Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ERA MANAJEMEN KINERJA DAN REFORMASI BIROKRASI BAGI PTKIN

ERA MANAJEMEN KINERJA DAN REFORMASI BIROKRASI BAGI PTKIN

Tulisan ini mungkin saja agak absurd, sebab Reformasi Birokrasi dan Manajemen Kinerja sesungguhnya sudah lama diberlakukan pada Kementerian dan Lembaga di Indonesia. Namun tulisan ini saya hadirkan dalam kerangka untuk kembali mengingatkan bahwa Reformasi Birokrasi dan Manajemen Kinerja adalah tugas para pimpinan PTKIN.

Saya mengapresiasi atas undangan Rektor IAIN Bukittinggi, Ibu Dr. Ridha Ahida, MHum dalam satu acara penyusunan rencana strategis pengembangan IAIN Bukitinggi tahun 2020-2025. Saya diminta untuk mencermati terhadap rencana strategis dimaksud agar lebih bersearah dengan perubahan sosial di era revolusi Industri 4.0, di mana penggunaan teknologi informasi sangat kuat dan mengedepan. Hadir pada acara ini seluruh Wakil Rector Bidang Akademik, Dr. Asya’ari, SAg. Msi., Wakil Rektor Administrasi, Pak Dr. Novi Hendri, MAg., Wakil Rektor Bidang kemahasiswaan, Dr, Mawardi, SH, MHum., Kabiro, Pak Syahrul Wilda, para pejabat eselon tiga dan empat pada IAIN Bukittinggi, Rapat ini dilakukan di Hotel Basko, Padang, 14/12/2019.

Secara khusus saya membahas 3 (tiga) hal sesuai dengan renstra yang diberikan kepada saya untuk saya cermati. Pertama terkait dengan visi dan misi IAIN Bukittinggi. Di dalam visi IAIN Bukittinggi disebutkan: “menjadi perguruan tinggi unggul dalam integrasi ilmu dan keislaman tahun 2025”, maka tentu misinya harus bersearah dengan visi ini. Kalau dicermati, maka ada dua hal mendasar di dalam visi ini, yaitu; “unggul dalam integrasi ilmu dan ilmu keislaman”. Maka seharusnya muncul di dalam misi itu ialah bagaimana menjadikan IAIN Bukitinggi unggul dalam dua aspek ini. Harus jelas secara eksplisit keunggulan di dalam integrasi ilmu dan ilmu keislaman. Di dalam sejarah perkembangan integrasi ilmu, maka sudah ada tiga yang menjadi tolok ukur, yaitu model pohon ilmu (UIN Malang), model integrasi interkoneksi (UIN Jogyakarta), dan model integrasi ilmu (UIN Jakarta), dan juga sudah diperkenalkan model twin tower (UIN Surabaya) yang dilaunching tahun 2010 yang lalu. Di dalam konteks ini, maka IAIN Bukittinggi akan dapat mengambil yang mana dari jajaran konseptual integrasi ilmu ini, apakah akan mengikuti salah satu di antaranya atau akan mengembangkan sendiri konsepnya. Saya kira ada pilihan rasional yang dapat dilakukan.

Lalu, visi ini harus diderivasi ke dalam misi, dimasukkan di dalam renstra dalam bentuk program dan kegiatan berbasis pada sasaran kinerja, indicator kinerja, program dan kegiatan serta anggaran yang jelas. Harus ada keberanian untuk memutuskan mana program prioritas dan mana program yang bisa ditunda dulu dalam kerangka mengedepankan ketercapaian misi dimaksud. Pemimpin harus memiliki keberanian untuk memutuskan di tengah banyak pilihan program yang baik, dengan cara menentukan mana yang urgen dan mana yang important.

Kedua, manajemen kinerja. Salah satu kelemahan dari pimpinan PTKIN –karena berangkatnya dari dosen dalam bidang ilmu tertentu—maka biasanya kurang aware terhadap manajemen birokrasi. Padahal perkembangan birokrasi sudah sedemikian cepat. Masih kita lihat PTKIN yang menggunakan manajemen lama, tahun 1980-an dengan George Terry sebagai pakarnya, yang saya menyebutnya sebagai manajemen konvensional, yaitu planning, organizing, actuating and controlling (POAC). Manajemen seperti ini sudah sangat lama ditinggalkan dengan mengembangkan Total Quality Management (TQM), yang salah satu derivasinya adalah Manajemen Kinerja atau Performance Management. Manajemen ini sangat cocok dengan dunia birokrasi termasuk birokrasi PTKIN. Manajemen ini yang sekarang digunakan oleh Pak Jokowi untuk menggerakkan roda birokrasi agar program dan kegiatannya jelas dan terukur out come atau dampak positifnya.

Melalui sasaran kinerja yang jelas –apa dan siapanya—lalu indicator kinerjanya –apa, siapa, bagaimana dan mengapa—lalu terukur targetnya, kemudian juga terukur capaiannya. Sasaran kinerja merupakan gambaran siapa yang dikenai program atau kegiatan dan apa programnya dengan catatan harus jelas dan jangan ambigu atau berupa konsep. Saya teringat ketika dikritik Pak Jokowi dalam satu forum Rapat Koordinasi seluruh Pejabat Eselon satu, bahwa kebanyakan sasaran kinerja itu tidak jelas apa dan siapa sasarannya, dicontohkan “program pemberdayaan nelayan”, maka tidak jelas apa dan siapanya. Menurut Beliau lebih baik jika programnya itu “memberi bantuan jaring untuk nelayan sejumlah sekian orang”. Dengan program yang jelas, maka akan bisa diukur capaiannya dan dampaknya bagi mereka. Saya kira PTKIN bisa menggunakan cara berpikir Pak Jokowi yang praktis ini dalam kerangka merumuskan restranya. Harus menggunakan rumus 4 (empat) jelas, yaitu jelas sasarannya, jelas indikatornya, jelas targetnya, dan jelas capaiannya (Jelas SITC).

Ketiga, reformasi birokrasi. Saya mengamati salah satu “kelemahan” PTKIN juga di dalam kerangka mengembangkan reformasi birokrasi. Program ini merupakan program yang berseiring dengan menajemen kinerja yang telah dikembangkan semenjak zaman Pak SBY dan memperoleh penguatan yang semakin jelas di era Pak Jokowi. Makanya nama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) menjadi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan&RB), karena reformasi birokrasi menjadi sasaran strategis pemerintah. Mestinya reformasi birokrasi juga menjadi sasaran strategis di PTKIN. Harus dikenal dengan baik 8 (delapan) area perubahan yang sangat masyhur di dunia reformasi birokrasi. Yaitu: manajemen perubahan, pengembangan SDM, penguatan struktur dan tata kelola, penataan regulasi, penguatan akuntabilitas, penguatan pengawasan, penguatan mindset reformasi birokrasi dan penguatan budaya kerja. Pimpinan PTKIN harus terus menerus mengembangkan: 1) inovasi dalam memenuhi target managemen perubahan. Prioritaskan agar inovasi menjadi roh mendasar di dalam RB, jika diperlukan berikan reward bagi upaya untuk mengembangkan inovasi bagi civitas akademika. Reward tidak selalu dalam bentuk uang, tetapi penghargaan. 2) pimpinan PTKIN harus mengembangkan SDM yang relevan dengan kebutuhan. Misalnya, menempatkan orang yang cocok dalam jabatannya yang memiliki loyalitas pada institusi. Orang “pinter, bener tur pener”. Ungkapan orang Jogyakarta ini perlu saya garis bawahi, karena pintar saja tidak cukup bahkan pintar dan benar juga kurang cukup, maka yang pas kalau pintar, benar dan memiliki loyalitas dan empati yang sangat baik bagi institusinya.

3) terus menerus mengembangkan struktur dan tata kelola yang baik. Harus selalu melakukan upaya untuk mereview terhadap struktur mana yang masih relevan dan mana yang perlu dikaji ulang. Sambil terus mengembangkan struktur baru nonstructural yang berguna bagi institusi. Struktur baru nonstructural ini dimaksudkan sebagai upaya menjawab tantangan perubahan yang tidak bisa direspon secara cepat oleh birokrasi, karena batasan-batasan regulasi. 4) penataan regulasi. Saya kira perlu dilakukan review terhadap aturan-aturan yang sudah tidak lagi relevan dengan perubahan yang terjadi. Bisa saja dalam bentuk SK Rektor, Surat Edaran Rector atau lainnya untuk direvisi dengan melibatkan Senat Universitas/Institut agar regulasi yang diterbitkan selalu relevan dengan keperluan. 5) penguatan akuntabilitas dengan melakukan perbaikan tentang pelaporan program dan kegiatan yang tepat waktu, tepat sasaran, tepat anggaran dan tepat pelaksanaan. Semua terkoordinasi dengan memadai dengan tujuan untuk mencapai visi dan misi institusi. 6) penguatan pengawasan. Kita sudah memiliki Sistem Pengawasan Internal, yang di antara tugasnya adalah memastikan semua program dan kegiatan berjalan on the track. Untuk ini maka perlu ada kegiatan Evaluasi Tri Wulanan, yang tujuannya adalah memastikan semua program dan serapan anggaran bisa dilakukan sesuai dengan rencana triwulanan tersebut. Jika ini bisa dilakukan maka seluruh pimpinan akan mengetahui apa yang sudah dilakukan, mana yang belum dilakukan, apa hambatan dan tantangannya, sehingga semua memiliki kepedulian terhadap apa yang dilakukan oleh aparat institusi. Kemudian juga harus terus menerus mengaplikasikan 5 (lima) nilai budaya kerja (integritas, profesionalitas, inovasi, tanggung jawab dan keteladanan).

Nilai budaya kerja ini sudah dilaunching pada awal tahun 2013. Mestinya nilai budaya ini sudah memasuki area internalisasi atau menjadi pedoman bagi semua aparatur sipil negara pada Kemenag, termasuk juga aparat sipil negara di PTKIN. Karena kita semua adalah ASN di Kemenag, maka 5 (lima) nilai budaya kerja harus menjadi pedoman kita semua di dalam bekerja untuk mengembangkan institusi di mana saja kita bekerja.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..