Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TANTANGAN PERAN SANTRI PADA ERA TEKNOLOGI INFORMASI

TANTANGAN PERAN SANTRI PADA ERA TEKNOLOGI INFORMASI

Saya kira lebih baik terlambat untuk menulis santri dan pesantren daripada tidak sama sekali. Pada saat peringatan Hari Santri Nasional (HSN), saya benar-benar terkuras energinya untuk menyiapkan tiga power point sekaligus, sebab ada tiga acara yang harus saya lakukan di saat peringatan upacara HSN dan hari-hari berikutnya. Makanya, saya mengapresiasai HSN dalam bentuk tulisan dengan agak sedikit terlambat.

Jika berbicara tentang perjuangan melawan kaum penjajah, pastilah bangsa Indonesia tidak akan bisa melupakan jasa kaum santri dan pesantrennya. Goresan tinta Emas patutlah dituliskan untuk menggambarkan perjuangan yang sangat heroic dari kaum santri terkait dengan perjuangan kaum santri dalam melawan penjajahan. Bisakah dibayangkan bahwa seorang santri Tebuireng bernama Harun bisa membunuh Jenderal Mallaby yang terjadi saat pertempuran 10 Nopember 1945, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Peran Bung Tomo, dengan teriakan Allahu Akbar untuk menggelorakan semangat pertempuran dari kaum santri tentu juga luar biasa.

Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari dalam kerangka memberikan seruan untuk berjihad melawan kaum penjajah tentu juga menjadi catatan Emas bagi perjuangan bagi bangsa ini. Dan kemudian tanggal 22 Oktober dijadikan sebagai Hari Santri untuk mengenang dan mengabadikan perjuangan kaum santri dalam melawan penjajah: Belanda dan sekutunya.

Sejarah dalam banyak hal ditulis oleh para pemenang. Artinya, bahwa yang menuliskan sejarah adalah siapa yang “berkuasa”. Namun menurut saya, cerita tentang perjuangan kaum santri ini bukanlah merupakan rekayasa sejarah atau sejarah kekuasaan, akan tetapi sejarah rakyat yang dengan kesadarannya membangun solidaritas untuk berjuang bersama dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsanya.

Para santri telah mengukir sejarah peradaban yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. Tanpa kehadiran para “Santri Sarungan” itu, rasanya perjuangan kemerdekaan tidak sehiruk pikuk masa itu. Dan pengukiran sejarah itulah yang tentunya secara diakronik ingin diciptakan ulang melalui momentum HSN. Lalu, apakah peringatan HSN itu “hanya” akan menjadi momentum untuk mengingat dan memperingati perjuangan para santri di masa lalu? Inilah pertanyaan yang saya kira perlu direnungkan oleh para santri di era sekarang. Rasanya kita tidak cukup dengan memakai sarung di dalam upacara peringatan HSN, sebab hakikat peringatan itu adalah meneladani semangat atau ethos perjuangan yang dahulu pernah dirajut sedemikian hebat oleh para santri.

Tantangan perjuangan para santri sungguh sangat berbeda. Di masa lalu, musuh kita itu jelas: Belanda dan sekutunya. Mereka orang yang patut dimusuhi karena menjajah Indonesia dalam ratusan tahun. Mereka mengeruk kekayaan Indonesia dan menguasainya. Mereka merusak dan membuat penderitaan bagi masyarakat Indonesia. Makanya, sangat pantas dijadikan sebagai common enemy bagi bangsa ini.

Tantangan para santri sungguh sangat berbeda di era sekarang. Musuh para santri sekarang bukan dalam bentuk fisik kehadiran seseorang atau kekuasaan dalam space tertentu. Di era revolusi industry 4.0 ini, maka tantangan para santri adalah bagaimana para santri dapat juga menguasai teknologi informasi. Para santri tidak hanya menguasai kitab-kitab kuning atau teks-teks klasik dan seperangkat pengetahuan agama yang sangat baik, akan tetapi bagaimana bisa beradaptasi dengan teknologi informasi yang bisa menjanjikan kemaslahatan sekaligus juga menghadirkan kemafsadatan.

Para santri dituntut untuk memasuki dunia milenial yang di luar sana penuh dengan hiruk pikuk informasi, baik yang positif maupun yang negative. Semua hadir secara bersamaan melalui kehadiran media sosial yang tentu saja tidak bisa ditolak kedatangannya. Padahal di dalam banyak hal, santri justru tidak diperkenankan untuk memasuki dunia media sosial ini, sebab dikhawatirkan dapat mengganggu proses pendidikan yang dilakukannya. Bukankah masih banyak pesantren kita yang melarang penggunaan smart phone di dalam proses pembelajaran. Tidak hanya pesantren bahkan lembaga pendidikan seperti Madrasah Aliyah atau Madrasah Tsanawiyah, para siswa belum diperbolehkan mengakses smart phone di kelas.

Larangan ini tentu sangat baik dilihat dari perspektif dapat mengganggu program pembelajaran, misalnya jika di saat proses belajar mengajar lalu para siswa sibuk bermain chatting atau game. Namun demikian, di tengah semakin merebaknya aplikasi pembelajaran seperti di era sekarang, maka kehadiran smart phone tentu menjadi alternative pembelajaran. Ada seorang guru di Madrasah Tsanawiyah yang memperobolehkan siswanya membawa HP di dalam kelas karena penerapan pembelajaran berbasis aplikasi Edmodo, dan guru ini dianggap sebagai trouble maker. Jadi, artinya masih banyak di antara guru, ustadz atau pendidikan lainnya yang hanya melihat teknologi informasi dari sisi negatifnya saja, padahal ada banyak juga dimensi manfaat yang didapatinya.

Di dalam konteks ini, para santri tentu harus juga bersentuhan dengan perkembangan baru dan yang paling penting sesungguhnya adalah bagaimana para santri memiliki kemampuan literasi media, sehingga mereka tidak jatuh kepada madharat teknologi informasi, akan tetapi memperoleh manfaat dari teknologi informasi.

Setiap zaman tentu memiliki tantangannya sendiri, dan para santri itu sedang hidup di zaman sekarang yang sungguh berbeda dengan zaman para ustadz dan guru-gurunya. Makanya, di sinilah kearifan para santri sedang ditantang, dan tentu yang diharapkan adalah bagaimana santri bisa hidup pada zamannya dengan benar dan terarah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..