MELAWAN RADIKALISME DENGAN MODERASI BERAGAMA
MELAWAN RADIKALISME DENGAN MODERASI BERAGAMA
Bersamaan dengan momentum Peringatan Hari Santri Nasional (HSN), 22/10/2019, saya dihadirkan di Universitas Trunojoyo Madura (UTM) untuk menjadi narasumber dalam acara “Pekan Sosiologi Nasional” yang digelar di universitas tersebut. Selain saya hadir juga Dr. Abdul Aziz Faiz dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Khoirul Rosyadi, PhD., dari UTM. Selain itu juga hadir Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya (FISIB), Surokim, MSi., dan segenap dosen dan mahasiswa FISIB UTM.
Sebagaimana biasa, maka saya sampaikan tiga hal mendasar pada acara yang digelar oleh FISIB ini, yaitu: Pertama, tentang debatable yang terjadi mengenai radikalisme, fundamentalisme, ekstrimisme dan terorisme. Fundamentalisme ialah ide mendasar tentang sesuatu dalam berbagai aspeknya. Bisa ideologi, agama, keyakinan dan sebagainya. Fundamentalisme yang dikaitkan dengan ideologi ialah ide mendasar dan diyakini kebenarannya tentang ideologi suatu negara atau bangsa atau lainnya. Fundamentalisme yang dikaitkan dengan agama ialah ide tentang keyakinan yang sangat kuat tentang kebenaran agama. Fundamentalis negatif adalah yang mengandung kekerasan, merusak, perang, takfiri, jihadi, salafi, dan sebagainya.
Lalu, Radikalisme adalah pemikiran mendasar tentang segala aspek di dalam kehidupan. Bisa dikaitkan dengan ideologi, agama, keyakinan dan sebagainya. Radikalisme bisa memiliki dua makna: Positif artinya berpikir mendasar sampai ke akar-akarnya, baik dari sisi manfaat maupun akibatnya. Negatif artinya berpikir radikal untuk bertindak kekerasan, membenarkan pemikiran atau pemahamannya sendiri tentang berbagai aspek kehidupan: ideologi, agama, keyakinan dan sebagainya.
Kemudian ekstrimisme adalah pemikiran dan tindakan yang membenarkan pemahamannya sendiri dan diwujudkan untuk menihilkan yang lain. Menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Menghalalkan penggunaan semua cara dan sarana untuk mencapai tujuannya. Bercorak eksklusif dan tertutup. Bertujuan untuk mendirikan negeri dengan paham dan keyakinannya.
Sedangkan terorisme berciri khas: hanya membenarkan pemahaman dan pemikiran kelompoknya dan berkeinginan untuk menihilkan yang lain. Bercorak eksklusif dan menutup diri dari “kebenaran” yang lain. Menghalalkan penyerangan, pembunuhan, pengeboman dan peperangan untuk mencapai tujuannya. Mengabsahkan bom bunuh diri. Sangat tertutup dan eksklusif. Secara ideologis ingin mendirikan negara sendiri di bawah kekuasaannya.
Fundamentalisme, Radikalisme, Ekstrimisme dan Terorisme merupakan fenomena dunia, bukan fenomena agama tertentu. Di setiap negara terdapat sekelompok kecil orang yang berpikir, dan bertindak tidak sesuai dengan koridor umum. Selalu terdapat sekelompok kecil orang yang berkeinginan mendirikan negara sesuai dengan pemikiran dan keyakinannya. Mereka adalah orang-orang yang tersisihkan dari percaturan pemerintahan karena tindakannya tersebut.
Keempat kelompok ini menyatakan perang melawan sekularisme dan semua produk yang bertentangan dengan pemahaman dan keyakinannya. Di Indonesia, terdapat sekelompok orang yang menentang kebijakan pro-sekularisme dan semua yang dihasilkan dari kebudayaan Barat. Pemerintah dianggap gagal dalam menyejahterakan masyarakat. Semua produk manusia (Pancasila, Isme-isme duniawi, Hukum dan sebagainya) tidak bisa menyelesaikan masalah kehidupan. Termasuk menolak demokrasi. Solusinya hanyalah sistem pemerintahan yang diyakininya: Khilafah.
Tantangan bagi Indonesia sekarang juga yang didentifikasi sebagai islamisme adalah pemahaman dan keinginan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan solusi atas masalah-masalah kemasyarakatan dan kenegaraan. Islamisme bukan merupakan satu-satunya didasarkan atas keagamaan tetapi lebih merupakan masalah sosial politik. Gerakan Islamisme bereksistensi dalam bentuk gaya hidup dan pemikiran dan aksi untuk menjadikan khilafah atau sekurang-kurang penerapan syariah secara kaffah.
Perkembangan berikutnya adalah Post Islamisme yang merupakan kelanjutan dari Islamisme tetapi lebih lunak dalam pemahaman dan pemikiran keagamaan, sosial dan politiknya. Mereka menerima misalnya kehadiran demokrasi dalam konteks untuk mewujudkan cita-cita menerapkan ajaran Islam yang kaffah. Mereka tidak mencita-citakan lagi tentang keharusan khilafah sebagai solusi negara bangsa. Life style mereka lebih cair dan bisa menerima gaya hidup modern.
Sebagai kelanjutannya disebut Islamisme popular adalah kelanjutan dari Post-Islamisme, yang wujudnya lebih cair lagi. Mereka menerima tradisi barat tetapi disaring mana yang bermanfaat dan mana yang tidak bemanfaat. Mengambil yang penting dan membuang yang tidak urgen. Demokrasi sebagai model bentuk proses bernegara bangsa bisa dibenarkan dan bisa diterapkan di dalam kehidupan berbangsa. Life style lebih bebas dalam konteks menerima gaya hidup barat, misalnya tidak menolak tradisi barat dalam berpakaian atau makanan dan minuman yang halal, dan sebagainya.
Sesungguhnya Indonesia memang harus mengembangkan potensi moderatisme dalam aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama. Ada sejumlah potensi yang dimiliki Indonesia berselaras dengan hal tersebut, misalnya: Negara dengan philanthropy terbaik, Negara dengan kekuatan kebersamaan yang baik, Negara dengan tingkat kerukunan yang hebat, Negara dengan penduduk terbesar memeluk agama Islam. Negara dengan jumlah PULAU terbanyak, Negara dengan jumlah SUKU BANGSA terbanyak di dunia, Negara dengan Jumlah BAHASA terbanyak di dunia, Negara dengan jumlah wakaf terbesar di dunia dan Negara dengan jumlah lembaga pendidikan terbesar di dunia.
Di dalam konteks Moderasi Beragama, maka Islam MODERAT bukanlah varian Islam baru, akan tetapi adalah Islam yang telah kita kenal selama ini, memiliki ikatan genealogi yang sangat kuat dengan Islam di Timur Tengah yang telah berkolaborasi dengan tradisi dan budaya masyarakat Nusantara dalam kurun waktu yang sangat lama, dan lalu membentuk kekhasan tersendiri. Di antara ciri khasnya ialah berteologi sebagaimana Orang Arab dan melakukan ritual wajib dan sunnah sebagaimana Orang Timur Tengah, tetapi memakai pakaian yang berciri khas, misalnya Jawa, Sunda, Madura dan sebagainya, yang menandai Kenusantaraan dan kemajuannya. Islam kala memasuki wilayah tertentu pastilah sudah terdapat budaya yang mapan, sehingga Islam pastilah berkolaborasi dengannya. Hendaknya tidak memaksakan pendapat bahwa Islam Nusantara Berkemajuan itu versus Islam Arab atau bahkan berkeinginan untuk meminggirkan lainnya. Orang Indonesia itu sangat menghargai para habaib dan penyebar Islam yang bertebaran di seluruh wilayah Nusantara. Yang menjadi prinsip di dalamnya ialah: Islam rahmatan lil alamin. Islam yang tawasuth (jalan tengah). Islam yang tasamuh (toleran).Islam yang tawazun (selaras). Islam yang memberikan peluang bagi penganutnya untuk melakukan perdamaian dan keselamatan.
Lalu upaya apa yang bisa dilakukan untuk mengembangkan keberagamaan yang moderat adalah: 1) Upaya dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan: yaitu: melalui pendidikan. Dunia pendidikan harus dapat menjadi solusi atas kerusakan generasi muda untuk menolak ajakan kaum jihadis di Syria. Memperkuat wawasan kebangsaan dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan masyarakat, misalnya dengan: memperkuat pendidikan karakter dan kepribadian bangsa, memperkuat pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan dan memperkuat pendidikan di pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan lainnya. 2) Memperkuat ekonomi kerakyatan dengan upaya: Mengurangi kesenjangan antara yang kaya dan miskin melalui paket-paket program yang relevan. Mengurangi angka kemiskinan yang masih mendera kehidupan sebagian masyarakat kita. Memperbanyak peluang kerja bagi generasi muda Indonesia. Memperkuat basis ekonomi kerakyatan melalui mekanisme kemitraan dan kebersamaan. 3) Memperkuat pengembangan SDM, antara lain: Memperkuat basis profesionalisme melalui penguatan pendidikan bermutu. Memperkuat pendidikan vokasi untuk menghasilkan tenaga terampil di masa sekarang dan akan dating. Memperkuat dan mengaktualkan potensi-potensi SDM yang belum tergarap secara memadai. Memperkuat potensi teknologi informasi bagi generasi muda untuk menanggulangi cyber war, misalnya dengan membangun literasi media.
Jika pemerintah dengan segenap aparatnya dan juga dukungan rakyat tidak melakukan hal-hal terbaik ini, maka upaya moderasi beragama atau sejenisnya tentu hanyalah macan kertas saja. Masyarakat sedang menunggu langkah kongkrit untuk mewujudkannya.
Walllahu a’lam bi al shawab.