• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI ERA DISRUPTIF

Hasil pemetaan kerukunan umat beragama (KUB) yang dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan (Balitbangdiklat) Kementerian Agama (Kemenag) 2019, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Agama, Fachrul Razy (11/12/2019) sungguh memberikan angin segar bagi umat beragama di Indonesia.

Dengan menggunakan tiga variabel, yaitu Toleransi, Kesetaraan dan Kerja sama, hasil survey Kemenag menghasilkan temuan: tingkat kerukunan sebesar 73,83 meningkat dibandingkan tahun 2018 sebesar 70,90. Jika dilihat dari masing-masing indikatornya, maka indeks toleransi 72,37 point, kesetaraan 73,72 point dan kerjasama 75,40 point.

Kemudian, provinsi dengan indeks kerukunan tertinggi adalah Papua Barat dengan indeks kerukunan 82,1 point, disusul Nusa Tenggara Timur 81,1 point, lalu Bali 80,1 points. Sementara itu yang terendah adalah Aceh 60,2 point, Sumatera barat 64,4 point dan Jawa Barat 68,5 point. Jawa Timur masih berada di bawah rerata nasional dengan 73,7point.

Dewasa ini kita sedang berada di era peningkatan kualitas pemahaman beragama. Berdasarkan survey-survey yang dilakukan oleh lembaga survey independen, maka identitas beragama juga menempati ranking tinggi dengan prosentase sebesar 43,8 persen, lalu disusul dengan identitas kesukuan sebesar 22,1 persen dan identitas nasional sebesar 22,1 persen dan identitas regional 9,3 persen. Data ini menggambarkan bahwa orang merasa senang dengan identitas keberagamaanya sebagai identitas sosialnya dibandingkan dengan identitas kesukuan atau identitas nasionalismenya.

Data ini tentu menggembirakan sekaligus juga memprihatinkan sebab identitas nasional atau identitas keindonesiaannya itu berada di bawah identias kesukuan, meskipun perbedaannya tidak signifikan. Saya sesungguhnya tidak terlalu khawatir, sebab bagi orang Indonesia identitas keagamaan sebenarnya juga identitas kebangsaannya. Hal ini didasari oleh suatu kenyataan bahwa menjadi umat Islam yang baik sebenarnya juga sudah menjadi warga negara yang baik. Orang yang mengamalkan agama Islam dengan benar hakikatnya merupakan warga negara yang baik. Jadi bukan gambaran “saya orang Indonesia yang beragama Islam” akan tetapi “saya orang Islam yang menjadi warga negara Indonesia”.

Kita sedang memasuki era disruptif dalam segala aspek kehidupan. Tidak hanya dalam aspek perkembangan teknologi informasi, dan artificial intelligent, akan tetapi juga dalam kehidupan sosial pada umumnya. Semakin menguatnya hoax, ujaran kebencian, dan penggunaan media sosial yang semakin massif juga menyisakan masalah bagi kehidupan umat beragama. Bukankah sisa-sisa pemilahan masyarakat dalam jargon politik identitas juga masih terasa sampai saat ini. pemilahan “politik Islam” dan “politik secular” juga masih terasa dampaknya hingga sekarang. Meskipun samar, tetapi pembelahan tersebut masih eksis di tengah kehidupan sebagian masyarakat.

Ketegangan ini akan semakin terasa nanti pada tahun 2022-2024. Menjelang tahun politik tersebut saya perkirakan akan terjadi ketagangan sosial yang semakin intens. Sebagaimana pengalaman tahun menjelang pilpres, maka perbedaan pendapat, pertentangan, rivalitas dan konflik sosial biasanya menjadi lebih kuat tekanannya, apalagi pilpres tahun 2024 adalah tahun pilpres yang kontestasi antar pendukung semakin kuat, dan saya kira pembelahan masyarakat di dalam dua kubu “Islamis” atau “secularis” juga akan kembali mengedepan.

Pada tahun tersebut penggunaan media sosial juga akan semakin massif terutama di kalangan generasi milenial. Pada era disruptif seperti ini, maka peluang untuk berkontestasi secara lebih keras akan bisa terjadi. Berdasarkan survey tentang “Indonesia Milenial Report 2019”, juga diketahui bahwa generasi milenial memiliki kecenderungan beragama yang lebih tinggi, misalnya menolak pemimpin non muslim dengan presentase sebesar 22,4 persen, dan yang menerima sebesar 47,9 persen. Data ini memberikan gambaran tentang “Islamisme” yang semakin memperoleh tempatnya di kalangan generasi milenial.

Mengamati terhadap data indeks kerukunan umat dan membandingkannya dengan data keberagamaan milenial tentu menarik. Menguatnya kerukunan umat beragama tentu harus diikuti dengan pemahaman beragama yang semakin inklusif, terbuka, toleran dan berkesetaraan, selain kerja sama yang semakin baik. Namun demikian melihat angka besaran yang tidak mentoleransi kelompok lain untuk menjadi pemimpin dan data identitas keberagamaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan identitas kebangsaan tentu bisa menjadi “wake up call” agar terus menerus mencermati pemahaman dan pengamalan beragama yang bercorak lebih eksklusif.

Meskipun demikian, data indeks umat beragama ini cukup bisa menjadi “hiburan” di tengah masih bergejolaknya keberagamaan yang makin keras, dengan berbagai munculnya secara tiba-tiba ekstrimisme dan terorisme yang bergerak seperti “Lone Wolf” yang beringas.

Pemerintah, organisasi sosial keagamaan dan masyarakat tentu bisa mencermati terhadap keberagamaan yang mengandung dimensi penafsiran tunggal dan hanya membenarkan tafsir agamanya sendiri. Meskipun indeks kerukunan umat beragama meningkat lebih baik, tetapi kewaspadaan terhadap isu-isu agama yang sensitive tentu tetap diperlukan.

Jadi, saya kira kita tetap harus mewaspadai terhadap gerakan-gerakan keberagaman yang mengandung kekerasan. Dan kita semua dipastikan harus terlibat di dalam mengerem lajunya pemaknaan agama yang berselaras dengan kekerasan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGGERAKKAN WAKAF BAGI KAUM MILENIAL

MENGGERAKKAN WAKAF BAGI KAUM MILENIAL

Pada sessi kedua, Rakornas BWI menghadirkan Ahmad Soekro Tratmono (Kepala Departemen Pengawasan Bank Syariah), Agus Priyo Waluyo (Tenaga Pengkaji Optimalisasi Kekayaan Negara) dan Dr. Iwan Ponjowinoto. Dari pembicaraan ketiga narasumber tersebut, kemudian saya garis bawahi sebagaimana tulisan saya ini.

Dari sisi IPM, Indonesia masih berkutat pada peringkat 111 dari 189 negara menurut UNDP. Dengan peringkat ini, maka Indonesia berada di posisi sedang dan berada di dalam urutan 6 Asean. Jadi, memang dibutuhkan upaya yang lebih sistematis untuk pengembangan kualitas SDM di Indonesia.Untuk mengembangkan SDM, kiranya diperlukan skema non APBN, dan salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan mendayagunakan wakaf sebagai instrument yang relevan. Agar bisa melakukannya, maka diperlukan menajemen wakaf yang baik, pengelolaan wakaf yang produktif dan strategis. Wakaf sesungguhnya bisa dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Di Indonesia, wakaf sudah mengalami diversifikasi dalam bentuk dan jenisnya, yaitu: wakaf dalam bentuk benda bergerak adalah uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak dan kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lainnya. Kemudian wakaf benda tidak bergerak, yaitu: sarana dan prasarana ibadah, sarana dan kegiatan pendidikan, sarana dan kegiatan kesehatan, bantuan kepada (fakir miskin, anak terlantar, yatim piyatu, beasiswa), kemajuan dan peningkatan ekonomi serta kemajuan kesejahteraan umum lainnya.

Salah satu yang ke depan bisa diandalkan dalam pengembangan wakaf adalah wakaf uang. Di dalam system wakaf uang, maka modalnya harus dipertahankan tidak berkurang, lalu keuntungan dari pemanfaatannya dapat digunakan untuk kepentingan umat. Melalui penghimpunan uang dalam skema zakat ini, maka ke depan diperkirakan akan terdapat perkembangan harta wakaf yang semakin besar. Memang perkembangannya belum menggembirakan, akan tetapi akhir-akhir ini sudah terdapat perkembangan yang signifikan. Apalagi sudah dilakukan upaya link dengan sukuk. Diharapkan tahun 2020 sudah akan terdapat wakaf link sukuk senilai 50 milyar sebagai proporsi yang dipersiapkan oleh Kemenkeu.

Di dalam konteks ini, yang sungguh harus diperkuat dalam pengelolaan wakaf adalah dengan pendekatan manajerial yang memadai, terutama Lembaga Keuangan Syariah dan Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). Melalui penguatan profesionalitas dan transparansi yang sedemikian kuat, maka kepercayaan terhadap LKS-PWU akan semakin besar dan peluang untuk memperoleh jumlah wakif –khususnya di kalangan generasi milenial—akan bisa dicapai lebih cepat. Hal ini tentu disebabkan oleh kecenderungan untuk bersedekah di kalangan generasi milenial yang cukup besar. Peluang ini yang harus ditangkap oleh BWI, LKS-PWU dan segenap pengelola wakaf (nadzir).

Kita bersyukur sebab berdasarkan survey-survey yang dilakukan dewasa ini memberikan gambaran tentang generasi milenial yang semakin religious. Indonesia adalah negara dengan jumlah umat Islam terbesar dengan high growth generasi milenial. Dari generasi milenial, maka yang bertransformasi menjadi lebih baik sebanyak 24 persen, yang mencari gaya hidup halal 27 persen, dan yang mengejar hidup halal sekaligus optimalisasi asset dan skill sebesar 8 persen.

Generasi milenial sangat akrab dengan internet. Indikasinya adalah pertumbuhan internet sebesar 28 persen pertahun, dan ke depan mayoritas penduduk produktif adalah kaum milenial. Sedangkan penetrasi internet sebesar 64 persen penduduk, mobile internet 36 persen dan pemakai smartphone sebesar 26 persen.

Para milenial sudah sangat akrab dengan media sosial. Namun demikian, ada beberapa tantangan yang terkait dengan relasi antara generasi milenial dengan wakaf, yaitu: rendahnya literasi wakaf produktif, wakaf uang dan wakaf berjangka. Mereka sulit mendapatkan informasi yang menarik. Lalu, para milenial juga masih ragu terhadap pengelolaan harta wakaf dan kemanfaatan wakaf bagi umat. Mereka juga kurang percaya dengan profesionalitas nadzir, dan kelayakan asset wakaf yang akan dibiayai dengan wakaf produktif. Termasuk juga keraguan tentang transparansi mengenai wakaf dan berbagai produknya. Dan yang tidak kalah penting mereka kurang mendapatkan keyakinan sebagai calon wakif dan kemudahan transaksi serta keamanan donator.

Di antara solusi yang bisa dilakukan adalah dengan membangun informasi yang menarik tentang wakaf dengan segala pernak-perniknya. Sajikan informasi wakaf dengan menggunakan bahasa teknologi informasi yang digandrungi oleh para milenial, misalnya lewat infografis, meme, speed writing dan media sosial lainnya. Selain itu juga harus dibangun system transparansi yang menjamin tingkat akuntabilitas dan kredibilitas pengelolaan wakaf, lalu juga harus dipikirkan untuk membangun kemudahan transaksi wakaf. Harus diingat bahwa kecenderungan kaum milenial adalah menggunakan e-money, makanya juga harus dibangun digital wakaf yang relevan dengan cara berpikir dan bertindak kaum milenial. Mereka harus diyakinkan bahwa wakaf produktif dan wakaf berjangka memiliki kemampuan untuk menjadi instrument bagi peningkatan kesejahteraan umat Islam.

Sungguh diperlukan penguatan tata kelola harta benda wakaf. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan ialah 1) penguatan kapasitas nadzir, yaitu dengan penguatan standart profesionalitas para nadzir serta memperluas peran nadzir sebagai konsultan para calon wakif, 2) inventarisasi dan penilaian dengan cara melakukan sensus seluruh harta wakaf dan melaksanakan pemetaan potensinya, 3) pengamanan harta benda wakaf melalui penertiban harta benda wakaf dalam dimensi administrasi, fisik dan hokum, 4) pemanfaatan harta benda wakaf ialah dengan memanfaatkan secara optimal sebagai alat produksi yang menghasilkan manfaat khusus, 5) digitalisasi proses bisnis utama, yaitu dengan cara merumuskan aplikasi yang relevan untuk mendukung efisiensi dan kemudahan berwakaf dan bisnis wakaf.

Semua ini dilakukan dalam kerangka menjemput kaum milenial untuk berkesadaran terhadap wakaf. Profesionalitas nadzir, transparansi pendayagunaan dan bisnis yang dilakukan, penjagaan terhadap harta wakaf dan digitalisasi wakaf tentu akan dapat menjadi medium penting untuk menjemput generasi milenial yang lebih cenderung religious.

Namun demikian yang juga sangat penting adalah membangun literasi wakaf berbasis pada pemanfaatan teknologi informasi dalam berbagai corak dan bentuknya yang memiliki relevansi dengan kemampuan TI yang sedemikian hebat di kalangan generasi milenial. Jadi rasanya, diperlukan pola baru yang signifikan dalam pemanfaatan TI untuk menarik generasi milenial berwakaf.

Wallahu a’lam bi al shawab.

WAKAF DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN UMAT

WAKAF DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN UMAT

Badan Wakaf Indonesia (BWI) memiliki hajat besar menjelang akhir tahun 2019, yaitu Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta Jakarta, 10-13 Desember 2019. Acara ini dibuka oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin. Hadir pada acara ini Ketua Badan Pelaksana BWI, Prof. Dr. Moh. NUH, Ketua Dewan Pertimbangan BWI, Dr. Slamet Riyanto, dan seluruh pengurus BWI Pusat dan Daerah dari seluruh Indonesia, serta undangan lainnya.

Raker ini menjadi momentum penting bagi seluruh punggawa BWI dalam menyamakan wawasan tentang percepatan menjadikan BWI sebagai sarana untuk menyejahterakan masyarakat. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, bahwa “untuk menyelesaikan problem umat Islam di dalam bidang ekonomi, maka agar umat Islam sendiri terlibat di dalam menyelesaikannya, dan salah satu instrument tersebut adalah wakaf”.

Ada tiga hal yang saya garis bawahi dari pidato Ketua BWI, Prof. Dr. Mohammad NUH, dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, yaitu: Pertama, wakaf sudah berkembang tidak hanya sebagaimana masa lalu, akan tetapi sudah didiversifikasi jenisnya dengan wakaf uang (cash wakaf). Memang ada kekhawatiran di saat awal tentang wakaf uang ini, sebab secara syar’i bahwa wakaf itu modalnya harus tetap terpelihara atau tidak berkurang, jika wakaf tersebut dalam bentuk tanah, maka tanahnya harus tetap ada, maka wakaf uang itu memiliki resiko yang besar, salah satu di antaranya harus dikelola agar modal atau asetnya tidak berkurang. Makanya, kemudian dikembangkan cash wakaf link sukuk, artinya dana yang terkumpul lalu dibelikan sukuk dan hal tersebut ditanggung oleh negara. Sekarang sudah terkumpul sebesar 30 milyard, dari peluang yang diberikan oleh Kemenkeu sebesar 50 milyar.

Diversifikasi harta wakaf itu juga terus ditumbuhkembangkan, misalnya dengan wakaf point melalui kerja sama dengan telkomsel. Dari pengguna telkomsel, maka dipastikan memiliki point yang di akhir tahun akan diketahui jumlahnya, maka point tersebut akan dapat didayagunakan untuk wakaf. Dari seluruh pelanggan telkomsel tentu akan bisa didapatkan sejumlah dana yang kemudian dimasukkan ke dalam wakaf. Di dalam konteks ini, maka telkomsel bisa secara langsung memasukkan ke dalam wakaf dengan pemberitahuan. Memang diperlukan kajian hukumnya, dan MUI tentu akan bisa memberikan fatwa tentang hal ini.

Kedua, wakaf adalah shadaqah jariyah, yang tidak akan habis pahalanya selama asset wakaf tersebut masih ada. Wakaf uang, misalnya adalah wakaf dalam bentuk uang yang modalnya juga harus tetap lestari. Tidak boleh berkurang sedikitpun. Yang dikembangkan adalah hasil upaya penggunaannya. Selama asset asalnya ini bisa dijaga maka wakaf uang, sebagaimana fatwa MUI diperbolehkan. Menurut Pak Wapres, MUI sudah memberikan fatwa tentang kebolehan wakaf uang dengan catatan modalnya harus terus berlanjut. Jadi wujudnya berlanjut dan manfaatnya juga berlanjut. Termasuk di dalam hal ini adalah penggantian tanah wakaf. Jika terdapat harta wakaf yang idol, maka diperkenankan untuk melakukan penggantian tanah wakaf, dengan catatan bahwa tanah pengganti tersebut memiliki keberlanjutan manfaat.

Wakaf diharapkan akan dapat menjadi contributor kesejahteraan umat. Wakaf harus diarahkan agar dapat menjadi asset produktif. Selama ini penggunaan wakaf masih untuk beberapa hal saja dengan prosentase, untuk masjid (75%), pendidikan (14%), Pemakaman (5%), lainnya (6%). Ke depan, yang perlu dikembangkan adalah bagaimana meningkatkan upaya wakaf produktif agar pemanfaatan hasil wakaf akan dpat didayagunakan untuk menyelesaikan problem umat miskin, kira-kira 25 juta, dan kebanyakan tentu adalah umat Islam. Oleh karena itu perlu sinergi dengan perbankan syariah dan keuangan syariah serta produk halal. Selama ini Indonesia baru menjadi “tukang” stempel produk halal dan belum menjadi produsen halal.

Ketiga, agar diupayakan mengembangkan platform digital wakaf. Memang harus diakui bahwa kita masih memiliki problem perwakafan, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Muhammad NUH, bahwa  kita perlu melakukan revisi terhadap UU Wakaf. Di tengah perubahan yang sedemikian cepat, maka UU Wakaf kiranya diperlukan upaya revisi, sehingga lebih bersearah dengan kemajuan yang terjadi. UU Wakaf diperlukan disatukan dengan UU Zakat, sehingga pengelolaannya akan menjadi sinergis. Lalu, problem tata kelola dan manjemen resiko. Seirama dengan perkembangan diversifikasi jenis wakaf, maka diperlukan upaya untuk pengelolaan wakaf agar lebih modern dan juga menerapkan manajemen resiko. Wakaf uang itu sarat dengan resiko, terkait dengan asset uang yang harus tetap berkelanjutan. Kemudian, pemanfaatan asset wakaf. Selama ini pemanfaatan wakaf masih untuk masjid, pendidikan dan makam, maka diperlukan upaya untuk mengembangkan usaha-usaha yang lebih variatif dengan mempertimbangkan keberlanjutan manfaat dan maslahahnya. Selanjutnya adalah problem nadzir, yang sebagaimana diketahui nadzir kita belum professional, sehingga pemanfaatan wakaf masih asal jalan saja.

Di tengah perkembangan teknologi informasi yang luar biasa, maka wakaf juga memerlukan sentuhan teknologi informasi. Maka, platform digital wakaf perlu diupayakan. Sekarang beberapa bisnis on line, seperti Bukalapak, Shopie, Tokopedia sudah mengembangkan bisnis yang bersearah dengan keuangan syariah. Oleh karena itu kiranya platform digital wakaf ini dapat dijemput sedemikian rupa, sehingga wakaf akan dapat bergerak lebih lincah di tengah gelegak perkembangan bisnis on line yang semakin kuat.

Jadi memang diperlukan tidak hanya perubahan mindset tentang wakaf, tetapi juga upaya praksis agar wakaf selalu up to date, dan tidak ketinggalan zaman. Dan semua itu tentu tergantung dari kita semua para pengurus BWI yang merupakan orang paling sadar tentang pemanfaatan wakaf untuk membangun kesejahteraan umat.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGAMALKAN ISLAM DAN PANCASILA

MENGAMALKAN ISLAM DAN PANCASILA

Ada sebuah pertanyaan menggelitik dari seorang guru ketika saya memberikan ceramah pada sessi khusus “Moderasi Beragama Untuk Membangun Harmoni dalam Masyarakat” yang diselenggarakan oleh Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan pada Ditjen Pendidikan Islam Kemenag, 5/12/2019, di Aula Madrasah Tsanawiyah Negeri Bangkalan. Acara ini dihadiri para guru dari daerah tiga T (terluar, terbelakang dan tertinggal) dalam tajuk acara “Visiting Teacher pada Guru Madrasah se Kabupaten Bangkalan”.

Pertanyaan tersebut adalah “apakah mengamalkan Islam secara kaffah sama dengan mengamalkan Pancasila, sebab amalan Islam yang kaffah itu terkait dengan seluruh amalan-amalan di dalam agama Islam, termasuk juga urusan kenegaraan? Sebuah pertanyaan yang menarik untuk direnungkan, disimak dan juga dijawab sebagai konsekuensi atas pilihan menetapkan Pancasila dan NKRI sebagai pilihan yang sangat wajar dan memang seharusnya seperti ini.

Jawaban atas pertanyaan ini menurut saya sungguh tidak sederhana, sebab di dalam pertanyaan ini tentu terkandung konsepsi bahwa di dalam Islam terdapat konsepsi khilafah. Jadi artinya, bahwa di dalam urusan kekuasaan mestinya harus berpatokan pada sistem khilafah tersebut. Di sinilah kata kunci mengapa pertanyaan ini sangat mendasar dalam kaitannya dengan pilihan bernegara dan berbangsa. Pertanyaan yang sederhana tetapi rumit untuk dijawab.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam Islam terdapat pola atau model kekuasaan. Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri juga merupakan contoh tentang bagaimana mengelola atau memanej kekuasaan tersebut. Dan yang menjadi basis regulasinya adalah Piagam Madinah, yang sudah sangat terkenal di dunia, tidak hanya di kalangan umat Islam tetapi juga orang-orang Barat. Piagam Madinah menjadi referensi dalam mengembangkan pola kekuasaan berbasis pada pluralitas dan multikulturalitas yang terjadi pada saat itu.

Indonesia merupakan satu contoh di antara negara-negara di dunia ini, yang menggunakan pola republic atau jumhuriyyah, sebagaimana negara-negara Islam lainnya yakni Mesir, Afghanistan, Pakistan dan lainnya. Sementara itu juga ada yang berpola kerajaan, seperti Arab Saudi, Malaysia dan sebagainya. Dengan demikian, persoalan negara adalah persoalan tafsir dan bukan persoalan ajaran atau teks. Menjadi kerajaan atau menjadi republic adalah consensus yang disepakati oleh para pendiri bangsa, penguasa dan rakyat untuk memilih mana yang terbaik di dalam menyelenggarakan pemerintahan.

Saudia Arabia yang memilih bentuk kerajaan, karena pendiri negara Saudi Arabia, Abdul Azis bin Saud, menginginkan agar keturunannya yang memegang tampuk kekuasaan di Arab Saudi. Demikian pula lainnya yang memilih system kerajaan. Sedangkan yang memilih jumhuriyyah, seperti Mesir dan negara Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah menginginkan agar system tersebut yang digunakannya. Jadi ada dimensi kepentingan, tujuan dan penyebab yang menjadi referensi untuk menentukan pilihan negara dengan bentuk seperti apa yang diinginkan.

Adakah pertentangan antara Islam dan Pancasila. Di dalam beberapa buku yang sudah saya baca, misalnya “Islam dan Pancasila” menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” tentu tidak bertentangan dengan prinsip “Tauhid” yang diajarkan di dalam Islam. Demikian pula Sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Di sini juga tidak ada sedikitpun kontrasnya dengan Islam. Bukankah Islam mengajarkan betapa Islam sangat menghargai dimensi kemanusiaan. Jauh sebelum Deklarasi PBB tentang Human Right, Islam sudah mengajarkan tentang prinsip-prinsip hidup berdampingan dengan lainnya, mengajarkan saling kasih sayang, saling menghormati, saling menolong dan sebagainya.

Lalu sila “Persatuan Indonesia”, tentu juga tidak bertentangan dengan Islam terutama terkait dengan negara bangsa. Arab Saudi tidak pernah mengklaim bahwa Raja Saudi Arabia adalah pemimpin dunia dengan bentuk kerajaannya. Dilakukannya penghargaan atas hak kewilayahan masing-masing negara, tanpa berasumsi bahwa negara Arab Saudi adalah membentang di seluruh dunia, dan dunia di bawah kendalinya. Hanya Israel yang sekarang ini masih mengklaim wilayah Palestina sebagai bagian wilayahnya karena factor historis. Jika menggunakan satu-satunya factor historis-geografis sebagai ukuran menentukan wilayah negara bangsa, maka Indonesia bisa mengklaim Indochina sebagai wilayahnya, karena di masa lalu menjadi wilayah negara Majapahit.

Sila keempat, adalah bagian dari cara pemimpin kita di masa lalu untuk menafsirkan “musyawarah” sebagai inti dari bagaimana kita mengkonstruksi kekuasaan. Maka, ada yang polanya seperti di Indonesia dengan demokrasi, dan ada yang dengan sistem kekhalifahan-kerajaan sebagai pola yang digunakan dan sebagainya. System demokrasi juga bervariasi sesuai dengan consensus yang dibangun di negara tersebut. Ada yang demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung. Jadi hal ini adalah wilayah tafsir kenegaraan berdasarkan atas konsensus bangsa melalui para pemimpinnya. Lalu, sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Adakah hal ini bertentangan dengan ajaran Islam. Islam adalah agama “keadilan” sebagai dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, para khalifahnya, dan juga sewaktu Khalifah Umar bin Abdul Azis. Saya kira teladan-teladan tersebut yang mengilhami bagaimana rumusan sila ke lima ini sedemikian hebat sebagai tujuan negara dan yang ingin diwujudkan di dalam negara Indonesia.

Di dalam konteks inilah saya selalu menyatakan: “menjadi umat Islam yang baik adalah menjadi warga negara yang baik”, “mengamalkan ajaran Islam dengan benar dan konsekuen adalah menjadi pengamal Pancasila yang benar dan bermartabat”, “menjadi pengamal Pancasila dengan baik sama dengan telah mengamalkan ajaran agama dengan baik”.

Jadi, untuk menjadi warga negara Republik Indonesia dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan NKRI sebagai bentuk final negara Indonesia, sebenarnya adalah keseluruhan dari pengamalan ajaran agama Islam yang kita yakini kebenarannya. Sama sekali tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila. Sama sekali tidak ada reduksi sedikitpun bahwa bernegara dengan system demokrasi lalu mengurangi pengamalan beragama Islam. Demokrasi atau monarkhi adalah pilihan rasional yang dicetuskan oleh pendiri negara, dan seharusnya juga menjadi mindset dan praksis di dalam kehidupan. Saya ingin menyitir KH. Sahal Mahfudz (alm) yang menyatakan pada saat Musyawarah Alim Ulama di Surabaya (1983), bahwa Keberadaan Pancasila dan NKRI di negeri ini sudah final, sehingga tidak diperlukan lagi ideology dan bentuk negara baru lainnya”

Wallahu a’lam bi al shawab.

DEKONSTRUKSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

DEKONSTRUKSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Saya kira tidak ada sesuatu yang sungguh baru dari apa yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadim Makarim, tentang produk pendidikan di Indonesia. Hanya saja karena hal itu disampaikan di dalam forum Pelantikan Rektor UI (4/11/2019) yang dihadiri oleh sejumlah menteri dan juga para professor dan civitas akademika UI, maka apa yang disampaikan menjadi sangat menarik.

Meskipun demikian, saya kira tetap ada “gereget” yang sedemikian lugas disampaikan oleh Mas Menteri terkait dengan pendidikan di Indonesia. Jika Beliau membuang teks pidato, juga bukan barang baru, sebab seorang pejabat pidato tanpa teks dengan mengabaikan bahan-bahan yang sudah disiapkan juga bukan sesuatu yang baru. Dahulu Pak Mendikbud, Daoed Yousoef, juga pernah melakukannya. Saat itu Beliau meminta mesin ketik untuk membuat pidatonya sendiri, sebab beliau ingin agar yang disampaikan adalah apa yang dipikirkan dan diinginkannya. Dan saya kira ada banyak pejabat kita yang juga melakukannya.

Nadim Makarim memang bagian dari Generasi Jenius Indonesia tentu tidak ada yang meragukan. Dengan talenta hebatnya itu, maka beliau bisa mendekonstruksi perusahaan transportasi yang selama ini memiliki armada sendiri, diubah bahwa perusahaan transportasi tidak perlu memiliki armada sendiri. Cukup dengan aplikasi, maka perusahaan bisa jalan dan bahkan berkembang sedemikian rupa. Dari Go Jek ke Go Food, Go Send, Go Pay, Go Massage dan sebagainya.

Pidato yang dirilis oleh berbagai media dengan news lead yang menarik karena disampaikan oleh Menteri Milenial dengan pakaian “ala” milenial: tanpa kaos kaki, sepatu kats, dan pakaian anak muda” tersebut membicarakan bahwa ke depan pendidikan akan dilihat dari produknya atau sejauh mana pengaruh pendidikan terhadap penguatan SDM andal. Apa yang bisa dilakukan oleh alumninya, apa yang bisa dikerjakannya dan bukan pada apa akreditasinya, berapa peringkatnya dan bagaimana proses pendidikannya. Lebih jauh dinyatakan agar pendidikan mengurangi program pembelajaran tertutup di ruang belajar dan agar diubah program pembelajarannya dengan memberikan kepada mitra didik untuk berkreasi sesuai dengan talentanya. Mitra didik harus dimerdekakan agar bisa membuat sesuatu yang lebih bermakna, dan guru atau dosen juga harus dikurangi atau bahkan “dibebaskan” dari aktivitas rutin administrasi yang melelahkan.

Saya kira yang menarik dari pidatonya itu adalah pemikirannya tentang mengukur pendidikan bukan dari akreditasi, proses pendidikan yang rumit, peringkat pendidikan di dunia internasional dan sebagainya, akan tetapi adalah apa yang dihasilkan oleh pendidikan tersebut. Dengan bahasa lain, “bisa apa lulusannya”. Jika pemikiran tentang produk pendidikan sebagai ukuran, saya kira kita sangat memahami karena memang begitulah seharusnya produk pendidikan. Namun pemikiran yang dekonstruktif saya kira adalah tentang status institusi pendidikan.

Menurut saya memang harus dibedakan secara generic antara status institusi pendidikan dengan output institusi pendidikan. Status pendidikan tentu menjadi sangat penting di tengah persaingan kelembagaan yang terus bergulir. Kita tidak bisa mengabaikan tentang peringkat, akreditasi, proses pendidikan, dan segala hal yang terkait dengan mutu institusi. Di sinilah sesungguhnya juga terjadi pertarungan yang sangat kuat. Peringkat institusi tentu menggambarkan bagaimana profile kelembagaan pendidikan.

Dewasa ini, banyak pimpinan perguruan tinggi yang mengejar target akreditasi, tidak hanya dari institusi dalam negeri (BAN-PT) akan tetapi juga dari lembaga akreditasi luar negeri, misalnya AUN-QA. Menurut saya, akreditasi, peringkat, profile pendidikan yang baik tentu menjadi ukuran kualitas kelembagaan yang tidak bisa ditawar. Semua pimpinan institusi pendidikan mestilah berpikir untuk meningkatkan profile lembaga pendidikannya agar menjadi lebih baik dari tahun ke tahun. Makanya sekarang ini banyak institusi pendidikan yang berjibaku untuk mengangkat citra lembaga pendidikannya sesuai dengan standart nasional maupun standart internasional.

Lalu pertanyaannya, apakah ada korelasi antara status kelembagaan dengan kualitas lulusan –bisa apa—maka perlu diperhatikan variabel-variabel yang terlibat di dalamnya. Alumni program studi sains dan teknologi “mungkin” akan lebih dekat dengan cara berpikir Mas Nadim Makarim, sebab yang dipelajarinya adalah terkait dengan bidang studi yang memiliki “kejelasan” out come. Namun untuk program studi ilmu sosial dan ilmu agama tentu harus menggunakan ukuran yang sungguh-sungguh berbeda. Bidang studi agama, misalnya ilmu tafsir dan ilmu hadits, tentu akan diukur dari tiga hal mendasar, apakah yang bersangkutan menguasai Al Qur’an dan Al Hadits serta penafsirannya dan kemampuan teknologi informasi untuk mendukung keahliannya tersebut. Bukankah sekarang juga berkembang aplikasi-aplikasi belajar Al Qur’an, belajar Tafsir dan Hadits dan sebagainya sebagai konsekuensi era revolusi industry 4.0. Kemudian program studi sosiologi juga bisa diukur dengan tiga hal, yaitu kemampuan memahami konsep-konsep sosiologis, kemampuan menganalisis masyarakat berbasis konsep-konsep yang dikuasainya dan kemampuan teknologi informasi yang mendukung terhadap ilmunya.

Oleh karena itu, saya kira pemikiran Mas Nadim ini harus dijadikan “renungan” untuk memprediksi bagaimana peran dan fungsi pendidikan pada era industry 4.0 atau era disruptive dan juga bagaimana pasca era revolusi industry 4.0. Saya kira memang semuanya harus berpikir tidak hanya kualitas institusi, tetapi juga bagaimana produk institusi di tengah kompetisi global yang tidak mampu dihadang oleh siapapun.

Wallahu a’lam bi al shawab.