Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PENGEMBANGAN TEORI DAKWAH: PERSPEKTIF PSIKHOLOGI

PENGEMBANGAN TEORI DAKWAH: PERSPEKTIF PSIKHOLOGI

Prof. Dr. Nur Syam, MSI

 

Pengantar

Saya mesti harus meminta izin dulu kepada ahli-ahli psikhologi atau para dosen psikhologi karena menulis tentang perspektif psikhologis dalam pengembangan teori ilmu dakwah. Posisi ini harus saya ambil sebab pengetahuan saya tentang ilmu psikhologi tentu sangat dangkal, jika pun pernah belajar tentu sebatas dalam mata kuliah –pengantar psikhologi, psikhologi sosial dan psikhologi agama—tetapi seingat saya pernah pada tahun 1980 akhir saya diberi amanah oleh Prof. Dr. Bisri Afandi, MA untuk menjadi asistennya pada mata kuliah Psikhologi agama.

Oleh karena itu, buku seperti Tulisan Prof. Dr. Zakiyah Darajad, Karya William James tentang “The Varieties of Religious Experience”, Karya Prof. Usman Najati, dan Nico Syukur Dister, tentu telah saya baca, sekurang-kurangnya.

Namun demikian tetap saja, saya bukanlah ahli dalam bidang psikhologi yang memiliki kapasitas utuh, sehingga tulisan inipun hanya mencoba untuk mengintegrasikan antara psikhologi sebagai perspektif teori atau pendekatan dan dakwah sebagai fakta atau realitas sosial atau individual, yang tentu bisa disandingkan. Dengan posisi kurang lebih.

 

Psikhologi

Psikhologi disebut sebagai ilmu jiwa atau lebih jelas ilmu jiwa manusia. Psikhologi adalah suatu disiplin yang mengalami proses empirisasi yang sangat ketat. Semula yang menjadi kajian psikhologi itu adalah jiwa yang harus dirumuskan bagaimana dan apa indicator-indikatornya. Jiwa harus dituangkan dalam konsep yang empiris dan terukur, sehingga memenuhi standart ilmu pengetahuan terutama dalam paradigma positivistic yang kala itu sangat dominan. Makanya, dalam perkembangan berikutnya psikhologi menjadi ilmu yang sangat empiric dalam mengkaji perilaku manusia. Jadi emosi, sikap dan perilaku manusia adalah cermin untuk melihat jiwa manusia. Itulah sebabnya psikhologi di seluruh Indonesia menjadi sangat positivistic—meskipun tetap saja ada yang berkonsepsi lain—dan kemudian dapat dianalisis dengan pendekatan penelitian kuantitatif.

Dalam kajian di Fakultas Dakwah dan komunikasi, maka terdapat prodi Bimbingan dan Penyuluhan Masyarakat Islam, yang sudah berdiri sangat lama, dan tentu sudah banyak kajian yang mengkhususkan tentang hal ini, dan salah satu perspektif yang biasa digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan psikhologi. Oleh karena itu, psikhologi menjadi ilmu dasar di dalam studi-studi bimbingan dan penyuluhan dan bahwa saya sebut ilmu yang menjadi andalan dalam studi bimbingan dan konseling. Makanya, secara sengaja saya pilih juga perspektif psikhologi ini untuk menjadi pintu masuk bagi pengembangan Piskhologi Dakwah, yang memang menjadi keharusan untuk dikembangkan.

Di dalam tulisan ini, secara sengaja saya menggunakan paradigm di dalam prikhologi sosial, sebagai disiplin integrative yang menghubungkan antara psikhologi dengan fenomena sosial. Psikhologi sosial ialah cabang psikhologi yang merupakan studi interdisipliner, merupakan pemaduan antara psikhologi dan sosiologi. Mengkaji pikiran, perasaan dan perilaku individu dalam kaitannya dengan dunia sosial yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik maupun lainnya. Dikembangkan oleh Mc Dougall melalui The Introduction of Social Psychology pada paruh pertama abad ke 20.

 

Paradigma dalam Psikhologi

  1. Paradigma Nativisme

Di dalam literature disebutkan bahwa nativisme juga disebut sebagai pembawaan. Pandangan paradigma ini bahwa semenjak lahir manusia telah membawa potensi. Tokohnya adalah Arthur Schopenhauer (1788-1860). Disebut sebagai aliran pesimistis, sebab manusia akan berkembang selama memiliki bakat yang dianugerahkan kepadanya. Ada dua teori yang dikaitkan dengan nativisme: psikhoanalisis dan humanistik. Tokoh utama dalam paradigm psikhoanalisis adalah Sigmund Freud dan tokoh dalam paradigm humanistic adalah Abraham Maslow.

Teori Psikhoanalisis, terkait dengan teori struktur kepribadian: id (biologis), Ego (psikhologis) dan superego (sosiologis). Di dalam id yang dominan ialah seksualitas dan agresivitas. Prinsip kesenangan, yang naluriah. Di dalam ego terdapat sistem kepribadian, yang menyeimbangkan antara id dan superego. Di dalam ego terdapat kesadaran yang dibentuk oleh pengaruh luar atau lingkungan. Ego merupakan hasil tindakan yang saling mempengaruhi antara lingkungan dan perkembangan individu.

Bisakah teori ini digunakan untuk mengembangkan teori dakwah. Jawabannya tentu ya atau tidak. Tetapi saya menganggap bahwa teori ini saya kira bisa digunakan untuk melihat fenomena dakwah. Bukankah manusia memang memiliki id, ego, dan superego. Hanya saja jika Freud lebih menekankan pada sifat seksualitas dan agresivitasnya, maka konsepnya tentu bisa diubah dengan lebih soft. Misalnya bahwa manusia memiliki nafsu biologis yang penting untuk dipenuhi, sehingga konsepsinya lebih dibuka termasuk kebutuhan berketuhanan atau kebutuhan bersenang-senang atau rekreasi, maka dapat dibuatkan rekreasi yang bercoarak spiritual bukan hanya kebutuhan rekreatif fisikal. Wisata ziarah dan ritual adalah contoh mengenai bagaimana id manusia bisa dikondisikan. Demikian pula ego, yang bercorak psikhologis bahwa manusia juga memiliki kebutuhan pemenuhan psikhologisnya yang tidak hanya fisikal yang menghasilkan psikhologikal, akan tetapi juga dimensi spiritual. Sedangkan superego adalah kebutuhan yang terkait keinginan untuk bercorak kebutuhan sosial. Berkawan, bertemu kekasih, bertemu Tuhannya dan sebagainya.

Dengan demikian memang diperlukan pendekatan lain untuk menggunakan teori psikholanalisis dalam kerangka mengembangkan teori dakwah. Saya mengusulkan teori psikhologi analisis transcendental atau psikhologi analisis profetik. Jadi semata-mata menggunakan cara kerja teori tersebut untuk menggambarkan atau menjelaskan fakta atau realita kejiwaan manusia atau masyarakat.

Teori Humanistik. Aliran ini menolak psikholanalisis dan behavioristik. Psikhoanalisis terlalu menekankan pada naluri seksualitas dan sikap agresif, kaum behavioristik lebih menekankan pada fantor lingkungan dan melupakan faktor internal individu. Di antara tokoh aliran humanisme ialah Abraham Maslow (semula penganut behavioristik), menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh motivasi individu.

Teori kebutuhan dasar. Maslow mengidentifikasi ada lima kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan phisik, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial (kasih sayang), penghargaan (kepuasan) dan aktualisasi diri. Kebutuhan ini seperti gambar segitiga dari kebutuhan phisik ke self-actualization.

Teori ini secara pasti dapat digunakan untuk mengembangkan teori dakwah. Artinya bahwa proposisinya bisa dinyatakan bahwa semakin dekat aktivitas dakwah dengan kebutuhan manusia sebagaimana dinyatakan oleh Maslow, maka akan semakin besar peluang dakwah akan berhasil. Untuk kepentingan ini, maka dakwah harus dijadikan sebagai factor eksternal yang dapat berkorelasi dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Manusia memiliki kebutuhan untuk memperoleh rasa kasih sayang, maka dakwah harus menggunakan konsepsi kasih sayang sebagai inti dakwahnya. Manusia memerlukan pemenuhan kebutuhan kepuasan, maka dakwah yang berhasil adalah dakwah yang memberikan kepuasan pada aspek fisikal, sosial atupun religious.

Teori diri (Self Theory). Teori ini dikembangkan oleh Carl Rogers (ahli psikhoterapis yang terfokus pada kebahagiaan individu). Prinsip dasarnya adalah dari bermasalah menjadi bahagia. Di antara Konsep-konsep penting adalah self concept, Real self (pengalaman individu). Ideal self (keinginan ideal). Incongruence (ketidakselarasan) dan congruence (keselarasan).

Teori ini relevan digunakan untuk mengembangkan teori dakwah. Melalui konsep-konsep yang dikembangkan misalnya pengalaman individual, ketidakselarasan atau keselarasan tentu dapat digunakan untuk melihat atau mengamati peristiwa dakwah, apakah dakwah sudah menggunakan konsep-konsep ini di dalam praktik dakwah. Misalnya studi tentang perubahan dari sikap dan perilaku tidak selaras menjadi selaras karena sentuhan dakwah atau praktik penyelenggaraan dakwah. Melalui teori ini sepertinya memberikan sumbangan konseptual bahwa dakwah mestilah dilakukan dengan mempertimbangkan dimensi pengalaman manusia, keselarasan dan ketidakselarasan sikap, emosi dan tindakan manusia.

 

  1. Paradigma Empirisme.

Paradigma ini memiliki proposisi bahwa perilaku manusia sesungguhnya ditentukan oleh factor lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Berbeda dengan teori-teori dalam paradigma nativisme, yang menyatakan factor bakat sangat menentukan perilaku manusia, maka di dalam paradigma ini justru sebaliknya. Potensi manusia akan menjadi kenyataan karena dipicu oleh factor eksternal.

Tokohnya ialah John Locke (1632-1706). Disebut juga sebagai teori environmentalisme. Prinsip dasar di dalam teori ini adalah teori behavioristik di mana ada reward and punishment. Teori behavioristik dikembangkan oleh J.B. Watson, menggunakan metode eksperimen untuk melengkapi metode observasi dan lainnya.

Teori ini secara umum sudah sangat dikenal oleh pengamat, pengkaji dan peneliti dakwah, sebab memang sangat masyhur. Bahkan tidak hanya ahli psikhologi tetapi juga ahli-ahli sosiologi menggunakan teori ini sebagai bagian dari kajiannya. Di antara yang bisa dilakukan untuk menggunakan teori ini adalah dengan menjadikan dakwah sebagai factor eksternal (menjadikannya sebagai lingkungan yang memiliki kemampuan untuk menstimuli) terhadap perilaku atau tindakan individu atau komunitas. Dakwah bisa berupa lilisan, bil hal, bil mal, bil yad dan sebagainya. dakwah bil mal misalnya tentu akan sangat efektif untuk mengubah perilaku individu atau komunitas agar bersesuaian perilaku atau tindakannya dengan ajaran agama.

Derivasi dari teori ini ialah teori rangsang balas (stimuly-respons) dikaitkan dengan Ivan Pavlov, L. Thorndike. Watson adalah pendukung Pavlov dalam kajian ilmiah. Perkembangan lebih lanjut dari teori SR ialah Classical Conditioning theory. Ada conditioned stimulus dan conditioned response. Pavlov menggunakan anjing sebagai percobaan, sedangkan watson menggunakan manusia untuk bereksperimen mengenai SR. Bayi usia 9 bulan. Ada neutral stimulus (bermain tanpa ketakutan pada tikus), unconditioned stimulus (pemukulan benda) yang menimbulkan ketakutan. Akhirnya begitu ada tikus maka menjadi takut.

Teori pengkondisian operan oleh Edward Lee Thorndike. Menghasilkan teori trial and error, yaitu teori berasal dari percobaan puzzle yang diperuntukkan bagi kucing. Kala kucing melakukan upaya-upayanya itu disebut sebagai proses uji coba sampai menemukan cara yang benar. Manusia akan melakukan upaya baru untuk menghadapi situasi yang baru dan sulit. Ada trial error.

Teori interaction outcome. Dikembangkan oleh John Thibaut dan Harold Kelly, 1959. Proposisinya: interaksi sosial merupakan karakteristik dari relasi sosial daripada perilaku individu. Relasi sosial tentu ditandai dengan interaksi-interaksi sosial baik yang khusus maupun umum. Dan sebuah relasi sosial akan bisa bertahan lama jika di antara yang berinteraksi tersebut memiliki kesamaan dalam tujuan dan kegunaan.

Teori-teori sebagaimana telah dijelaskan tentu bisa digunakan untuk meneliti aktivitas dakwah yang dilakukan oleh individu atau organisasi. Tentu saja yang diambil adalah metode kerjanya, yaitu penerapan eksperimen terhadap sasaran dakwah. Tentu saja bukan seperti yang dilakukan para ahli psikhologi ini secara umum, akan tetapi lebih khusus mengarah pada perlakukan dakwah terhadap sasaran dakwah. Teori interaction outcome, misalnya dapat digunakan untuk mengembangkan teori interaksi sosial dalam dakwah yang berbasis pada ajaran agama. Jadi bukan hanya interaksi dengan menggunakan pesan-pesan umum, akan tetapi pesan yang bercorak keagamaan.

 

  1. Paradigma Konvergensi

Perspektif konvergensi merupakan penggabungan dari perspektif nativisme dan empirisme. Proposisinya adalah perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor bawaan dan juga lingkungan. Teori ini saya kira paling empiris, sebab telah menggabungkan dua paradigm sekaligus. Manusia memiliki bakat dan dengan perlakukan secara memadai dari factor lingkungan tentu akan semakin potensial untuk berkembang. Kelemahan teori lingkungan adalah tidak memperhatikan bakat orang, sedangkan paradigm empiris terlalu mendewakan factor lingkungan dengan mengabaikan bakat atau potensi yang dimiliki individu.

Teori kognitif (Teori Kresch and Crufchfield, POX Heider, Disonansi Kognitif, teori Belajar Sosial, Teori Belajar Sosial dan Tiruan, Teori Proses Peniruan, Teori Lapangan Kurt Lewin). Teori ini lahir tahun 1959 sebagai akibat kegagalan teori behavioristik, sehingga muncul teori-teori lain dalam bidang yang lain, pengaruh teknologi dan munculnya komputer dan sebagainya. Teori Kresch and Crufchfield, mendasarkan teorinya pada prinsip dinamika tingkah laku dengan proposisi: motivasi dapat dilihat dari perilaku secara keseluruhan, ketidakstabilan psikhologis seseorang dapat menyebabkan ketegangan, frustasi dalam mencapai tujuan dapat menghasilkan perilaku adaptif dan nonadaptif. Manusia   dapat belajar dari situasi sosialnya.

Di dalam dakwah dikenal bahwa seseorang memiliki potensi untuk berkembang. Tidak ada satupun manusia yang tidak memiliki bakat atau potensi yang diberikan oleh Allah sebagai bekal kehidupan. Manusia juga mengalami kegagalan dan kesuksesan. Maka Allah menganugerahkan kemampuan untuk belajar dari dunia sosial di sekelilingnya. Tentu saja ada yang berhasil secara optimal dan ada yang kurang berhasil. Ada saatnya bangkit dan ada saatnya harus berupaya secara lebih keras lagi untuk bangkit. Jika individu sering mengalami kegagalan, maka tentu akan membuatnya ragu atau putus asa dan sebagainya. Maka tugas dakwah adalah memberikan motivasi atau kepenasehatan atau pendampingan bagi pembelajaran sosial seperti ini.

Teori yang dihasilkan oleh Fritz Heider (1946) disebut sebagai teori keseimbangan antara P (perasaan atau sikap), O (pihak lain), dan X (obyek lain). Keseimbangan ideal terjadi saat ketiganya serasi dalam kesepakatan dan tujuan. Ketidakseimbangan terjadi jika ketiganya tidak serasi dalam kesepakatan dan tujuan. Dikembangkan oleh Leon Festinger (1957). Kesadaran terdiri dari elemen-elemen kognisi yang saling terhubung. Hubungan antar elemen: tidak relevan, disonan dan konsonan.

Teori ini dapat dijadikan sebagai pengungkit pengembangan teori dakwah. Teori keseimbangan dapat digambarkan bahwa terdapat seorang da’i sebagai pihak lain, dan ada individu dengan perasaan dan sikapnya yang berseberangan atau berbeda dengan da’i, maka keberhasilan da’i tersebut adalah pada saat dia mampu mengubah perasaan dan sikap yang kurang relevan menjadi relevan atau bersesuaian.

Sepengetahuan saya, bahwa studi psikhologi dakwah sudah lama dikembangkan, sebab tulisan tentang psikhologi dakwah sudah ada semenjak tahun 1980-an. Artinya sudah berkisar puluhan tahun. Hanya saja yang saya lihat –semoga saya tidak salah—bahwa karya dalam bidang ini masih berupa karya pengantar, sehingga baru membuka cakrawala adanya disiplin ini. Padahal seharusnya sudah dapat mengembangkan paradigma dan teori yang bisa dikategorikan sebagai paradigma dan teori psikhologi dakwah.

Jadi masih perlu kerja keras untuk menghasilkan teori-teori psikhologi dakwah profetik atau teori psikhologi dakwah transcendental, yang berbasis pada teori-teori psikhologi yang sudah hadir selama ini. Sungguh tugas para akademisi dakwah adalah mengembangkan ilmu dakwah yang integrative ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..