KESEJAJARAN EPISTEMOLOGY TIMUR DAN BARAT
KESEJAJARAN EPISTEMOLOGY TIMUR DAN BARAT
Saya membaca karya Prof. Syed Hussein Al Attas, “Mitos Pribumi Malas” pada awal tahun 80-an. Buku ini merupakan karya yang sangat penting dalam kajian sejarah sosial, khususnya masyarakat Asia Tenggara dilihat dari perspektif bagaimana sesungguhnya perilaku masyarakat Malaysia, Indonesia, Thailand dan juga Filipina. Buku ini merupakan karya penting sebagai kritik atas dominasi kuasa Barat yang menghegemoni dan sekaligus juga mengkoersi masyarakat Asia Tenggara. Di antara konsep yang diproduksinya adalah perilaku pribumi malas sebagaimana yang dikonsepsikan para akademisi Barat dalam melihat relasi perilaku kerja masyarakat di Asia Tenggara.
Lalu, kira-kira 40 tahun berikutnya, saya bertemu dengan salah seorang putranya, Prof. Syed Farid Al Attas, dalam International Conference, yang diselenggarakan Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, 30-31 Oktober 2019. Bertepatan saya dan Prof. Dr. Tan Sri Noordin bin Kardi, juga menjadi keynote speaker pada acara tersebut. Prof. Farid membawakan paper “ Contending Islamic Epistemology”, Prof. Noordin membawakan makalah “Paradigms in Islamic Education” dan saya membacakan makalah “Moderation of Religion: Preaching Friendly Islam in the Milenial Era”.
Tulisan ini akan membahas semangat untuk melihat kembali potensi kita sebagai Orang Timur dalam percaturan dunia akademik dalam relasinya dengan Barat, sebagaimana dipaparkan oleh Prof. Farid Al Attas. Semua bermula dari kajian orientalisme, yang memandang selain Barat itu inferior dan semua yang dari Barat itu superior. Baratlah yang paling hebat dalam peradaban dan Timur yang selalu berada dalam keterbelakangan peradaban. Dunia dipilah dalam dua kategori superioritas Barat dan inferioritas Timur.
Dan yang menjadi problem adalah dunia Timur kemudian larut dalam konsepsi Barat termasuk di dalam kajian ilmiah, misalnya akadenisi Timur yang selalu menjadikan konsep atau teori akademisi Barat sebagai rujukan. Kita selalu menjadikan konsepsi orang Barat, misalnya Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, Clifford Geertz, dan sebagainya untuk menjadi rujukan dalam kajian-kajian yang dilakukan di Indonesia.
Kita merasa bangga jika bisa menjadikan mereka ini sebagai rujukan-rujukan yang menghiasi karya-karya ilmiah kita. Inilah problem utama kita yang harus disingkirkan dalam kerangka untuk mengembangkan jati diri sebagai bangsa Timur. Jangan pernah merasa inferior dalam mengkaji terhadap ahli-ahli dari dunia Timur yang ternyata juga tidak kalah hebat dalam percaturan keilmuan.
Sesungguhnya ada banyak ahli yang bisa dijadikan rujukan dalam kajian sosial kemasyarakatan. Di antara nama yang hebat adalah Ibn Khaldun dan Al Biruni. Ibn Khaldun adalah ahli sejarah sosial yang menemukan konsep tentang masyarakat menetap (permukiman) dan masyarakat pengembara (nomaden). Berdasarkan studi yang dilakukan dengan sangat metodologis, beliau sebenarnya merupakan ahli ilmu sosial yang andal. Karya-karyanya dibahas oleh ribuan orang di dunia untuk memahami pemikiran sosiologis dan antropologisnya. Dan anehnya, beliau jarang menjadi rujukan dalam kajian-kajian ilmiah kita.
Bahkan banyak kajian dan tokoh yang sesungguhnya bisa dijadikan rujukan dalam kerangka memahami masyarakat Asia, khususnya Asia Tenggara. Di Filipina terdapat seorang tokoh yang sebenarnya menggelorakan semangat Asia, Jose Rizal yang menjadi ikon kemerdekaan Filipina. Beliau menggagas tentang sebenarnya bangsa Asia bukanlah sebagaimana yang dikonsepsikan oleh orang Barat selama ini. Bahkan di Indonesia terdapat tokoh, misalnya Prof. Koentjaraningrat ahli antropologi yang tidak diragukan lagi. Akan tetapi seberapa banyak kita menjadikannya sebagai tokoh hebat yang memiliki kapasitas akademis yang sangat mumpuni.
Jika kita berkeinginan untuk mengangkat tokoh-tokoh lokal untuk konsumsi internasional, bukanlah berarti kita ini anti Barat, tetapi yang penting menempatkan ahli-ahli itu dalam kapasitasnya. Jadi, perlu ditempatkan ahli seperti Weber, Durkheim, Marx sebagai orang Eropa yang ahli dalam kajian-kajian masyarakat dunia, dan juga menempatkan Ibn Khaldun, al Biruni, Koentjaraningrat, Kartini, Jose Rizal sebagai orang Timur yang juga memiliki kajian-kajian dalam dunia internasional.
Contoh lain, kita menempatkan Christopher Columbus, sebagai penemu benua Amerika. Sebenarnya dia semula tidak tahu bahwa yang ditemukannya merupakan benua lain. Dianggapnya tanah yang dipijaknya adalah India. Itulah sebabnya dia menamai orang penduduk asli Amerika, sebagai Orang Indian. Menyadari kesalahan konsepsinya itu, maka dia menamakan Amerika dengan West India, sedangkan India ke timur disebut sebagai East India. Konsep India berasal dari Bahasa Arab Al Hind, yang kemudian dijadikan sebagai nama negara di sana. Jika berbicara tentang penemu-penemu pulau atau benua baru, kita lebih senang menggunakan Orang Barat ketimbang Orang Timur, misalnya Ibn Batuthah.
Ada nama lain, misalnya Kartini. Bukankah beliau adalah tokoh perempuan hebat yang menggelorakan semangat Asia atau Asia Tenggara. Peletak dasar konsepsi emansipasi ini merupakan tokoh perempuan yang seharusnya bisa menjadi rujukan semangat untuk mengkaji dan menggelorakan kajian Asia Tenggara menjadi rujukan dunia akademis internasional.
Dengan demikian, seharusnya kita menempatkan Asia Tenggara itu sejajar dengan Barat dalam level apapun. Dalam dunia akademis sudah seharusnya kita membawa semangat dan pengakuan bahwa ada sejumlah ahli di dunia Timur yang bisa menjadi rujukan. Oleh karena itu sudah seharusnya kita merasa bahwa inferioritas Timur dan superiositas Barat itu hanya ada dalam konsep dan tidak sungguh-sungguh ada dalam realitas empiris.
Wallahu a’lam bi al shawab.