JIHAD, KHILAFAH DAN HIJRAH (1)
JIHAD, KHILAFAH DAN HIJRAH (1)
Akhir-akhir ini wacana keagamaan di Indonesia menjadi semakin semarak dengan berbagai istilah yang memang memiliki dan menjadi khasanah keislaman. Memang harus diakui bahwa sebagai agama terakhir dan yang kaffah atau syumul, maka Islam memiliki banyak istilah yang memicu dan menjadi perdebatan disebabkan oleh perbedaan interpretasi di dalamnya.
Kata tersebut adalah jihad, khilafah dan hijrah. Ajaran agama itu memiliki variasi interpretasi. Bahkan satu ayat bisa seribu tafsir. Perbedaan pemaknaan tersebut, merupakan hal yang sangat wajar di tengah pasar raya tafsir agama yang memang memungkinkan untuk ditafsirkan berbeda. Melalui pengembangan berbagai jenis ilmu tafsir, maka setiap jenis ilmu tafsir tentu memiliki pandangannya dan juga penafsirannya yang bisa berbeda-beda, sehingga memungkinkan terjadi jutaan tafsir dimaksud. Semakin banyak ahli tafsir juga berpeluang berkembangnya pola, model dan ragam penafsiran terhadap teks-teks suci tersebut.
Tentu saja tidak semuanya debatable. Sebab tentu saja terdapat ayat-ayat yang muhkamat sehingga penafsirannya relatif minim variasi, akan tetapi terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat tentu bisa memiliki makna atau tafsir yang variatif disebabkan oleh kemampuan ahlinya yang berbeda-beda dalam menafsirkannya.
Saya bukanlah ahli tafsir, sehingga apa yang saya tulis ini tentu jauh dari pemaknaan tafsir yang kita ketahui selama ini. Saya justru akan memberikan pemahaman sosiologis atas istilah-istilah yang debatable dan menjadi wacana yang diperbincangkan akhir-akkhir ini. Ada 3 (tiga) konsep yang selama ini menjadi perbincangan hangat di media sosial dan juga menjadi praksis keagamaan yang menarik untuk dicermati. Di dalam tulisan yang bersambung ini, saya akan menjelaskan secara urut, mulai dari konsep jihad, khilafah dan hijrah dalam perspektif sosiologis yang sedikit saya pahami.
Pertama adalah jihad. Di Indonesia, kata ini menjadi sangat kontroversial semenjak lama. Di era Orde Baru, terutama di era Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (kopkamtib) di bawah Komando Laksamana Soedomo, maka kata jihad ini sudah menjadi kata yang kontroversial. Pada tahun 1980-an dikenal istilah Komando Jihad, yaitu sekelompok orang yang secara sengaja dilabel sebagai bagian dari Komando Jihad, yaitu sekelompok orang yang menentang terhadap pemerintah dan akan melakukan jihad dalam kerangka mengganti pemerintah yang absyah.
Komando jihad dikaitkan dengan sekelompok Islam radikalis, yang melakukan pembangkangan terhadap pemerintah dan melakukan pembajakan pesawat terbang Garuda Indonesia DC 9 yang terbang dari Jakarta Ke Bangkok dan singgah di Kualalumpur. Ada sebanyak 5 orang bersenjata yang melakukan pembajakan dan berakhir tragis, sebab 4 (empat) di antara mereka mati terbunuh, kemudian pilot pesawat dan krunya juga ada yang meninggal. Komando Jihad tersebut sudah berdiri semenjak tahun 1968 dan dilakukan pembersihan oleh Dinas Intellligent pada tahun 1980-an.
Semenjak itu, maka kata jihad menjadi teks yang dianggap tabu untuk dibicarakan di dalam forum-forum resmi, sebab mengandung konotasi negative dan bermakna negative. Jihad itu diartikan sebagai perlawanan, pembangkangan dan bahkan pemberontakan atau bahkan berarti perang. Komando Jihad ini meminta pemerintah untuk membebaskan 20 orang tahanan politik dan meminta agar para pejabat dan orang Israel dikeluarkan dari Indonesia. Di mimbar-mimbar Jum’at, ceramah agama, perkuliahan dan sebagainya nyaris tidak didengar kata jihad dimaksud. Sebab dengan keberadaan inteligen yang sedemikian kuat di era Orde Baru, maka siapapun khawatir untuk menjelaskan kata jihad tersebut. Baru pada tahun 1990-an kata jihad memperoleh kembali maknanya, sebagai upaya yang sungguh-sungguh dengan bekerja keras untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi, jihad tidak selalu berarti perang. Jihad tidak monotafsir.
Hanya saja, kata ini memperoleh kembali makna “negative” ketika kata ini digunakan kembali oleh front Islam hard line, untuk memaknai perjuangannya. Kalangan ekstrimis dan teroris menggunakan kata ini untuk mengajak berjuang menegakkan khilafah dan mendukung terhadap Gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), dengan menjadikannya sebagai mantram suci untuk berjuang di negeri Seribu dongeng tersebut.
Melalui media sosial yang mengusung tema-tema “jihad” banyak orang dari berbagai penjuru dunia untuk terlibat di dalam Gerakan ISIS tersebut. dari Indonesia juga banyak yang terlibat, yang kembali ke Indonesia pasca kejatuhan ISIS sebanyak 678 orang. Belum lagi yang masih tertinggal di Iraq atau Syria. Mereka yang masih berada di sana juga dengan kehidupan yang jauh dari zona kenyamanan. Maklum mereka berada di arena pertempuran yang kapan saja bisa pecah kegaduhan karena datangnya bom atau letupan senjata.
Kata jihad kemudian tidak lagi menjadi perbincangan public, tentu dikaitkan dengan gerakan-gerakan Islam garis keras dimaksud. Namun demikian, secara pelan tetapi pasti, jihad bisa dikembalikan kepada makna generiknya sesuai dengan pandangan mayoritas ulama atau jumhur ulama, yaitu upaya untuk melakukan sesuatu dengan cara-cara yang sungguh-sungguh. Meskipun tetap ada varian makna jihad tetapi secara umum makna jihad menjadi lebih clear. Kata jihad tidak lagi ditakuti, akan tetapi bisa digunakan dalam konteks membangun umat Islam berdasarkan atas pemahaman Islam wasathiyah.
Masyarakat sudah memahami bahwa jihad tidak selalu berkonotasi perang, akan tetapi memiliki makna yan jauh lebih positif untuk kemanusiaan. Dewasa ini masyarakat Islam tidak lagi alergi dengan kata jihad, sebab masyarakat Indonesia sudah memahaminya.
Wallahu a’lam bi al shawab.