SINERGI MEMBANGUN EKONOMI SYARIAH (1)
Pagi ini, 07 Nopember 2019, saya mewakili Prof. Dr. Mohammad NUH, Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk menghadiri acara yang digelar oleh Bank Indonesia (BI) dalam kerangka Festival Ekonomi Syariah (FESyar) tahun 2019. Forum ini merupakan rangkaian akhir dari FESyar yang digelar di seluruh Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Surabaya menjadi tempat akhir dalam acara FESyar.
Acara ini dihadiri oleh Wakil Direktur Bank Indonesia, Doddy Budi Waluyo, Wakil Gubernur Jawa Timur, Dr. Emil Elistianto Dardak, Wakil Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah, dan seluruh Bupati atau Wakil Bupati dan Walikota atau Wakil Wali Kota se Jawa Timur, para rektor dan ketua Departemen Program Studi Ekonomi Syariah dan para mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah.
Pada saat memberikan sambutannya, Direktur BI Institute, Salihin M. Juhro menyatakan bahwa perkembangan terakhir literasi keuangan syariah secara nasional baru mencapai angka 8,7 persen, dari berbagai segmen keuangan syariah: Produk Halal, Wisata Halal, Perbankan Syariah dan produk-produk syariah lainnya. Padahal sebenarnya Keuangan syariah dapat mendorong terhadap pertumbuhan ekonomi Nasional. Di dalam konteks ini, maka program Bank Indonesia adalah untuk membangun literasi syariah, peningkatan keuangan syariah, penguatan Program Pendidikan Tinggi dan Program ekosistem pengajaran, seperti penerbitan jurnal dan informasi lainnya. Di BI sudah terdapat jurnal terindeks Scopus, yang dapat diakses secara online dan gratis. Jurnal tersebut salah satunya adalah Journal of Islamic Monetary Economics and Finance, dengan alamat http://jimf-bi.org.
Dr. Emil Elestianto Dardak sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur juga memberikan presentasinya yang sangat menarik. Diungkapkannya bahwa sekarang ini kita sedang berada di Era Digital Revolusi Industri 4.0 dan salah satu anaknya adalah Automatisasi. Kita harus memasuki era ini dengan segala konsekuensinya baik yang negative maupun yang positif. Jadi, automatisasi bisa menyebabkan pengaruh negative terhadap tenaga kerja, termasuk pekerja white collar, namun juga berdampak positif dalam kerangka menyediakan ruang untuk berusaha melalui aplikasi dan sebagainya.
Automatisasi dapat mendisplace tenaga kerja karena jenis pekerjaannya diambil oleh artificial intelligent, namun juga dapat menumbuhkan perdagangan online dan tumbuhnya unit usaha baru. Jadi meskipun dikeluhkan, akan tetapi akan terjadi abundance yang berakhir dengan happy ending.
Ekonomi syariah tentu memiliki tantangannya sendiri dan ekonomi syariah tentu tidak boleh masuk dalam system ekonomi kapitalis, di mana salah satu sifatnya adalah the winner takes all. Kelebihan ekonomi syariah adalah resiko usaha dipikul bersama-sama. Tidak hanya pengusaha atau perbankan yang mengambil keuntungan sendiri dan juga kerugian sendiri, akan tetapi dua belah memiliki tanggungjawab yang sama. Jadi masyarakat juga terlibat to take risk.
Kemudian juga tantangan persaingan usaha. Jika system kapitalis berprinsip the winner takes all, baik yang terkait dengan keuangan maupun penguasaan sumberdaya. Misalnya Semen China semula menjual murah produknya, sehingga banyak semen produk local yang mati, dan ketika yang local gulung tikar, maka Semen produk Cina lalu dinaikkan. Maka, ekonomi syariah harus mengambil posisi untuk kebersamaan, tidak boleh mematikan satu dengan lainnya. Semua harus dijadikan partner untuk berkembang bersama.
Di dalam Global Islamic Economy (GIE) dijelaskan bahwa negara-negara non muslim justru menjadi pengekspor besar pada produk-produk halal, misalnya Australia menjadi pengekspor daging halal ke seluruh dunia, bahkan Vietnam dan Thailand menjadi pemain besar dalam perdagangan syariah melalui halal food di Jepang. Jadi bukan Indonesia yang menguasai pasarnya, tetapi negara-negara non muslim lainnya. Indonesia belum bisa menjadi pemain karena variabel harga yang masih tinggi, kemasan yang kurang baik dan sebagainya. Sebenarnya Indonesia sudah masuk 10 besar negara yang memproduksi produk halal, dalam bidang Halal Food, Islamic Finance, Mode fashion, halal pharmaceutical and cosmetics.
Jika ekonomi syariah dapat berkembang lebih baik, maka ke depan diharapkan bahwa pembangunan tidak hanya menggantungkan pada anggaran pemerintah saja, akan tetapi juga dana partisipasi masyarakat sehingga akan berimpact pada communal growth.
Selanjutnya, Pak Doddy Budi Waluyo (Deputy Gubernur BI) menyatakan bahwa negara-negara non muslim sudah menjadi pemain besar di dalam produk halal, seperti Australia (daging) dan China (fashion), maka Indonesia juga harus menjadi pemain juga. Jadi harus dipikirkan apakah kita akan menjadi pemain di dalam negeri dan luar negeri ataukah hanya akan cukup menjadi pasar para pemain besar dunia.
BI telah membangun tiga pilar untuk pengembangan ekonomi syariah, yaitu: mendorong perbankan syariah dan juga keuangan syariah. Lalu, membangkitkan keuangan syariah di tingkat masyarakat, misalnya melalui UMKM, pesantren dan lain-lain. Sekarang sudah terdapat kerja sama dengan sebanyak 285 pesantren dari sebanyak 40.000an pesantren. Masih perlu kerja keras untuk mengajak pesantren bekerja sama. Kemudian, meningkatkan edukasi keuangan syariah, literasi keuangan syariah dan lain-lain. Prosentase literasi syariah harus meningkat dari tahun ke tahun.
Oleh karena itu saya ikut menggaris bawahi yang dinyatakan oleh Wakil Gubernur Jawa Timur, agar digital finance perbankan konvensional dan digital keuangan syariah harus didorong untuk maju bersama dalam rangka terlibat di dalam pembangunan nasional yang harus dilakukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.