Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

NIKMAT HIDAYAH ALLAH SWT.

NIKMAT HIDAYAH ALLAH SWT.

Pada hari Ahad, 18 Agustus 2019, saya diundang oleh Takmir Masjid Agung Kota Blitar untuk memberikan pengajian Ahad pagi ba’da Shalat Subuh Berjamaah. Kehadiran saya di Masjid Agung ini difasilitasi oleh Sdr. Drs. Abdul Basyid Ismail, MM, Sekretaris LP3M UIN Sunan Ampel dan juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Blitar.

Pada kesempatan ini, saya memberikan pemahaman tentang tiga hal, yaitu: pertama, tentang keistimewaan bulan Agustus 2019, sebab ada dua peristiwa besar yang terjadi ialah penyelenggaraan haji tahun 2019, yang ditandai dengan Hari Raya Idul Adha, tanggal 10 Dzulhijjah 1440 Hijriyah. Doa kita semoga para jamaah haji Indonesia bisa menjadi haji yang mabrur, haji yang amalan hajinya diterima oleh Allah swt dan tentu akan berpengaruh terhadap kehidupan umat Islam secara umum. Lalu, kemarin, 17 Agustus 2019, kita juga memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang 74. Usia kemerdekaan yang rasanya semakin dewasa dan seharusnya cita-cita kemerdekaan sebagaimana tertuang di dalam 4 (empat) pokok pikiran di dalam Pembukaan Undang-Undanfg Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga sudah tercapai meskipun belum sempurna. Kita bersyukur atas anugrah Tuhan yang luar biasa bagi bangsa Indonesia ini.

Kedua, Kita juga bersyukur sebab memperoleh hidayah Allah swt untuk menjadi umat Islam, dan Alhamdulillah kita termasuk umat Islam yang taat pada ajarannya. Bukankah kita sudah melaksanakan rukun Islam berbasis pada pemahaman kita tentang rukun iman. Terutama, misalnya kita termasuk orang yang disiplin dalam menjalankan jamaah shalat shubuh. Begitu pentingnya shalat shubuh sampai adzan kita ditambahkan ”ash-shalatu khairun minan naum”. Yang artinya: “shalat itu lebih utama dari pada tidur”. Jadi rasanya kita telah memperoleh keutamaan karena mementingkan jamaah shalat shubuh. Dewasa ini ada banyak gerakan shalat shubuh berjamaah, yang menandai semakin kuatnya pengamalan beragama di tengah kehidupan kita.

Tidak semua orang dapat hidayah. Ada ahli ilmu pengetahuan yang ilmu keislamannya luar biasa, melebihi kita semua, namun demikian tidak mendapatkan hidayah Allah untuk menjadi muslim. Bahkan Pamanda Nabi Muhammad saw, Abi Thalib yang diketahui sangat membela terhadap Nabi Muhammad saw ternyata juga tidak mendapatkan hidayah di akhir kehidupannya. Ketika dalam posisi sakaratul maut, maka datanglah familinya, ada Nabi Muhammad saw, ada Abu Lahab, Abu Jahal dan sebagainya. Kala Nabi Muhammad saw tahu bahwa Pamannya akan segera meninggal, maka Nabi Muhammad saw menyatakan: “Paman ucapkanlah Tidak Ada Tuhan selain Alllah”. Maka seketika itu pula Abu Lahab menyatakan, “Wahai Abu Thalib ucapkanlah “ Demi Agama Abdul Muthalib” , maka Abi Thalib memilih mengikuti Abu Lahab ketimbang mengikuti ajakan Nabi Muhammad saw. Sedihlah Nabi, sehingga turun ayat 56 Surat Al Qashsash, “innaka la tahdi man ahbabta, wala kinna Allahu yahdi man yasa” yang artinya: “sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah, akan tetapi Allah yang bisa memberikan hidayah terhadap orang yang dikehendakinya”

Para ulama membagi hidayah itu dalam 4 (empat) kategori, yaitu: 1) hidayah I’tiqadiyah, ialah hidayah yang diberikan Allah untuk mempercayai atau iman kepada Allah dan hal-hal lain di seputar rukun iman. Hidayah I’tiqadiyah adalah hidayah yang paling besar di dalam kehidupan kita melebihi semua hal yang kita miliki. Harta, kekuasaan, jabatan, keluarga dan sebagainya tidak sebanding dengan keberadaan hidayah Allah ini. 2) hidayah Thariqiyah, yaitu hidayah Allah yang berupa bisa memasuki jalan yang benar di dalam agama Islam. Itulah sebabnya Allah mengajarkan sebagaimana tercantum di dalam Surat Al Fatihah: “ihdinash shiratal mustaqim”. Yang artinya, “tunjukkanlah kami jalan yang benar”. 3) hidayah amaliyah, ialah hidayah berupa kemampuan mengamalkan ajaran agama yang benar. Kita bersyukur sebab telah mengikuti amalan-amalan sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. 4) hidayah fithriyah, ialah hidayah yang terkait dengan kesucian. Hidayah ini adalah hidayah yang mendalam, dan bisa jadi diberikan oleh Allah kepada ahli-ahli ibadah atau ahli-ahli tasawuf, seseorang yang seluruh hidupnya diabdikan hanya kepada Allah semata. Di sinilah arti dan makna syukur kepada Allah atas hidayah yang diberikan kepada kita.

Ketiga, kita juga bersyukur sebagai bangsa Indonesia masih dikaruniai kerukunan dan kebersamaan. Hingga hari ini, meskipun kita ditantang oleh gerakan-gerakan radikal dan ekstrim, namun kita masih tetap berada di dalam satu barisan ingin mempertahankan Pancasila dan NKRI. Bagi kita pernyataan yang sering kita dengar ialah” NKRI Harga Mati”. Para kyai dan ulama kita seiya sekata untuk tetap menjadi Orang Indonesia Islam. Jadi tetap menjadi orang Indonesia yang beragama Islam. Bukan menjadi orang lain atau bernegara lain. Kita tetap menjadi satu kesatuan bangsa Indonesia.

Menjadi umat Islam yang baik tentu telah menjadi orang Indonesia yang baik, sebab tidak ada pertentangan sedikitpun antara ajaran Islam dengan Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak ada pertentangan antara Islam dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tidak ada pertentangan antara Islam dengan Persatuan Indonesia, tidak ada pertentangan antara Islam dengan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan tidak ada pertentangan antara Islam dengan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Indonesia adalah negara berketuhanan, artinya menjadikan agama sebagai pedoman dalam bersikap, bertindak dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan beradab. Negara sangat membutuhkan agama sebagai pedoman etik dan implementasi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, marilah kita syukuri kita sebagai bangsa Indonesia yang aman, damai, rukun dan bermartabat. Kita dilahirkan tidak sebagai bangsa Irak, Syria, Afghanistan dan sebagainya yang kehidupan masyarakatnya carut marut karena pertentangan antar suku, ras dan agama. Sudah saatnya kita bersyukur dan terus bersyukur atas realitas kebangsaan kita yang tetap lestari hingga saat ini dan tentu terus ke depan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..