• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERSPEKTIF SOSIOLOGIS RESOLUSI KONFLIK (2)

Secara konseptual, para ahli memiliki pandangan mendasar tentang resolusi konflik. Ada nama yang sangat dikenal di dalam dunia resolusi konflik adalah Johan Galtung dengan bukunya yang sangat terkenal dan sudah diterjemahkan di dalam Bahasa Indonesia berjudul “Studi Perdamaian, Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban (2003)”. Buku ini menjadi rujukan bagi para penggiat resolusi konflik di dunia, tidak terkecuali aktivis di Indonesia. Galtung memperkenalan tentang “konsep segitiga” yaitu kontradiksi, sikap dan tabiat.

Kontradiksi hampir menyelimuti kehidupan manusia atau masyarakat. Banyak dijumpai di dalam relasi sosial yang di dalamnya terdapat kontradiksi antara nilai yang dijadikan pedoman dengan kenyataan sosial kultural dan struktur. Contoh yang paling nyata adalah mengenai perilaku politik, maka didapati gap antara nilai politik yang adiluhung yaitu untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat atau artikulasi kepentingan publik dengan cara-cara yang bermoral, namun kenyataannya banyak yang terjadi pertentangan. Lalu timbul istilah politik itu kotor. Politik diwarnai dengan uang, abuse of power, benturan kepentingan dan sebagainya.

Kemudian, muncul sikap yang terkait dengan modalitas kontradiksi tersebut. Sikap tersebut berupa kehendak, pikiran atau emosi untuk melawan kesenjangan antara kenyataan dengan nilai tersebut. Di dalam konteks ini, maka seseorang bisa saja mempengaruhi orang lain bahkan masyarakat agar memiliki kesamaan dalam sikapnya. Pada akhirnya, kemudian muncul tindakan perlawanan terhadap apa yang dianggapnya sebagai bagian dari kesenjangan dimaksud. Tindakannya dapat berupa perlawanan atau konflik dan bisa juga berupaya untuk melakukan resolusi konflik. Jika yang dilakukan yang ke dua, maka tentu akan memiliki makna positif, sama halnya jika yang dilakukan adalah tindakan melawan, maka yang dihasilkan adalah perilaku negatif. Namun di dalam realitas sosial, resolusi konflik dapat dilakukan setelah terjadi konflik baik berskala sempit maupun luas.

Kekerasan memiliki dua konsep, yaitu kekerasan simbolik dan kekerasan aktual. Kekerasan simbolik biasanya merupakan kekerasan yang berada di ruang-ruang tertutup, meletup-letup tetapi tidak berwujud kekerasan yang mengedepan. Kekerasan ini berada di dalam simbol-simbol perlawanan, seperti menggunakan bahasa, tradisi atau kebudayaan. Kita mungkin masih ingat dengan bagaimana Orang Samin melawan kekuasaan dengan bahasa-bahasa dan tradisi-tradisi yang mereka ciptakan. Contoh lain adalah kekerasan simbolik untuk melawan Pak Harto di era Orde Baru yang dilakukan oleh sejumlah intelektual melalui Forum Demokrasi atau lainnya. Mula-mula di ruang-ruang diskusi, ruang pertemuan atau rapat-rapat, kemudian menyebar berskala luas.

Kekerasan aktual adalah kekerasan yang berupa tindakan nyata dan menghasilkan tindakan saling melawan. Kekerasan simbolik dalam waktu lama bisa juga menjadi kekerasan aktual. Sebagai contoh adalah penjatuhan kekuasaan otoriter Pak Soeharto selama 32 tahun. Mula-mula adalah kekerasan simbolik tetapi kemudian berskala massif, tindakan demontrasi massal, penembakan aktivis dalam aksi unjuk rasa dan berakhir dengan kekerasan fisik yang berujung pada kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998. Lalu dimulailah era baru Orde Reformasi, yang terus berjalan sampai sekarang, dan ditindaklanjuti dengan demokrasi langsung dan reformasi birokrasi.

Jika terjadi kekerasan, maka yang akan muncul berikutnya adalah “spiral kekerasan”. Kebencian Orang Palestina terhadap Israel tidak akan berhenti sampai kapanpun, karena kekerasan itu telah memasuki kawasan “spiral kekerasan” dimaksud. Bisa dibayangkan ada seorang pemuda, yang telah kehilangan kedua orang tuanya karena perilaku state terrorism yang dilakukan oleh Israel, maka dia akan memendam bara api kebencian yang kapan saja bisa meletup dengan tindakan kekerasan. Disinilah spiral kekerasan itu berlangsung.

Di dalam kerangka membangun resolusi konflik, maka ada beberapa konsep yang digunakan yaitu: melakukan intervensi konflik, yang menggunakan gerakan menciptakan perdamaian (peace making). Untuk membangun perdamaian, maka perdamaian itu harus didesain. Harus ada intervensi dari pihak ketiga yang tidak terlibat di dalam konflik dan berposisi netral. Para pihak yang sedang melakukan konflik pasti akan membaca bagaimana netralitas orang atau kelompok yang melakukan intervensi ini. Kemudian menjaga perdamaian (peace keeping). Aksi perdamaian hanya akan bisa dilakukan jika dua atau lebih yang berkonflik itu sudah melakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan berdamai. Satu contoh yang menarik adalah yang dilakukan oleh Pak HM. Yusuf Kalla pada waktu menjadi negosiator perdamaian antara GAM dengan Pemerintah RI. Negosiasi ini dilakukan di Finlandia untuk menjaga netralitasnya. Negosiasi ini menghasilkan kesepakatan, salah satu di antaranya untuk menjadikan Aceh sebagai wilayah otonomi khusus, Nangroe Aceh Darusalam (NAD) dengan berbagai konsekuensinya.

Tindakan berikutnya adalah mengelola konflik (conflict management). Melalui upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak (dua atau tiga kelompok yang konflik dan pihak pendamai), maka diupayakan untuk menemukan solusi berbasis pada keinginan untuk berdamai. Tentu saja di sini sudah ada kesepakatan dari berbagai pihak untuk saling menerima di antara perbedaan yang terjadi. Di dalam konteks ini bisa menggunakan konsep manajemen modern, meliputi plan, do, check, action (PDCA). Perlu disusun program kebersamaan, bekerja bersama, melakukan pengecekan bersama, dan aksi bersama.

Berikutnya adalah pembangunan perdamaian (peace building). Tahap akhir ini merupakan upaya untuk membangun perdamaian berbasis pada sikap dan tindakan untuk melakukan usaha bersama berbasis resolusi konflik. Di dalam konteks ini, maka yang dilakukan adalah membangun masyarakat berbasis pada kebutuhan (need assesment), memilih alternatif bersama untuk merumuskan progran yang relevan, dan bekerja bersama untuk membangun masyarakat.

Untuk kepentingan resolusi konflik, maka dibutuhkan negosiator yang hebat, kemampuan untuk berbagi masalah dan keinginan untuk menyamakan kesepahaman, dan kesepahaman untuk bekerja sama. Jika menggunakan konsepsi kerukunan umat beragama, maka kemampuan untuk membangun toleransi, membangun kesetaraan dan kemampuan bekerja sama. Resolusi konflik bukanlah perkara mudah tetapi selalu ada peluang untuk menyelesaikan. Every problem there is a solution.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PERSPEKTIF SOSIOLOGIS TENTANG RESOLUSI KONFLIK (1)

Secara teoretis, konflik selalu berdampingan dengan konsensus. Maksudnya, bahwa di dunia ini ternyata tidak hanya eksis konsensus sosial tetapi juga konflik sosial. Secara historis, masyarakat di dunia selalu berada di dalam dua kondisi tersebut, jika tidak terjadi keteraturan sosial, maka akan terjadi konflik sosial. Di belahan dunia selalu terdapat keteraturan sosial dan juga konflik sosial. Di dunia Timur Tengah nyaris selalu terjadi konflik sosial, namun di Indonesia nyaris sempurna terjadi keteraturan sosial.

Bahkan negara-negara lain menyatakan bahwa untuk belajar kerukunan umat beragama maka datanglah ke Indonesia. Hal ini menggambarkan bahwa kerukunan umat beragama sebagai basis utama keteraturan sosial memang sungguh Indonesia menjadi contohnya. Di antara salah satu poin dari pertemuan tokoh-tokoh agama dunia di Vatikan dinyatakan bahwa Indonesia adalah contoh kerukunan umat beragama. Di dalam konteks ini, maka Afghanistan bahkan Mesir belajar ke Indonesia dalam mengelola demokrasi dan kerukunan umat beragama.

Kita bersyukur bahwa masyarakat Indonesia ini meskipun sangat heterogin atau plural dan multikultural, akan tetapi semangat kebersamaannya luar biasa. Ada pepatah atau kearifan lokal yang terus terjaga hingga sekarang, sehingga ketika terjadi kontestasi atau konflik maka mereka dapat diingatkan kembali dengan kearifan lokal tersebut. Misalnya “pela gandong” atau “satu tungku tiga batu”, dan sebagainya.

Secara konseptual, memang konflik merupakan ciri masyarakat dunia, yang memang di dalamnya terdapat berbagai perbedaan pendapat, rivalitas dan bahkan konflik. Para ahli di bidang ilmu sosial, misalnya Karl Marx menyebut bahwa konflik itu berbasis pada kelas sosial di dalam masyarakat, yang disebutnya sebagai economic determinant, bahwa konflik disebabkan oleh faktor ekonomi. Antara kelas proletar dan borjuis berada di dalam ruang konflik, yang tidak mudah diselesaikan. Sementara itu, Dahrendorf menganggap bahwa konflik disebabkan oleh otoritas yang melekat pada masyarakat tersebut. Konflik otoritas banyak dijumpai di dalam masyarakat. Konflik kewenangan misalnya di dalam organisasi sosial kemasyarakatan, birokrasi dan juga negara. Bahkan juga otoritas keagamaan. Lain halnya dengan Lewis Coser yang melihat bahwa konflik ternyata juga fungsional, sebab konflik dapat menyebabkan integrasi sosial. Konflik menjadi fungsional di saat masyarakat berlomba-lomba untuk melakukan penguasaan sumber daya ekonomi, manusia dan lainnya.

Dengan demikian, konflik dalam suatu masyarakat dapat disebabkan oleh faktor ekonomi, sebagaimana yang pernah dilihat di Eropa oleh Marx, lalu faktor politik dan ideologi, misalnya di Eropa antara Jerman Barat dan Jerman Timur, rivalitas Amerika Serikat dan Uni Soviet di masa lalu, dan sebagaimana dilihat di dalam konflik  di Indonesia pada awal Kemerdekaan. Faktor politik bisa juga dikaitkan dengan faktor ideologis, misalnya dalam perebutan penempatan ideologinya untuk bangsa di seputar Sidang Konstituante pasca Pemilu 1955, kemudian faktor agama sebagaimana yang terjadi di beberapa negara di Timur Tengah, misalnya antara kelompok Syiah dan Sunni di Iraq, dan sebagainya.

Namun demikian sebenarnya nyaris jarang ada faktor tunggal penyebab konflik sosial. Faktor-faktor ekonomi, politik, ideologi dan agama itu bisa saja menyatu menjadi faktor-faktor yang saling terkait. Dalam kasus ISIS di Iraq dan Syria, ternyata faktor-faktor tersebut berkait kelindan. Banyak orang terkecoh bahwa perang di ISIS itu adalah “Perang Agama”, padahal sesungguhnya adalah perang untuk memperebutkan wilayah, kekuasaan politik dan penguasaan ekonomi berbasis minyak. Kelompok ISIS ingin menguasai lahan-lahan ekonomi ini dan tentu saja harus berbenturan dengan penguasa-penguasa di negara tersebut. ISIS di dalam media sosial, menyatakan bahwa perang yang dilakukan adalah “Perang Agama” atau “Jihad di Jalan Allah”. Anehnya, ada banyak orang yang terbujuk rayu propaganda ISIS ini sehingga harus ikut datang di Iraq dan Syria untuk berperang melawan rezim penguasa yang dianggap “thagut-thagut” yang berjuang bukan di jalan Allah.

Memang harus diakui bahwa agama sering dijadikan sebagai faktor penguat antar konflik, sebab sebagaimana proposisi Coser, bahwa konflik dapat memperkuat identitas, dan konflik juga menjadi intens di kalangan elit kelompok atau masyarakat. Lalu, agama memiliki dan menjadi sentimen yang paling akurat dan dahsyat. Sebagai sesuatu yang ultimate consern, maka agama memiliki dimensi keyakinan akan kebenaran yang mutlak, sehingga jika kemutlakan tersebut dilawan atau diganggu, maka akan menumbuhkan sentimen dan kemarahan yang luar biasa. Makanya di manapun konflik dibumbui oleh agama atau berbasis nuansa keagamaan maka konflik tersebut pasti akan berjalan lama dan rumit.

Di zaman pertengahan, misalnya Perang Salib yang berjalan 100 tahun, Perang antara Islam dan Nasrani di Spanyol, Portugal dan negara Eropa lainnya. Hal ini juga yang kita lihat di Chechnya, Iraq dan Syria, Etiopia, serta beberapa negara di Afrika. Namun sekali lagi bahwa perang tersebut sesungguhnya tidak hanya faktor agama, bahkan agama menjadi penguat saja, sebab hakikat konflik sesungguhnya berbasis pada multifaktor yang bergerak secara sistemik dan dinamis.

Kita tentu bersyukur meskipun riak-riak masyarakat Indonesia dalam bentuk konflik itu juga ada, namun bukanlah konflik yang bertahan lama dan berskala besar. Salah satu keuntungannya bahwa konflik itu bisa dilokalisasikan dalam wilayah yang terbatas sehingga memungkin peluang untuk melakukan “resolusi konflik”.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

AGAMA DI RUANG DOMESTIK (5)

Tidak hanya rakyat yang panik dalam menghadapi wabah virus corona, akan tetapi juga pemerintah. Tidak hanya Indonesia yang panik akan tetapi seluruh dunia panik menghadapi makhluk yang sangat kecil, mikroba virus corona.

Sekarang ini hanya Cina yang sudah merasa bebas dari wabah ini, karena kebijakan lock down terhadap Kota Wuhan selama virus mewabah, sehingga nyaris tidak ada kota-kota lain di Cina yang terkena wabah ini. Beijing sebagai pusat pemerintahan aman, demikian pula Shanghai sebagai pusat perdagangan juga aman. Nyaris seluruh kota-kota di Cina aman dari wabah mematikan ini.

Sebagai negara dengan Sistem Komunis tentu sangat mudah untuk memberlakukan kebijakan pusat untuk seluruh daerah. Begitu juga rakyat juga patuh terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintahnya. Sistem pemerintahan komunis efektif untuk kepentingan mendesak seperti ini. Dengan kebijakan lock down Wuhan, maka rakyat diisolasi dengan sangat ketat, dan akhirnya hanya Wuhan saja yang terkena dampak virus ini dan tidak dengan kota lain.

Sungguh fantastis Cina menyelesaikan urusan covid-19, sehingga dengan jumawa menawarkan jasa ke pemerintah Italia, mengekspor obat ke Indonesia, dan juga mengajari dunia tentang bagaimana melawan covid-19. Bahkan ada sekelompok orang yang menganalisis bahwa Cina sudah memenangkan Perang Dunia ke 3, tanpa letupan senjata. Dan secara ekonomis, Cina juga meraup keuntungan karena produk-produk perusahaannya, seperti: obat chloroquine untuk mengatasi virus corona, masker, APD, dan bahkan produk makanan yang tahan lama, khusus bagi yang diisolasi secara ketat.

Hari-hari ini kita sedang mengalami upaya untuk mencegah penyebaran virus corona, meskipun kurang tegas. Coba bayangkan untuk menentukan daerah mana yang akan dilakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ternyata sangat birokratis, mulai dari usulan pimpinan daerah, pembentukan tim, pengkajian sampai baru penentuan keputusan. Mengapa tidak dipercayakan kepada pemda yang pasti sudah tahu kondisi daerahnya untuk kemudian ditetapkan sebagai wilayah PSBB. Surabaya yang sudah masuk zona merah, ternyata juga tidak segera ditetapkan sebagai wilayah PSBB, demikian pula daerah lain.

Lain halnya dengan urusan agama. Tanpa status wilayah PSBB, maka agama sudah jelas memasuki kawasan itu. NU melalui Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, MA., dan Muhammadiyah melalui Prof. Dr. KH. Haedar Nashir juga sudah menyampaikan hasil bahtsul masail atau keputusan tarjih untuk menentukan bahwa pada bulan Ramadlan, 1402 H. tidak ada lagi buka bersama, tarawih jamaah, takbir keliling dan pembagian makanan secara berkelompok. Himbauan yang seirama dengan keputusan MUI dan juga asosiasi-asosiasi keagamaan: KWI, DGI, WALUBI, Parisadha Hindu, dan MATAKIN tentang upaya physical and social distancing.

Yang menarik tentu adalah Surat Edaran Kementerian Agama RI, sebagaimana dijelaskan oleh Menteri Agama Fahrur Razi, tentang bagaimana beribadah di Bulan Ramadlan. Di dalam Surat Edaran, No. 6 Tahun 2020 Tentang Panduan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1 Suawal 1441 H di Tengah Pandemi Wabah Covid-19. Di antara isi dari Surat Edaran tersebut adalah: “sahur dan buka di rumah ditiadakan bukber dan sahur in the road, salah tarawih secara individu atau berjamaah di rumah, membaca al Qur’an di rumah, bukber di masjid, lembaga pemerintah dan swasta ditiadakan, peringatan Nuzulul Qur’an dan tabligh akbar ditiadakan, I’tikaf di masjid ditiadakan, takbir keliling ditiadakan, pesantren kilat ditiadakan, silaturrahim bisa dilakukan melalui media sosial”. Sedangkan untuk teknik pelaksanaan shalat Id menunggu fatwa MUI.

Jika kita membaca SE Menteri Agama ini, betapa tegasnya upaya untuk mendomestikkan agama di era covid-19. Agama benar-benar dirumahkan. Agama yang selama ini dilakukan dengan gegap gempita dan hingar bingar melalui masjid, dan lainnya harus dilakukan dengan sunyi di rumah masing-masing. Para pelaku agama rasanya harus mematuhi terhadap SE Menag ini. Meskipun SE itu tidak memiliki kekuatan memaksa, namun memang penting untuk disadari bagaimana melakukan tindakan di bulan Ramadlan. Agama benar-benar harus berada di “Ruang Domestik”.

Tentu setiap peristiwa ada untung ruginya. Di saat seperti ini dipastikan media sosial, seperti TV, WA, Radio, dan lainnya akan menuai keuntungan. Rating TV tentang acara dakwah melalui TV akan meningkat, siaran radio juga akan kembali laku, dan media sosial juga akan menuai harinya. Siapa yang untung tentu adalah perusahaan dan pemilik modalnya.

Lalu siapa yang “buntung” di dalam hal ini, tentu adalah para pendakwah, imam masjid, imam mushalla, pendakwah kultum tarawih, pendakwah bukber, dan pengusaha Kelas Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM), yang selama ini meraup keuntungan dari kehadiran bulan Ramadlan. Jika selama ini umat Islam bergembira menyambut Ramadlan, maka tahun ini rasanya “hambar”. Ada banyak segmen masyarakat yang merasakan betapa “ujian” kehidupan sekarang ini luar biasa.

Tanpa keinginan untuk menyatakan bahwa virus ini dibuat atau sesuatu yang accidence, tetapi kita rasanya harus mengikuti pemikiran kaum tasawuf, bahwa setiap kejadian selalu saja sepengetahuan Tuhan, dan upayanya adalah ikhtiar dan pasrah kepada Yang Maha Hidup, Yang Maha Rahman dan Rahim dan Yang Maha Perkasa atas segala kejadian di alam makro dan mikro kosmos.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

AGAMA DI RUANG DOMESTIK (4)

Sebagai penggemar Bang Haji Rhoma Irama, tentu saja saya langsung mendapatkan kiriman dari Dr. Saifuddin, UIN Raden Fatah Palembang, tentang lagu “Virus Corona”. Perlu saya sampaikan bahwa Dr. Saifuddin adalah doktor yang meneliti tentang lagu-lagu Bang Haji dan Bang Haji juga hadir untuk memberi testimoni tentang lagu-lagunya pada saat ujian terbuka Mas Dr. Saifuddin.

Saya menulis mengenai musik Bang Haji ini sudah beberapa kali. Saya menulis tentang lagu “virus Corona” ini di saat saya sedang memperkuat tesis saya bahwa ada yang disebut sebagai Agama Domestik. Agama yang “dipaksa” oleh struktur sosial untuk memasuki ruang-ruang terbatas.

Kekaguman saya pada Bang Haji disebabkan karena Beliau selalu membuat syair lagunya itu berdasar atas konteks sosial psikhologis dan religius yang sedang dihadapi oleh manusia. Betapa banyak syair-syair lagunya yang menggambarkan nuansa sosial-religius, dan inilah yang menyebabkan lagunya itu seakan abadi, jika dibandingkan dengan lagu-lagu dari penyanyi lainnya. Yang lain hanya seumur jagung, tetapi lagunya Bang Haji menjadi abadi.

Sebelum saya melakukan analisis tentu ada baiknya jika saya angkat lebih dulu tentang syair lagu “Virus Corona”. “Kengerian yang mencekam, Melanda segenap alam, Kala makhluk itu datang, Menyerang dan mematikan”. “Dia tak terlihat mata, Tak bisa diraba, Namun sangat mengerikan seluruh manusia”, “Hampir di segenap negeri, Isolasi bersembunyi, Ketakutan tak terperi”. “Hanyalah padamu Tuhan, Kami mohon perlindungan”, “Dari ancaman bahaya, Virus yang makin mewabah, Berilah inayah untuk menghentikan”, “Mata dunia terbuka, Betapa lemah manusia, Walaupun sudah digdaya, Ternyata rapuh padanya”, “Hanyalah dengan mikroba, bernama corona, Sungguh telah menghancurkan , Sendi kehidupan”. “Ikhtiar dan juga doa, Mari kita upayakan, Agar dunia terbebas, Darinya…virus corona”.

Betapa indahnya syair lagu Bang Haji ini. Saya berkeyakinan bahwa untuk menciptakan lagu ini tentu menggunakan pendekatan spiritual, tidak hanya berbasis pada kenyataan empiris yang diketahuinya. Jika kita cermati, maka ada beberapa catatan tentang lagu virus corona ini. Pertama, bahwa virus corona benar-benar menjadi momok dunia, tidak ada negara yang terbebas dari virus ini. Meskipun tidak tampak, namun memiliki daya pengaruh yang besar terhadap seluruh dunia. Kekuatan virus corona ini ternyata juga luar biasa. Betapa negara-negara yang selama ini mengagungkan rasionalitas dan kekuatan fisik dan pikiran ternyata tidak mampu berbuat banyak. Di sana-sini kemudian yang dilakukan adalah kebijakan lock down sebuah wilayah, di mana manusia mengasingkan diri di dalam rumahnya sendiri-sendiri dengan kengerian yang tidak terhingga. Pengaruh psikhologis virus ini sungguh sangat dahsyat.

Kedua, manusia ternyata tidak memiliki kekuatan apapun di dalam berhadapan dengan makhluk nongaib tetapi tidak kasat mata. Mikroba ini tidak tampak kecuali dengan teknologi kedokteran, akan tetapi memiliki daya ledak mematikan. Lebih dahsyat dibandingkan dengan bom yang dijatuhkan Amerika ke Nagasaki dan Hiroshima tahun 1945, atau senjata kimia yang digunakan Amerika di dalam perang Irak. Yang seperti ini masih bisa dilokalisasikan, sehingga tidak memiliki dampak mendunia. Coba bayangkan, virus corona itu dari Wuhan di Cina tetapi sekarang telah meracuni seluruh dunia. Tidak ada negara yang terbebas dari mikroba ini.

Ketiga, akhirnya manusia harus mengakui kelemahannya dan keterbatasannya. Dan yang tidak terbatas dan Maha Kuasa adalah Allah swt. Manusia yang telah mendeklarasikan kehebatannya dengan teknologi yang dikuasainya ternyata harus mengakui ada kehebatan lain, yang bisa mengalahkannya. Di saat seperti ini, seperti kata Bronislaw Malinowsky, lalu manusia teringat akan kekuatan “gaib”, di dalam konsepsi Malinowsky disebut sebagai “magi”, tetapi di dalam agama Samawi, khususnya Agama Islam, yang Maha Kuasa dan Perkasa itu adalah Allah swt. Di saat seperti ini, maka sebagaimana syair Bang Haji, “Hanyalah padamu Tuhan, Kami mohon perlindungan”, “Dari ancaman bahaya, Virus yang makin mewabah, Berilah inayah untuk menghentikan”.

Agama menjadi sangat fungsional di saat terdapat musibah. Agama, ternyata menjadi ujung akhir dari proses permohonan atas ketidakberdayaan manusia menghadapi tekanan eksternal di luar dirinya, terutama di kalangan kaum rasionalis. Namun bagi kaum agamawan, bahwa agama itu fungsional di hilir dan hulu kehidupan. Agama diyakini mendasari setiap proses kehidupan manusia. Kaum spiritualis justru tidak hanya sekedar itu, bahwa semua kejadian hakikatnya adalah takdir Tuhan dan manusia harus pasrah menghadapinya. Tuhan bagi kaum spiritualis menyertai setiap kejadian di dunia ini.

Kenyataan empiris virus corona yang mendesak manusia ke dalam isolasi diri, dan berdoa atau beribadah  di dalam isolasi diri itulah yang saya konsepsikan sebagai agama domestik, sebab agama sebagaimana yang diamalkan oleh pemeluknya tersekat di dalam bilik sempit, rumah-rumah, atau tempat ibadah terbatas, dan belum lagi diperkenankan untuk kembali ke ranah publik.

Walllahu a’lam bi al shawab.

 

AGAMA DI RUANG DOMESTIK (3)

Saya termasuk orang yang menyukai tulisan Pak Dahlan Iskan. Bahkan saya juga membaca seluruh bukunya, terutama pada saat saya menjadi promotor untuk penganugerahan Doktor Honoris Causa (DR.Hc) yang diberikan oleh UIN Walisongo Semarang, tahun 2017 yang lalu. Saya juga terus mengikuti tulisan-tulisan beliau sewaktu masih di Jawa Pos, dan sekarang melalui WAG yang sering dishare oleh para penggemarnya.

Saya tertarik dengan tulisan Pak Dahlan Iskan, yang berjudul “Masjid Jarang” dan “Pilihan Sulit”, yang saya baca di WAG kemarin. Tulisan yang sangat menarik, selain ditulis oleh seorang jurnalis tulen juga karena penyajiannya yang mudah dicerna oleh semua kalangan, tidak harus mereka yang well educated. Sebagai wartawan yang kemudian menjadi CEO koran terbesar di Indonesia, Jawa Pos, maka tulisannya enak dicerna dan perlu dibaca.

Ada tiga hal yang ingin saya soroti terkait dengan tulisan beliau itu dalam kaitannya dengan gagasan saya mengenai agama domestik. Pertama, tentang virus corona yang melintas batas sampai seluruh ujung dunia, menembus batas-batas budaya dan agama. Tidak hanya aspek ekonomi dan sosial yang terdampak sedemikian hebat, akan tetapi juga tradisi-tradisi agama, yang selama ini relatif terjaga dari pengaruh apapun. Kedua, virus corona ternyata tidak mengenal wilayah persebaran berbasis etnis, agama, dan kewilayahan. India, yang mayoritas Hindu, Italia yang mayoritas Katolik, Timur Tengah yang mayoritas Islam, Iran mayorits Islam, Inggris yang mayoritas Kristen, Amerika yang mayoritas Kristen, Afrika yang mayoritas Kristen dan Indonesia yang mayoritas Islam. Semuanya terkena virus corona dengan berbagai dinamika persebarannya. Ketiga, bagaimana virus corona mengubah tatanan agama dengan segala dogma-dogma yang selama ini demikian kuat. Digambarkan bagaimana masjid dan mushalla harus menutup diri, bagaimana tempat-tempat ibadah menutup dari jemaahnya dan bagaimana perilaku takmir masjid yang terpaksa menyelenggarakan shalat jamaah Jum’at dengan protokoler ketat, seperti di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya.

Seruan untuk tidak menyelenggarakan shalat jamaah sedemikian perkasa disampaikan oleh para pejabat maupun para ulama, bahkan MUI juga membuat fatwa khusus tentang “pelarangan menyelenggarakan shalat Jumat dan shalat rawatib berjamaah”. Semua ini dilakukan dalam paket menghalau persebaran covid-19 yang sedemikian powerfull. Mikroba yang diidentifikasi sebagai coronavirus itu telah meluluhlantakkan aturan-aturan agama yang selama ini dibungkus dengan hukum fiqih, harus takluk di hadapan yang “berkuasa” saat ini, coronavirus.

Negara-negara yang selama ini digdaya, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa kalang kabut menghadapi mikroba ini. Betapa porak porandanya Italia, negeri dongeng dan fashion, Amerika Serikat “the super power” yang sangat digaya dengan senjata kimianya, seakan tidak bisa lagi jemawa. Mana ada negara yang masih bisa menepuk dada dalam menghadapi pandemi ini. Sungguh hebat mikroba yang berlabel coronavirus.

Masjid di seluruh Nusa Tenggara Barat (NTB), yang terkenal dengan sebutan Provinsi Sejuta Masjid, juga menghentikan kegiatan shalat jamaah dan acara-acara yang biasanya menghiasi masjid-masjid tersebut. Hampir di seluruh Indonesia, masjid menutup diri dari jamaah. Masjid biasanya menjadi tempat untuk “bercengkerama” dengan Tuhan melalui wirid dan dzikir. Masjid yang selama ini menjadi tempat mengungsi jika terjadi bencana, seperti Masjid Jami’ Baiturahman di Aceh semasa terjadi Tsunami, sekarang harus menghentikan aktivitas “pahala”nya. Coronavirus mengajarkan bahwa di rumah masing-masing juga banyak pahala yang bisa diraih.

Jika ada masjid yang tetap menggelar shalat Jum’at juga harus menggunakan protokoler yang sedemikian ketat sesuai dengan persyaratan Kementerian Kesehatan, jaga physical distancing, bersihkan badan dan pakaian dengan semprotan disinfectant dan menyelenggarakan shalat sesingkat-singkatnya yang penting syarat dan rukunnya terpenuhi. Tidak sedikitpun membolehkan jamaah menggerombol baik kala memasuki masjid ataupun meninggalkan masjid. Benar-benar harus menggunakan kedisiplinan sebagai tolok ukurnya.

Tulisan Pak Dahlan semakin memperkuat konsep yang saya kemukakan tentang “Agama Domestik”. Yaitu agama yang berada di ruang-ruang terbatas, rumah atau tempat yang diizinkan dengan persyaratan yang sesuai dengan standart yang ketat. Agama memang bisa saja berada di ruang privat, ruang publik dan juga ruang domestik.

Wallahu a’lam bi al shawab.