tiga hal mendasar pada acara yang digelar oleh FISIB ini, yaitu: Pertama, tentang debatable yang terjadi mengenai radikalisme, fundamentalisme, ekstrimisme dan terorisme. Fundamentalisme ialah ide mendasar tentang sesuatu dalam berbagai aspeknya. Bisa ideologi, agama, keyakinan dan sebagainya. Fundamentalisme yang dikaitkan dengan ideologi ialah ide mendasar dan diyakini kebenarannya tentang ideologi suatu negara atau bangsa atau lainnya. Fundamentalisme yang dikaitkan dengan agama ialah ide tentang keyakinan yang sangat kuat tentang kebenaran agama. Fundamentalis negatif adalah yang mengandung kekerasan, merusak, perang, takfiri, jihadi, salafi, dan sebagainya.

Lalu, Radikalisme adalah pemikiran mendasar tentang segala aspek di dalam kehidupan. Bisa dikaitkan dengan ideologi, agama, keyakinan dan sebagainya. Radikalisme bisa memiliki dua makna: Positif artinya berpikir mendasar sampai ke akar-akarnya, baik dari sisi manfaat maupun akibatnya. Negatif artinya berpikir radikal untuk bertindak kekerasan, membenarkan pemikiran atau pemahamannya sendiri tentang berbagai aspek kehidupan: ideologi, agama, keyakinan dan sebagainya.

Kemudian ekstrimisme adalah pemikiran dan tindakan yang membenarkan pemahamannya sendiri dan diwujudkan untuk menihilkan yang lain. Menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Menghalalkan penggunaan semua cara dan sarana untuk mencapai tujuannya. Bercorak eksklusif dan tertutup. Bertujuan untuk mendirikan negeri dengan paham dan keyakinannya.

Sedangkan terorisme berciri khas: hanya membenarkan pemahaman dan pemikiran kelompoknya dan berkeinginan untuk menihilkan yang lain. Bercorak eksklusif dan menutup diri dari “kebenaran” yang lain. Menghalalkan penyerangan, pembunuhan, pengeboman dan peperangan untuk mencapai tujuannya. Mengabsahkan bom bunuh diri. Sangat tertutup dan eksklusif. Secara ideologis ingin mendirikan negara sendiri di bawah kekuasaannya.

Fundamentalisme, Radikalisme, Ekstrimisme dan Terorisme merupakan fenomena dunia, bukan fenomena agama tertentu. Di setiap negara terdapat sekelompok kecil orang yang berpikir, dan bertindak tidak sesuai dengan koridor umum. Selalu terdapat sekelompok kecil orang yang berkeinginan mendirikan negara sesuai dengan pemikiran dan keyakinannya. Mereka adalah orang-orang yang tersisihkan dari percaturan pemerintahan karena tindakannya tersebut.

Keempat kelompok ini menyatakan perang melawan sekularisme dan semua produk yang bertentangan dengan pemahaman dan keyakinannya. Di Indonesia, terdapat sekelompok orang yang menentang kebijakan pro-sekularisme dan semua yang dihasilkan dari kebudayaan Barat. Pemerintah dianggap gagal dalam menyejahterakan masyarakat. Semua produk manusia (Pancasila, Isme-isme duniawi, Hukum dan sebagainya) tidak bisa menyelesaikan masalah kehidupan. Termasuk menolak demokrasi. Solusinya hanyalah sistem pemerintahan yang diyakininya: Khilafah.

Tantangan bagi Indonesia sekarang juga yang didentifikasi sebagai islamisme adalah pemahaman dan keinginan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan solusi atas masalah-masalah kemasyarakatan dan kenegaraan. Islamisme bukan merupakan satu-satunya didasarkan atas keagamaan tetapi lebih merupakan masalah sosial politik. Gerakan Islamisme bereksistensi dalam bentuk gaya hidup dan pemikiran dan aksi untuk menjadikan khilafah atau sekurang-kurang penerapan syariah secara kaffah.

Perkembangan berikutnya adalah Post Islamisme yang merupakan kelanjutan dari Islamisme tetapi lebih lunak dalam pemahaman dan pemikiran keagamaan, sosial dan politiknya. Mereka menerima misalnya kehadiran demokrasi dalam konteks untuk mewujudkan cita-cita menerapkan ajaran Islam yang kaffah. Mereka tidak mencita-citakan lagi tentang keharusan khilafah sebagai solusi negara bangsa. Life style mereka lebih cair dan bisa menerima gaya hidup modern.

Sebagai kelanjutannya disebut Islamisme popular adalah kelanjutan dari Post-Islamisme, yang wujudnya lebih cair lagi. Mereka menerima tradisi barat tetapi disaring mana yang bermanfaat dan mana yang tidak bemanfaat. Mengambil yang penting dan membuang yang tidak urgen. Demokrasi sebagai model bentuk proses bernegara bangsa bisa dibenarkan dan bisa diterapkan di dalam kehidupan berbangsa. Life style lebih bebas dalam konteks menerima gaya hidup barat, misalnya tidak menolak tradisi barat dalam berpakaian atau makanan dan minuman yang halal, dan sebagainya.

Sesungguhnya Indonesia memang harus mengembangkan potensi moderatisme dalam aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama. Ada sejumlah potensi yang dimiliki Indonesia berselaras dengan hal tersebut, misalnya: Negara dengan philanthropy terbaik, Negara dengan kekuatan kebersamaan yang baik, Negara dengan tingkat kerukunan yang hebat, Negara dengan penduduk terbesar memeluk agama Islam. Negara dengan jumlah PULAU terbanyak, Negara dengan jumlah SUKU BANGSA terbanyak di dunia, Negara dengan Jumlah BAHASA terbanyak di dunia, Negara dengan jumlah wakaf terbesar di dunia dan Negara dengan jumlah lembaga pendidikan terbesar di dunia.

Di dalam konteks Moderasi Beragama, maka Islam MODERAT bukanlah varian Islam baru, akan tetapi adalah Islam yang telah kita kenal selama ini, memiliki ikatan genealogi yang sangat kuat dengan Islam di Timur Tengah yang telah berkolaborasi dengan tradisi dan budaya masyarakat Nusantara dalam kurun waktu yang sangat lama, dan lalu membentuk kekhasan tersendiri. Di antara ciri khasnya ialah berteologi sebagaimana Orang Arab dan melakukan ritual wajib dan sunnah sebagaimana Orang Timur Tengah, tetapi memakai pakaian yang berciri khas, misalnya Jawa, Sunda, Madura dan sebagainya, yang menandai Kenusantaraan dan kemajuannya. Islam kala memasuki wilayah tertentu pastilah sudah terdapat budaya yang mapan, sehingga Islam pastilah berkolaborasi dengannya. Hendaknya tidak memaksakan pendapat bahwa Islam Nusantara Berkemajuan itu versus Islam Arab atau bahkan berkeinginan untuk meminggirkan lainnya. Orang Indonesia itu sangat menghargai para habaib dan penyebar Islam yang bertebaran di seluruh wilayah Nusantara. Yang menjadi prinsip di dalamnya ialah: Islam rahmatan lil alamin. Islam yang tawasuth (jalan tengah). Islam yang tasamuh (toleran).Islam yang tawazun (selaras). Islam yang memberikan peluang bagi penganutnya untuk melakukan perdamaian dan keselamatan.

Lalu upaya apa yang bisa dilakukan untuk mengembangkan keberagamaan yang moderat adalah: 1) Upaya dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan: yaitu: melalui pendidikan. Dunia pendidikan harus dapat menjadi solusi atas kerusakan generasi muda untuk menolak ajakan kaum jihadis di Syria. Memperkuat wawasan kebangsaan dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan masyarakat, misalnya dengan: memperkuat pendidikan karakter dan kepribadian bangsa, memperkuat pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan dan memperkuat pendidikan di pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan lainnya. 2) Memperkuat ekonomi kerakyatan dengan upaya: Mengurangi kesenjangan antara yang kaya dan miskin melalui paket-paket program yang relevan. Mengurangi angka kemiskinan yang masih mendera kehidupan sebagian masyarakat kita. Memperbanyak peluang kerja bagi generasi muda Indonesia. Memperkuat basis ekonomi kerakyatan melalui mekanisme kemitraan dan kebersamaan. 3) Memperkuat pengembangan SDM, antara lain: Memperkuat basis profesionalisme melalui penguatan pendidikan bermutu. Memperkuat pendidikan vokasi untuk menghasilkan tenaga terampil di masa sekarang dan akan dating. Memperkuat dan mengaktualkan potensi-potensi SDM yang belum tergarap secara memadai. Memperkuat potensi teknologi informasi bagi generasi muda untuk menanggulangi cyber war, misalnya dengan membangun literasi media.

Jika pemerintah dengan segenap aparatnya dan juga dukungan rakyat tidak melakukan hal-hal terbaik ini, maka upaya moderasi beragama atau sejenisnya tentu hanyalah macan kertas saja. Masyarakat sedang menunggu langkah kongkrit untuk mewujudkannya.

Walllahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TANTANGAN PERAN SANTRI PADA ERA TEKNOLOGI INFORMASI

TANTANGAN PERAN SANTRI PADA ERA TEKNOLOGI INFORMASI

Saya kira lebih baik terlambat untuk menulis santri dan pesantren daripada tidak sama sekali. Pada saat peringatan Hari Santri Nasional (HSN), saya benar-benar terkuras energinya untuk menyiapkan tiga power point sekaligus, sebab ada tiga acara yang harus saya lakukan di saat peringatan upacara HSN dan hari-hari berikutnya. Makanya, saya mengapresiasai HSN dalam bentuk tulisan dengan agak sedikit terlambat.

Jika berbicara tentang perjuangan melawan kaum penjajah, pastilah bangsa Indonesia tidak akan bisa melupakan jasa kaum santri dan pesantrennya. Goresan tinta Emas patutlah dituliskan untuk menggambarkan perjuangan yang sangat heroic dari kaum santri terkait dengan perjuangan kaum santri dalam melawan penjajahan. Bisakah dibayangkan bahwa seorang santri Tebuireng bernama Harun bisa membunuh Jenderal Mallaby yang terjadi saat pertempuran 10 Nopember 1945, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Peran Bung Tomo, dengan teriakan Allahu Akbar untuk menggelorakan semangat pertempuran dari kaum santri tentu juga luar biasa.

Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari dalam kerangka memberikan seruan untuk berjihad melawan kaum penjajah tentu juga menjadi catatan Emas bagi perjuangan bagi bangsa ini. Dan kemudian tanggal 22 Oktober dijadikan sebagai Hari Santri untuk mengenang dan mengabadikan perjuangan kaum santri dalam melawan penjajah: Belanda dan sekutunya.

Sejarah dalam banyak hal ditulis oleh para pemenang. Artinya, bahwa yang menuliskan sejarah adalah siapa yang “berkuasa”. Namun menurut saya, cerita tentang perjuangan kaum santri ini bukanlah merupakan rekayasa sejarah atau sejarah kekuasaan, akan tetapi sejarah rakyat yang dengan kesadarannya membangun solidaritas untuk berjuang bersama dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsanya.

Para santri telah mengukir sejarah peradaban yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. Tanpa kehadiran para “Santri Sarungan” itu, rasanya perjuangan kemerdekaan tidak sehiruk pikuk masa itu. Dan pengukiran sejarah itulah yang tentunya secara diakronik ingin diciptakan ulang melalui momentum HSN. Lalu, apakah peringatan HSN itu “hanya” akan menjadi momentum untuk mengingat dan memperingati perjuangan para santri di masa lalu? Inilah pertanyaan yang saya kira perlu direnungkan oleh para santri di era sekarang. Rasanya kita tidak cukup dengan memakai sarung di dalam upacara peringatan HSN, sebab hakikat peringatan itu adalah meneladani semangat atau ethos perjuangan yang dahulu pernah dirajut sedemikian hebat oleh para santri.

Tantangan perjuangan para santri sungguh sangat berbeda. Di masa lalu, musuh kita itu jelas: Belanda dan sekutunya. Mereka orang yang patut dimusuhi karena menjajah Indonesia dalam ratusan tahun. Mereka mengeruk kekayaan Indonesia dan menguasainya. Mereka merusak dan membuat penderitaan bagi masyarakat Indonesia. Makanya, sangat pantas dijadikan sebagai common enemy bagi bangsa ini.

Tantangan para santri sungguh sangat berbeda di era sekarang. Musuh para santri sekarang bukan dalam bentuk fisik kehadiran seseorang atau kekuasaan dalam space tertentu. Di era revolusi industry 4.0 ini, maka tantangan para santri adalah bagaimana para santri dapat juga menguasai teknologi informasi. Para santri tidak hanya menguasai kitab-kitab kuning atau teks-teks klasik dan seperangkat pengetahuan agama yang sangat baik, akan tetapi bagaimana bisa beradaptasi dengan teknologi informasi yang bisa menjanjikan kemaslahatan sekaligus juga menghadirkan kemafsadatan.

Para santri dituntut untuk memasuki dunia milenial yang di luar sana penuh dengan hiruk pikuk informasi, baik yang positif maupun yang negative. Semua hadir secara bersamaan melalui kehadiran media sosial yang tentu saja tidak bisa ditolak kedatangannya. Padahal di dalam banyak hal, santri justru tidak diperkenankan untuk memasuki dunia media sosial ini, sebab dikhawatirkan dapat mengganggu proses pendidikan yang dilakukannya. Bukankah masih banyak pesantren kita yang melarang penggunaan smart phone di dalam proses pembelajaran. Tidak hanya pesantren bahkan lembaga pendidikan seperti Madrasah Aliyah atau Madrasah Tsanawiyah, para siswa belum diperbolehkan mengakses smart phone di kelas.

Larangan ini tentu sangat baik dilihat dari perspektif dapat mengganggu program pembelajaran, misalnya jika di saat proses belajar mengajar lalu para siswa sibuk bermain chatting atau game. Namun demikian, di tengah semakin merebaknya aplikasi pembelajaran seperti di era sekarang, maka kehadiran smart phone tentu menjadi alternative pembelajaran. Ada seorang guru di Madrasah Tsanawiyah yang memperobolehkan siswanya membawa HP di dalam kelas karena penerapan pembelajaran berbasis aplikasi Edmodo, dan guru ini dianggap sebagai trouble maker. Jadi, artinya masih banyak di antara guru, ustadz atau pendidikan lainnya yang hanya melihat teknologi informasi dari sisi negatifnya saja, padahal ada banyak juga dimensi manfaat yang didapatinya.

Di dalam konteks ini, para santri tentu harus juga bersentuhan dengan perkembangan baru dan yang paling penting sesungguhnya adalah bagaimana para santri memiliki kemampuan literasi media, sehingga mereka tidak jatuh kepada madharat teknologi informasi, akan tetapi memperoleh manfaat dari teknologi informasi.

Setiap zaman tentu memiliki tantangannya sendiri, dan para santri itu sedang hidup di zaman sekarang yang sungguh berbeda dengan zaman para ustadz dan guru-gurunya. Makanya, di sinilah kearifan para santri sedang ditantang, dan tentu yang diharapkan adalah bagaimana santri bisa hidup pada zamannya dengan benar dan terarah.

Wallahu a’lam bi al shawab.