Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGAMALKAN ISLAM DAN PANCASILA

MENGAMALKAN ISLAM DAN PANCASILA

Ada sebuah pertanyaan menggelitik dari seorang guru ketika saya memberikan ceramah pada sessi khusus “Moderasi Beragama Untuk Membangun Harmoni dalam Masyarakat” yang diselenggarakan oleh Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan pada Ditjen Pendidikan Islam Kemenag, 5/12/2019, di Aula Madrasah Tsanawiyah Negeri Bangkalan. Acara ini dihadiri para guru dari daerah tiga T (terluar, terbelakang dan tertinggal) dalam tajuk acara “Visiting Teacher pada Guru Madrasah se Kabupaten Bangkalan”.

Pertanyaan tersebut adalah “apakah mengamalkan Islam secara kaffah sama dengan mengamalkan Pancasila, sebab amalan Islam yang kaffah itu terkait dengan seluruh amalan-amalan di dalam agama Islam, termasuk juga urusan kenegaraan? Sebuah pertanyaan yang menarik untuk direnungkan, disimak dan juga dijawab sebagai konsekuensi atas pilihan menetapkan Pancasila dan NKRI sebagai pilihan yang sangat wajar dan memang seharusnya seperti ini.

Jawaban atas pertanyaan ini menurut saya sungguh tidak sederhana, sebab di dalam pertanyaan ini tentu terkandung konsepsi bahwa di dalam Islam terdapat konsepsi khilafah. Jadi artinya, bahwa di dalam urusan kekuasaan mestinya harus berpatokan pada sistem khilafah tersebut. Di sinilah kata kunci mengapa pertanyaan ini sangat mendasar dalam kaitannya dengan pilihan bernegara dan berbangsa. Pertanyaan yang sederhana tetapi rumit untuk dijawab.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam Islam terdapat pola atau model kekuasaan. Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri juga merupakan contoh tentang bagaimana mengelola atau memanej kekuasaan tersebut. Dan yang menjadi basis regulasinya adalah Piagam Madinah, yang sudah sangat terkenal di dunia, tidak hanya di kalangan umat Islam tetapi juga orang-orang Barat. Piagam Madinah menjadi referensi dalam mengembangkan pola kekuasaan berbasis pada pluralitas dan multikulturalitas yang terjadi pada saat itu.

Indonesia merupakan satu contoh di antara negara-negara di dunia ini, yang menggunakan pola republic atau jumhuriyyah, sebagaimana negara-negara Islam lainnya yakni Mesir, Afghanistan, Pakistan dan lainnya. Sementara itu juga ada yang berpola kerajaan, seperti Arab Saudi, Malaysia dan sebagainya. Dengan demikian, persoalan negara adalah persoalan tafsir dan bukan persoalan ajaran atau teks. Menjadi kerajaan atau menjadi republic adalah consensus yang disepakati oleh para pendiri bangsa, penguasa dan rakyat untuk memilih mana yang terbaik di dalam menyelenggarakan pemerintahan.

Saudia Arabia yang memilih bentuk kerajaan, karena pendiri negara Saudi Arabia, Abdul Azis bin Saud, menginginkan agar keturunannya yang memegang tampuk kekuasaan di Arab Saudi. Demikian pula lainnya yang memilih system kerajaan. Sedangkan yang memilih jumhuriyyah, seperti Mesir dan negara Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah menginginkan agar system tersebut yang digunakannya. Jadi ada dimensi kepentingan, tujuan dan penyebab yang menjadi referensi untuk menentukan pilihan negara dengan bentuk seperti apa yang diinginkan.

Adakah pertentangan antara Islam dan Pancasila. Di dalam beberapa buku yang sudah saya baca, misalnya “Islam dan Pancasila” menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” tentu tidak bertentangan dengan prinsip “Tauhid” yang diajarkan di dalam Islam. Demikian pula Sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Di sini juga tidak ada sedikitpun kontrasnya dengan Islam. Bukankah Islam mengajarkan betapa Islam sangat menghargai dimensi kemanusiaan. Jauh sebelum Deklarasi PBB tentang Human Right, Islam sudah mengajarkan tentang prinsip-prinsip hidup berdampingan dengan lainnya, mengajarkan saling kasih sayang, saling menghormati, saling menolong dan sebagainya.

Lalu sila “Persatuan Indonesia”, tentu juga tidak bertentangan dengan Islam terutama terkait dengan negara bangsa. Arab Saudi tidak pernah mengklaim bahwa Raja Saudi Arabia adalah pemimpin dunia dengan bentuk kerajaannya. Dilakukannya penghargaan atas hak kewilayahan masing-masing negara, tanpa berasumsi bahwa negara Arab Saudi adalah membentang di seluruh dunia, dan dunia di bawah kendalinya. Hanya Israel yang sekarang ini masih mengklaim wilayah Palestina sebagai bagian wilayahnya karena factor historis. Jika menggunakan satu-satunya factor historis-geografis sebagai ukuran menentukan wilayah negara bangsa, maka Indonesia bisa mengklaim Indochina sebagai wilayahnya, karena di masa lalu menjadi wilayah negara Majapahit.

Sila keempat, adalah bagian dari cara pemimpin kita di masa lalu untuk menafsirkan “musyawarah” sebagai inti dari bagaimana kita mengkonstruksi kekuasaan. Maka, ada yang polanya seperti di Indonesia dengan demokrasi, dan ada yang dengan sistem kekhalifahan-kerajaan sebagai pola yang digunakan dan sebagainya. System demokrasi juga bervariasi sesuai dengan consensus yang dibangun di negara tersebut. Ada yang demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung. Jadi hal ini adalah wilayah tafsir kenegaraan berdasarkan atas konsensus bangsa melalui para pemimpinnya. Lalu, sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Adakah hal ini bertentangan dengan ajaran Islam. Islam adalah agama “keadilan” sebagai dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, para khalifahnya, dan juga sewaktu Khalifah Umar bin Abdul Azis. Saya kira teladan-teladan tersebut yang mengilhami bagaimana rumusan sila ke lima ini sedemikian hebat sebagai tujuan negara dan yang ingin diwujudkan di dalam negara Indonesia.

Di dalam konteks inilah saya selalu menyatakan: “menjadi umat Islam yang baik adalah menjadi warga negara yang baik”, “mengamalkan ajaran Islam dengan benar dan konsekuen adalah menjadi pengamal Pancasila yang benar dan bermartabat”, “menjadi pengamal Pancasila dengan baik sama dengan telah mengamalkan ajaran agama dengan baik”.

Jadi, untuk menjadi warga negara Republik Indonesia dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan NKRI sebagai bentuk final negara Indonesia, sebenarnya adalah keseluruhan dari pengamalan ajaran agama Islam yang kita yakini kebenarannya. Sama sekali tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila. Sama sekali tidak ada reduksi sedikitpun bahwa bernegara dengan system demokrasi lalu mengurangi pengamalan beragama Islam. Demokrasi atau monarkhi adalah pilihan rasional yang dicetuskan oleh pendiri negara, dan seharusnya juga menjadi mindset dan praksis di dalam kehidupan. Saya ingin menyitir KH. Sahal Mahfudz (alm) yang menyatakan pada saat Musyawarah Alim Ulama di Surabaya (1983), bahwa Keberadaan Pancasila dan NKRI di negeri ini sudah final, sehingga tidak diperlukan lagi ideology dan bentuk negara baru lainnya”

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..