Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

WAKAF DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN UMAT

WAKAF DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN UMAT

Badan Wakaf Indonesia (BWI) memiliki hajat besar menjelang akhir tahun 2019, yaitu Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta Jakarta, 10-13 Desember 2019. Acara ini dibuka oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin. Hadir pada acara ini Ketua Badan Pelaksana BWI, Prof. Dr. Moh. NUH, Ketua Dewan Pertimbangan BWI, Dr. Slamet Riyanto, dan seluruh pengurus BWI Pusat dan Daerah dari seluruh Indonesia, serta undangan lainnya.

Raker ini menjadi momentum penting bagi seluruh punggawa BWI dalam menyamakan wawasan tentang percepatan menjadikan BWI sebagai sarana untuk menyejahterakan masyarakat. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, bahwa “untuk menyelesaikan problem umat Islam di dalam bidang ekonomi, maka agar umat Islam sendiri terlibat di dalam menyelesaikannya, dan salah satu instrument tersebut adalah wakaf”.

Ada tiga hal yang saya garis bawahi dari pidato Ketua BWI, Prof. Dr. Mohammad NUH, dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, yaitu: Pertama, wakaf sudah berkembang tidak hanya sebagaimana masa lalu, akan tetapi sudah didiversifikasi jenisnya dengan wakaf uang (cash wakaf). Memang ada kekhawatiran di saat awal tentang wakaf uang ini, sebab secara syar’i bahwa wakaf itu modalnya harus tetap terpelihara atau tidak berkurang, jika wakaf tersebut dalam bentuk tanah, maka tanahnya harus tetap ada, maka wakaf uang itu memiliki resiko yang besar, salah satu di antaranya harus dikelola agar modal atau asetnya tidak berkurang. Makanya, kemudian dikembangkan cash wakaf link sukuk, artinya dana yang terkumpul lalu dibelikan sukuk dan hal tersebut ditanggung oleh negara. Sekarang sudah terkumpul sebesar 30 milyard, dari peluang yang diberikan oleh Kemenkeu sebesar 50 milyar.

Diversifikasi harta wakaf itu juga terus ditumbuhkembangkan, misalnya dengan wakaf point melalui kerja sama dengan telkomsel. Dari pengguna telkomsel, maka dipastikan memiliki point yang di akhir tahun akan diketahui jumlahnya, maka point tersebut akan dapat didayagunakan untuk wakaf. Dari seluruh pelanggan telkomsel tentu akan bisa didapatkan sejumlah dana yang kemudian dimasukkan ke dalam wakaf. Di dalam konteks ini, maka telkomsel bisa secara langsung memasukkan ke dalam wakaf dengan pemberitahuan. Memang diperlukan kajian hukumnya, dan MUI tentu akan bisa memberikan fatwa tentang hal ini.

Kedua, wakaf adalah shadaqah jariyah, yang tidak akan habis pahalanya selama asset wakaf tersebut masih ada. Wakaf uang, misalnya adalah wakaf dalam bentuk uang yang modalnya juga harus tetap lestari. Tidak boleh berkurang sedikitpun. Yang dikembangkan adalah hasil upaya penggunaannya. Selama asset asalnya ini bisa dijaga maka wakaf uang, sebagaimana fatwa MUI diperbolehkan. Menurut Pak Wapres, MUI sudah memberikan fatwa tentang kebolehan wakaf uang dengan catatan modalnya harus terus berlanjut. Jadi wujudnya berlanjut dan manfaatnya juga berlanjut. Termasuk di dalam hal ini adalah penggantian tanah wakaf. Jika terdapat harta wakaf yang idol, maka diperkenankan untuk melakukan penggantian tanah wakaf, dengan catatan bahwa tanah pengganti tersebut memiliki keberlanjutan manfaat.

Wakaf diharapkan akan dapat menjadi contributor kesejahteraan umat. Wakaf harus diarahkan agar dapat menjadi asset produktif. Selama ini penggunaan wakaf masih untuk beberapa hal saja dengan prosentase, untuk masjid (75%), pendidikan (14%), Pemakaman (5%), lainnya (6%). Ke depan, yang perlu dikembangkan adalah bagaimana meningkatkan upaya wakaf produktif agar pemanfaatan hasil wakaf akan dpat didayagunakan untuk menyelesaikan problem umat miskin, kira-kira 25 juta, dan kebanyakan tentu adalah umat Islam. Oleh karena itu perlu sinergi dengan perbankan syariah dan keuangan syariah serta produk halal. Selama ini Indonesia baru menjadi “tukang” stempel produk halal dan belum menjadi produsen halal.

Ketiga, agar diupayakan mengembangkan platform digital wakaf. Memang harus diakui bahwa kita masih memiliki problem perwakafan, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Muhammad NUH, bahwa  kita perlu melakukan revisi terhadap UU Wakaf. Di tengah perubahan yang sedemikian cepat, maka UU Wakaf kiranya diperlukan upaya revisi, sehingga lebih bersearah dengan kemajuan yang terjadi. UU Wakaf diperlukan disatukan dengan UU Zakat, sehingga pengelolaannya akan menjadi sinergis. Lalu, problem tata kelola dan manjemen resiko. Seirama dengan perkembangan diversifikasi jenis wakaf, maka diperlukan upaya untuk pengelolaan wakaf agar lebih modern dan juga menerapkan manajemen resiko. Wakaf uang itu sarat dengan resiko, terkait dengan asset uang yang harus tetap berkelanjutan. Kemudian, pemanfaatan asset wakaf. Selama ini pemanfaatan wakaf masih untuk masjid, pendidikan dan makam, maka diperlukan upaya untuk mengembangkan usaha-usaha yang lebih variatif dengan mempertimbangkan keberlanjutan manfaat dan maslahahnya. Selanjutnya adalah problem nadzir, yang sebagaimana diketahui nadzir kita belum professional, sehingga pemanfaatan wakaf masih asal jalan saja.

Di tengah perkembangan teknologi informasi yang luar biasa, maka wakaf juga memerlukan sentuhan teknologi informasi. Maka, platform digital wakaf perlu diupayakan. Sekarang beberapa bisnis on line, seperti Bukalapak, Shopie, Tokopedia sudah mengembangkan bisnis yang bersearah dengan keuangan syariah. Oleh karena itu kiranya platform digital wakaf ini dapat dijemput sedemikian rupa, sehingga wakaf akan dapat bergerak lebih lincah di tengah gelegak perkembangan bisnis on line yang semakin kuat.

Jadi memang diperlukan tidak hanya perubahan mindset tentang wakaf, tetapi juga upaya praksis agar wakaf selalu up to date, dan tidak ketinggalan zaman. Dan semua itu tentu tergantung dari kita semua para pengurus BWI yang merupakan orang paling sadar tentang pemanfaatan wakaf untuk membangun kesejahteraan umat.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..