• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PEMILIHAN PIMPINAN PTKIN: PERSPEKTIF PILIHAN RASIONAL (2)

PEMILIHAN PIMPINAN PTKIN: PERSPEKTIF PILIHAN RASIONAL (2)

Focus Group Discussion (FGD), yang diselenggarakan oleh Direktur Diktis Ditjen Pendidikan Islam Kemenag, Prof. Arskal Salim, sesungguhnya untuk membahas hasil Evaluasi PMA No. 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua Perguruan Tinggi Keagamaan Milik Pemerintah.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pendidikan Agama dan Keagamaan ini dihasilkan kesimpulan sebagai berikut: “secara umum PMA 68/2015 menunjukkan aspek positif dalam meredam potensi konflik internal PTKN dan menumbuhkan iklim akademik yang kondusif. Namun demikian, beberapa aspek pada tahapan pelaksanaan pemilihan Rektor/Ketua diperjelas dan dipertegas, terutama pada operasionalisasi fungsi senat PTKN dan Komsel agar lebih transparan dan independen”.

Adapun Rekomendasi yang dihasilkan adalah: 1) senat perlu membuat rekapitulasi penilaian kualitatif calon rector/Ketua sebelum dikirim ke Menteri Agama, 2) Dirjen Pendis dan Bimas perlu melibatkan civitas akademika pada saat fit and propertest oleh Komsel, 3) Komsel perlu mengumumkan tiga besar hasil fit and proper test calon Rektor/Ketua kepada public, dan 4) Pasal 8 PMA 68/2015 perlu ditambahkan kalimat yang eksplisit yang menyatakan bahwa: “Menteri Agama menetapkan dan mengangkat satu dari tiga nama calon Rektor/Ketua yang diajukan oleh Komsel”.

Saya sampaikan di dalam forum bahwa kita hanya bisa mengambil dua saja dari pandangan Prof. Kamaruddin Amin terkait dengan empat alternative yang bisa dirujuk, terutama mempertimbangkan hasil penelitian Pusat Pendidikan Agama dan Keagamaan. Yaitu, kita tidak menginginkan pola yang digunakan oleh Kemenristek/Kemendikbud dengan suara Menteri sebesar 35 persen pada pemilihan tahap akhir dan juga tidak bisa kembali menggunakan pola pemilihan rector/Ketua sebelum munculnya PMA 68/2015, sehingga pilihannya adalah merevisi terhadap PMA 68/2015 dengan lebih mengedepankan transparansi dan pemberian kewenangan yang lebih jelas kepada Senat PTKN. Polanya adalah memberikan masing-masing-masing pembobotan 50 persen untuk suara Senat PTKN dan 50 persen untuk pembobotan pada komsel. Jika selama ini, suara senat hanya dijadikan sebagai pertimbangan saja oleh komsel, maka selanjutnya bisa diberi proporsi yang sama. Dengan cara ini, maka suara senat memperoleh momentumnya untuk menjadi penentu. Sepengetahuan saya, selama ini antara suara senat dengan komsel juga berkorelasi, misalnya siapa yang dianggap tiga terbaik oleh senat juga nyaris menjadi yang terbaik pada waktu fit and proper test oleh komsel.

Pilihan melakukan revisi tentu didasari oleh pertimbangan rational choice atau pilihan rasional. Kita tahu secara mendalam tentang dampak negative dari pilihan langsung. Ada banyak konflik yang tersaji baik yang laten ataupun manifest. Sebagaimana pilkada atau pilpres, maka dipastikan akan terdapat kelompok pro carek/caket yang sangat fanatic, sehingga juga melakukan tindakan politik yang sangat mengedepan, sebaliknya juga ada kelompok kontra yang juga melakukan tindakan politik menolak dengan sangat kuat.

Akibatnya, terjadi pembelahan di dalam kampus sebagai akibat pilrek/pilket secara langsung ini. Dan yang lebih menyedihkan adalah polarisasi kelompok juga berimbas pada nuansa akademik di PTKN. Oleh karena itu, memilih untuk merevisi OMA 68/2015 adalah pilihan rasional di tengah dunia akademik yang perlu dijunjung tinggi di tengah kompetisi PTN/PTKN dan PT dari luar negeri. Energy pilrek/pilket langsung bisa diarahkan untuk dukungan terhadap pengembangan PTKN ke depan.

Di dalam kerangka ini, maka yang dibenahi adalah: 1) agar transparan dalam menentukan pembobotan atas nilai pada masing-masing (50 persen: 50 persen), maka diperlukan satu komisi pengawas (komwas) yang tugasnya adalah untuk mengawasi prosesi dan penentuan proporsi pada masing-masing penilaian. 2) Komwas bisa ditetapkan oleh Menteri dengan tugas yang jelas adalah untuk mengawasi prosesi pemberian skor dan proporsi yang transparan. 3) Komwas bisa ada dua tahap, yaitu: tahap pertama untuk mengawasi proses skoring pada masing-masing carek/caket dari senat PTKN dan tahap kedua untuk mengawasi proses pemberian proporsi antara senat dan komsel serta menetapkan tiga terbaik carek/caket PTKN. 4) Tugas komsel bukan menentukan siapa yang akan menjadi terpilih satu dua atau tiga, akan tetapi cukup melakukan fit and proper test dan memberikan penilaian pada masing-masing carek/caket dan hasilnya diserahkan kepada Direktur Jenderal untuk selanjutnya diproses dalam Komwas. 5) Anggota Komwas bisa diambil dari lintas PTKN, dari Inspektorat Jenderal dan Direktorat Jenderal yang relevan. 6) hasil perhitungan komwas tentang tiga terbaik kemudian diumumkan ke public sebelum salah satunya ditetapkan oleh Menteri untuk menjadi rector/ketua PTKN.

Pilihan melakukan revisi PMA 68/2015 merupakan pilihan yang sangat rasional dengan mempertimbangkan terhadap dampak kepemimpinan pada suatu PTKN dengan meniadakan oposisi negative atau orang yang terus tidak mendukung selama kepemimpinan rector/ketua, dan yang diperlukan adalah mitra yang mendukung tetapi juga bisa memberikan masukan kritis-konstruktif yang akan membawa dampak positif bagi pengembangan pendidikan tinggi keagamaan.

Pilihan rasional memiliki proposisi yang menyatakan bahwa dalam memilih suatu perilaku maka yang dipertimbangkan pertama adalah apakah keuntungan yang diperoleh dari pilihan tersebut. dan di dalam konteks pilrek/pilket, maka yang menjadi keuntungannya adalah pengembangan PTKN yang memerlukan dukungan kuat dari civitas akademikanya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PEMILIHAN PIMPINAN PTKN: PERSPEKTIF PILIHAN RASIONAL (1)

PEMILIHAN PIMPINAN PTKN: PERSPEKTIF PILIHAN RASIONAL (1)

Beberapa hari yang lalu saya diundang oleh Direktur pada Direktorat Pendidikan Tinggi Islam pada Ditjen Pendidikan Islam untuk membahas tentang pemilihan pimpinan (Rektor/Ketua) pada PTKIN. Yang turut serta diundang adalah Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Atho Mudzhar, Prof. Thib Raya, Prof. Nurkholish Setiawan, (Sekjen Kemenag), Prof. Thomas Fentury (Plt. Irjen Kemenag), Prof. Kamaruddin Amin (Dirjen Pendis) dan Prof. Amsal Bachtiar (Kapus Penda pada Balitbangdiklat Kemenag) dan para peneliti yang melakukan Evaluasi PMA 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua Perguruan Tinggi Keagamaan Milik Pemerintah.

Acara yang dipimpin langsung oleh Prof. Arskal Salim, Direktur Pendidikan Tinggi Islam, ini dihadiri juga oleh segenap jajaran pejabat yang selama ini memiliki tupoksi untuk mengelola dan mengurus tentang pendidikan tinggi Islam. Acara ini diselenggarakan di Hotel Millenium, 19 Nopember 2019. Diselenggarakan selama sehari penuh dan dilaksanakan dengan menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD).

Ada dua issue besar yang diusung di dalam forum ini, yaitu: 1) apakah kita akan kembali ke pola lama pemilihan rector dengan menjadikan Senat memiliki otoritas penuh untuk menentukan siapa yang layak menjadi rector dengan cara musyawarah atau voting (prinsip demokrasi one man one vote) atau 2) menggunakan PMA 68 Tahun 2015, yang dalam beberapa tahun terakhir dijadikan sebagai pola baru dalam pemilihan pimpinan PTKIN.

Oleh karena itu, Prof. Kamaruddin Amin memberikan pilihan atas empat hal, yaitu: 1) Menyempurnakan atau merevisi PMA 68 Tahun 2015 dengan mempertimbangkan hasil Penelitian Evaluasi yang dilakukan oleh Pusat Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbangdiklat, atau 2) Mempertimbangkan penerapan aturan sebagaimana dilakukan oleh Kemenristek atau Kemendikbud dalam tata cara pemilihan Pimpinan Perguruan Tinggi di bawah Kemenristek atau Kemendikbud, dengan catatan Menteri mendapatkan porsi 35 persen suara dalam pemilihan tahap akhir, atau 3) Dalam pemilihan pimpinan PTKIN akan menggunakan pola lama yang sebelum lahirnya PMA 68 Tahun 2015 pernah dilakukan oleh seluruh PTKIN di bawah Kemenag, dan 4) menyiapkan pola 50 persen mempertimbangkan suara Senat dan 50 persen mendengarkan suara Komisi Seleksi Rektor PTKIN yang dbentuk oleh Menteri Agama.

FGD ini dilakukan dalam kerangka pro-kontra atas PMA No 68 tahun 2015, yang dinilai oleh sebagian warga kampus sebagai cara Kemenag melakukan dominasinya terhadap pemilihan pimpinan PTKIN. Begitu kuatnya suara tersebut sehingga Komisi VIII DPR RI juga memberikan masukan agar PMA tersebut dicabut karena dianggap memberangus terhadap demokratisasi di kampus. Di dalam pilihan pimpinan PTKIN bukanlah senat yang menentukan siapa yang akan terpilih sebagai rector/ketua, tetapi oleh Komisi Seleksi (komsel) yang diberi kewenangan untuk melakukan fit and proper test terhadap calon rector/ketua PTKIN. Padahal, baik pemilihan rector/ketua PTKIN pra PMA No 68 tahun 2015 dan pasca PMA No 68 Tahun 2015 adalah “kewenangan Menteri” dengan M besar, yaitu Menteri Agama RI. Bahkan di masa lalu, sampai tahun 2012, yang menentukan rector adalah Presiden Republik Indonesia melalui usulan Menteri Agama.

Secara historis, memang pemilihan pimpinan PTKIN itu menarik untuk dicermati, sebab nuansa demokratis-politisnya luar biasa. Pernah, misalnya pilihan rector dan dekan diselenggarakan dengan melibatkan dosen, karyawan dan mahasiswa, sehingga hingar bingar perpolitikan kampus menjadi sangat kentara. Harap dipahami bahwa setiap pilihan yang di dalamnya akan menentukan siapa berwenang apa dan mengerjakan apa, pasti di dalamnya terdapat bekerjanya mesin politik yang dibuat oleh calon yang diusung. Pernah juga dengan pola pilihan oleh senat perguruan tinggi.

Era reformasi, memang bisa mengubah banyak hal termasuk juga pilihan pimpinan PTKIN. Kampus lalu juga menjadi tempat “bermain” politik yang mengasyikkan, bisa membawa manfaat dan bisa juga sebaliknya. Nuansa politik tersebut bisa dilihat dari seluruh pilihan pimpinan PTKIN menggunakan system demokrasi langsung one man one vote. Lalu, Menteri Agama yang terakhir harus menentukan siapa yang berhak menjadi pimpinan PTKIN. Jadi Menteri memiliki suara 100 persen. Dan hasil pemungutan suara atau pilihan senat dapat menjadi bahan pertimbangan.

Namun efeknya tentu sangat mendasar, sebab siapapun yang terpilih akan berpotensi untuk menimbulkan “gesekan” meskipun sejauh ini masih bisa digaransi berada di dalam koridor yang tidak menimbulkan konflik fisik. Pilihan pimpinan PTKIN merupakan pilihan langsung, maka juga dilakukan aktivitas untuk mendukung calonnya, dan juga pengerahan massa sebagaimana layaknya pilkada langsung. Jadi, sungguh merupakan bentuk demokrasi “mini” di kampus.

Berdasarkan atas fenomena lapangan pilihan pimpinan PTKIN yang lebih kental aroma atau nuansa politiknya ketimbang nuasa akademisnya, maka Menteri Agama melalui beberapa diskusi internal yang diselenggarakan mencoba untuk mencari jalan keluarnya. Dan lahirnya PMA 68 Tahun 2015 dianggap sebagai inovasi baru di dalam mengeliminir politisasi kampus yang sudah berurat berakar secara mendalam. Hiruk pikuk kampus dengan segala aktivitas politiknya tentu mengganggu terhadap kinerja akademis yang bernuansa kolaboratif. Bisa dibayangkan bahwa dengan politisasi kampus tersebut, maka muncul konsepsi “the winner take all”. Sebab sebagai pimpinan yang bersangkutan harus mempertimbangkan para pendukungnya dan simpatisannya. Oleh karena itu, kampus lalu menjadi arena untuk saling berkontestasi politik dan bukan kontestasi akademik.

Wujud dari terbitnya PMA No. 68 Tahun 2015 adalah hadirnya pemimpin PTKIN yang lebih bisa diterima oleh semua kalangan karena mendepankan semangat kebersamaan, Di dalam suatu acara Komisi Seleksi pimpinan PTKIN, bahkan seluruh pejabat pada suatu PTKIN mendaftar untuk menjadi Rektor/Ketua. Dan ini memberikan indikasi bahwa tidak ada lagi nuansa perpolitikan di kampus akhir-akhir ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PENGEMBANGAN TEORI DAKWAH: PERSPEKTIF PSIKHOLOGI

PENGEMBANGAN TEORI DAKWAH: PERSPEKTIF PSIKHOLOGI

Prof. Dr. Nur Syam, MSI

 

Pengantar

Saya mesti harus meminta izin dulu kepada ahli-ahli psikhologi atau para dosen psikhologi karena menulis tentang perspektif psikhologis dalam pengembangan teori ilmu dakwah. Posisi ini harus saya ambil sebab pengetahuan saya tentang ilmu psikhologi tentu sangat dangkal, jika pun pernah belajar tentu sebatas dalam mata kuliah –pengantar psikhologi, psikhologi sosial dan psikhologi agama—tetapi seingat saya pernah pada tahun 1980 akhir saya diberi amanah oleh Prof. Dr. Bisri Afandi, MA untuk menjadi asistennya pada mata kuliah Psikhologi agama.

Oleh karena itu, buku seperti Tulisan Prof. Dr. Zakiyah Darajad, Karya William James tentang “The Varieties of Religious Experience”, Karya Prof. Usman Najati, dan Nico Syukur Dister, tentu telah saya baca, sekurang-kurangnya.

Namun demikian tetap saja, saya bukanlah ahli dalam bidang psikhologi yang memiliki kapasitas utuh, sehingga tulisan inipun hanya mencoba untuk mengintegrasikan antara psikhologi sebagai perspektif teori atau pendekatan dan dakwah sebagai fakta atau realitas sosial atau individual, yang tentu bisa disandingkan. Dengan posisi kurang lebih.

 

Psikhologi

Psikhologi disebut sebagai ilmu jiwa atau lebih jelas ilmu jiwa manusia. Psikhologi adalah suatu disiplin yang mengalami proses empirisasi yang sangat ketat. Semula yang menjadi kajian psikhologi itu adalah jiwa yang harus dirumuskan bagaimana dan apa indicator-indikatornya. Jiwa harus dituangkan dalam konsep yang empiris dan terukur, sehingga memenuhi standart ilmu pengetahuan terutama dalam paradigma positivistic yang kala itu sangat dominan. Makanya, dalam perkembangan berikutnya psikhologi menjadi ilmu yang sangat empiric dalam mengkaji perilaku manusia. Jadi emosi, sikap dan perilaku manusia adalah cermin untuk melihat jiwa manusia. Itulah sebabnya psikhologi di seluruh Indonesia menjadi sangat positivistic—meskipun tetap saja ada yang berkonsepsi lain—dan kemudian dapat dianalisis dengan pendekatan penelitian kuantitatif.

Dalam kajian di Fakultas Dakwah dan komunikasi, maka terdapat prodi Bimbingan dan Penyuluhan Masyarakat Islam, yang sudah berdiri sangat lama, dan tentu sudah banyak kajian yang mengkhususkan tentang hal ini, dan salah satu perspektif yang biasa digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan psikhologi. Oleh karena itu, psikhologi menjadi ilmu dasar di dalam studi-studi bimbingan dan penyuluhan dan bahwa saya sebut ilmu yang menjadi andalan dalam studi bimbingan dan konseling. Makanya, secara sengaja saya pilih juga perspektif psikhologi ini untuk menjadi pintu masuk bagi pengembangan Piskhologi Dakwah, yang memang menjadi keharusan untuk dikembangkan.

Di dalam tulisan ini, secara sengaja saya menggunakan paradigm di dalam prikhologi sosial, sebagai disiplin integrative yang menghubungkan antara psikhologi dengan fenomena sosial. Psikhologi sosial ialah cabang psikhologi yang merupakan studi interdisipliner, merupakan pemaduan antara psikhologi dan sosiologi. Mengkaji pikiran, perasaan dan perilaku individu dalam kaitannya dengan dunia sosial yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik maupun lainnya. Dikembangkan oleh Mc Dougall melalui The Introduction of Social Psychology pada paruh pertama abad ke 20.

 

Paradigma dalam Psikhologi

  1. Paradigma Nativisme

Di dalam literature disebutkan bahwa nativisme juga disebut sebagai pembawaan. Pandangan paradigma ini bahwa semenjak lahir manusia telah membawa potensi. Tokohnya adalah Arthur Schopenhauer (1788-1860). Disebut sebagai aliran pesimistis, sebab manusia akan berkembang selama memiliki bakat yang dianugerahkan kepadanya. Ada dua teori yang dikaitkan dengan nativisme: psikhoanalisis dan humanistik. Tokoh utama dalam paradigm psikhoanalisis adalah Sigmund Freud dan tokoh dalam paradigm humanistic adalah Abraham Maslow.

Teori Psikhoanalisis, terkait dengan teori struktur kepribadian: id (biologis), Ego (psikhologis) dan superego (sosiologis). Di dalam id yang dominan ialah seksualitas dan agresivitas. Prinsip kesenangan, yang naluriah. Di dalam ego terdapat sistem kepribadian, yang menyeimbangkan antara id dan superego. Di dalam ego terdapat kesadaran yang dibentuk oleh pengaruh luar atau lingkungan. Ego merupakan hasil tindakan yang saling mempengaruhi antara lingkungan dan perkembangan individu.

Bisakah teori ini digunakan untuk mengembangkan teori dakwah. Jawabannya tentu ya atau tidak. Tetapi saya menganggap bahwa teori ini saya kira bisa digunakan untuk melihat fenomena dakwah. Bukankah manusia memang memiliki id, ego, dan superego. Hanya saja jika Freud lebih menekankan pada sifat seksualitas dan agresivitasnya, maka konsepnya tentu bisa diubah dengan lebih soft. Misalnya bahwa manusia memiliki nafsu biologis yang penting untuk dipenuhi, sehingga konsepsinya lebih dibuka termasuk kebutuhan berketuhanan atau kebutuhan bersenang-senang atau rekreasi, maka dapat dibuatkan rekreasi yang bercoarak spiritual bukan hanya kebutuhan rekreatif fisikal. Wisata ziarah dan ritual adalah contoh mengenai bagaimana id manusia bisa dikondisikan. Demikian pula ego, yang bercorak psikhologis bahwa manusia juga memiliki kebutuhan pemenuhan psikhologisnya yang tidak hanya fisikal yang menghasilkan psikhologikal, akan tetapi juga dimensi spiritual. Sedangkan superego adalah kebutuhan yang terkait keinginan untuk bercorak kebutuhan sosial. Berkawan, bertemu kekasih, bertemu Tuhannya dan sebagainya.

Dengan demikian memang diperlukan pendekatan lain untuk menggunakan teori psikholanalisis dalam kerangka mengembangkan teori dakwah. Saya mengusulkan teori psikhologi analisis transcendental atau psikhologi analisis profetik. Jadi semata-mata menggunakan cara kerja teori tersebut untuk menggambarkan atau menjelaskan fakta atau realita kejiwaan manusia atau masyarakat.

Teori Humanistik. Aliran ini menolak psikholanalisis dan behavioristik. Psikhoanalisis terlalu menekankan pada naluri seksualitas dan sikap agresif, kaum behavioristik lebih menekankan pada fantor lingkungan dan melupakan faktor internal individu. Di antara tokoh aliran humanisme ialah Abraham Maslow (semula penganut behavioristik), menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh motivasi individu.

Teori kebutuhan dasar. Maslow mengidentifikasi ada lima kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan phisik, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial (kasih sayang), penghargaan (kepuasan) dan aktualisasi diri. Kebutuhan ini seperti gambar segitiga dari kebutuhan phisik ke self-actualization.

Teori ini secara pasti dapat digunakan untuk mengembangkan teori dakwah. Artinya bahwa proposisinya bisa dinyatakan bahwa semakin dekat aktivitas dakwah dengan kebutuhan manusia sebagaimana dinyatakan oleh Maslow, maka akan semakin besar peluang dakwah akan berhasil. Untuk kepentingan ini, maka dakwah harus dijadikan sebagai factor eksternal yang dapat berkorelasi dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Manusia memiliki kebutuhan untuk memperoleh rasa kasih sayang, maka dakwah harus menggunakan konsepsi kasih sayang sebagai inti dakwahnya. Manusia memerlukan pemenuhan kebutuhan kepuasan, maka dakwah yang berhasil adalah dakwah yang memberikan kepuasan pada aspek fisikal, sosial atupun religious.

Teori diri (Self Theory). Teori ini dikembangkan oleh Carl Rogers (ahli psikhoterapis yang terfokus pada kebahagiaan individu). Prinsip dasarnya adalah dari bermasalah menjadi bahagia. Di antara Konsep-konsep penting adalah self concept, Real self (pengalaman individu). Ideal self (keinginan ideal). Incongruence (ketidakselarasan) dan congruence (keselarasan).

Teori ini relevan digunakan untuk mengembangkan teori dakwah. Melalui konsep-konsep yang dikembangkan misalnya pengalaman individual, ketidakselarasan atau keselarasan tentu dapat digunakan untuk melihat atau mengamati peristiwa dakwah, apakah dakwah sudah menggunakan konsep-konsep ini di dalam praktik dakwah. Misalnya studi tentang perubahan dari sikap dan perilaku tidak selaras menjadi selaras karena sentuhan dakwah atau praktik penyelenggaraan dakwah. Melalui teori ini sepertinya memberikan sumbangan konseptual bahwa dakwah mestilah dilakukan dengan mempertimbangkan dimensi pengalaman manusia, keselarasan dan ketidakselarasan sikap, emosi dan tindakan manusia.

 

  1. Paradigma Empirisme.

Paradigma ini memiliki proposisi bahwa perilaku manusia sesungguhnya ditentukan oleh factor lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Berbeda dengan teori-teori dalam paradigma nativisme, yang menyatakan factor bakat sangat menentukan perilaku manusia, maka di dalam paradigma ini justru sebaliknya. Potensi manusia akan menjadi kenyataan karena dipicu oleh factor eksternal.

Tokohnya ialah John Locke (1632-1706). Disebut juga sebagai teori environmentalisme. Prinsip dasar di dalam teori ini adalah teori behavioristik di mana ada reward and punishment. Teori behavioristik dikembangkan oleh J.B. Watson, menggunakan metode eksperimen untuk melengkapi metode observasi dan lainnya.

Teori ini secara umum sudah sangat dikenal oleh pengamat, pengkaji dan peneliti dakwah, sebab memang sangat masyhur. Bahkan tidak hanya ahli psikhologi tetapi juga ahli-ahli sosiologi menggunakan teori ini sebagai bagian dari kajiannya. Di antara yang bisa dilakukan untuk menggunakan teori ini adalah dengan menjadikan dakwah sebagai factor eksternal (menjadikannya sebagai lingkungan yang memiliki kemampuan untuk menstimuli) terhadap perilaku atau tindakan individu atau komunitas. Dakwah bisa berupa lilisan, bil hal, bil mal, bil yad dan sebagainya. dakwah bil mal misalnya tentu akan sangat efektif untuk mengubah perilaku individu atau komunitas agar bersesuaian perilaku atau tindakannya dengan ajaran agama.

Derivasi dari teori ini ialah teori rangsang balas (stimuly-respons) dikaitkan dengan Ivan Pavlov, L. Thorndike. Watson adalah pendukung Pavlov dalam kajian ilmiah. Perkembangan lebih lanjut dari teori SR ialah Classical Conditioning theory. Ada conditioned stimulus dan conditioned response. Pavlov menggunakan anjing sebagai percobaan, sedangkan watson menggunakan manusia untuk bereksperimen mengenai SR. Bayi usia 9 bulan. Ada neutral stimulus (bermain tanpa ketakutan pada tikus), unconditioned stimulus (pemukulan benda) yang menimbulkan ketakutan. Akhirnya begitu ada tikus maka menjadi takut.

Teori pengkondisian operan oleh Edward Lee Thorndike. Menghasilkan teori trial and error, yaitu teori berasal dari percobaan puzzle yang diperuntukkan bagi kucing. Kala kucing melakukan upaya-upayanya itu disebut sebagai proses uji coba sampai menemukan cara yang benar. Manusia akan melakukan upaya baru untuk menghadapi situasi yang baru dan sulit. Ada trial error.

Teori interaction outcome. Dikembangkan oleh John Thibaut dan Harold Kelly, 1959. Proposisinya: interaksi sosial merupakan karakteristik dari relasi sosial daripada perilaku individu. Relasi sosial tentu ditandai dengan interaksi-interaksi sosial baik yang khusus maupun umum. Dan sebuah relasi sosial akan bisa bertahan lama jika di antara yang berinteraksi tersebut memiliki kesamaan dalam tujuan dan kegunaan.

Teori-teori sebagaimana telah dijelaskan tentu bisa digunakan untuk meneliti aktivitas dakwah yang dilakukan oleh individu atau organisasi. Tentu saja yang diambil adalah metode kerjanya, yaitu penerapan eksperimen terhadap sasaran dakwah. Tentu saja bukan seperti yang dilakukan para ahli psikhologi ini secara umum, akan tetapi lebih khusus mengarah pada perlakukan dakwah terhadap sasaran dakwah. Teori interaction outcome, misalnya dapat digunakan untuk mengembangkan teori interaksi sosial dalam dakwah yang berbasis pada ajaran agama. Jadi bukan hanya interaksi dengan menggunakan pesan-pesan umum, akan tetapi pesan yang bercorak keagamaan.

 

  1. Paradigma Konvergensi

Perspektif konvergensi merupakan penggabungan dari perspektif nativisme dan empirisme. Proposisinya adalah perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor bawaan dan juga lingkungan. Teori ini saya kira paling empiris, sebab telah menggabungkan dua paradigm sekaligus. Manusia memiliki bakat dan dengan perlakukan secara memadai dari factor lingkungan tentu akan semakin potensial untuk berkembang. Kelemahan teori lingkungan adalah tidak memperhatikan bakat orang, sedangkan paradigm empiris terlalu mendewakan factor lingkungan dengan mengabaikan bakat atau potensi yang dimiliki individu.

Teori kognitif (Teori Kresch and Crufchfield, POX Heider, Disonansi Kognitif, teori Belajar Sosial, Teori Belajar Sosial dan Tiruan, Teori Proses Peniruan, Teori Lapangan Kurt Lewin). Teori ini lahir tahun 1959 sebagai akibat kegagalan teori behavioristik, sehingga muncul teori-teori lain dalam bidang yang lain, pengaruh teknologi dan munculnya komputer dan sebagainya. Teori Kresch and Crufchfield, mendasarkan teorinya pada prinsip dinamika tingkah laku dengan proposisi: motivasi dapat dilihat dari perilaku secara keseluruhan, ketidakstabilan psikhologis seseorang dapat menyebabkan ketegangan, frustasi dalam mencapai tujuan dapat menghasilkan perilaku adaptif dan nonadaptif. Manusia   dapat belajar dari situasi sosialnya.

Di dalam dakwah dikenal bahwa seseorang memiliki potensi untuk berkembang. Tidak ada satupun manusia yang tidak memiliki bakat atau potensi yang diberikan oleh Allah sebagai bekal kehidupan. Manusia juga mengalami kegagalan dan kesuksesan. Maka Allah menganugerahkan kemampuan untuk belajar dari dunia sosial di sekelilingnya. Tentu saja ada yang berhasil secara optimal dan ada yang kurang berhasil. Ada saatnya bangkit dan ada saatnya harus berupaya secara lebih keras lagi untuk bangkit. Jika individu sering mengalami kegagalan, maka tentu akan membuatnya ragu atau putus asa dan sebagainya. Maka tugas dakwah adalah memberikan motivasi atau kepenasehatan atau pendampingan bagi pembelajaran sosial seperti ini.

Teori yang dihasilkan oleh Fritz Heider (1946) disebut sebagai teori keseimbangan antara P (perasaan atau sikap), O (pihak lain), dan X (obyek lain). Keseimbangan ideal terjadi saat ketiganya serasi dalam kesepakatan dan tujuan. Ketidakseimbangan terjadi jika ketiganya tidak serasi dalam kesepakatan dan tujuan. Dikembangkan oleh Leon Festinger (1957). Kesadaran terdiri dari elemen-elemen kognisi yang saling terhubung. Hubungan antar elemen: tidak relevan, disonan dan konsonan.

Teori ini dapat dijadikan sebagai pengungkit pengembangan teori dakwah. Teori keseimbangan dapat digambarkan bahwa terdapat seorang da’i sebagai pihak lain, dan ada individu dengan perasaan dan sikapnya yang berseberangan atau berbeda dengan da’i, maka keberhasilan da’i tersebut adalah pada saat dia mampu mengubah perasaan dan sikap yang kurang relevan menjadi relevan atau bersesuaian.

Sepengetahuan saya, bahwa studi psikhologi dakwah sudah lama dikembangkan, sebab tulisan tentang psikhologi dakwah sudah ada semenjak tahun 1980-an. Artinya sudah berkisar puluhan tahun. Hanya saja yang saya lihat –semoga saya tidak salah—bahwa karya dalam bidang ini masih berupa karya pengantar, sehingga baru membuka cakrawala adanya disiplin ini. Padahal seharusnya sudah dapat mengembangkan paradigma dan teori yang bisa dikategorikan sebagai paradigma dan teori psikhologi dakwah.

Jadi masih perlu kerja keras untuk menghasilkan teori-teori psikhologi dakwah profetik atau teori psikhologi dakwah transcendental, yang berbasis pada teori-teori psikhologi yang sudah hadir selama ini. Sungguh tugas para akademisi dakwah adalah mengembangkan ilmu dakwah yang integrative ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PENDIDIKAN ISRA (ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN)

PENDIDIKAN ISRA (ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN)

Terkadang saya salah persepsi, terutama terhadap siapa yang yang menjadi mitra saya dalam suatu forum. Hal ini terjadi di saat saya menjadi narasumber di salah satu acara yang digelar oleh Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum, tepatnya di Hotel Alana, 28/11/2019. Acara ini dihadiri oleh siswa SMP dan tentu didampingi oleh guru-guru agamanya. Bukan informasi dari panitia yang salah, akan tetapi saya yang salah menyangka tentang siapa peserta forum ini. Maka saya lalu harus secepatnya mengubah strategi pembelajaran andragogy yang biasa digunakan untuk orang dewasa menjadi pembelajaran berbasis pedagogy.

Saya diundang oleh Direktur Pendidikan Agama Islam pada Ditjen Pendidikan Islam, Pak Dr. Rahmat Mulyana, untuk membincang tentang bagaimana mengembangkan pendidikan Islam Rahmatan lil Alamin (pendidikan Isra) di era milenial. Saya merasa senang karena diberi amanah untuk berbicara tentang kaum muda milenial. Suatu tema yang selama ini menjadi concern saya dalam banyak forum. Ketepatan saya berbicara kepada generasi milenial, atau tepatnya generasi Z karena mereka lahir antara tahun 2000an. Mereka adalah generasi milenial muda, setelah generasi milenial yang lahir tahun 80an.

Ada tiga hal yang saya sampaikan secara garis besar tentang pendidikan Islam rahmatan lil ‘alamin. Pertama, saya sampaikan bahwa sudah saatnya kita ini belajar untuk menulis, sebab dunia sekarang sudah menjadi era literasi. Siapa yang paling menguasai literasi, maka dialah yang akan menguasai perbincangan di dalam wacana public. Maka saya tunjukkan bahwa saya termasuk kaum blogger yang aktif. Saya tayangkan blog saya kepada anak-anak dan juga para guru. Saya sampaikan meskipun tulisan itu di dalam bahasa Indonesia, tidak berarti yang membaca hanya orang Indonesia. Saya tunjukkan, bagaimana US menjadi pembaca kedua, Malaysia menjadi pembaca ketiga, bahkan Italia, Jepang, Hongkong, Arab Saudi, UEA, Perancis, Belanda, Rusia dan sebagainya. Secara keseluruhan ada sebanyak 34 negara yang warganya membaca tulisan saya. Mereka membaca dari 1930 artikel (30/11/2019) yang saya publish di blog. Para guru dan anak-anak ayo kita belajar menulis. Apa saja. Bisa puisi, pantun, cergam, cerbung, meme, speed writing, info grafis dan apa saja, sebab dipastikan ada di antara tulisan itu yang akan dibaca orang.

Kedua, Kita ini diwarisi oleh para leluhur kita negeri yang indah, besar dan hebat. Tidak ada di dunia ini yang memiliki pulau, suku bangsa dan bahasa yang sedemikian besar. Anak-anak berapa jumlah pulau kita. lalu ada yang menjawab” “17.000”. Mendekati benar, yang pasti sebanyak 17.504 pulau, dengan 1340 suku bangsa dan bahasa sebanyak 742. Mana ada negara dengan pluralitas dan multikulturalitas seperti ini. Itulah sebabnya anak-anak harus bersyukur kepada Allah atas kenikmatan sebagai bangsa besar. Jangan sampai kehebatan Indonesia ini dirusak oleh orang lain yang tidak memiliki komitmen terhadap kelestarian bangsa Indonesia.

Saya tanya kepada anak-anak itu, “apakah anak-anak masih akan mempertahankan Pancasila”? Mereka menjawab dengan serempak: “masih”, “apakah anak-anak akan mempertahankan NKRI”? Mereka menjawab: “ya”. Saya menilai bahwa mereka tulus menyatakannya. Saya lalu menjelaskan, bahwa para founding fathers negeri ini telah meletakkan empat consensus kebangsaan, yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan. Tentang kebinekaan atau pluralitas dan multikulturalitas ini adalah sunnatullah. Jika Allah berkehendak, bisa saja hanya ada satu makhluk yang sama. Hanya ada satu binatang yang sama, hanya ada satu warna bunga yang sama. Akan tetapi Allah memberikan keanekaragaman sebagai bentuk kekuasaannya. Dan melalui keragaman itu kita bisa saling mengenal satu dengan yang lain. Coba kita hari ini berasal dari seluruh wilayah Indonesia. Ada dari Jawa Timur, Kalimantan, Sumatera dan sebagainya. Dan kita bisa mengenal satu dengan lainnya. Padahal kita memiliki bahasa yang berbeda, tradisi yang berbeda, dan asal-usul yang berbeda, tetapi kita menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Janganlah kita seperti Afghanistan, yang hanya memiliki tujuh suku bangsa, tetapi perang tidak henti-hentinya. Perang, perang dan perang melulu.

Ketiga, islam itu agama yang memberikan rahmat bagi seluruh alam. Yaitu memberi rahmat bagi manusia, alam, dan ekosistem lingkungan. Jadi tidak hanya memberikan kerahmatan bagi umat Islam saja tetapi juga manusia lainnya yang hidup di alam ini, dan juga seluruh makhluk yang diciptakan oleh Allah. Oleh karena itu, Islam juga harus diajarkan sesuai dengan prinsip memelihara dan menjaga alam seluruhnya supaya selamat dan sejahtera. Tidak boleh manusia mengeksploitasi alam hanya untuk kepentingan manusia, sebab juga ada makhluk lain yang membutuhkan kehidupan di dalam ini. Hutan misalnya tidak boleh ditebang semena-mena sebab ada kehidupan hewan yang sangat tergantung kepada keberadaan alam. Demikian juga manusia tidak boleh mencemari lautan, sebab di laut juga terdapat kehidupan yang harus diselamatkan.

Dengan demikian, Islam memiliki prinsip hablum minallah, hablum minan nas dan hablum minal alam. Manusia harus menjaga hubungan baik dengan Allah sebagai penciptanya, manusia harus melakukan hubungan baik dengan sesamanya –tanpa membedakan apa agamanya—dan juga hubungan baik dengan alam yang ditinggalinya dengan makhluk lainnya. Jika kita bisa melakukannya dengan seimbang, maka inilah artinya kita telah menjalankan ajaran agama yang mengandung prinsip rahmatan lil alamin.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PRIORITASKAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN INKLUSI

PRIORITASKAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN INKLUSI

Saya ikut menghadiri acara pengukuhan Professor Zumratul Mukaffa, dosen Fakultas Tarbiyah dan ilmu Kependidikan UIN Sunan Ampel Surabaya. Hadir para Ketua Senat (Prof. Akhwan Mukarrom) dan anggota Senat, Rektor (Prof. Masdar Hilmy) dan segenap jajarannya, para dosen dan tenaga kependidikan pada UIN Sunan Ampel. Di antara yang juga hadir adalah Ibu Wury Ma’ruf Amin, Ibu Wakil Presiden RI, yang didampingi oleh Ibu Arumi Bakhsin, Ibu Wakil Gubernur Jawa Timur, dan juga hadir KH. Agus Ali Masyhuri, KH. Asep Saifuddin, KH, Jamaluddin, dan para undangan lainnya. Acara ini diselenggarakan di Sport Center UIN Sunan Ampe, 28 Nopember 2019.

Acara ini juga menarik sebab hadir juga sekelompok Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang menyanyi dan memainkan musik angklung diiringi oleh organ tunggal. Sungguh mengharukan dan sekaligus membanggakan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus itu menyanyikan lagu “Bunda” dan “Jangan Menyerah”. Kalau tidak salah lagu “jangan Menyerah” itu dinyanyikan oleh D’Massive dengan syair yang sangat menyentuh. “Tak ada manusia/yang terlahir sempurna/Jangan kau sesali/segala yang telah terjadi. Syukuri apa yang ada/hidup adalah anugrah/tetap jalani hidup ini/melakukan yang terbaik.” Saya lihat banyak undangan yang menitikkan air mata mendengar dan melihat mereka bermain angklung. Sungguh peristiwa yang membuat harus dikenang, bahwa mereka yang selama ini disebut sebagai disable atau anak berkebutuhah khusus ternyata bisa menghibur dengan semangatnya yang menyala-nyala.

Tema yang dibawakan oleh Prof. Dr. Zumratul Mukaffa, MAg. adalah “Membiakkan Pekerti Adiluhung Bagi Penyelenggara Madrasah Inklusi: Belajar dari MIT Arroihan Malang”. Saya kira ini adalah tema yang sangat menarik di tengah keinginan kita bahwa pendidikan juga harus menjangkau semua elemen masyarakat, tidak ada anak yang usia belajar dan tidak belajar atau sering disebut sebagai education for all. Tidak ada terkecuali semua anak Indonesia harus belajar pada usianya. Makanya pemerintah menggalakkan program wajib belajar sembilan tahun dan disusul kemudian wajib belajar 12 tahun, yang semula dinamakan dengan pendidikan universal.

Ada tiga hal yang saya kira bisa direspon dari uraian panjang Prof. Dr. Zumratul Mukaffa, MAg, dan juga diberi catatan khusus oleh Ibu Wury Ma’ruf Amin dalam pidatonya. Pertama, perdebatan pengertian pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus. Secara konseptual, Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) sering dibahasakan dengan disability atau ketidakmampuan. Penggunaan konsep disabilitas tentunya mengandung konsekuensi bahwa yang dijadikan sebagai mitra pendidikan adalah anak yang tidak berkemampuan. Lalu, juga konsep handycap atau rintangan. Di dalam konteks ini, Bu Zum –begitu saya menyebut—mengapresiasi pendapat Santrock, yang menyatakan sebagai “peserta didik yang memiliki keterbatasan”. Melalui konsep ini dunia pendidikan tidak menganggap bahwa ABK adalah individu yang tidak berkemampuan atau disability. Konsep ini lebih melihat bahwa setiap manusia memiliki potensi, dan para pendidiklah yang harus mencari potensi itu untuk dikembangkan.

Pendidikan harus mengutamakan manusia, makanya ABK juga harus dilihat sebagai manusia utuh yang memerlukan pendidikan secara khusus. Mengutip Franklin, Prof. Zum, bahwa ABK adalah anak yang tidak memiliki kemampuan belajar (Learning disability) sebagaimana anak pada umumnya dan bukan tidak mampu belajar (learning disabled child). Peserta yang tidak memiliki kemampuan belajar adalah masalah sekunder, dan selebihnya mereka harus dilihat sebagai manusia utuh dengan segala kehormatan, kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya.

Kedua, tanggung jawab pendidikan inklusi. Ada beberapa model sekolah atau madrasah inklusi, yaitu: 1) kelas regular penuh, dengan kurikulum yang sama untuk semua peserta didik, 2) kelas regular khusus dengan guru pembimbing khusus, di mana semua dikenai kirukulum berstandar nasional, hanya saja untuk ABK harus mendapatkan bimbingan secara khusus, dan 3) sekolah khusus di sekolah regular, di mana ABK diformat dalam kelas khusus dengan pelayanan khusus.

Dalam memangku tanggung jawab di dalam pendidikan inklusi, maka diperlukan persyaratan khusus, baik untuk kepala madrasah maupun guru-gurunya. Persyaratan untuk guru, misalnya adalah kemampuan personal, pedagogis, professional, sosial, spiritual, dan leadership. Sedangkan untuk kepala madrasah harus memiliki kemampuan mengenali kebutuhan SDM (guru, psikholog, therapist dll), serta kemampuan pedagogis pada umumnya dan pengembangan infrastruktur yang memadai. Sebagaimana namanya lembaga pendidikan inklusi, maka juga dibutuhkan penanganan dan pengelolaan secara inklusif. Kepala madrasah, guru dan bahkan tenaga kependidikan adalah individu yang memiliki kepedulian yang sangat tinggi dalam memahami siapa sesungguhnya mitra didiknya.

Ketiga, Model MIT Arroihan. Di dalam program pembelajaran, ternyata ada beberapa prinsip yang kiranya bisa dijadikan model, yaitu: 1) mengembangkan pekerti adiluhung atau character building. Prinsip dasar dari pekerti adiluhung adalah konsep Al Rahman dan Al Rahim, melalui konsep ini, maka semua peserta didik adalah bagian rahman dan Rahim Tuhan, sehingga tidak terdapat diskiriminasi di dalam program pembelajaran. Hanya perlakuan khusus saja yang dibutuhkan. 2) prinsip pendidikan pekerti adiluhung adalah mengenal Allah berbasis pada ajaran tasawuf. Pekerti adiluhung juga berprinsip pada tanggung jawab dalam menghadapi kehidupan, misalnya janji harus ditepati, komitmen terhadap apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan, di sini diajarkan mengenai kejujuran. Selain itu juga mengajarkan konsistensi tentang apa tujuan dan apa yang dilakukan, makanya MIT Arroihan menyelenggarakan pendidikan tanpa memandang ABK dalam keadaan apapun dan menerima siapapun yang perlu belajar di sini. Prinsip keikhlasan yang diterapkan inilah akhirnya membawa pada kemajuan lembaga karena semua pimpinan dan guru merasa memiliki visi dan missi yang sama untuk mendidik anak-anak, termasuk ABK.

Oleh karena itu, MIT Arroihan dapat dijadikan sebagai role model di dalam pembelajaran ABK. Dan sejauh ini MIT Arroihan terus berupaya untuk menjadikan lembaga pendidikan ini sebagai yang terbaik, dengan menghasilkan ABK tetapi memiliki prestasi yang membanggakan, misalnya siswanya bisa menjadi juara dalam berbagai lomba robotic baik nasional maupun regional.

Dan yang tidak kalah penting adalah dukungan pemerintah, khususnya Kementerian Agama untuk membangun institusi pendidikan inklusi sebagai prioritas program, selain program unggulan yang sudah ada selama ini. Melalui program unggulan pendidikan inklusi, maka akan tampak betapa konsep education for all sungguh telah menjadi komitmen kita bersama.

Wallahu a’lam bi al sahwab.