Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENCERMATI PARADIGMA ILMU DAKWAH

MENCERMATI PARADIGMA ILMU DAKWAH

Saya   telah menyampaikan pada banyak kesempatan bahwa setiap bidang atau discipline di dalam ilmu pengetahuan selalu terdapat paradigma, perspektif atau madzab. Semua berkisar pada pandangan mendasar dari para ahli mengenai sasaran kajian ilmu pengetahuan. Meskipun ada sedikit perbedaan, tetapi hakikatnya terkait dengan penggolongan atau pengkategorian sasaran ilmu pengetahuan.

Ilmu sosial, seperti: sosiologi, psikhologi, antropologi, politik, komunikasi, hukum, dan sebagainya tentu juga memiliki paradigmanya masing-masing. Terlepas bagaimana para ahli menyatakannya, akan tetapi pengkaterorian itu selalu dipastikan keberadaannya. Demikian pula ilmu agama. Ilmu fiqih, theologi, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu tarbiyah, ilmu dakwah dan sebagainya semuanya juga dipastikan memiliki madzab atau paradigmanya sendiri-sendiri.

Ilmu dakwah, sebagai bagian dari ilmu agama tentu juga memiliki paradigma, di mana para ahli menemukan dan mengkaji sasaran kajian atau subject matter of science. Dalam pandangan saya, ada sekurang-kurangnya lima paradigma keilmuan dakwah, yaitu: paradigma factor, paradigma system, paradigma developmentalisme, paradigma interpretif dan paradigma partisipatoris. Semua ini merupakan pengkategorian terhadap apa yang menjadi sasaran kajian dan kecenderungan penelitian yang dilakukan oleh para ahlinya.

Pertama, Paradigma factor adalah paradigma ilmu dakwah yang sangat dipengaruhi oleh ilmu komunikasi, bahkan ada yang menyatakan bahwa secara structural ilmu dakwah adalah bagian dari ilmu komunikasi. Hanya secara substansial yang membedakannya adalah pada message yang digunakannya. Jika ilmu komunikasi bersifat umum, sedangkan ilmu dakwah bersifat khusus. Makanya, definisi ilmu dakwah adalah “proses penyampaian pesan dari da’i, melalui media dan metode tertentu untuk memperoleh perubahan perilaku mad’u”. Bandingkan definisi ini dengan definisi ilmu komunikasi, “who says what to whom in what channel and with what effect”.

Secara proposisional dapat dinyatakan bahwa “da’i melalui pesan yang disampaikannya dengan metode dan media tertentu memiliki relasi terhadap perubahan perilaku keberagamaan pada mad’u”. Konsep relasi bisa terkait dengan pengaruh, dampak positif, korelasi dan bahkan perbandingan. Jadi kajian ilmu dakwah bisa bercorak pengaruh, hasil, korelasi atau perbandingan.

Jika dicermati, maka factor dakwah adalah Da’i (komunikator atau subjek dakwah), pesan (message keagamaan), metode, media, dan effek dakwah. Pesan keagamaan berbeda dengan pesan agama, yaitu terkait dengan relasi antara agama dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan bahkan kebangsaan. Sedangkan pesan agama merupakan pesan yang bercorak khusus agama sebagai ajaran ketuhanan (theology), peribadahan (ritual) dan performance agama tersebut.

Di dalam praktik penyelenggaraan penelitiannya, maka masing-masing factor dapat memiliki relasi dengan keberagamaan sasaran dakwah (mad’u) dan masing-masing factor dapat dijadikan variabel-variabel yang sangat banyak sesuai dengan fakta empirisnya. Disebut sebagai fakta lapangan sebab yang dijadikan sebagai subject matter ilmu dakwah ialah fakta dakwah. Fakta dakwah adalah “something external and coercive to the object of da’wah”. Yang disebut sebagai something external and coercive to adalah faktor-faktor dakwah dimaksud.

Yang tergolong factor eksternal dan berpengaruh adalah da’i, pesan, media dan metode dakwah terhadap perilaku keberagamaan obyek dakwah. Disebut perilaku sebab bersifat mekanis dan ajeg atau sesuatu yang terjadi atau dilakukan berulang-ulang. Sedangkan yang termasuk kajian korelasional, misalnya adalah korelasi antara pemahaman obyek dakwah dengan perilaku keberagamaannya. Bisa dinyatakan “pemahaman beragama belum tentu berhubungan dengan perilaku keberagamaannya” atau sebaliknya.

Kedua, paradigma system dakwah. System dakwah adalah keterkaitan antar subsistem dakwah yang membentuk jaringan integral dan sistemik, sehingga antara satu subsistem dengan yang lain tidak bisa dipisahkan. Coba dicermati definisi ini. Yang membedakan antara paradigma factor dengan system terletak pada kaitan integral dan sistemik atau tidak. Bisa memisahkan antara satu factor dengan lainnya atau tidak. Jika bisa memisahkan satu factor dalam variabel-variabel, maka dipastikan studi tersebut masuk dalam ranah paradigma factor dakwah. Namun jika tidak bisa memisahkannya maka disebut sebagai paradigm system dakwah.

Antar subsistem atau antar factor dakwah tersebut menyatu dalam proses, maka hal inilah yang termasuk dalam kajian dalam paradigm system dakwah. Yang menjadi ciri khas lainnya ialah bersifat problem solving, yaitu upaya untuk memecahkan problem keagamaan pada masyarakat atau juga individu. Problem tersebut bisa relasi antara agama, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Dengan demikian, ciri dari paradigm system dakwah ialah kekuatan proses dan upaya problem solving.

Sebagai contoh studi-studi behavioralistik (perubahan perilaku) yang disebabkan oleh factor eksternal yang berbasis proses terpaan integralisik subsistem dapat dikategorikan sebagai studi dalam paradigm system dakwah. Lebih kongkrit, misalnya studi proses perubahan perilaku kaum Abangan Pesisiran menjadi NU karena keberadaan medan budaya yang sama merupakan studi kasus yang menarik. Disebut kasus karena di dalamnya ada problem solvingnya. Kasus tersebut bisa dikaitkan dengan substansi atau lokusnya.

Ketiga, Paradigma developmentalisme merupakan paradigma yang sasaran kajiannya adalah pengembangan model dari suatu kegiatan dakwah. Pengembangan model tersebut bisa berasal dari sesuatu yang belum ada atau mengembangkan model yang sudah ada untuk diperkuat atau dikembangkan lebih lanjut. Dengan demikian, developmentalisme dakwah adalah upaya untuk menghasilkan inovasi yang memiliki manfaat bagi kehidupan masyarakat.

Menurut saya ada dua ciri khas di dalam paradigm developmentalisme ini, yaitu: model dan hasil atau produk. Jadi harus terkait dengan penemuan atau pengembangan model dan kemudian memiliki sejumlah pengaruh bagi perbaikan atau pengembangan masyarakat atau komunitas. Posisi peneliti adalah sebagai pengamat dan pelaku terhadap model yang sudah ada dan diperlukan pengembangannya. Dan harus menjadi pelaku jika yang bersangkutan ingin merumuskan model yang dianggap tepat dalam dimensi sosio kultural komunitas atau masyarakat sasarannya.

Penelitian tentang Manajemen Masjid Jogokaryan Yogyakarta yang menjadi model bagi pengembangan manajemen kemasjidan pada wilayah lainnya yang memiliki corak yang sama adalah contoh tentang penelitian developmentalistik. Demikian pula tentang Model Desa Zakat di Malang juga merupakan contoh temuan model atau inovasi yang begitu bermanfaat bagi masyarakat.

Keempat, paradigm interpretative adalah pemikiran mendasar dari para ahli bahwa yang menjadi sasaran dakwah adalah realitas dakwah yang memiliki makna. Disebut realitas sebab yang dikaji adalah sesuatu dibalik tindakan. Makna diperoleh melalui memahami sesuatu dibalik tindakan individu. Jadi yang digali adalah ide, gagasan dan tindakan individu dalam kaitannya dengan pesan-pesan dakwah yang diterimanya atau yang dialaminya. Termasuk juga pesan dakwah yang disampaikan oleh da’i kepada umat Islam.

Realitas adalah hasil konstruksi manusia. Realitas lebih merupakan peristiwa mendalam atau pemaknaan individu tetapi bukan realitas psikhologis. Jika realitas atau fakta psikhlogis lebih merupakan fenomena kejiwaan, akan tetapi dalam realitas dakwah ini yang dikaji adalah pemikiran, ide atau gagasan yang menjadi basis bagi tindakannya. Jadi bukan perasaan senang, sedih, menderita, bahagia dan sebagainya sebagai akibat terpaan dakwah, akan tetapi merupakan peristiwa yang melingkupi pemikiran dibalik tindakan dakwah dan keberagamaannya.

Di dalam praktik penelitian, maka studi tentang makna dakwah dapat dilakukan dari subyek dakwah atau obyek dakwah. Dakwah dan tarekat, misalnya bisa dikaji dari dimensi pemaknaannya. Apakah dakwah yang dilakukan di kalangan penganut tarekat tersebut memiliki keunikan dan makna yang khusus berbeda dengan pemaknaan umat atau individu lainnya yang nontarekat. Studi-studi interpretatif lebih menekankan pada dimensi keunikan dan kekhususan atau ada pola khusus yang berlaku mendalam. Berbeda dengan studi-studi fakta sosial atau dakwah yang lebih terfokus pada pola umum berlaku mendasar.

Sebagai contoh lain, dakwah di kalangan komunitas pedalaman. Di dalam konteks ini adakah keunikan dan kekhususan dakwah tersebut, lalu adakah makna yang khas pedalaman. Kajian ini dapat menggunakan studi interpretative atau studi pemaknaan. Harap diingat ada beberapa konsep penting di dalam studi interpretative yaitu from the native’s points of view atau pandangan actor atau agen dan negotiated meaning atau peneliti memahami atas pemahaman actor atau agen. Berdasarkan cara yang digunakan oleh beberapa ahli antropologi, maka harus memisahkan antara data dengan analisis, sebab data adalah pemahaman actor atau agen dan analisis adalah pemahaman peneliti atas data yang diperolehnya. Analisis dikaitkan dengan perspektif teori apa yang digunakan.

Kelima, paradigma partisipatory adalah pemikiran mendasar dari para ahli tentang apa yang menjadi sasaran dakwah, yaitu perilaku partisipatif warga dalam kegiatan dakwah. Bedanya dengan developmentalisme adalah pada focus keterlibatan sasaran dakwah di dalam proyek-proyek pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian yang dikaji adalah program pemberdayaan masyarakat yang berbasis pada program dakwah yang dirancang, dirumuskan, ditetapkan secara bersama-sama oleh subyek dakwah dan obyek dakwah untuk penguatan atau pemberdayaan di dalam berbagai aspek kehidupannya.

Beberapa contoh studi misalnya dakwah dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisiran. Studi ini menggunakan model penelitian partisipatoris, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh kawan-kawan di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non Govermental Organization (NGO). Dahulu, saya pernah terlibat di dalam pemberdayaan masyarakat Pantai Popoh dan Muncar untuk pengembangan Masyarakat Kawasan Pesisir Berbasis Komunitas. Pola yang dilakukan adalah dengan melibatkan masyarakat di dalam proses perencanaan pemberdayaan, penyusunan alternative pemberdayaan, pemilihan pemberdayaan, pelaksanaan pemberdayaan dan evaluasi untuk menilai tingkat keberhasilan dan tindak lanjut.

Setiap disiplin ilmu pengetahuan dipastikan berkembang sesuai dengan prinsip pendekatan antar bidang atau lintas bidang dan bahkan multibidang. Dan para ahli ilmu itulah yang memiliki tugas dan tanggungjawab untuk mengembangkannya. Jadi ilmu dakwah juga bisa berkembang, jika semua ahli ilmu dakwah terlibat di dalam proyek pengembangan ilmu dakwah. Saya kira dosen-dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi memiliki tugas dan kewajiban ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..