MENGGERAKKAN WAKAF BAGI KAUM MILENIAL
MENGGERAKKAN WAKAF BAGI KAUM MILENIAL
Pada sessi kedua, Rakornas BWI menghadirkan Ahmad Soekro Tratmono (Kepala Departemen Pengawasan Bank Syariah), Agus Priyo Waluyo (Tenaga Pengkaji Optimalisasi Kekayaan Negara) dan Dr. Iwan Ponjowinoto. Dari pembicaraan ketiga narasumber tersebut, kemudian saya garis bawahi sebagaimana tulisan saya ini.
Dari sisi IPM, Indonesia masih berkutat pada peringkat 111 dari 189 negara menurut UNDP. Dengan peringkat ini, maka Indonesia berada di posisi sedang dan berada di dalam urutan 6 Asean. Jadi, memang dibutuhkan upaya yang lebih sistematis untuk pengembangan kualitas SDM di Indonesia.Untuk mengembangkan SDM, kiranya diperlukan skema non APBN, dan salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan mendayagunakan wakaf sebagai instrument yang relevan. Agar bisa melakukannya, maka diperlukan menajemen wakaf yang baik, pengelolaan wakaf yang produktif dan strategis. Wakaf sesungguhnya bisa dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Di Indonesia, wakaf sudah mengalami diversifikasi dalam bentuk dan jenisnya, yaitu: wakaf dalam bentuk benda bergerak adalah uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak dan kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lainnya. Kemudian wakaf benda tidak bergerak, yaitu: sarana dan prasarana ibadah, sarana dan kegiatan pendidikan, sarana dan kegiatan kesehatan, bantuan kepada (fakir miskin, anak terlantar, yatim piyatu, beasiswa), kemajuan dan peningkatan ekonomi serta kemajuan kesejahteraan umum lainnya.
Salah satu yang ke depan bisa diandalkan dalam pengembangan wakaf adalah wakaf uang. Di dalam system wakaf uang, maka modalnya harus dipertahankan tidak berkurang, lalu keuntungan dari pemanfaatannya dapat digunakan untuk kepentingan umat. Melalui penghimpunan uang dalam skema zakat ini, maka ke depan diperkirakan akan terdapat perkembangan harta wakaf yang semakin besar. Memang perkembangannya belum menggembirakan, akan tetapi akhir-akhir ini sudah terdapat perkembangan yang signifikan. Apalagi sudah dilakukan upaya link dengan sukuk. Diharapkan tahun 2020 sudah akan terdapat wakaf link sukuk senilai 50 milyar sebagai proporsi yang dipersiapkan oleh Kemenkeu.
Di dalam konteks ini, yang sungguh harus diperkuat dalam pengelolaan wakaf adalah dengan pendekatan manajerial yang memadai, terutama Lembaga Keuangan Syariah dan Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). Melalui penguatan profesionalitas dan transparansi yang sedemikian kuat, maka kepercayaan terhadap LKS-PWU akan semakin besar dan peluang untuk memperoleh jumlah wakif –khususnya di kalangan generasi milenial—akan bisa dicapai lebih cepat. Hal ini tentu disebabkan oleh kecenderungan untuk bersedekah di kalangan generasi milenial yang cukup besar. Peluang ini yang harus ditangkap oleh BWI, LKS-PWU dan segenap pengelola wakaf (nadzir).
Kita bersyukur sebab berdasarkan survey-survey yang dilakukan dewasa ini memberikan gambaran tentang generasi milenial yang semakin religious. Indonesia adalah negara dengan jumlah umat Islam terbesar dengan high growth generasi milenial. Dari generasi milenial, maka yang bertransformasi menjadi lebih baik sebanyak 24 persen, yang mencari gaya hidup halal 27 persen, dan yang mengejar hidup halal sekaligus optimalisasi asset dan skill sebesar 8 persen.
Generasi milenial sangat akrab dengan internet. Indikasinya adalah pertumbuhan internet sebesar 28 persen pertahun, dan ke depan mayoritas penduduk produktif adalah kaum milenial. Sedangkan penetrasi internet sebesar 64 persen penduduk, mobile internet 36 persen dan pemakai smartphone sebesar 26 persen.
Para milenial sudah sangat akrab dengan media sosial. Namun demikian, ada beberapa tantangan yang terkait dengan relasi antara generasi milenial dengan wakaf, yaitu: rendahnya literasi wakaf produktif, wakaf uang dan wakaf berjangka. Mereka sulit mendapatkan informasi yang menarik. Lalu, para milenial juga masih ragu terhadap pengelolaan harta wakaf dan kemanfaatan wakaf bagi umat. Mereka juga kurang percaya dengan profesionalitas nadzir, dan kelayakan asset wakaf yang akan dibiayai dengan wakaf produktif. Termasuk juga keraguan tentang transparansi mengenai wakaf dan berbagai produknya. Dan yang tidak kalah penting mereka kurang mendapatkan keyakinan sebagai calon wakif dan kemudahan transaksi serta keamanan donator.
Di antara solusi yang bisa dilakukan adalah dengan membangun informasi yang menarik tentang wakaf dengan segala pernak-perniknya. Sajikan informasi wakaf dengan menggunakan bahasa teknologi informasi yang digandrungi oleh para milenial, misalnya lewat infografis, meme, speed writing dan media sosial lainnya. Selain itu juga harus dibangun system transparansi yang menjamin tingkat akuntabilitas dan kredibilitas pengelolaan wakaf, lalu juga harus dipikirkan untuk membangun kemudahan transaksi wakaf. Harus diingat bahwa kecenderungan kaum milenial adalah menggunakan e-money, makanya juga harus dibangun digital wakaf yang relevan dengan cara berpikir dan bertindak kaum milenial. Mereka harus diyakinkan bahwa wakaf produktif dan wakaf berjangka memiliki kemampuan untuk menjadi instrument bagi peningkatan kesejahteraan umat Islam.
Sungguh diperlukan penguatan tata kelola harta benda wakaf. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan ialah 1) penguatan kapasitas nadzir, yaitu dengan penguatan standart profesionalitas para nadzir serta memperluas peran nadzir sebagai konsultan para calon wakif, 2) inventarisasi dan penilaian dengan cara melakukan sensus seluruh harta wakaf dan melaksanakan pemetaan potensinya, 3) pengamanan harta benda wakaf melalui penertiban harta benda wakaf dalam dimensi administrasi, fisik dan hokum, 4) pemanfaatan harta benda wakaf ialah dengan memanfaatkan secara optimal sebagai alat produksi yang menghasilkan manfaat khusus, 5) digitalisasi proses bisnis utama, yaitu dengan cara merumuskan aplikasi yang relevan untuk mendukung efisiensi dan kemudahan berwakaf dan bisnis wakaf.
Semua ini dilakukan dalam kerangka menjemput kaum milenial untuk berkesadaran terhadap wakaf. Profesionalitas nadzir, transparansi pendayagunaan dan bisnis yang dilakukan, penjagaan terhadap harta wakaf dan digitalisasi wakaf tentu akan dapat menjadi medium penting untuk menjemput generasi milenial yang lebih cenderung religious.
Namun demikian yang juga sangat penting adalah membangun literasi wakaf berbasis pada pemanfaatan teknologi informasi dalam berbagai corak dan bentuknya yang memiliki relevansi dengan kemampuan TI yang sedemikian hebat di kalangan generasi milenial. Jadi rasanya, diperlukan pola baru yang signifikan dalam pemanfaatan TI untuk menarik generasi milenial berwakaf.
Wallahu a’lam bi al shawab.