Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENYERASIKAN ILMU DAN AMAL

Saya mendapatkan tugas untuk mengisi acara “Ceramah Jum’at Malam” yang diselenggarakan di Mushalla Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Acara ini menjadi acara rutin, setelah sebelumnya Pak Cholil Umam yang memberikan ceramah agama untuk mengkaji Kitab Nashaihul Ibad. Acara ini diikuti oleh jamaah shalat magrib, dan memang waktunya antara shalat Magrib dan Isya’.

Ada tiga hal yang saya sampaikan di dalam ceramah “Jumat Malam” ini, yaitu: Pertama, perlunya kita bersyukur kepada Allah atas kenikmatan yang sudah diberikan kepada kita semua. Nikmat masih dikaruniai umur panjang, sehingga kita bisa beribadah, memohon keselamatan, memohon ampunan atas dosa yang kita bikin atau perbuat dan juga berdoa untuk keberkahan kehidupan. Maka, pantaslah jika kita terus menerus untuk bersyukur atas kenikmatan yang Allah berikan kepada kita semua.

Syukur itu bagian yang tidak boleh ditinggalkan di dalam kehidupan ini. bayangkan betapa besarnya nikmat Allah yang kita terima. Nikmat kesehatan dan dengan nikmat ini maka kita bisa shalat jamaah di mushalla kita. Lalu kita bisa berdzikir dan juga mengikuti pengajian rutin yang kita programkan. Marilah kita terus bersyukur semoga Allah akan semakin menurunkan rahmatnya untuk kita semua.

Kedua, saya tertarik dengan ceramah Pak Cholil pekan lalu. Beliau menyatakan bahwa antara kepemilikan ilmu dengan pengamalannya belum tentu serasi. Tidak setiap orang yang memiliki ilmu pengetahuan kemudian mengimplementasikan ilmunya untuk menjadi amalan atau perbuatan. Seseorang bisa saja belajar ilmu keislaman akan tetapi belum tentu mengamalkan ilmunya itu. Ada orang yang ilmu islamnya hebat sekali akan tetapi ternyata ilmunya itu tidak dilakukannya, akan tetapi sebaliknya ada orang yang ilmu keislamannya hebat sekali dan kemudian diamalkannya.

Saya akan memberikan contoh beberapa orang yang belajar Islam tuntas dan ada yang menjadi muslim, dan ada yang belajar Islam dengan baik tetapi tidak menjalankan ilmu yang dikuasainya. Saya akan mengambil contoh dua orang yang belajar ilmu keislaman luar biasa tetapi tidak menjadikannya menemukan hidayah Allah dan dua orang lainnya yang menguasai ilmu keislaman dan kemudian memperoleh hidayah Allah swt.

Muhammad As’ad yang nama asalnya ialah Leopold von Weiss, intelektual yang berasal dari Eropa Timur, tepatnya dari Bulgaria. Beliau belajar tentang Ilmu Keislaman, melalui perjalanan panjang ke Timur tengah. Dari perjalanannya itu, maka beliau menulis buku berjudul “Road to Mecca”, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Buku ini pernah saya baca tahun 1980-an, saat saya menjadi mahasiswa. Saya baca buku ini pada malam hari, sebab Ibu Kost saya, Bu Sumaidah, selalu memberi saya minuman kopi malam hari, sehingga berakibat tidak bisa tidur sore hari. Di saat seperti itu, maka saya manfaatkan membaca buku ini.

Leopold von Weiss menemukan hidayah Allah di dalam perjalanan fisikal dan spiritualnya.

Kemudian, Maurice Bucaille adalah professor dan doctor di bidang ilmu kedokteran. Dia melakukan penelitian tentang mummi dan melalui penelitiannya ini beliau menemukan kebenaran tentang ayat-ayat Tuhan dan kemudian menulis buku yang sangat monumental, yaitu kajian tentang “Bible, Al Qur’an dan Science”. Buku ini menjadi karya yang hebat karena membandingkan antara Bible, dan Al Qur’an dalam kaitannya dengan sains. Melalui proses yang panjang kemudian Maurice Buchaille memperoleh hidayah Allah dan menjadi muslim. Sama dengan Leopold von Weiss, maka proses untuk memperoleh hidayah Allah itu didapatkan dalam pergulatannya dengan dunia intelektual, emosional dan spiritual.

Lalu, ada ahli tasawuf yang tidak diragukan kemampuan akademisnya. Ada banyak buku yang ditulisnya dan yang saya tahu adalah “Mystical Dimension of Islam” yang juga menjadi karya monumental di dalam bidang kajian tasawuf. Ia tidak hanya pandai berbahasa Arab tetapi juga hafal Al Qur’an 30 Juz. Luar biasa hebat. Dia bernama Annemarie Schimmel, perempuan hebat dalam kajian ilmu keislaman. Namun demikian dia tidak mendapatkan hidayah Allah untuk menjadi muslim. Dia menempatkan kajian Islam sebagai ilmu saja.

Dan lainnya ialah Christian Snouck Hurgronje yang selama di Indonesia perannya ialah menjadi penasehat pemerintah Hindia Belanda, terutama di dalam menghadapi Perang Aceh. Pemerintah Hindia Belanda kewalahan dalam menghadapi peperangan ini, maka diutuskan Snouck Hurgronje untuk memahami apa sesungguhnya kekuatan orang-orang Nusantara dalam peperangannya melawan Belanda. Dan kata kuncinya ialah jhad yang dibarengi dengan semangat yang luar biasa untuk mengusir kaum penjajah. Dia bisa memasuki kawasan Mekkah dan Madinah yang tidak diperuntukkan bagi orang nonmuslim. Tetapi beliau bisa mengelabui otoritas Arab Saudi dengan berpusa-pura menjadi muslim. Dia memiliki pengetahuan yang komplit tentang ilmu keislaman, akan tetapi juga tidak mendapatkan hidayah Allah.

Saya menjadi teringat atas peristiwa wafatnya Pamanda Nabi Muhammad saw, Abu Thalib. Pada saat mendekati ajalnya berkumpullah para kerabatnya di antaranya ialah Abu Jahal, Nabi Muhammad saw dan kerabat lainnya. Nabi berkeinginan menuntunnya agar membaca “La ilaha illallah”, sementara itu Abu Jahal juga mengajarinya dengan menyatakan: “Demi Agama Abdul Muthalib”. Dan akhirnya, Abu Thalib, ayahanda Sayyidina Ali, menyatakan: “Demi Agama Abdul Muthalib” dan kemudian menghembukan nafas terakhirnya. Nabi Muhammad saw sangat sedih atas peristiwa ini, sehingga dia tetap berharap agar beliau bisa menyelamatkannya.

Lalu, Allah menurukan ayat di dalam Surat Al Qashshash, ayat 56, yang berbunyi: “innaka la tahdi man ahbabta, walakinnallahu yahdi man yasa’. Yang artinya: “sesungguhnya kamu tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah yang bisa memberikan hidayah sesuai dengan kehendaknya.

Ketiga, gambaran yang diperoleh dari uraian ini adalah bahwa ilmu bisa terkait dengan amal dan juga terkadang tidak terkait dengan amal. Adakalanya, dengan ilmu orang menjadi beragama dan adakalanya tidak. Jadi untuk menyerasikannya sangat teragntung kepada bagaimana Allah swt memberikan hidayahnya. Sekarang kita sudah memperoleh hidayah Allah, kita menjadi orang yang terpiluh untuk menjadi muslim, maka sudah saatnya kita tidak menyia-nyiakan pemberian hidayah Allah tersebut dengan cara menjadikan ilmu sebagai dasar di dalam pengamalan agama. Jadikan ilmu keislaman sebagai bagian yang mendasari amalan dan perilaku kita.

Di dalam kata mutiara Arab dinyatakan: “al ilmu bila ‘amalin kasajaratin bila tsamarin”, yang artinya: “ilmu tanpa amal itu seperti pohon tanpa buah”. Oleh karena itu, agar ilmu itu bermanfaat maka ilmu harus menjadi pemandu amal ibadah kita. Jadikan ilmu yang sedikit kita miliki itu untuk memandu amal kita sehingga kita termasuk orang yang tidak menyepelekan hidayah Allah yang sudah kita terima.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..