Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PROBLEMATIKA STANDARISASI DOSEN MA’HAD ALY

PROBLEMATIKA STANDARISASI DOSEN MA’HAD ALY

Hari Kamis, 23 Oktober 2019, saya diminta untuk presentasi tentang “Merumuskan Kebijakan Penyetaraan Standar Kompetensi Dosen Ma’had Aly Bebrbasis Pengalaman Mengajar di Pondok Pesantren” pada Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Direktorat PD Pontren) pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama (Kemenag) RI di Jakarta, tepatnya di Hotel Ara Serpong. Acara ini dihadiri oleh para direktur Ma’had Aly se Indonesia, dan juga dihadiri oleh para pejabat Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Pak Aceng dan Pak Rusydi, serta beberapa narasumber, di antaranya adalah Prof. Dr. Thib Raya, MA dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya menyampaikan tiga hal mendasar yang saya kira penting untuk diperbincangkan, yaitu: pertama, standarisasi berdasarkan regulasi. Menurut UU No 14 Tahun 2005, bahwa dosen adalah seseorang yang memiliki kualifikasi dan kompetensi tertentu. Dosen wajib memiliki kualifikasi: Akademik, Kompetensi, Sertifikat pendidik, Sehat jasmani dan rohni dan Memenuhi kualifikasi lain sesuai dengan aturan.

Secara akademik, dosen harus lulus Strata 1, Diploma 4 dari perguruan tinggi terakkreditasi untuk mengajar di Program Pendidikan Dasar dan Menengah, Harus lulus program pasca sarjana yang terakreditasi sesuai bidang keahlian, Minimal master untuk mengajar S1, Doktor untuk Program Pasacasrjana.

Secara professional, dosen harus bekerja minimal dua tahun, dengan Jabatan akademik asisten ahli, dan harus lulus sertifikasi, meliputi: kualifikasi akademik dalam tri darma PT, persepsi dari atasan, sejawat, mahasiswa dan diri sendiri tentang kompetensi pedagogi, profesional, sosial dan kepribadian. Kontribusi dosen yang bersangkutan dalam pengembangan tri darma perguruan tinggi.

Kedua, Standar akademis: dosen minimal lulusan master untuk mengajar setara program sarjana dan doktor untuk mengajar pada program pasca sarjana. Lalu, Standart profesional: telah lulus program sertifikasi dosen dan dibuktikan dengan sertifikasi pendidik. Yang penting juga standar relevansi dan linearitas yang memadai, serta standar ketercukupan dalam kompetensi akademis, pedagogis, sosial dan kepribadian.

Sebagai dosen Ma’had Aly yang merupakan program pendidikan formal, maka dosen harus memenuhi standar umum sesuai dengan regulasi (standart akademis, standart profesional), harus memenuhi standart Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), harus memenuhi standart kompetensi dosen, harus memenuhi standar Badan Standar Nasional Indonesia (BSNI).

Ketiga, Sesuai dengan KKNI, pengalaman kerja profesional dapat dimasukkan dalam level 8 untuk mengajar di program sarjana dan level 9 untuk program pascasarjana. Level 8 dan 9 dinyatakan sebagai tenaga ahli dalam bidangnya. Jika dosen bergelar master dan mengajar pada program sarjana, pengalaman mengajarnya dapat dihitung sebagai modalitas penyetaraan. Jika dosen bergelar doktor dan mengajar di program sarjana atau pascasarjana, pengalaman mengajarnya dapat dihitung sebagai modalitas penyetaraan.

Namun demikian terdapat problem yang saya kira harus diselesaikan terkait dengan status dosen tersebut. Banyak pengajar di Ma’had Aly yang belum memiliki standart kualifikasi akademik, tidak hanya lulusan program master atau doctor, bahkan juga tidak memiliki ijazah setara program sarjana. Inilah yang menjadi kendala dalam kerangka untuk menyetarakan kualifikasi dosen dimaksud.

Oleh karena itu, yang perlu dipikirkan adalah menjabarkan kualifikasi dosen Ma’had Aly sebagai keahlian khusus. Sebagaimana diketahui standart kualifikasi dosen itu berdasarkan pendidikan, pengalaman bekerja di dunia industry, profesi dan otodidak dalam bentuk keahlian khusus. Untuk menyatarakan dosen Ma’had Aly dengan jabatan dosen, maka yang perlu dibuatkan indikatornya adalah “apakah para pendidik Ma’had Aly tersebut memenuhi kriteria sebagai keahlian khusus?”. Jika dinyatakan pendidik Ma’had Aly sebagai keahlian khusus, maka yang perlu dipertimbangkan adalah “kekhususan” atau “distingsi” yang terdapat di dalam program pendidikan pada Ma’had Aly.

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Nomor 7114 tahun 2017 tentang Standar Pendidikan, Standar Penelitian dan Standar Pengabdian Masyarakat Ma’had Aly, dinyatakan bahwa ada tiga kualifikasi pendidikan Ma’had Aly, yaitu: pendidikan khusus keagamaan (tafaqquh fiddin), berbasis Kitab Kuning, dan berbasis pesantren. Melalui tiga kekhususan ini, maka yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana merumuskan indicator-indikatornya, sehingga menghasilkan bahwa dosen Ma’had Aly bisa dikategorikan sebagai “keahlian khusus” dimaksud. Misalnya: ilmu yang dipelajari memang bercorak khusus, penguasaan kitab kuning yang luar biasa dan juga pengalaman menjadi santri dan berapa lama mengajarkan ilmu dimaksud. Ketiga kekhususan ini harus terintegrasi membentuk kualifiasi yang tidak bisa diperoleh dari program pendidikan keagamaan lainnya.

Selain itu, bisa juga dirumuskan tentang Kualifikasi akademik dosen Ma’had Aly adalah berpendidikan sarjana, pasca sarjana dan keahlian khusus yang diakui oleh komunitas pesantren. Melalui kualifikasi ini, maka peluang bagi pendidik yang belum memiliki pengakuan kualifikasi akademik dan profesi akan dapat menjadi pendidik pada program Ma’had Aly.

Dan saya kira yang juga diperlukan adalah memahami induk regulasi tentang Ma’had Aly, apakah UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, ataukah UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Jika menggunakan UU Pesantren, yang di dalamnya terdapat peluang bagi pendidik untuk mengajar program sarjana dengan keahlian khusus sebagaimana dimaksudkan oleh pendidikan Ma’had Aly, maka tentu peluang itu tetap ada. Hanya saja, ke depan tentu perlu dipertimbangkan agar para pendidik Ma’had Aly memenuhi kualifikasi standar akademik. Jadi, perlu untuk dilakukan percepatan pencapaian kualifikasi akademis dimaksud.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

 

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..