Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PRIORITASKAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN INKLUSI

PRIORITASKAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN INKLUSI

Saya ikut menghadiri acara pengukuhan Professor Zumratul Mukaffa, dosen Fakultas Tarbiyah dan ilmu Kependidikan UIN Sunan Ampel Surabaya. Hadir para Ketua Senat (Prof. Akhwan Mukarrom) dan anggota Senat, Rektor (Prof. Masdar Hilmy) dan segenap jajarannya, para dosen dan tenaga kependidikan pada UIN Sunan Ampel. Di antara yang juga hadir adalah Ibu Wury Ma’ruf Amin, Ibu Wakil Presiden RI, yang didampingi oleh Ibu Arumi Bakhsin, Ibu Wakil Gubernur Jawa Timur, dan juga hadir KH. Agus Ali Masyhuri, KH. Asep Saifuddin, KH, Jamaluddin, dan para undangan lainnya. Acara ini diselenggarakan di Sport Center UIN Sunan Ampe, 28 Nopember 2019.

Acara ini juga menarik sebab hadir juga sekelompok Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang menyanyi dan memainkan musik angklung diiringi oleh organ tunggal. Sungguh mengharukan dan sekaligus membanggakan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus itu menyanyikan lagu “Bunda” dan “Jangan Menyerah”. Kalau tidak salah lagu “jangan Menyerah” itu dinyanyikan oleh D’Massive dengan syair yang sangat menyentuh. “Tak ada manusia/yang terlahir sempurna/Jangan kau sesali/segala yang telah terjadi. Syukuri apa yang ada/hidup adalah anugrah/tetap jalani hidup ini/melakukan yang terbaik.” Saya lihat banyak undangan yang menitikkan air mata mendengar dan melihat mereka bermain angklung. Sungguh peristiwa yang membuat harus dikenang, bahwa mereka yang selama ini disebut sebagai disable atau anak berkebutuhah khusus ternyata bisa menghibur dengan semangatnya yang menyala-nyala.

Tema yang dibawakan oleh Prof. Dr. Zumratul Mukaffa, MAg. adalah “Membiakkan Pekerti Adiluhung Bagi Penyelenggara Madrasah Inklusi: Belajar dari MIT Arroihan Malang”. Saya kira ini adalah tema yang sangat menarik di tengah keinginan kita bahwa pendidikan juga harus menjangkau semua elemen masyarakat, tidak ada anak yang usia belajar dan tidak belajar atau sering disebut sebagai education for all. Tidak ada terkecuali semua anak Indonesia harus belajar pada usianya. Makanya pemerintah menggalakkan program wajib belajar sembilan tahun dan disusul kemudian wajib belajar 12 tahun, yang semula dinamakan dengan pendidikan universal.

Ada tiga hal yang saya kira bisa direspon dari uraian panjang Prof. Dr. Zumratul Mukaffa, MAg, dan juga diberi catatan khusus oleh Ibu Wury Ma’ruf Amin dalam pidatonya. Pertama, perdebatan pengertian pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus. Secara konseptual, Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) sering dibahasakan dengan disability atau ketidakmampuan. Penggunaan konsep disabilitas tentunya mengandung konsekuensi bahwa yang dijadikan sebagai mitra pendidikan adalah anak yang tidak berkemampuan. Lalu, juga konsep handycap atau rintangan. Di dalam konteks ini, Bu Zum –begitu saya menyebut—mengapresiasi pendapat Santrock, yang menyatakan sebagai “peserta didik yang memiliki keterbatasan”. Melalui konsep ini dunia pendidikan tidak menganggap bahwa ABK adalah individu yang tidak berkemampuan atau disability. Konsep ini lebih melihat bahwa setiap manusia memiliki potensi, dan para pendidiklah yang harus mencari potensi itu untuk dikembangkan.

Pendidikan harus mengutamakan manusia, makanya ABK juga harus dilihat sebagai manusia utuh yang memerlukan pendidikan secara khusus. Mengutip Franklin, Prof. Zum, bahwa ABK adalah anak yang tidak memiliki kemampuan belajar (Learning disability) sebagaimana anak pada umumnya dan bukan tidak mampu belajar (learning disabled child). Peserta yang tidak memiliki kemampuan belajar adalah masalah sekunder, dan selebihnya mereka harus dilihat sebagai manusia utuh dengan segala kehormatan, kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya.

Kedua, tanggung jawab pendidikan inklusi. Ada beberapa model sekolah atau madrasah inklusi, yaitu: 1) kelas regular penuh, dengan kurikulum yang sama untuk semua peserta didik, 2) kelas regular khusus dengan guru pembimbing khusus, di mana semua dikenai kirukulum berstandar nasional, hanya saja untuk ABK harus mendapatkan bimbingan secara khusus, dan 3) sekolah khusus di sekolah regular, di mana ABK diformat dalam kelas khusus dengan pelayanan khusus.

Dalam memangku tanggung jawab di dalam pendidikan inklusi, maka diperlukan persyaratan khusus, baik untuk kepala madrasah maupun guru-gurunya. Persyaratan untuk guru, misalnya adalah kemampuan personal, pedagogis, professional, sosial, spiritual, dan leadership. Sedangkan untuk kepala madrasah harus memiliki kemampuan mengenali kebutuhan SDM (guru, psikholog, therapist dll), serta kemampuan pedagogis pada umumnya dan pengembangan infrastruktur yang memadai. Sebagaimana namanya lembaga pendidikan inklusi, maka juga dibutuhkan penanganan dan pengelolaan secara inklusif. Kepala madrasah, guru dan bahkan tenaga kependidikan adalah individu yang memiliki kepedulian yang sangat tinggi dalam memahami siapa sesungguhnya mitra didiknya.

Ketiga, Model MIT Arroihan. Di dalam program pembelajaran, ternyata ada beberapa prinsip yang kiranya bisa dijadikan model, yaitu: 1) mengembangkan pekerti adiluhung atau character building. Prinsip dasar dari pekerti adiluhung adalah konsep Al Rahman dan Al Rahim, melalui konsep ini, maka semua peserta didik adalah bagian rahman dan Rahim Tuhan, sehingga tidak terdapat diskiriminasi di dalam program pembelajaran. Hanya perlakuan khusus saja yang dibutuhkan. 2) prinsip pendidikan pekerti adiluhung adalah mengenal Allah berbasis pada ajaran tasawuf. Pekerti adiluhung juga berprinsip pada tanggung jawab dalam menghadapi kehidupan, misalnya janji harus ditepati, komitmen terhadap apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan, di sini diajarkan mengenai kejujuran. Selain itu juga mengajarkan konsistensi tentang apa tujuan dan apa yang dilakukan, makanya MIT Arroihan menyelenggarakan pendidikan tanpa memandang ABK dalam keadaan apapun dan menerima siapapun yang perlu belajar di sini. Prinsip keikhlasan yang diterapkan inilah akhirnya membawa pada kemajuan lembaga karena semua pimpinan dan guru merasa memiliki visi dan missi yang sama untuk mendidik anak-anak, termasuk ABK.

Oleh karena itu, MIT Arroihan dapat dijadikan sebagai role model di dalam pembelajaran ABK. Dan sejauh ini MIT Arroihan terus berupaya untuk menjadikan lembaga pendidikan ini sebagai yang terbaik, dengan menghasilkan ABK tetapi memiliki prestasi yang membanggakan, misalnya siswanya bisa menjadi juara dalam berbagai lomba robotic baik nasional maupun regional.

Dan yang tidak kalah penting adalah dukungan pemerintah, khususnya Kementerian Agama untuk membangun institusi pendidikan inklusi sebagai prioritas program, selain program unggulan yang sudah ada selama ini. Melalui program unggulan pendidikan inklusi, maka akan tampak betapa konsep education for all sungguh telah menjadi komitmen kita bersama.

Wallahu a’lam bi al sahwab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..