Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KECINTAAN ORANG NU TERHADAP HABAIB (1)

 

Adakah yang melebihi kecintaan Orang NU terhadap Habaib di era sekarang? Saya kira jawabannya tidak ada. Oleh karena itu jika ada seseorang atau sekelompok orang yang menyatakan sebaliknya tentu hal itu sangat diragukan. Pasca ceramah Gus Muwafiq, tentang masa kecilnya Nabi Muhammad saw dengan bahasa local, maka banyak cacian dan makian yang ditujukan kepadanya, dan kemudian secara generic bahkan Orang NU, yang juga dianggap sebagai tidak menyukai keberadaan para Habaib, yang konon katanya secara pelan-pelan akan disingkirkan dalam percaturan keindonesiaan.

Di Indonesia memang sedang terjadi “pertempuran” melalui media sosial untuk berkontestasi dalam memenangkan “wacana keislaman”. Sebutlah misalnya konsep “jihad” yang secara sengaja digelontorkan di berbagai media sosial agar menjadi “wacana” umat Islam mengalami “kegagalan” sebab di dalam banyak hal secara empiris dikaitkan dengan gerakan ekstrimisme yang mengusung kekerasan sosial, bahkan bom bunuh diri. Konsep jihad yang memiliki makna interpretable kemudian secara pelan hilang dalam wacana public—meskipun tidak seluruhnya bisa dihilangkan—akan tetapi tergerus oleh konsep lainnya.

Kemudian muncullah konsep “hijrah”, yang memperoleh sambutan sangat positif dalam pertarungan wacana di kalangan umat Islam. Bahkan segala sesuatu yang berarti perubahan dalam tindakan beragama dikaitkan dengan kata “hijrah”. Jika ada perempuan yang sebelumnya belum berhijab lalu memakai hijab, maka dia menganggap dirinya telah hijrah ke jalan Allah. Maka, kata hijrah lalu menjadi wacana public yang paling banyak disebut pada akhir-akhir ini. Ketika orang sudah menyatakan hijrah, maka berarti dia telah berubah menjadi bagian dari umat Islam yang “benar”. Maka saya pernah menyatakan kepada Prof. Irwan Abdullah, dari UGM, satu istilah “From Jihad to Hijrah”.

Pertarungan wacana ini sesungguhnya merupakan upaya terstruktur untuk “menegasikan” pengaruh. Orang NU yang selama ini dominan karena kuantitasnya, tentu ingin direbut sumber daya manusianya, sehingga kekuatan mayoritasnya akan menjadi berkurang. Namun demikian, sebagaimana watak orang moderat, maka Orang NU dalam posisi hanya mempertahankan dan bukan melakukan penyerangan. Seandainya pemain sepak bola, maka Orang NU itu posisinya sebagai pemain bertahan, atau sejauh-jauhnya sebagai gelandang serang, dan bukan pemain penyerang atau striker. Pemain bertahan sebagaimana kodratnya ialah mempertahankan wilayahnya dari serangan musuh. Dia tidak bergerak ke depan untuk menyerang. Maka, ketika NU diserang barulah dia bertahan dengan sekuat tenaganya. Itulah yang kita lihat akhir-akhir ini.

Pada saat Gus Muwafiq diserang habis-habisan, dengan berbagai ujaran yang memang disengaja untuk menghancurkannya, maka pada saat itulah kemudian Orang NU melakukan pembelaan untuk mempertahankan salah satu pemainnya agar tidak ditackel dengan kehancuran total. Gus Muwafiq adalah salah seorang da’i yang memanfaatkan media teknologi informasi dengan sangat kuat, dan dia memang harus dihentikan. Sama seperti aksi pemain sepak bola Vietnam dalam Sea Games ke 30 (2019) yang lalu, dia mengetahui bahwa play maker tim Indonesia adalah Dimas Darmono, maka dia dilumpuhkan dulu agar tim Vietnam bisa leluasa melakukan penyerangan dan akhirnya memang Tim Indonesia harus kalah, dengan score yang meyakinkan.

Di dalam konteks serang menyerang dan bertahan itu, maka akhirnya Habib Luthfi dari Pekalongan pun harus angkat bicara dan kemudian melakukan pembelaan, sebab tentu dikhawatirkan bahwa jika “perang media” ini terus terjadi bukan tidak mungkin akan menyebabkan “perang media yang lebih luas” dan akan memicu konflik sosial yang bisa saja terjadi. Dan melalui berbagai cara bertahan tersebut, akhirnya bisa dipahami tentang eksistensi ceramah Gus Muwafiq dan kecintaan Orang NU terhadap Nabi Muhammad saw dan bahkan para Dzurriyah atau para Habaib yang sesungguhnya memperoleh tempat terhormat dalam hirarkhi penghormatan Orang NU dewasa ini.

Seharusnya tidak ada orang yang meragukan kecintaan warga NU terhadap Nabi Muhammad saw. Jika didengarkan dan dilihat, berapa banyak orang NU yang melantunkan shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Dalam satu ceramah agama saja, berapa kali para da’i itu mengucapkan: “Allahumma shalli ‘ala Muhammad, lalu jamaah secara serentak menyatakan “Allahumma Shalli alaih”. Ini baru satu bukti empiris. Belum lagi misalnya berapa juta umat Islam (baca NU) yang membaca pujian-pujian kepada Nabi Muhammad saw., dan melantunkan perjalanan kehidupan Beliau melalui Barjanjenan, paling tidak sepekan sekali Orang NU melantunkannya. Dan belum dihitung berapa banyak Orang NU yang melantunkan shalawat Nabi dalam setiap hari dan setiap pekan. Sungguh merupakan bukti betapa Orang NU mencintai, menghormati dan menghargai Nabi Muhammad sebagai panutan agung dan dianggap sebagai Nabi yang akan memberikan syafaat fi yaum al qiyamah. Dan hal ini merupakan keyakinan yang sangat dihargai oleh Orang NU. Dan keyakinan ini juga terus ditransmisikan di rumah, di pesantren dan institusi pendidikan NU dalam segala variasinya.

Pendidikan Ahl Sunnah wa al Jamaah (Aswaja) yang dilakukan oleh Institusi Pendidikan NU dan Pesantren yang berafiliasi NU tentu merupakan medium untuk mewariskan nilai-nilai kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, dzurriyah dan sahabat-sahabat Beliau. Bahkan setiap orang NU juga akan melakukan enkulturasi tentang Ke-NU-an tersebut pada keluarganya. Oleh karena itu sepanjang pengetahuan saya, tentu tidak ada yang meragukan kecintaan Orang NU terhadap Nabi Besar Muhammad saw dan juga para dzurriyah dan para sahabat yang mulia di sisi Allah saw.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..