DEKONSTRUKSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
DEKONSTRUKSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Saya kira tidak ada sesuatu yang sungguh baru dari apa yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadim Makarim, tentang produk pendidikan di Indonesia. Hanya saja karena hal itu disampaikan di dalam forum Pelantikan Rektor UI (4/11/2019) yang dihadiri oleh sejumlah menteri dan juga para professor dan civitas akademika UI, maka apa yang disampaikan menjadi sangat menarik.
Meskipun demikian, saya kira tetap ada “gereget” yang sedemikian lugas disampaikan oleh Mas Menteri terkait dengan pendidikan di Indonesia. Jika Beliau membuang teks pidato, juga bukan barang baru, sebab seorang pejabat pidato tanpa teks dengan mengabaikan bahan-bahan yang sudah disiapkan juga bukan sesuatu yang baru. Dahulu Pak Mendikbud, Daoed Yousoef, juga pernah melakukannya. Saat itu Beliau meminta mesin ketik untuk membuat pidatonya sendiri, sebab beliau ingin agar yang disampaikan adalah apa yang dipikirkan dan diinginkannya. Dan saya kira ada banyak pejabat kita yang juga melakukannya.
Nadim Makarim memang bagian dari Generasi Jenius Indonesia tentu tidak ada yang meragukan. Dengan talenta hebatnya itu, maka beliau bisa mendekonstruksi perusahaan transportasi yang selama ini memiliki armada sendiri, diubah bahwa perusahaan transportasi tidak perlu memiliki armada sendiri. Cukup dengan aplikasi, maka perusahaan bisa jalan dan bahkan berkembang sedemikian rupa. Dari Go Jek ke Go Food, Go Send, Go Pay, Go Massage dan sebagainya.
Pidato yang dirilis oleh berbagai media dengan news lead yang menarik karena disampaikan oleh Menteri Milenial dengan pakaian “ala” milenial: tanpa kaos kaki, sepatu kats, dan pakaian anak muda” tersebut membicarakan bahwa ke depan pendidikan akan dilihat dari produknya atau sejauh mana pengaruh pendidikan terhadap penguatan SDM andal. Apa yang bisa dilakukan oleh alumninya, apa yang bisa dikerjakannya dan bukan pada apa akreditasinya, berapa peringkatnya dan bagaimana proses pendidikannya. Lebih jauh dinyatakan agar pendidikan mengurangi program pembelajaran tertutup di ruang belajar dan agar diubah program pembelajarannya dengan memberikan kepada mitra didik untuk berkreasi sesuai dengan talentanya. Mitra didik harus dimerdekakan agar bisa membuat sesuatu yang lebih bermakna, dan guru atau dosen juga harus dikurangi atau bahkan “dibebaskan” dari aktivitas rutin administrasi yang melelahkan.
Saya kira yang menarik dari pidatonya itu adalah pemikirannya tentang mengukur pendidikan bukan dari akreditasi, proses pendidikan yang rumit, peringkat pendidikan di dunia internasional dan sebagainya, akan tetapi adalah apa yang dihasilkan oleh pendidikan tersebut. Dengan bahasa lain, “bisa apa lulusannya”. Jika pemikiran tentang produk pendidikan sebagai ukuran, saya kira kita sangat memahami karena memang begitulah seharusnya produk pendidikan. Namun pemikiran yang dekonstruktif saya kira adalah tentang status institusi pendidikan.
Menurut saya memang harus dibedakan secara generic antara status institusi pendidikan dengan output institusi pendidikan. Status pendidikan tentu menjadi sangat penting di tengah persaingan kelembagaan yang terus bergulir. Kita tidak bisa mengabaikan tentang peringkat, akreditasi, proses pendidikan, dan segala hal yang terkait dengan mutu institusi. Di sinilah sesungguhnya juga terjadi pertarungan yang sangat kuat. Peringkat institusi tentu menggambarkan bagaimana profile kelembagaan pendidikan.
Dewasa ini, banyak pimpinan perguruan tinggi yang mengejar target akreditasi, tidak hanya dari institusi dalam negeri (BAN-PT) akan tetapi juga dari lembaga akreditasi luar negeri, misalnya AUN-QA. Menurut saya, akreditasi, peringkat, profile pendidikan yang baik tentu menjadi ukuran kualitas kelembagaan yang tidak bisa ditawar. Semua pimpinan institusi pendidikan mestilah berpikir untuk meningkatkan profile lembaga pendidikannya agar menjadi lebih baik dari tahun ke tahun. Makanya sekarang ini banyak institusi pendidikan yang berjibaku untuk mengangkat citra lembaga pendidikannya sesuai dengan standart nasional maupun standart internasional.
Lalu pertanyaannya, apakah ada korelasi antara status kelembagaan dengan kualitas lulusan –bisa apa—maka perlu diperhatikan variabel-variabel yang terlibat di dalamnya. Alumni program studi sains dan teknologi “mungkin” akan lebih dekat dengan cara berpikir Mas Nadim Makarim, sebab yang dipelajarinya adalah terkait dengan bidang studi yang memiliki “kejelasan” out come. Namun untuk program studi ilmu sosial dan ilmu agama tentu harus menggunakan ukuran yang sungguh-sungguh berbeda. Bidang studi agama, misalnya ilmu tafsir dan ilmu hadits, tentu akan diukur dari tiga hal mendasar, apakah yang bersangkutan menguasai Al Qur’an dan Al Hadits serta penafsirannya dan kemampuan teknologi informasi untuk mendukung keahliannya tersebut. Bukankah sekarang juga berkembang aplikasi-aplikasi belajar Al Qur’an, belajar Tafsir dan Hadits dan sebagainya sebagai konsekuensi era revolusi industry 4.0. Kemudian program studi sosiologi juga bisa diukur dengan tiga hal, yaitu kemampuan memahami konsep-konsep sosiologis, kemampuan menganalisis masyarakat berbasis konsep-konsep yang dikuasainya dan kemampuan teknologi informasi yang mendukung terhadap ilmunya.
Oleh karena itu, saya kira pemikiran Mas Nadim ini harus dijadikan “renungan” untuk memprediksi bagaimana peran dan fungsi pendidikan pada era industry 4.0 atau era disruptive dan juga bagaimana pasca era revolusi industry 4.0. Saya kira memang semuanya harus berpikir tidak hanya kualitas institusi, tetapi juga bagaimana produk institusi di tengah kompetisi global yang tidak mampu dihadang oleh siapapun.
Wallahu a’lam bi al shawab.