Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERSPEKTIF SOSIOLOGIS TENTANG RESOLUSI KONFLIK (1)

Secara teoretis, konflik selalu berdampingan dengan konsensus. Maksudnya, bahwa di dunia ini ternyata tidak hanya eksis konsensus sosial tetapi juga konflik sosial. Secara historis, masyarakat di dunia selalu berada di dalam dua kondisi tersebut, jika tidak terjadi keteraturan sosial, maka akan terjadi konflik sosial. Di belahan dunia selalu terdapat keteraturan sosial dan juga konflik sosial. Di dunia Timur Tengah nyaris selalu terjadi konflik sosial, namun di Indonesia nyaris sempurna terjadi keteraturan sosial.

Bahkan negara-negara lain menyatakan bahwa untuk belajar kerukunan umat beragama maka datanglah ke Indonesia. Hal ini menggambarkan bahwa kerukunan umat beragama sebagai basis utama keteraturan sosial memang sungguh Indonesia menjadi contohnya. Di antara salah satu poin dari pertemuan tokoh-tokoh agama dunia di Vatikan dinyatakan bahwa Indonesia adalah contoh kerukunan umat beragama. Di dalam konteks ini, maka Afghanistan bahkan Mesir belajar ke Indonesia dalam mengelola demokrasi dan kerukunan umat beragama.

Kita bersyukur bahwa masyarakat Indonesia ini meskipun sangat heterogin atau plural dan multikultural, akan tetapi semangat kebersamaannya luar biasa. Ada pepatah atau kearifan lokal yang terus terjaga hingga sekarang, sehingga ketika terjadi kontestasi atau konflik maka mereka dapat diingatkan kembali dengan kearifan lokal tersebut. Misalnya “pela gandong” atau “satu tungku tiga batu”, dan sebagainya.

Secara konseptual, memang konflik merupakan ciri masyarakat dunia, yang memang di dalamnya terdapat berbagai perbedaan pendapat, rivalitas dan bahkan konflik. Para ahli di bidang ilmu sosial, misalnya Karl Marx menyebut bahwa konflik itu berbasis pada kelas sosial di dalam masyarakat, yang disebutnya sebagai economic determinant, bahwa konflik disebabkan oleh faktor ekonomi. Antara kelas proletar dan borjuis berada di dalam ruang konflik, yang tidak mudah diselesaikan. Sementara itu, Dahrendorf menganggap bahwa konflik disebabkan oleh otoritas yang melekat pada masyarakat tersebut. Konflik otoritas banyak dijumpai di dalam masyarakat. Konflik kewenangan misalnya di dalam organisasi sosial kemasyarakatan, birokrasi dan juga negara. Bahkan juga otoritas keagamaan. Lain halnya dengan Lewis Coser yang melihat bahwa konflik ternyata juga fungsional, sebab konflik dapat menyebabkan integrasi sosial. Konflik menjadi fungsional di saat masyarakat berlomba-lomba untuk melakukan penguasaan sumber daya ekonomi, manusia dan lainnya.

Dengan demikian, konflik dalam suatu masyarakat dapat disebabkan oleh faktor ekonomi, sebagaimana yang pernah dilihat di Eropa oleh Marx, lalu faktor politik dan ideologi, misalnya di Eropa antara Jerman Barat dan Jerman Timur, rivalitas Amerika Serikat dan Uni Soviet di masa lalu, dan sebagaimana dilihat di dalam konflik  di Indonesia pada awal Kemerdekaan. Faktor politik bisa juga dikaitkan dengan faktor ideologis, misalnya dalam perebutan penempatan ideologinya untuk bangsa di seputar Sidang Konstituante pasca Pemilu 1955, kemudian faktor agama sebagaimana yang terjadi di beberapa negara di Timur Tengah, misalnya antara kelompok Syiah dan Sunni di Iraq, dan sebagainya.

Namun demikian sebenarnya nyaris jarang ada faktor tunggal penyebab konflik sosial. Faktor-faktor ekonomi, politik, ideologi dan agama itu bisa saja menyatu menjadi faktor-faktor yang saling terkait. Dalam kasus ISIS di Iraq dan Syria, ternyata faktor-faktor tersebut berkait kelindan. Banyak orang terkecoh bahwa perang di ISIS itu adalah “Perang Agama”, padahal sesungguhnya adalah perang untuk memperebutkan wilayah, kekuasaan politik dan penguasaan ekonomi berbasis minyak. Kelompok ISIS ingin menguasai lahan-lahan ekonomi ini dan tentu saja harus berbenturan dengan penguasa-penguasa di negara tersebut. ISIS di dalam media sosial, menyatakan bahwa perang yang dilakukan adalah “Perang Agama” atau “Jihad di Jalan Allah”. Anehnya, ada banyak orang yang terbujuk rayu propaganda ISIS ini sehingga harus ikut datang di Iraq dan Syria untuk berperang melawan rezim penguasa yang dianggap “thagut-thagut” yang berjuang bukan di jalan Allah.

Memang harus diakui bahwa agama sering dijadikan sebagai faktor penguat antar konflik, sebab sebagaimana proposisi Coser, bahwa konflik dapat memperkuat identitas, dan konflik juga menjadi intens di kalangan elit kelompok atau masyarakat. Lalu, agama memiliki dan menjadi sentimen yang paling akurat dan dahsyat. Sebagai sesuatu yang ultimate consern, maka agama memiliki dimensi keyakinan akan kebenaran yang mutlak, sehingga jika kemutlakan tersebut dilawan atau diganggu, maka akan menumbuhkan sentimen dan kemarahan yang luar biasa. Makanya di manapun konflik dibumbui oleh agama atau berbasis nuansa keagamaan maka konflik tersebut pasti akan berjalan lama dan rumit.

Di zaman pertengahan, misalnya Perang Salib yang berjalan 100 tahun, Perang antara Islam dan Nasrani di Spanyol, Portugal dan negara Eropa lainnya. Hal ini juga yang kita lihat di Chechnya, Iraq dan Syria, Etiopia, serta beberapa negara di Afrika. Namun sekali lagi bahwa perang tersebut sesungguhnya tidak hanya faktor agama, bahkan agama menjadi penguat saja, sebab hakikat konflik sesungguhnya berbasis pada multifaktor yang bergerak secara sistemik dan dinamis.

Kita tentu bersyukur meskipun riak-riak masyarakat Indonesia dalam bentuk konflik itu juga ada, namun bukanlah konflik yang bertahan lama dan berskala besar. Salah satu keuntungannya bahwa konflik itu bisa dilokalisasikan dalam wilayah yang terbatas sehingga memungkin peluang untuk melakukan “resolusi konflik”.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..