Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERSPEKTIF SOSIOLOGIS RESOLUSI KONFLIK (2)

Secara konseptual, para ahli memiliki pandangan mendasar tentang resolusi konflik. Ada nama yang sangat dikenal di dalam dunia resolusi konflik adalah Johan Galtung dengan bukunya yang sangat terkenal dan sudah diterjemahkan di dalam Bahasa Indonesia berjudul “Studi Perdamaian, Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban (2003)”. Buku ini menjadi rujukan bagi para penggiat resolusi konflik di dunia, tidak terkecuali aktivis di Indonesia. Galtung memperkenalan tentang “konsep segitiga” yaitu kontradiksi, sikap dan tabiat.

Kontradiksi hampir menyelimuti kehidupan manusia atau masyarakat. Banyak dijumpai di dalam relasi sosial yang di dalamnya terdapat kontradiksi antara nilai yang dijadikan pedoman dengan kenyataan sosial kultural dan struktur. Contoh yang paling nyata adalah mengenai perilaku politik, maka didapati gap antara nilai politik yang adiluhung yaitu untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat atau artikulasi kepentingan publik dengan cara-cara yang bermoral, namun kenyataannya banyak yang terjadi pertentangan. Lalu timbul istilah politik itu kotor. Politik diwarnai dengan uang, abuse of power, benturan kepentingan dan sebagainya.

Kemudian, muncul sikap yang terkait dengan modalitas kontradiksi tersebut. Sikap tersebut berupa kehendak, pikiran atau emosi untuk melawan kesenjangan antara kenyataan dengan nilai tersebut. Di dalam konteks ini, maka seseorang bisa saja mempengaruhi orang lain bahkan masyarakat agar memiliki kesamaan dalam sikapnya. Pada akhirnya, kemudian muncul tindakan perlawanan terhadap apa yang dianggapnya sebagai bagian dari kesenjangan dimaksud. Tindakannya dapat berupa perlawanan atau konflik dan bisa juga berupaya untuk melakukan resolusi konflik. Jika yang dilakukan yang ke dua, maka tentu akan memiliki makna positif, sama halnya jika yang dilakukan adalah tindakan melawan, maka yang dihasilkan adalah perilaku negatif. Namun di dalam realitas sosial, resolusi konflik dapat dilakukan setelah terjadi konflik baik berskala sempit maupun luas.

Kekerasan memiliki dua konsep, yaitu kekerasan simbolik dan kekerasan aktual. Kekerasan simbolik biasanya merupakan kekerasan yang berada di ruang-ruang tertutup, meletup-letup tetapi tidak berwujud kekerasan yang mengedepan. Kekerasan ini berada di dalam simbol-simbol perlawanan, seperti menggunakan bahasa, tradisi atau kebudayaan. Kita mungkin masih ingat dengan bagaimana Orang Samin melawan kekuasaan dengan bahasa-bahasa dan tradisi-tradisi yang mereka ciptakan. Contoh lain adalah kekerasan simbolik untuk melawan Pak Harto di era Orde Baru yang dilakukan oleh sejumlah intelektual melalui Forum Demokrasi atau lainnya. Mula-mula di ruang-ruang diskusi, ruang pertemuan atau rapat-rapat, kemudian menyebar berskala luas.

Kekerasan aktual adalah kekerasan yang berupa tindakan nyata dan menghasilkan tindakan saling melawan. Kekerasan simbolik dalam waktu lama bisa juga menjadi kekerasan aktual. Sebagai contoh adalah penjatuhan kekuasaan otoriter Pak Soeharto selama 32 tahun. Mula-mula adalah kekerasan simbolik tetapi kemudian berskala massif, tindakan demontrasi massal, penembakan aktivis dalam aksi unjuk rasa dan berakhir dengan kekerasan fisik yang berujung pada kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998. Lalu dimulailah era baru Orde Reformasi, yang terus berjalan sampai sekarang, dan ditindaklanjuti dengan demokrasi langsung dan reformasi birokrasi.

Jika terjadi kekerasan, maka yang akan muncul berikutnya adalah “spiral kekerasan”. Kebencian Orang Palestina terhadap Israel tidak akan berhenti sampai kapanpun, karena kekerasan itu telah memasuki kawasan “spiral kekerasan” dimaksud. Bisa dibayangkan ada seorang pemuda, yang telah kehilangan kedua orang tuanya karena perilaku state terrorism yang dilakukan oleh Israel, maka dia akan memendam bara api kebencian yang kapan saja bisa meletup dengan tindakan kekerasan. Disinilah spiral kekerasan itu berlangsung.

Di dalam kerangka membangun resolusi konflik, maka ada beberapa konsep yang digunakan yaitu: melakukan intervensi konflik, yang menggunakan gerakan menciptakan perdamaian (peace making). Untuk membangun perdamaian, maka perdamaian itu harus didesain. Harus ada intervensi dari pihak ketiga yang tidak terlibat di dalam konflik dan berposisi netral. Para pihak yang sedang melakukan konflik pasti akan membaca bagaimana netralitas orang atau kelompok yang melakukan intervensi ini. Kemudian menjaga perdamaian (peace keeping). Aksi perdamaian hanya akan bisa dilakukan jika dua atau lebih yang berkonflik itu sudah melakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan berdamai. Satu contoh yang menarik adalah yang dilakukan oleh Pak HM. Yusuf Kalla pada waktu menjadi negosiator perdamaian antara GAM dengan Pemerintah RI. Negosiasi ini dilakukan di Finlandia untuk menjaga netralitasnya. Negosiasi ini menghasilkan kesepakatan, salah satu di antaranya untuk menjadikan Aceh sebagai wilayah otonomi khusus, Nangroe Aceh Darusalam (NAD) dengan berbagai konsekuensinya.

Tindakan berikutnya adalah mengelola konflik (conflict management). Melalui upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak (dua atau tiga kelompok yang konflik dan pihak pendamai), maka diupayakan untuk menemukan solusi berbasis pada keinginan untuk berdamai. Tentu saja di sini sudah ada kesepakatan dari berbagai pihak untuk saling menerima di antara perbedaan yang terjadi. Di dalam konteks ini bisa menggunakan konsep manajemen modern, meliputi plan, do, check, action (PDCA). Perlu disusun program kebersamaan, bekerja bersama, melakukan pengecekan bersama, dan aksi bersama.

Berikutnya adalah pembangunan perdamaian (peace building). Tahap akhir ini merupakan upaya untuk membangun perdamaian berbasis pada sikap dan tindakan untuk melakukan usaha bersama berbasis resolusi konflik. Di dalam konteks ini, maka yang dilakukan adalah membangun masyarakat berbasis pada kebutuhan (need assesment), memilih alternatif bersama untuk merumuskan progran yang relevan, dan bekerja bersama untuk membangun masyarakat.

Untuk kepentingan resolusi konflik, maka dibutuhkan negosiator yang hebat, kemampuan untuk berbagi masalah dan keinginan untuk menyamakan kesepahaman, dan kesepahaman untuk bekerja sama. Jika menggunakan konsepsi kerukunan umat beragama, maka kemampuan untuk membangun toleransi, membangun kesetaraan dan kemampuan bekerja sama. Resolusi konflik bukanlah perkara mudah tetapi selalu ada peluang untuk menyelesaikan. Every problem there is a solution.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..