• May 2025
    M T W T F S S
    « Apr    
     1234
    567891011
    12131415161718
    19202122232425
    262728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SILABUS PERSPEKTIF ILMU DAKWAH

SILABUS PERSPEKTIF ILMU DAKWAH

PROGRAM PASCA SARJANA ILMU DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

 

Tujuan:

  1. Memberikan penjelasan dan pemahaman tentang berbagai perspektif ilmu dakwah dalam kerangka pengembangan keilmuan dakwah.
  2. Memberikan penjelasan dan pemahaman tentang program pengembangan keilmuan dakwah dalam kerangka untuk semakin memperkokoh posisi keilmuan daawah, terutama di masa yang akan datang.
  3. Memberikan penjelasan dan pemahaman tentang teori, metodologi dan program penguatan keilmuan dakwah.

 

Deskripsi mata kuliah.

  1. menyepakati tentang program pembelajaran melalui kontrak pembelajaran antara dosen dan mahasiswa. Di antara isi kontrak kerja tersebut ialah tentang penulian makalah, artikel untuk jurnal, terindeks internasional ataupun jurnal terindeks sinta Kemenristendikti, Jakarta.
  2. Menjelaskan dan memberikan pemahaman tentang pengertian paradigm, perspektif dan madzab-madzab dalam ilmu pengetahuan.
  3. Berbagai paradigm dalam ilmu sosial (fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial) dan Antropologi (evolusionisme, fungsionalisme, interpretative dan kognitivisme)
  4. Berbagai paradigm di dalam ilmu komunikasi (paradigm mekanistik, interaksi simbolik, interpretif dan wacana)
  5. Paradigma dalam psikhologi (nativisme, berhaviorisme dan konvergensi)
  6. Review terkait dengan perkuliahan sebelumnya.
  7. Paradigm ilmu dakwah, obyek kajian dan metodologinya (paradigm factorial, paradigm system, paradigm developmentalisme, paradigm interpertif) dan obyek kajiannya serta metodologi yang melazimi berbagai paradigm tersebut (kuantitatif, kualitatif, dan action research)
  8. Pengembangan ilmu dakwah dikaitkan dengan KKNI, yang meliputi monodisipliner (program strata 1), interdisipliner (antar bidang) dan cross discipliner (lintas bidang) untuk (strata 2) dan multidisipliner (strata 3).
  9. Pengembangan ilmu dakwah interdisipliner dan crossdisipliner (sosiologi dakwah, komunikasi dakwah dan psikhologi dakwah)
  10. Diskusi dan pendalaman sesuai kertas kerja mahasiswa
  11. Diskusi dan pendalaman sesuai dengan kertas kerja mahasiswa
  12. Diskusi dan pendalaman sesuai dengan kertas kerja mahasiswa
  13. Review dan pendalaman
  14. Review dan pendalaman

MK PARADIGMA ILMU SOSIAL, HUMANIORA DAN ILMU AGAMA

 

MATA KULIAH PARADIGMA ILMU SOSIAL, HUMANIORA DAN ILMU AGAMA

PROGRAM DOKTOR ISLAMIC STUDIES UIN SUNAN AMPEL

 

Tujuan:

  1. memberikan penjelasan tentang paradigm dalam ilmu sosial, humanior dan ilmu agama.
  2. Memberikan contoh tentang pengkajian, penelitian dan penulisan ilmiah dalam studi ilmu sosial, humaniora dan ilmu agama
  3. Memperoleh pemehaman secara memadai tentang metodologi dalam pengkajian ilmu sosial, humaniora dan ilmu agama.

 

Rincian perkuliahan:

  1. tatap muka pertama, kontrak belajar dan berbagai penjelasan tentang mekanisme dan dinamika perkuliahan program doctor
  2. tatap muka ke 2, penjelasan tentang pengertian paradigm dalam studi ilmu sosial, humaniora dan ilmu agama. Serta memberikan gambaran secara umum bahwa ilmu-ilmu sosial, humaniora dan ilmu agama memiliki paradigma atau madzab tersendiri, metodologi yang khas dan sanad konsep yang terus berlangsung sampai sekarang.
  3. Paradigm dalam ilmu sosial (fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial), metodologi yang terdapat di dalamnya.
  4. Membahas beberapa teori yang relevan dengan masing-masing paradigm di dalam ilmu sosial.
  5. Paradigm humaniora (antropologi budaya, sejarah, filsafat dsb), metodologi yang terkait dengan masing-masing paradigm.
  6. Membahas beberapa teori yang relevan dengan masing-masing paradigm dalam humaniora.
  7. Paradigm dalam ilmu keislaman (tafsir, hadits, sejarah kebudayaan Islam, Ilmu dakwah, ilmu pendidikan Islam, ilmu fiqih dsb).
  8. Integrasi ilmu (pohon ilmu, twin towers, integrasi dan interkoneksi dsb)
  9. Program doctor dalam KKNI dan pola intergasi ilmu yang layak dikembangkan.
  10. Diskusi
  11. Diskusi
  12. Diskusi
  13. Diskusi
  14. Diskusi
  15. diskusi

MATA KULIAH STUDI ISLAM

MATA KULIAH STUDI ISLAM

PROGRAM DOKTOR STUDI EKONOMI SYARIAH

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

 

 

Tujuan:

  1. memperoleh pemahaman dan penjelasan tentang paradigm dalam studi islam secara umum maupun secara khusus mengenai ekonomi syariah
  2. memperoleh pemahaman dan penjelasan tentang program integrasi ilmu dalam pengembangan kajian keislaman multidisipliner dalam kaitannya dengan KNI
  3. memperoleh pemahaman dan penjelasan mengenai metodologi studi Islam baik klasik maupun kontemporer.

 

 

Deskripsi Mata Kuliah

Secara rinci program ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1. mengenal dan memahami anatomi teori dalam studi-studi keilmuan
  2. mengenal dan memahami paradigm dalam studi keilmuan: sosiologi, antropologi,
  3. mengenal dan memahami paradigm dalam studi psikhologi, sejarah dan filsafat.
  4. Mengenal dan memahami paradigm dalam studi ekonomi, yang merupakan basis bagi pengembangan studi ekonomi secara umum.
  5. Mengenal dan memahami paradigma dalam studi ekonomi syariah, baik di dunia Islam maupun nonislam.
  6. Mengenal dan memahami metodologi penelitian kuantitatif untuk studi ekonomi syariah.
  7. Mengenal dan memahami metodologi penelitian kualitatif untuk studi ekonomi syariah.
  8. Mengenal dan memahami mixed methodology untuk studi ekonomi syariah.
  9. Diskusi
  10. Diskusi
  11. Diskusi
  12. Diskusi
  13. diskusi

NIKMAT HIDAYAH ALLAH SWT.

NIKMAT HIDAYAH ALLAH SWT.

Pada hari Ahad, 18 Agustus 2019, saya diundang oleh Takmir Masjid Agung Kota Blitar untuk memberikan pengajian Ahad pagi ba’da Shalat Subuh Berjamaah. Kehadiran saya di Masjid Agung ini difasilitasi oleh Sdr. Drs. Abdul Basyid Ismail, MM, Sekretaris LP3M UIN Sunan Ampel dan juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Blitar.

Pada kesempatan ini, saya memberikan pemahaman tentang tiga hal, yaitu: pertama, tentang keistimewaan bulan Agustus 2019, sebab ada dua peristiwa besar yang terjadi ialah penyelenggaraan haji tahun 2019, yang ditandai dengan Hari Raya Idul Adha, tanggal 10 Dzulhijjah 1440 Hijriyah. Doa kita semoga para jamaah haji Indonesia bisa menjadi haji yang mabrur, haji yang amalan hajinya diterima oleh Allah swt dan tentu akan berpengaruh terhadap kehidupan umat Islam secara umum. Lalu, kemarin, 17 Agustus 2019, kita juga memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang 74. Usia kemerdekaan yang rasanya semakin dewasa dan seharusnya cita-cita kemerdekaan sebagaimana tertuang di dalam 4 (empat) pokok pikiran di dalam Pembukaan Undang-Undanfg Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga sudah tercapai meskipun belum sempurna. Kita bersyukur atas anugrah Tuhan yang luar biasa bagi bangsa Indonesia ini.

Kedua, Kita juga bersyukur sebab memperoleh hidayah Allah swt untuk menjadi umat Islam, dan Alhamdulillah kita termasuk umat Islam yang taat pada ajarannya. Bukankah kita sudah melaksanakan rukun Islam berbasis pada pemahaman kita tentang rukun iman. Terutama, misalnya kita termasuk orang yang disiplin dalam menjalankan jamaah shalat shubuh. Begitu pentingnya shalat shubuh sampai adzan kita ditambahkan ”ash-shalatu khairun minan naum”. Yang artinya: “shalat itu lebih utama dari pada tidur”. Jadi rasanya kita telah memperoleh keutamaan karena mementingkan jamaah shalat shubuh. Dewasa ini ada banyak gerakan shalat shubuh berjamaah, yang menandai semakin kuatnya pengamalan beragama di tengah kehidupan kita.

Tidak semua orang dapat hidayah. Ada ahli ilmu pengetahuan yang ilmu keislamannya luar biasa, melebihi kita semua, namun demikian tidak mendapatkan hidayah Allah untuk menjadi muslim. Bahkan Pamanda Nabi Muhammad saw, Abi Thalib yang diketahui sangat membela terhadap Nabi Muhammad saw ternyata juga tidak mendapatkan hidayah di akhir kehidupannya. Ketika dalam posisi sakaratul maut, maka datanglah familinya, ada Nabi Muhammad saw, ada Abu Lahab, Abu Jahal dan sebagainya. Kala Nabi Muhammad saw tahu bahwa Pamannya akan segera meninggal, maka Nabi Muhammad saw menyatakan: “Paman ucapkanlah Tidak Ada Tuhan selain Alllah”. Maka seketika itu pula Abu Lahab menyatakan, “Wahai Abu Thalib ucapkanlah “ Demi Agama Abdul Muthalib” , maka Abi Thalib memilih mengikuti Abu Lahab ketimbang mengikuti ajakan Nabi Muhammad saw. Sedihlah Nabi, sehingga turun ayat 56 Surat Al Qashsash, “innaka la tahdi man ahbabta, wala kinna Allahu yahdi man yasa” yang artinya: “sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah, akan tetapi Allah yang bisa memberikan hidayah terhadap orang yang dikehendakinya”

Para ulama membagi hidayah itu dalam 4 (empat) kategori, yaitu: 1) hidayah I’tiqadiyah, ialah hidayah yang diberikan Allah untuk mempercayai atau iman kepada Allah dan hal-hal lain di seputar rukun iman. Hidayah I’tiqadiyah adalah hidayah yang paling besar di dalam kehidupan kita melebihi semua hal yang kita miliki. Harta, kekuasaan, jabatan, keluarga dan sebagainya tidak sebanding dengan keberadaan hidayah Allah ini. 2) hidayah Thariqiyah, yaitu hidayah Allah yang berupa bisa memasuki jalan yang benar di dalam agama Islam. Itulah sebabnya Allah mengajarkan sebagaimana tercantum di dalam Surat Al Fatihah: “ihdinash shiratal mustaqim”. Yang artinya, “tunjukkanlah kami jalan yang benar”. 3) hidayah amaliyah, ialah hidayah berupa kemampuan mengamalkan ajaran agama yang benar. Kita bersyukur sebab telah mengikuti amalan-amalan sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. 4) hidayah fithriyah, ialah hidayah yang terkait dengan kesucian. Hidayah ini adalah hidayah yang mendalam, dan bisa jadi diberikan oleh Allah kepada ahli-ahli ibadah atau ahli-ahli tasawuf, seseorang yang seluruh hidupnya diabdikan hanya kepada Allah semata. Di sinilah arti dan makna syukur kepada Allah atas hidayah yang diberikan kepada kita.

Ketiga, kita juga bersyukur sebagai bangsa Indonesia masih dikaruniai kerukunan dan kebersamaan. Hingga hari ini, meskipun kita ditantang oleh gerakan-gerakan radikal dan ekstrim, namun kita masih tetap berada di dalam satu barisan ingin mempertahankan Pancasila dan NKRI. Bagi kita pernyataan yang sering kita dengar ialah” NKRI Harga Mati”. Para kyai dan ulama kita seiya sekata untuk tetap menjadi Orang Indonesia Islam. Jadi tetap menjadi orang Indonesia yang beragama Islam. Bukan menjadi orang lain atau bernegara lain. Kita tetap menjadi satu kesatuan bangsa Indonesia.

Menjadi umat Islam yang baik tentu telah menjadi orang Indonesia yang baik, sebab tidak ada pertentangan sedikitpun antara ajaran Islam dengan Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak ada pertentangan antara Islam dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tidak ada pertentangan antara Islam dengan Persatuan Indonesia, tidak ada pertentangan antara Islam dengan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan tidak ada pertentangan antara Islam dengan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Indonesia adalah negara berketuhanan, artinya menjadikan agama sebagai pedoman dalam bersikap, bertindak dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan beradab. Negara sangat membutuhkan agama sebagai pedoman etik dan implementasi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, marilah kita syukuri kita sebagai bangsa Indonesia yang aman, damai, rukun dan bermartabat. Kita dilahirkan tidak sebagai bangsa Irak, Syria, Afghanistan dan sebagainya yang kehidupan masyarakatnya carut marut karena pertentangan antar suku, ras dan agama. Sudah saatnya kita bersyukur dan terus bersyukur atas realitas kebangsaan kita yang tetap lestari hingga saat ini dan tentu terus ke depan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MENYERASIKAN ILMU DAN AMAL

Saya mendapatkan tugas untuk mengisi acara “Ceramah Jum’at Malam” yang diselenggarakan di Mushalla Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Acara ini menjadi acara rutin, setelah sebelumnya Pak Cholil Umam yang memberikan ceramah agama untuk mengkaji Kitab Nashaihul Ibad. Acara ini diikuti oleh jamaah shalat magrib, dan memang waktunya antara shalat Magrib dan Isya’.

Ada tiga hal yang saya sampaikan di dalam ceramah “Jumat Malam” ini, yaitu: Pertama, perlunya kita bersyukur kepada Allah atas kenikmatan yang sudah diberikan kepada kita semua. Nikmat masih dikaruniai umur panjang, sehingga kita bisa beribadah, memohon keselamatan, memohon ampunan atas dosa yang kita bikin atau perbuat dan juga berdoa untuk keberkahan kehidupan. Maka, pantaslah jika kita terus menerus untuk bersyukur atas kenikmatan yang Allah berikan kepada kita semua.

Syukur itu bagian yang tidak boleh ditinggalkan di dalam kehidupan ini. bayangkan betapa besarnya nikmat Allah yang kita terima. Nikmat kesehatan dan dengan nikmat ini maka kita bisa shalat jamaah di mushalla kita. Lalu kita bisa berdzikir dan juga mengikuti pengajian rutin yang kita programkan. Marilah kita terus bersyukur semoga Allah akan semakin menurunkan rahmatnya untuk kita semua.

Kedua, saya tertarik dengan ceramah Pak Cholil pekan lalu. Beliau menyatakan bahwa antara kepemilikan ilmu dengan pengamalannya belum tentu serasi. Tidak setiap orang yang memiliki ilmu pengetahuan kemudian mengimplementasikan ilmunya untuk menjadi amalan atau perbuatan. Seseorang bisa saja belajar ilmu keislaman akan tetapi belum tentu mengamalkan ilmunya itu. Ada orang yang ilmu islamnya hebat sekali akan tetapi ternyata ilmunya itu tidak dilakukannya, akan tetapi sebaliknya ada orang yang ilmu keislamannya hebat sekali dan kemudian diamalkannya.

Saya akan memberikan contoh beberapa orang yang belajar Islam tuntas dan ada yang menjadi muslim, dan ada yang belajar Islam dengan baik tetapi tidak menjalankan ilmu yang dikuasainya. Saya akan mengambil contoh dua orang yang belajar ilmu keislaman luar biasa tetapi tidak menjadikannya menemukan hidayah Allah dan dua orang lainnya yang menguasai ilmu keislaman dan kemudian memperoleh hidayah Allah swt.

Muhammad As’ad yang nama asalnya ialah Leopold von Weiss, intelektual yang berasal dari Eropa Timur, tepatnya dari Bulgaria. Beliau belajar tentang Ilmu Keislaman, melalui perjalanan panjang ke Timur tengah. Dari perjalanannya itu, maka beliau menulis buku berjudul “Road to Mecca”, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Buku ini pernah saya baca tahun 1980-an, saat saya menjadi mahasiswa. Saya baca buku ini pada malam hari, sebab Ibu Kost saya, Bu Sumaidah, selalu memberi saya minuman kopi malam hari, sehingga berakibat tidak bisa tidur sore hari. Di saat seperti itu, maka saya manfaatkan membaca buku ini.

Leopold von Weiss menemukan hidayah Allah di dalam perjalanan fisikal dan spiritualnya.

Kemudian, Maurice Bucaille adalah professor dan doctor di bidang ilmu kedokteran. Dia melakukan penelitian tentang mummi dan melalui penelitiannya ini beliau menemukan kebenaran tentang ayat-ayat Tuhan dan kemudian menulis buku yang sangat monumental, yaitu kajian tentang “Bible, Al Qur’an dan Science”. Buku ini menjadi karya yang hebat karena membandingkan antara Bible, dan Al Qur’an dalam kaitannya dengan sains. Melalui proses yang panjang kemudian Maurice Buchaille memperoleh hidayah Allah dan menjadi muslim. Sama dengan Leopold von Weiss, maka proses untuk memperoleh hidayah Allah itu didapatkan dalam pergulatannya dengan dunia intelektual, emosional dan spiritual.

Lalu, ada ahli tasawuf yang tidak diragukan kemampuan akademisnya. Ada banyak buku yang ditulisnya dan yang saya tahu adalah “Mystical Dimension of Islam” yang juga menjadi karya monumental di dalam bidang kajian tasawuf. Ia tidak hanya pandai berbahasa Arab tetapi juga hafal Al Qur’an 30 Juz. Luar biasa hebat. Dia bernama Annemarie Schimmel, perempuan hebat dalam kajian ilmu keislaman. Namun demikian dia tidak mendapatkan hidayah Allah untuk menjadi muslim. Dia menempatkan kajian Islam sebagai ilmu saja.

Dan lainnya ialah Christian Snouck Hurgronje yang selama di Indonesia perannya ialah menjadi penasehat pemerintah Hindia Belanda, terutama di dalam menghadapi Perang Aceh. Pemerintah Hindia Belanda kewalahan dalam menghadapi peperangan ini, maka diutuskan Snouck Hurgronje untuk memahami apa sesungguhnya kekuatan orang-orang Nusantara dalam peperangannya melawan Belanda. Dan kata kuncinya ialah jhad yang dibarengi dengan semangat yang luar biasa untuk mengusir kaum penjajah. Dia bisa memasuki kawasan Mekkah dan Madinah yang tidak diperuntukkan bagi orang nonmuslim. Tetapi beliau bisa mengelabui otoritas Arab Saudi dengan berpusa-pura menjadi muslim. Dia memiliki pengetahuan yang komplit tentang ilmu keislaman, akan tetapi juga tidak mendapatkan hidayah Allah.

Saya menjadi teringat atas peristiwa wafatnya Pamanda Nabi Muhammad saw, Abu Thalib. Pada saat mendekati ajalnya berkumpullah para kerabatnya di antaranya ialah Abu Jahal, Nabi Muhammad saw dan kerabat lainnya. Nabi berkeinginan menuntunnya agar membaca “La ilaha illallah”, sementara itu Abu Jahal juga mengajarinya dengan menyatakan: “Demi Agama Abdul Muthalib”. Dan akhirnya, Abu Thalib, ayahanda Sayyidina Ali, menyatakan: “Demi Agama Abdul Muthalib” dan kemudian menghembukan nafas terakhirnya. Nabi Muhammad saw sangat sedih atas peristiwa ini, sehingga dia tetap berharap agar beliau bisa menyelamatkannya.

Lalu, Allah menurukan ayat di dalam Surat Al Qashshash, ayat 56, yang berbunyi: “innaka la tahdi man ahbabta, walakinnallahu yahdi man yasa’. Yang artinya: “sesungguhnya kamu tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah yang bisa memberikan hidayah sesuai dengan kehendaknya.

Ketiga, gambaran yang diperoleh dari uraian ini adalah bahwa ilmu bisa terkait dengan amal dan juga terkadang tidak terkait dengan amal. Adakalanya, dengan ilmu orang menjadi beragama dan adakalanya tidak. Jadi untuk menyerasikannya sangat teragntung kepada bagaimana Allah swt memberikan hidayahnya. Sekarang kita sudah memperoleh hidayah Allah, kita menjadi orang yang terpiluh untuk menjadi muslim, maka sudah saatnya kita tidak menyia-nyiakan pemberian hidayah Allah tersebut dengan cara menjadikan ilmu sebagai dasar di dalam pengamalan agama. Jadikan ilmu keislaman sebagai bagian yang mendasari amalan dan perilaku kita.

Di dalam kata mutiara Arab dinyatakan: “al ilmu bila ‘amalin kasajaratin bila tsamarin”, yang artinya: “ilmu tanpa amal itu seperti pohon tanpa buah”. Oleh karena itu, agar ilmu itu bermanfaat maka ilmu harus menjadi pemandu amal ibadah kita. Jadikan ilmu yang sedikit kita miliki itu untuk memandu amal kita sehingga kita termasuk orang yang tidak menyepelekan hidayah Allah yang sudah kita terima.

Wallahu a’lam bi al shawab.