Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

JIHAD, KHILAFAH DAN HIJRAH (2)

JIHAD, KHILAFAH DAN HIJRAH (2)

Kata yang selalu menjadi viral melalui media sosial adalah khilafah. Kata ini juga menjadi mantram suci bagi sekelompok orang untuk memperjuangkannya. Di antara yang vocal adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Selain tentu ada beberapa organisasi yang muncul belakangan pasca MMI menjadi redup, misalnya Jamaah Ansharud Daulah (JAD) dan juga Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Keempatnya dianggap sebagai organisasi yang memiliki agenda untuk mendirikan khilafah di Indonesia.

Khilafah adalah khazanah istilah di dalam Islam, bahkan juga menjadi bahasan para ulama di dalam ilmu fiqih, dan juga sejarah Islam. Pasca wafatnya Rasulullah Muhammad saw., maka para penggantinya—Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman dan Sayyidina Ali—dikenal sebagai khalifah Islam, yang memperoleh sebutan Khulafaur Rasyidin. Pasca terbunuhnya Sayyidina Hussein di Padang Karbala, maka muncullah kekhalifahan Muawiyah, dan lalu muncul Kekhalifahan Abbasiyah dan terus sampai ke kekhilafahan Turki Ustmani, kekhilafahan Fathimiyah di Mesir dan seterusnya.

Khilafah adalah istilah yang secara empiris pernah ada dan menjadi pembahasan secara mendalam di kalangan para fuqaha. Secara historis, khilafah merupakan realitas empiris di dalam Islam dan dalam kurun waktu yang panjang sesuai dengan sejarah perkembangan dan pengembangan umat Islam. Sejarah kekhalifahan di dalam Islam juga memiliki makna negative dan positif. Dalam konteks negative, maka di dalam kekhilafahan juga terjadi peperangan atau pertempuran untuk merebut atau mempertahankan kekhalifahan dimaksud, dan secara positif kekhalifahan juga menghasilkan peradaban yang sangat masyhur dengan berbagai temuan inovatif dalam ilmu pengetahuan. Ada sangat banyak nama masyhur sebagai penemu dalam berbagai ilmu pengetahuan, baik dalam bidang filsafat, sejarah, sosiologi, kedokteran, fisika, matematika, kimia, biologi dan sebagainya. Sejarah tidak selalu dengan senyum dan tertawa, akan tetapi juga dengan kesedihan dan air mata duka.

Hampir seluruh teks tentang fiqih membahas tentang jihad dan khilafah. Makanya, dua kata ini sangat dikenal di kalangan ahli kitab kuning, karena memang menjadi bahasan penting di dalam ilmu fiqih. Di dalam konteks ini, memang terdapat ketidaksepakatan para ahli fiqih mengenai bentuk kekhilafahan dimaksud. Dalam sejarah Islam, juga terdapat variasi mengenai system kekhilafahan. Makanya, di Timur Tengah yang secara tegas menjadikan Islam sebagai dasar negara, namun di dalam praktik penyelenggaraan negara juga bervariasi, ada yang menggunakan system monarkhi, ada yang menggunakan system republic dan ada yang mempraktikkan system teodemokratis. Semuanya tentu benar sesuai dengan ijtihad para founding fathers negeri-negeri tersebut. Apakah kekhalifahan di Arab Saudi yang mempraktikkan system kerajaan lebih baik dari model jumhuriyyah di Mesir atau system teodemokrasi di Iran? Jawabannya tentu adalah relatif, tergantung pada kesepakatan para pemimpin negara dan rakyatnya.

Khilafah di dalam wacana Islam di Indonesia justru dimaknai sebagai “lawan” negara. Khilafah dibenturkan dengan kekuasaan pemerintah yang absah, dalam hal ini adalah NKRI berdasarkan atas Pancasila. Mereka yang mengusung konsep khilafah menganggap bahwa “hanya dengan khilafah semua masalah bangsa ini akan bisa diselesaikan”. Pemikiran otopia semacam ini yang dijejalkan kepada generasi muda Indonesia, sehingga mereka mengikuti program dengan agenda mendirikan negara khilafah atau daulah Islamiyah sebagaimana yang mereka cita-citakan.

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia secara umum, bahwa khilafah merupakan produk wacana yang dihasilkan oleh kaum radikalis, yang memang mencita-citakan berdirinya negara Islam di Indonesia. Kekuatan media sosialnya sangat luar biasa kerena didukung oleh anak-anak muda dengan tingkat literasi media sosial yang hebat, sehingga berkemampuan untuk menarik simpati anak-anak muda berbakat dan pintar. Makanya pada waktu deklarasi negara khilafah di IPB juga mendapat dukungan dari ratusan mahasiswa lintas perguruan tinggi.

Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa “Indonesia darurat radikalisme”. Dan di antara yang menjadi perhatian adalah keinginan mereka untuk mendirikan khilafah atau daulah Islamiyah tersebut. Dan yang membuat pemerintah harus merespon secara mendasar adalah kebanyakan anggotanya atau simpatisannya adalah generasi muda, khususnya para mahasiswa. Makanya, pemerintah mewajibkan setiap instansi pemerintah untuk aware terhadap masalah keinginan untuk mendirikan khilafah Islamiyah tersebut.

Berbasis pada wacana khilafah adalah produk kaum radikalis, maka kata khilafah menjadi agenda yang sungguh-sungguh dianggap membahayakan, dan kementerian terkait juga harus merespon dengan cara yang sangat serius. Tidak hanya BNPT yang harus terlibat di dalam upaya deradikalisasi, akan tetapi seluruh kementerian dan lembaga.

Kementerian Agama merespon hal ini dengan program moderasi beragama, yang diharapkan menjadi muara bagi seluruh program kemenag. Apapun lembaga atau institusinya, maka ujung akhir programnya adalah perubahan mindset agar menjadi moderat dalam beragama.

Dan program ini saya kira sudah sangat “share” di kalangan para pejabat Kemenag di pusat maupun daerah, khususnya di institusi pendidikan. Di dalam kerangka membangun upaya untuk melakukan moderasi beragama juga harus direspon di dalam kurikulum pendidikan, terutama madrasah bahwa kata jihad dan khilafah harus diredusir di dalam sejarah kebudayaan Islam dan bukan pada fiqih.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..