KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI ERA DISRUPTIF
Hasil pemetaan kerukunan umat beragama (KUB) yang dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan (Balitbangdiklat) Kementerian Agama (Kemenag) 2019, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Agama, Fachrul Razy (11/12/2019) sungguh memberikan angin segar bagi umat beragama di Indonesia.
Dengan menggunakan tiga variabel, yaitu Toleransi, Kesetaraan dan Kerja sama, hasil survey Kemenag menghasilkan temuan: tingkat kerukunan sebesar 73,83 meningkat dibandingkan tahun 2018 sebesar 70,90. Jika dilihat dari masing-masing indikatornya, maka indeks toleransi 72,37 point, kesetaraan 73,72 point dan kerjasama 75,40 point.
Kemudian, provinsi dengan indeks kerukunan tertinggi adalah Papua Barat dengan indeks kerukunan 82,1 point, disusul Nusa Tenggara Timur 81,1 point, lalu Bali 80,1 points. Sementara itu yang terendah adalah Aceh 60,2 point, Sumatera barat 64,4 point dan Jawa Barat 68,5 point. Jawa Timur masih berada di bawah rerata nasional dengan 73,7point.
Dewasa ini kita sedang berada di era peningkatan kualitas pemahaman beragama. Berdasarkan survey-survey yang dilakukan oleh lembaga survey independen, maka identitas beragama juga menempati ranking tinggi dengan prosentase sebesar 43,8 persen, lalu disusul dengan identitas kesukuan sebesar 22,1 persen dan identitas nasional sebesar 22,1 persen dan identitas regional 9,3 persen. Data ini menggambarkan bahwa orang merasa senang dengan identitas keberagamaanya sebagai identitas sosialnya dibandingkan dengan identitas kesukuan atau identitas nasionalismenya.
Data ini tentu menggembirakan sekaligus juga memprihatinkan sebab identitas nasional atau identitas keindonesiaannya itu berada di bawah identias kesukuan, meskipun perbedaannya tidak signifikan. Saya sesungguhnya tidak terlalu khawatir, sebab bagi orang Indonesia identitas keagamaan sebenarnya juga identitas kebangsaannya. Hal ini didasari oleh suatu kenyataan bahwa menjadi umat Islam yang baik sebenarnya juga sudah menjadi warga negara yang baik. Orang yang mengamalkan agama Islam dengan benar hakikatnya merupakan warga negara yang baik. Jadi bukan gambaran “saya orang Indonesia yang beragama Islam” akan tetapi “saya orang Islam yang menjadi warga negara Indonesia”.
Kita sedang memasuki era disruptif dalam segala aspek kehidupan. Tidak hanya dalam aspek perkembangan teknologi informasi, dan artificial intelligent, akan tetapi juga dalam kehidupan sosial pada umumnya. Semakin menguatnya hoax, ujaran kebencian, dan penggunaan media sosial yang semakin massif juga menyisakan masalah bagi kehidupan umat beragama. Bukankah sisa-sisa pemilahan masyarakat dalam jargon politik identitas juga masih terasa sampai saat ini. pemilahan “politik Islam” dan “politik secular” juga masih terasa dampaknya hingga sekarang. Meskipun samar, tetapi pembelahan tersebut masih eksis di tengah kehidupan sebagian masyarakat.
Ketegangan ini akan semakin terasa nanti pada tahun 2022-2024. Menjelang tahun politik tersebut saya perkirakan akan terjadi ketagangan sosial yang semakin intens. Sebagaimana pengalaman tahun menjelang pilpres, maka perbedaan pendapat, pertentangan, rivalitas dan konflik sosial biasanya menjadi lebih kuat tekanannya, apalagi pilpres tahun 2024 adalah tahun pilpres yang kontestasi antar pendukung semakin kuat, dan saya kira pembelahan masyarakat di dalam dua kubu “Islamis” atau “secularis” juga akan kembali mengedepan.
Pada tahun tersebut penggunaan media sosial juga akan semakin massif terutama di kalangan generasi milenial. Pada era disruptif seperti ini, maka peluang untuk berkontestasi secara lebih keras akan bisa terjadi. Berdasarkan survey tentang “Indonesia Milenial Report 2019”, juga diketahui bahwa generasi milenial memiliki kecenderungan beragama yang lebih tinggi, misalnya menolak pemimpin non muslim dengan presentase sebesar 22,4 persen, dan yang menerima sebesar 47,9 persen. Data ini memberikan gambaran tentang “Islamisme” yang semakin memperoleh tempatnya di kalangan generasi milenial.
Mengamati terhadap data indeks kerukunan umat dan membandingkannya dengan data keberagamaan milenial tentu menarik. Menguatnya kerukunan umat beragama tentu harus diikuti dengan pemahaman beragama yang semakin inklusif, terbuka, toleran dan berkesetaraan, selain kerja sama yang semakin baik. Namun demikian melihat angka besaran yang tidak mentoleransi kelompok lain untuk menjadi pemimpin dan data identitas keberagamaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan identitas kebangsaan tentu bisa menjadi “wake up call” agar terus menerus mencermati pemahaman dan pengamalan beragama yang bercorak lebih eksklusif.
Meskipun demikian, data indeks umat beragama ini cukup bisa menjadi “hiburan” di tengah masih bergejolaknya keberagamaan yang makin keras, dengan berbagai munculnya secara tiba-tiba ekstrimisme dan terorisme yang bergerak seperti “Lone Wolf” yang beringas.
Pemerintah, organisasi sosial keagamaan dan masyarakat tentu bisa mencermati terhadap keberagamaan yang mengandung dimensi penafsiran tunggal dan hanya membenarkan tafsir agamanya sendiri. Meskipun indeks kerukunan umat beragama meningkat lebih baik, tetapi kewaspadaan terhadap isu-isu agama yang sensitive tentu tetap diperlukan.
Jadi, saya kira kita tetap harus mewaspadai terhadap gerakan-gerakan keberagaman yang mengandung kekerasan. Dan kita semua dipastikan harus terlibat di dalam mengerem lajunya pemaknaan agama yang berselaras dengan kekerasan.
Wallahu a’lam bi al shawab.