PEMILIHAN PIMPINAN PTKN: PERSPEKTIF PILIHAN RASIONAL (1)
PEMILIHAN PIMPINAN PTKN: PERSPEKTIF PILIHAN RASIONAL (1)
Beberapa hari yang lalu saya diundang oleh Direktur pada Direktorat Pendidikan Tinggi Islam pada Ditjen Pendidikan Islam untuk membahas tentang pemilihan pimpinan (Rektor/Ketua) pada PTKIN. Yang turut serta diundang adalah Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Atho Mudzhar, Prof. Thib Raya, Prof. Nurkholish Setiawan, (Sekjen Kemenag), Prof. Thomas Fentury (Plt. Irjen Kemenag), Prof. Kamaruddin Amin (Dirjen Pendis) dan Prof. Amsal Bachtiar (Kapus Penda pada Balitbangdiklat Kemenag) dan para peneliti yang melakukan Evaluasi PMA 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua Perguruan Tinggi Keagamaan Milik Pemerintah.
Acara yang dipimpin langsung oleh Prof. Arskal Salim, Direktur Pendidikan Tinggi Islam, ini dihadiri juga oleh segenap jajaran pejabat yang selama ini memiliki tupoksi untuk mengelola dan mengurus tentang pendidikan tinggi Islam. Acara ini diselenggarakan di Hotel Millenium, 19 Nopember 2019. Diselenggarakan selama sehari penuh dan dilaksanakan dengan menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD).
Ada dua issue besar yang diusung di dalam forum ini, yaitu: 1) apakah kita akan kembali ke pola lama pemilihan rector dengan menjadikan Senat memiliki otoritas penuh untuk menentukan siapa yang layak menjadi rector dengan cara musyawarah atau voting (prinsip demokrasi one man one vote) atau 2) menggunakan PMA 68 Tahun 2015, yang dalam beberapa tahun terakhir dijadikan sebagai pola baru dalam pemilihan pimpinan PTKIN.
Oleh karena itu, Prof. Kamaruddin Amin memberikan pilihan atas empat hal, yaitu: 1) Menyempurnakan atau merevisi PMA 68 Tahun 2015 dengan mempertimbangkan hasil Penelitian Evaluasi yang dilakukan oleh Pusat Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbangdiklat, atau 2) Mempertimbangkan penerapan aturan sebagaimana dilakukan oleh Kemenristek atau Kemendikbud dalam tata cara pemilihan Pimpinan Perguruan Tinggi di bawah Kemenristek atau Kemendikbud, dengan catatan Menteri mendapatkan porsi 35 persen suara dalam pemilihan tahap akhir, atau 3) Dalam pemilihan pimpinan PTKIN akan menggunakan pola lama yang sebelum lahirnya PMA 68 Tahun 2015 pernah dilakukan oleh seluruh PTKIN di bawah Kemenag, dan 4) menyiapkan pola 50 persen mempertimbangkan suara Senat dan 50 persen mendengarkan suara Komisi Seleksi Rektor PTKIN yang dbentuk oleh Menteri Agama.
FGD ini dilakukan dalam kerangka pro-kontra atas PMA No 68 tahun 2015, yang dinilai oleh sebagian warga kampus sebagai cara Kemenag melakukan dominasinya terhadap pemilihan pimpinan PTKIN. Begitu kuatnya suara tersebut sehingga Komisi VIII DPR RI juga memberikan masukan agar PMA tersebut dicabut karena dianggap memberangus terhadap demokratisasi di kampus. Di dalam pilihan pimpinan PTKIN bukanlah senat yang menentukan siapa yang akan terpilih sebagai rector/ketua, tetapi oleh Komisi Seleksi (komsel) yang diberi kewenangan untuk melakukan fit and proper test terhadap calon rector/ketua PTKIN. Padahal, baik pemilihan rector/ketua PTKIN pra PMA No 68 tahun 2015 dan pasca PMA No 68 Tahun 2015 adalah “kewenangan Menteri” dengan M besar, yaitu Menteri Agama RI. Bahkan di masa lalu, sampai tahun 2012, yang menentukan rector adalah Presiden Republik Indonesia melalui usulan Menteri Agama.
Secara historis, memang pemilihan pimpinan PTKIN itu menarik untuk dicermati, sebab nuansa demokratis-politisnya luar biasa. Pernah, misalnya pilihan rector dan dekan diselenggarakan dengan melibatkan dosen, karyawan dan mahasiswa, sehingga hingar bingar perpolitikan kampus menjadi sangat kentara. Harap dipahami bahwa setiap pilihan yang di dalamnya akan menentukan siapa berwenang apa dan mengerjakan apa, pasti di dalamnya terdapat bekerjanya mesin politik yang dibuat oleh calon yang diusung. Pernah juga dengan pola pilihan oleh senat perguruan tinggi.
Era reformasi, memang bisa mengubah banyak hal termasuk juga pilihan pimpinan PTKIN. Kampus lalu juga menjadi tempat “bermain” politik yang mengasyikkan, bisa membawa manfaat dan bisa juga sebaliknya. Nuansa politik tersebut bisa dilihat dari seluruh pilihan pimpinan PTKIN menggunakan system demokrasi langsung one man one vote. Lalu, Menteri Agama yang terakhir harus menentukan siapa yang berhak menjadi pimpinan PTKIN. Jadi Menteri memiliki suara 100 persen. Dan hasil pemungutan suara atau pilihan senat dapat menjadi bahan pertimbangan.
Namun efeknya tentu sangat mendasar, sebab siapapun yang terpilih akan berpotensi untuk menimbulkan “gesekan” meskipun sejauh ini masih bisa digaransi berada di dalam koridor yang tidak menimbulkan konflik fisik. Pilihan pimpinan PTKIN merupakan pilihan langsung, maka juga dilakukan aktivitas untuk mendukung calonnya, dan juga pengerahan massa sebagaimana layaknya pilkada langsung. Jadi, sungguh merupakan bentuk demokrasi “mini” di kampus.
Berdasarkan atas fenomena lapangan pilihan pimpinan PTKIN yang lebih kental aroma atau nuansa politiknya ketimbang nuasa akademisnya, maka Menteri Agama melalui beberapa diskusi internal yang diselenggarakan mencoba untuk mencari jalan keluarnya. Dan lahirnya PMA 68 Tahun 2015 dianggap sebagai inovasi baru di dalam mengeliminir politisasi kampus yang sudah berurat berakar secara mendalam. Hiruk pikuk kampus dengan segala aktivitas politiknya tentu mengganggu terhadap kinerja akademis yang bernuansa kolaboratif. Bisa dibayangkan bahwa dengan politisasi kampus tersebut, maka muncul konsepsi “the winner take all”. Sebab sebagai pimpinan yang bersangkutan harus mempertimbangkan para pendukungnya dan simpatisannya. Oleh karena itu, kampus lalu menjadi arena untuk saling berkontestasi politik dan bukan kontestasi akademik.
Wujud dari terbitnya PMA No. 68 Tahun 2015 adalah hadirnya pemimpin PTKIN yang lebih bisa diterima oleh semua kalangan karena mendepankan semangat kebersamaan, Di dalam suatu acara Komisi Seleksi pimpinan PTKIN, bahkan seluruh pejabat pada suatu PTKIN mendaftar untuk menjadi Rektor/Ketua. Dan ini memberikan indikasi bahwa tidak ada lagi nuansa perpolitikan di kampus akhir-akhir ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.