• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

JIHAD, KHILAFAH DAN HIJRAH (2)

JIHAD, KHILAFAH DAN HIJRAH (2)

Kata yang selalu menjadi viral melalui media sosial adalah khilafah. Kata ini juga menjadi mantram suci bagi sekelompok orang untuk memperjuangkannya. Di antara yang vocal adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Selain tentu ada beberapa organisasi yang muncul belakangan pasca MMI menjadi redup, misalnya Jamaah Ansharud Daulah (JAD) dan juga Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Keempatnya dianggap sebagai organisasi yang memiliki agenda untuk mendirikan khilafah di Indonesia.

Khilafah adalah khazanah istilah di dalam Islam, bahkan juga menjadi bahasan para ulama di dalam ilmu fiqih, dan juga sejarah Islam. Pasca wafatnya Rasulullah Muhammad saw., maka para penggantinya—Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman dan Sayyidina Ali—dikenal sebagai khalifah Islam, yang memperoleh sebutan Khulafaur Rasyidin. Pasca terbunuhnya Sayyidina Hussein di Padang Karbala, maka muncullah kekhalifahan Muawiyah, dan lalu muncul Kekhalifahan Abbasiyah dan terus sampai ke kekhilafahan Turki Ustmani, kekhilafahan Fathimiyah di Mesir dan seterusnya.

Khilafah adalah istilah yang secara empiris pernah ada dan menjadi pembahasan secara mendalam di kalangan para fuqaha. Secara historis, khilafah merupakan realitas empiris di dalam Islam dan dalam kurun waktu yang panjang sesuai dengan sejarah perkembangan dan pengembangan umat Islam. Sejarah kekhalifahan di dalam Islam juga memiliki makna negative dan positif. Dalam konteks negative, maka di dalam kekhilafahan juga terjadi peperangan atau pertempuran untuk merebut atau mempertahankan kekhalifahan dimaksud, dan secara positif kekhalifahan juga menghasilkan peradaban yang sangat masyhur dengan berbagai temuan inovatif dalam ilmu pengetahuan. Ada sangat banyak nama masyhur sebagai penemu dalam berbagai ilmu pengetahuan, baik dalam bidang filsafat, sejarah, sosiologi, kedokteran, fisika, matematika, kimia, biologi dan sebagainya. Sejarah tidak selalu dengan senyum dan tertawa, akan tetapi juga dengan kesedihan dan air mata duka.

Hampir seluruh teks tentang fiqih membahas tentang jihad dan khilafah. Makanya, dua kata ini sangat dikenal di kalangan ahli kitab kuning, karena memang menjadi bahasan penting di dalam ilmu fiqih. Di dalam konteks ini, memang terdapat ketidaksepakatan para ahli fiqih mengenai bentuk kekhilafahan dimaksud. Dalam sejarah Islam, juga terdapat variasi mengenai system kekhilafahan. Makanya, di Timur Tengah yang secara tegas menjadikan Islam sebagai dasar negara, namun di dalam praktik penyelenggaraan negara juga bervariasi, ada yang menggunakan system monarkhi, ada yang menggunakan system republic dan ada yang mempraktikkan system teodemokratis. Semuanya tentu benar sesuai dengan ijtihad para founding fathers negeri-negeri tersebut. Apakah kekhalifahan di Arab Saudi yang mempraktikkan system kerajaan lebih baik dari model jumhuriyyah di Mesir atau system teodemokrasi di Iran? Jawabannya tentu adalah relatif, tergantung pada kesepakatan para pemimpin negara dan rakyatnya.

Khilafah di dalam wacana Islam di Indonesia justru dimaknai sebagai “lawan” negara. Khilafah dibenturkan dengan kekuasaan pemerintah yang absah, dalam hal ini adalah NKRI berdasarkan atas Pancasila. Mereka yang mengusung konsep khilafah menganggap bahwa “hanya dengan khilafah semua masalah bangsa ini akan bisa diselesaikan”. Pemikiran otopia semacam ini yang dijejalkan kepada generasi muda Indonesia, sehingga mereka mengikuti program dengan agenda mendirikan negara khilafah atau daulah Islamiyah sebagaimana yang mereka cita-citakan.

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia secara umum, bahwa khilafah merupakan produk wacana yang dihasilkan oleh kaum radikalis, yang memang mencita-citakan berdirinya negara Islam di Indonesia. Kekuatan media sosialnya sangat luar biasa kerena didukung oleh anak-anak muda dengan tingkat literasi media sosial yang hebat, sehingga berkemampuan untuk menarik simpati anak-anak muda berbakat dan pintar. Makanya pada waktu deklarasi negara khilafah di IPB juga mendapat dukungan dari ratusan mahasiswa lintas perguruan tinggi.

Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa “Indonesia darurat radikalisme”. Dan di antara yang menjadi perhatian adalah keinginan mereka untuk mendirikan khilafah atau daulah Islamiyah tersebut. Dan yang membuat pemerintah harus merespon secara mendasar adalah kebanyakan anggotanya atau simpatisannya adalah generasi muda, khususnya para mahasiswa. Makanya, pemerintah mewajibkan setiap instansi pemerintah untuk aware terhadap masalah keinginan untuk mendirikan khilafah Islamiyah tersebut.

Berbasis pada wacana khilafah adalah produk kaum radikalis, maka kata khilafah menjadi agenda yang sungguh-sungguh dianggap membahayakan, dan kementerian terkait juga harus merespon dengan cara yang sangat serius. Tidak hanya BNPT yang harus terlibat di dalam upaya deradikalisasi, akan tetapi seluruh kementerian dan lembaga.

Kementerian Agama merespon hal ini dengan program moderasi beragama, yang diharapkan menjadi muara bagi seluruh program kemenag. Apapun lembaga atau institusinya, maka ujung akhir programnya adalah perubahan mindset agar menjadi moderat dalam beragama.

Dan program ini saya kira sudah sangat “share” di kalangan para pejabat Kemenag di pusat maupun daerah, khususnya di institusi pendidikan. Di dalam kerangka membangun upaya untuk melakukan moderasi beragama juga harus direspon di dalam kurikulum pendidikan, terutama madrasah bahwa kata jihad dan khilafah harus diredusir di dalam sejarah kebudayaan Islam dan bukan pada fiqih.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

JIHAD, KHILAFAH DAN HIJRAH (1)

JIHAD, KHILAFAH DAN HIJRAH (1)

Akhir-akhir ini wacana keagamaan di Indonesia menjadi semakin semarak dengan berbagai istilah yang memang memiliki dan menjadi khasanah keislaman. Memang harus diakui bahwa sebagai agama terakhir dan yang kaffah atau syumul, maka Islam memiliki banyak istilah yang memicu dan menjadi perdebatan disebabkan oleh perbedaan interpretasi di dalamnya.

Kata tersebut adalah jihad, khilafah dan hijrah. Ajaran agama itu memiliki variasi interpretasi. Bahkan satu ayat bisa seribu tafsir. Perbedaan pemaknaan tersebut, merupakan hal yang sangat wajar di tengah pasar raya tafsir agama yang memang memungkinkan untuk ditafsirkan berbeda. Melalui pengembangan berbagai jenis ilmu tafsir, maka setiap jenis ilmu tafsir tentu memiliki pandangannya dan juga penafsirannya yang bisa berbeda-beda, sehingga memungkinkan terjadi jutaan tafsir dimaksud. Semakin banyak ahli tafsir juga berpeluang berkembangnya pola, model dan ragam penafsiran terhadap teks-teks suci tersebut.

Tentu saja tidak semuanya debatable. Sebab tentu saja terdapat ayat-ayat yang muhkamat sehingga penafsirannya relatif minim variasi, akan tetapi terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat tentu bisa memiliki makna atau tafsir yang variatif disebabkan oleh kemampuan ahlinya yang berbeda-beda dalam menafsirkannya.

Saya bukanlah ahli tafsir, sehingga apa yang saya tulis ini tentu jauh dari pemaknaan tafsir yang kita ketahui selama ini. Saya justru akan memberikan pemahaman sosiologis atas istilah-istilah yang debatable dan menjadi wacana yang diperbincangkan akhir-akkhir ini. Ada 3 (tiga) konsep yang selama ini menjadi perbincangan hangat di media sosial dan juga menjadi praksis keagamaan yang menarik untuk dicermati. Di dalam tulisan yang bersambung ini, saya akan menjelaskan secara urut, mulai dari konsep jihad, khilafah dan hijrah dalam perspektif sosiologis yang sedikit saya pahami.

Pertama adalah jihad. Di Indonesia, kata ini menjadi sangat kontroversial semenjak lama. Di era Orde Baru, terutama di era Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (kopkamtib) di bawah Komando Laksamana Soedomo, maka kata jihad ini sudah menjadi kata yang kontroversial. Pada tahun 1980-an dikenal istilah Komando Jihad, yaitu sekelompok orang yang secara sengaja dilabel sebagai bagian dari Komando Jihad, yaitu sekelompok orang yang menentang terhadap pemerintah dan akan melakukan jihad dalam kerangka mengganti pemerintah yang absyah.

Komando jihad dikaitkan dengan sekelompok Islam radikalis, yang melakukan pembangkangan terhadap pemerintah dan melakukan pembajakan pesawat terbang Garuda Indonesia DC 9 yang terbang dari Jakarta Ke Bangkok dan singgah di Kualalumpur. Ada sebanyak 5 orang bersenjata yang melakukan pembajakan dan berakhir tragis, sebab 4 (empat) di antara mereka mati terbunuh, kemudian pilot pesawat dan krunya juga ada yang meninggal. Komando Jihad tersebut sudah berdiri semenjak tahun 1968 dan dilakukan pembersihan oleh Dinas Intellligent pada tahun 1980-an.

Semenjak itu, maka kata jihad menjadi teks yang dianggap tabu untuk dibicarakan di dalam forum-forum resmi, sebab mengandung konotasi negative dan bermakna negative. Jihad itu diartikan sebagai perlawanan, pembangkangan dan bahkan pemberontakan atau bahkan berarti perang. Komando Jihad ini meminta pemerintah untuk membebaskan 20 orang tahanan politik dan meminta agar para pejabat dan orang Israel dikeluarkan dari Indonesia. Di mimbar-mimbar Jum’at, ceramah agama, perkuliahan dan sebagainya nyaris tidak didengar kata jihad dimaksud. Sebab dengan keberadaan inteligen yang sedemikian kuat di era Orde Baru, maka siapapun khawatir untuk menjelaskan kata jihad tersebut. Baru pada tahun 1990-an kata jihad memperoleh kembali maknanya, sebagai upaya yang sungguh-sungguh dengan bekerja keras untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi, jihad tidak selalu berarti perang. Jihad tidak monotafsir.

Hanya saja, kata ini memperoleh kembali makna “negative” ketika kata ini digunakan kembali oleh front Islam hard line, untuk memaknai perjuangannya. Kalangan ekstrimis dan teroris menggunakan kata ini untuk mengajak berjuang menegakkan khilafah dan mendukung terhadap Gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), dengan menjadikannya sebagai mantram suci untuk berjuang di negeri Seribu dongeng tersebut.

Melalui media sosial yang mengusung tema-tema “jihad” banyak orang dari berbagai penjuru dunia untuk terlibat di dalam Gerakan ISIS tersebut. dari Indonesia juga banyak yang terlibat, yang kembali ke Indonesia pasca kejatuhan ISIS sebanyak 678 orang. Belum lagi yang masih tertinggal di Iraq atau Syria. Mereka yang masih berada di sana juga dengan kehidupan yang jauh dari zona kenyamanan. Maklum mereka berada di arena pertempuran yang kapan saja bisa pecah kegaduhan karena datangnya bom atau letupan senjata.

Kata jihad kemudian tidak lagi menjadi perbincangan public, tentu dikaitkan dengan gerakan-gerakan Islam garis keras dimaksud. Namun demikian, secara pelan tetapi pasti, jihad bisa dikembalikan kepada makna generiknya sesuai dengan pandangan mayoritas ulama atau jumhur ulama, yaitu upaya untuk melakukan sesuatu dengan cara-cara yang sungguh-sungguh. Meskipun tetap ada varian makna jihad tetapi secara umum makna jihad menjadi lebih clear. Kata jihad tidak lagi ditakuti, akan tetapi bisa digunakan dalam konteks membangun umat Islam berdasarkan atas pemahaman Islam wasathiyah.

Masyarakat sudah memahami bahwa jihad tidak selalu berkonotasi perang, akan tetapi memiliki makna yan jauh lebih positif untuk kemanusiaan. Dewasa ini masyarakat Islam tidak lagi alergi dengan kata jihad, sebab masyarakat Indonesia sudah memahaminya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

KECINTAAN ORANG NU KEPADA HABAIB (2)

 

Jika ditanya mana yang lebih banyak mencintai Habaib antara Orang NU dengan lainnya, maka jawabannya pasti Orang NU jauh lebih banyak yang mencintai Habaib. Apakah bisa seperti itu? Jawabannya pasti bisa. Ada beberapa indicator yang bisa digunakan dalam kerangka untuk memberikan argumentasi tentang jawaban atas pertanyaan di atas.

Pertama, sebagaimana tulisan saya di edisi satu, saya jelaskan bahwa secara kuantitas Orang NU yang membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw itu sangat luar biasa. Nyaris tiada hari tanpa lantunan shalawat Nabi. Baik yang dilakukan secara jahr atau secara sir. Ada yang secara sir membaca shalawat Nabi Muhammad saw itu 1000 kali, 100 kali dan seterusnya. Diyakininya bahwa dengan membaca shalawat sebanyak-banyaknya maka dipastikan akan menjadi bagian dari hamba Allah yang mencintai Nabinya dan dapat menjadi kerangka washilah untuk memperoleh syafaatnya.

Kedua, di dalam bacaan surat al Fatihah di setiap kesempatan, maka selalu dinyatakan washilah kepada Nabi Muhammad saw, keluarganya, sahabatnya, hingga orang-orang shaleh baik yang sudah wafat atau masih hidup. Bacaan ini dilantunkan setiap shalat wajib dari seluruh masjid, mushalla, lembaga pendidikan dan juga perorangan yang memiliki afiliasi structural maupun kultural dengan NU. Tidak ada keraguan sedikitpun tentang kecintaan Orang NU terhadap Nabi Muhammad saw bahkan dzurriyahnya, termasuk para habaib yang memiliki jalur genealogi dengan Nabi Muhammad saw.

Ketiga, para penganut tarekat adalah orang yang melazimkan bacaan wirid dan sanadnya sambung menyambung sampai Rasulullah Muhammad saw. Jutaan orang di seluruh dunia yang membaca wirid dengan ketersambungan sanad tarekat sampai kepada Rasulullah, baik dari jalur Sayyidina Ali Karramahullahu wajhah, ataupun jalur Sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu anhu. Bacaan wirid itu diyakini merupakan ajaran Rasulullah melalui para sahabatnya dan dzurriyah Nabi Muhammad saw. Bayangkan berapa banyak orang yang menyebut Nama Syekh Abdul Qadir Jailani Radhiayallahu anhu dalam setiap moment wirid yang dilakukan oleh para penganut tarekat. Dan sebagaimana diketahui bahwa mayoritas penganut tarekat adalah para penganut NU yang taat.

Keempat, berapa banyak orang yang menziarahi makam-makam auliya, yang dipastikan adalah dzurriyah Nabi Muhammad saw atau Habaib. Walisongo di tanah Jawa yang medan dakwahnya berada di seluruh Nusantara adalah para waliyullah yang merupakan keturunan Nabi Muhammad saw. Seluruh penyebar Islam (waliyullah) adalah habaib yang memiliki jalur genealogis dengan Nabi Muhammad saw dengan garis lurus hingga para wali dimaksud. Mereka adalah para penyebar Islam yang pernah bersama dengan Nabi Muhammad saw, seperti Said ibn Abi Waqash yang berdawah hingga di di Ghuangzo China, dan makamnya diabadikan di sana. Islam di Nusantara bisa seperti ini adalah jasa para Habaib yang menjadi waliyullah dan kontribusinya tidak diragukan lagi, baik secara mitologis maupun historis. Jika kita berkesempatan berziarah ke Makam Sunan Ampel, atau Sunan Bonang atau Syekh Jumadil Kubro atau Syekh Ibrahim Asmaraqandi, atau ke Makam Sunan Kalijaga, ke Makam Maulana Ishaq, Makam Sunan Drajad, dan sebagainya, maka akan diketahui betapa penghormatan Orang NU terhadap para habaib tersebut. Ziarah makam wali sekarang dan yang dahulu sungguh sangat berbeda, sebab sekarang bukan para peziarah meminta keberkahan kepada para Auliya, akan tetapi meminta keberkahan kepada Allah semata melalui washilah para habaib keturunan Rasulullan saw. Jadi para auliya itu adalah washilah agar tercatat doanya dan permohonannya. Ibaratnya, kata Gus Mus, seperti kita melamar sesuatu kepada para pejabat, lalu ada yang menggunakan jalur orang yang dikenal oleh pejabat dan ada yang tidak, maka yang menggunakan jalur orang yang dikenal tentu akan lebih diperhatikan. Perkara diterima atau tidak itu semata urusan atasan, tetapi menjadi diperhatikan saja sudah merupakan keberuntungan. Dan waliyullah adalah orang yang dikenal dengan baik oleh Allah karena amal perbuatannya.

Kelima, saya mendengarkan potongan ceramah Gus Ali Masyhuri tentang bagaimana orang NU itu menghormati para habaib. Disampaikan bahwa Orang NU itu sangat menghormati para Habaib, maka di dalam setiap pengurus NU baik di tingkat PB maupun wilayah selalu ada Habibnya. Hal ini kata Gus Ali agar memperoleh keberkahan dari Rasulullah karena NU menempatkan para habaib dalam jajaran kepengurusan NU.

Dengan demikian, tidak ada alasan sedikitpun untuk menyatakan bahwa Orang NU tidak atau kurang menghormati para habaib karena secara empiris memang bisa ditemukan bukti-buktinya. Orang NU adalah orang yang benar-benar menempatkan para dzurriyah Nabi dan para sahabatnya dalam jajaran orang-orang mulia yang mendapatkan tempat khusus di sisi Allah. Mereka adalah orang yang memiliki kelebihan dalam keberagamaannya dibandingkan dengan manusia lainnya, dan mereka adalah orang yang mendapatkan jaminan akan bersama Rasulullah. Siapapun yang mencintai, menghormati dan menjadikannya sebagai teladan kebaikan, maka Allah tentu akan memberikan berkahnya.

Melalui lima argumentasi empiric ini sekiranya bisa menjadi alasan untuk menolak anggapan bahwa Orang NU itu berkeinginan untuk mendegradasi peran para habaib di Indonesia, khususnya di era akhir-akhir ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

KECINTAAN ORANG NU TERHADAP HABAIB (1)

 

Adakah yang melebihi kecintaan Orang NU terhadap Habaib di era sekarang? Saya kira jawabannya tidak ada. Oleh karena itu jika ada seseorang atau sekelompok orang yang menyatakan sebaliknya tentu hal itu sangat diragukan. Pasca ceramah Gus Muwafiq, tentang masa kecilnya Nabi Muhammad saw dengan bahasa local, maka banyak cacian dan makian yang ditujukan kepadanya, dan kemudian secara generic bahkan Orang NU, yang juga dianggap sebagai tidak menyukai keberadaan para Habaib, yang konon katanya secara pelan-pelan akan disingkirkan dalam percaturan keindonesiaan.

Di Indonesia memang sedang terjadi “pertempuran” melalui media sosial untuk berkontestasi dalam memenangkan “wacana keislaman”. Sebutlah misalnya konsep “jihad” yang secara sengaja digelontorkan di berbagai media sosial agar menjadi “wacana” umat Islam mengalami “kegagalan” sebab di dalam banyak hal secara empiris dikaitkan dengan gerakan ekstrimisme yang mengusung kekerasan sosial, bahkan bom bunuh diri. Konsep jihad yang memiliki makna interpretable kemudian secara pelan hilang dalam wacana public—meskipun tidak seluruhnya bisa dihilangkan—akan tetapi tergerus oleh konsep lainnya.

Kemudian muncullah konsep “hijrah”, yang memperoleh sambutan sangat positif dalam pertarungan wacana di kalangan umat Islam. Bahkan segala sesuatu yang berarti perubahan dalam tindakan beragama dikaitkan dengan kata “hijrah”. Jika ada perempuan yang sebelumnya belum berhijab lalu memakai hijab, maka dia menganggap dirinya telah hijrah ke jalan Allah. Maka, kata hijrah lalu menjadi wacana public yang paling banyak disebut pada akhir-akhir ini. Ketika orang sudah menyatakan hijrah, maka berarti dia telah berubah menjadi bagian dari umat Islam yang “benar”. Maka saya pernah menyatakan kepada Prof. Irwan Abdullah, dari UGM, satu istilah “From Jihad to Hijrah”.

Pertarungan wacana ini sesungguhnya merupakan upaya terstruktur untuk “menegasikan” pengaruh. Orang NU yang selama ini dominan karena kuantitasnya, tentu ingin direbut sumber daya manusianya, sehingga kekuatan mayoritasnya akan menjadi berkurang. Namun demikian, sebagaimana watak orang moderat, maka Orang NU dalam posisi hanya mempertahankan dan bukan melakukan penyerangan. Seandainya pemain sepak bola, maka Orang NU itu posisinya sebagai pemain bertahan, atau sejauh-jauhnya sebagai gelandang serang, dan bukan pemain penyerang atau striker. Pemain bertahan sebagaimana kodratnya ialah mempertahankan wilayahnya dari serangan musuh. Dia tidak bergerak ke depan untuk menyerang. Maka, ketika NU diserang barulah dia bertahan dengan sekuat tenaganya. Itulah yang kita lihat akhir-akhir ini.

Pada saat Gus Muwafiq diserang habis-habisan, dengan berbagai ujaran yang memang disengaja untuk menghancurkannya, maka pada saat itulah kemudian Orang NU melakukan pembelaan untuk mempertahankan salah satu pemainnya agar tidak ditackel dengan kehancuran total. Gus Muwafiq adalah salah seorang da’i yang memanfaatkan media teknologi informasi dengan sangat kuat, dan dia memang harus dihentikan. Sama seperti aksi pemain sepak bola Vietnam dalam Sea Games ke 30 (2019) yang lalu, dia mengetahui bahwa play maker tim Indonesia adalah Dimas Darmono, maka dia dilumpuhkan dulu agar tim Vietnam bisa leluasa melakukan penyerangan dan akhirnya memang Tim Indonesia harus kalah, dengan score yang meyakinkan.

Di dalam konteks serang menyerang dan bertahan itu, maka akhirnya Habib Luthfi dari Pekalongan pun harus angkat bicara dan kemudian melakukan pembelaan, sebab tentu dikhawatirkan bahwa jika “perang media” ini terus terjadi bukan tidak mungkin akan menyebabkan “perang media yang lebih luas” dan akan memicu konflik sosial yang bisa saja terjadi. Dan melalui berbagai cara bertahan tersebut, akhirnya bisa dipahami tentang eksistensi ceramah Gus Muwafiq dan kecintaan Orang NU terhadap Nabi Muhammad saw dan bahkan para Dzurriyah atau para Habaib yang sesungguhnya memperoleh tempat terhormat dalam hirarkhi penghormatan Orang NU dewasa ini.

Seharusnya tidak ada orang yang meragukan kecintaan warga NU terhadap Nabi Muhammad saw. Jika didengarkan dan dilihat, berapa banyak orang NU yang melantunkan shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Dalam satu ceramah agama saja, berapa kali para da’i itu mengucapkan: “Allahumma shalli ‘ala Muhammad, lalu jamaah secara serentak menyatakan “Allahumma Shalli alaih”. Ini baru satu bukti empiris. Belum lagi misalnya berapa juta umat Islam (baca NU) yang membaca pujian-pujian kepada Nabi Muhammad saw., dan melantunkan perjalanan kehidupan Beliau melalui Barjanjenan, paling tidak sepekan sekali Orang NU melantunkannya. Dan belum dihitung berapa banyak Orang NU yang melantunkan shalawat Nabi dalam setiap hari dan setiap pekan. Sungguh merupakan bukti betapa Orang NU mencintai, menghormati dan menghargai Nabi Muhammad sebagai panutan agung dan dianggap sebagai Nabi yang akan memberikan syafaat fi yaum al qiyamah. Dan hal ini merupakan keyakinan yang sangat dihargai oleh Orang NU. Dan keyakinan ini juga terus ditransmisikan di rumah, di pesantren dan institusi pendidikan NU dalam segala variasinya.

Pendidikan Ahl Sunnah wa al Jamaah (Aswaja) yang dilakukan oleh Institusi Pendidikan NU dan Pesantren yang berafiliasi NU tentu merupakan medium untuk mewariskan nilai-nilai kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, dzurriyah dan sahabat-sahabat Beliau. Bahkan setiap orang NU juga akan melakukan enkulturasi tentang Ke-NU-an tersebut pada keluarganya. Oleh karena itu sepanjang pengetahuan saya, tentu tidak ada yang meragukan kecintaan Orang NU terhadap Nabi Besar Muhammad saw dan juga para dzurriyah dan para sahabat yang mulia di sisi Allah saw.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

ERA MANAJEMEN KINERJA DAN REFORMASI BIROKRASI BAGI PTKIN

ERA MANAJEMEN KINERJA DAN REFORMASI BIROKRASI BAGI PTKIN

Tulisan ini mungkin saja agak absurd, sebab Reformasi Birokrasi dan Manajemen Kinerja sesungguhnya sudah lama diberlakukan pada Kementerian dan Lembaga di Indonesia. Namun tulisan ini saya hadirkan dalam kerangka untuk kembali mengingatkan bahwa Reformasi Birokrasi dan Manajemen Kinerja adalah tugas para pimpinan PTKIN.

Saya mengapresiasi atas undangan Rektor IAIN Bukittinggi, Ibu Dr. Ridha Ahida, MHum dalam satu acara penyusunan rencana strategis pengembangan IAIN Bukitinggi tahun 2020-2025. Saya diminta untuk mencermati terhadap rencana strategis dimaksud agar lebih bersearah dengan perubahan sosial di era revolusi Industri 4.0, di mana penggunaan teknologi informasi sangat kuat dan mengedepan. Hadir pada acara ini seluruh Wakil Rector Bidang Akademik, Dr. Asya’ari, SAg. Msi., Wakil Rektor Administrasi, Pak Dr. Novi Hendri, MAg., Wakil Rektor Bidang kemahasiswaan, Dr, Mawardi, SH, MHum., Kabiro, Pak Syahrul Wilda, para pejabat eselon tiga dan empat pada IAIN Bukittinggi, Rapat ini dilakukan di Hotel Basko, Padang, 14/12/2019.

Secara khusus saya membahas 3 (tiga) hal sesuai dengan renstra yang diberikan kepada saya untuk saya cermati. Pertama terkait dengan visi dan misi IAIN Bukittinggi. Di dalam visi IAIN Bukittinggi disebutkan: “menjadi perguruan tinggi unggul dalam integrasi ilmu dan keislaman tahun 2025”, maka tentu misinya harus bersearah dengan visi ini. Kalau dicermati, maka ada dua hal mendasar di dalam visi ini, yaitu; “unggul dalam integrasi ilmu dan ilmu keislaman”. Maka seharusnya muncul di dalam misi itu ialah bagaimana menjadikan IAIN Bukitinggi unggul dalam dua aspek ini. Harus jelas secara eksplisit keunggulan di dalam integrasi ilmu dan ilmu keislaman. Di dalam sejarah perkembangan integrasi ilmu, maka sudah ada tiga yang menjadi tolok ukur, yaitu model pohon ilmu (UIN Malang), model integrasi interkoneksi (UIN Jogyakarta), dan model integrasi ilmu (UIN Jakarta), dan juga sudah diperkenalkan model twin tower (UIN Surabaya) yang dilaunching tahun 2010 yang lalu. Di dalam konteks ini, maka IAIN Bukittinggi akan dapat mengambil yang mana dari jajaran konseptual integrasi ilmu ini, apakah akan mengikuti salah satu di antaranya atau akan mengembangkan sendiri konsepnya. Saya kira ada pilihan rasional yang dapat dilakukan.

Lalu, visi ini harus diderivasi ke dalam misi, dimasukkan di dalam renstra dalam bentuk program dan kegiatan berbasis pada sasaran kinerja, indicator kinerja, program dan kegiatan serta anggaran yang jelas. Harus ada keberanian untuk memutuskan mana program prioritas dan mana program yang bisa ditunda dulu dalam kerangka mengedepankan ketercapaian misi dimaksud. Pemimpin harus memiliki keberanian untuk memutuskan di tengah banyak pilihan program yang baik, dengan cara menentukan mana yang urgen dan mana yang important.

Kedua, manajemen kinerja. Salah satu kelemahan dari pimpinan PTKIN –karena berangkatnya dari dosen dalam bidang ilmu tertentu—maka biasanya kurang aware terhadap manajemen birokrasi. Padahal perkembangan birokrasi sudah sedemikian cepat. Masih kita lihat PTKIN yang menggunakan manajemen lama, tahun 1980-an dengan George Terry sebagai pakarnya, yang saya menyebutnya sebagai manajemen konvensional, yaitu planning, organizing, actuating and controlling (POAC). Manajemen seperti ini sudah sangat lama ditinggalkan dengan mengembangkan Total Quality Management (TQM), yang salah satu derivasinya adalah Manajemen Kinerja atau Performance Management. Manajemen ini sangat cocok dengan dunia birokrasi termasuk birokrasi PTKIN. Manajemen ini yang sekarang digunakan oleh Pak Jokowi untuk menggerakkan roda birokrasi agar program dan kegiatannya jelas dan terukur out come atau dampak positifnya.

Melalui sasaran kinerja yang jelas –apa dan siapanya—lalu indicator kinerjanya –apa, siapa, bagaimana dan mengapa—lalu terukur targetnya, kemudian juga terukur capaiannya. Sasaran kinerja merupakan gambaran siapa yang dikenai program atau kegiatan dan apa programnya dengan catatan harus jelas dan jangan ambigu atau berupa konsep. Saya teringat ketika dikritik Pak Jokowi dalam satu forum Rapat Koordinasi seluruh Pejabat Eselon satu, bahwa kebanyakan sasaran kinerja itu tidak jelas apa dan siapa sasarannya, dicontohkan “program pemberdayaan nelayan”, maka tidak jelas apa dan siapanya. Menurut Beliau lebih baik jika programnya itu “memberi bantuan jaring untuk nelayan sejumlah sekian orang”. Dengan program yang jelas, maka akan bisa diukur capaiannya dan dampaknya bagi mereka. Saya kira PTKIN bisa menggunakan cara berpikir Pak Jokowi yang praktis ini dalam kerangka merumuskan restranya. Harus menggunakan rumus 4 (empat) jelas, yaitu jelas sasarannya, jelas indikatornya, jelas targetnya, dan jelas capaiannya (Jelas SITC).

Ketiga, reformasi birokrasi. Saya mengamati salah satu “kelemahan” PTKIN juga di dalam kerangka mengembangkan reformasi birokrasi. Program ini merupakan program yang berseiring dengan menajemen kinerja yang telah dikembangkan semenjak zaman Pak SBY dan memperoleh penguatan yang semakin jelas di era Pak Jokowi. Makanya nama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) menjadi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan&RB), karena reformasi birokrasi menjadi sasaran strategis pemerintah. Mestinya reformasi birokrasi juga menjadi sasaran strategis di PTKIN. Harus dikenal dengan baik 8 (delapan) area perubahan yang sangat masyhur di dunia reformasi birokrasi. Yaitu: manajemen perubahan, pengembangan SDM, penguatan struktur dan tata kelola, penataan regulasi, penguatan akuntabilitas, penguatan pengawasan, penguatan mindset reformasi birokrasi dan penguatan budaya kerja. Pimpinan PTKIN harus terus menerus mengembangkan: 1) inovasi dalam memenuhi target managemen perubahan. Prioritaskan agar inovasi menjadi roh mendasar di dalam RB, jika diperlukan berikan reward bagi upaya untuk mengembangkan inovasi bagi civitas akademika. Reward tidak selalu dalam bentuk uang, tetapi penghargaan. 2) pimpinan PTKIN harus mengembangkan SDM yang relevan dengan kebutuhan. Misalnya, menempatkan orang yang cocok dalam jabatannya yang memiliki loyalitas pada institusi. Orang “pinter, bener tur pener”. Ungkapan orang Jogyakarta ini perlu saya garis bawahi, karena pintar saja tidak cukup bahkan pintar dan benar juga kurang cukup, maka yang pas kalau pintar, benar dan memiliki loyalitas dan empati yang sangat baik bagi institusinya.

3) terus menerus mengembangkan struktur dan tata kelola yang baik. Harus selalu melakukan upaya untuk mereview terhadap struktur mana yang masih relevan dan mana yang perlu dikaji ulang. Sambil terus mengembangkan struktur baru nonstructural yang berguna bagi institusi. Struktur baru nonstructural ini dimaksudkan sebagai upaya menjawab tantangan perubahan yang tidak bisa direspon secara cepat oleh birokrasi, karena batasan-batasan regulasi. 4) penataan regulasi. Saya kira perlu dilakukan review terhadap aturan-aturan yang sudah tidak lagi relevan dengan perubahan yang terjadi. Bisa saja dalam bentuk SK Rektor, Surat Edaran Rector atau lainnya untuk direvisi dengan melibatkan Senat Universitas/Institut agar regulasi yang diterbitkan selalu relevan dengan keperluan. 5) penguatan akuntabilitas dengan melakukan perbaikan tentang pelaporan program dan kegiatan yang tepat waktu, tepat sasaran, tepat anggaran dan tepat pelaksanaan. Semua terkoordinasi dengan memadai dengan tujuan untuk mencapai visi dan misi institusi. 6) penguatan pengawasan. Kita sudah memiliki Sistem Pengawasan Internal, yang di antara tugasnya adalah memastikan semua program dan kegiatan berjalan on the track. Untuk ini maka perlu ada kegiatan Evaluasi Tri Wulanan, yang tujuannya adalah memastikan semua program dan serapan anggaran bisa dilakukan sesuai dengan rencana triwulanan tersebut. Jika ini bisa dilakukan maka seluruh pimpinan akan mengetahui apa yang sudah dilakukan, mana yang belum dilakukan, apa hambatan dan tantangannya, sehingga semua memiliki kepedulian terhadap apa yang dilakukan oleh aparat institusi. Kemudian juga harus terus menerus mengaplikasikan 5 (lima) nilai budaya kerja (integritas, profesionalitas, inovasi, tanggung jawab dan keteladanan).

Nilai budaya kerja ini sudah dilaunching pada awal tahun 2013. Mestinya nilai budaya ini sudah memasuki area internalisasi atau menjadi pedoman bagi semua aparatur sipil negara pada Kemenag, termasuk juga aparat sipil negara di PTKIN. Karena kita semua adalah ASN di Kemenag, maka 5 (lima) nilai budaya kerja harus menjadi pedoman kita semua di dalam bekerja untuk mengembangkan institusi di mana saja kita bekerja.

Wallahu a’lam bi al shawab.