• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

AGAMA DI RUANG DOMESTIK (2)

Saya teringat Clifford Geertz ketika menemukan konsep Agama Jawa dengan Abangan yang berpusat di desa, Birokrat yang berada di perkotaan dan Santri yang berpusat di Pasar. Konsep desa dan kota merupakan konsep yang sesungguhnya telah ditemukan oleh Robert Redfield ketika melihat ada tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition). Tradisi besar berpusat di kota dan tradisi kecil berada di desa. Perkotaan sebagai pusat birokrasi atau pemerintahan dan desa sebagai pusat kaum petani.

Kehebatan Geertz adalah ketika beliau melihat pasar sebagai satu entitas yang belum diangkat oleh Redfield dalam bukunya “Peasant Culture and Society”. Buku ini mengeksplorasi relasi desa kota di era tersebut. Kepiawaian Geertz ketika dilihatnya di dalam entitas pasar ternyata terdapat kaum santri dengan budaya yang berbeda dengan dua entitas lainnya, petani dan birokrat.

Saya tentu sama sekali tidak bermaksud “menyamakan” konsep agama domestik ini dengan proses penemuan entitas pasar dengan santrinya, sebab Geertz membutuhkan waktu dua tahun di Pare untuk menghasilkan temuan luar biasa tersebut, namun sekurang-kurangnya kita coba untuk melihat fenomena melalui metode light description, bahwa ada fenomena unik dan menarik untuk dikaji yaitu fenomena agama di ruang domestik.

Pada Jum’at (27/03/2020), saya mengamati secara selintas tentang kesiapan pelaksanaan shalat Jum’at sepanjang jalan dari perumahan Lotus Regency ke Kantor PT High Desert Indonesia (HDI) di Jalan Ngagel Madya, Gubeng Surabaya. Ketepatan saya harus pergi untuk membeli madu (clover honey). Meskipun saya sebenarnya bisa juga  memesan clover honey melalui  Gojek, akan tetapi memang secara sengaja saya ingin melihat suasana hari Jum’at pada jam 11.00 wib. Dimulai dari masjid di RS Mata Masyarakat Ketintang sampai lokasi HDI, hanya ada satu masjid saja yang menyelenggarakan shalat jamaah, yaitu masjid di Pasar Wonokromo. Bahkan Masjid Baitus Salam membuat pengumuman resmi untuk menghentikan seluruh aktivitas berjamaah di masjid selama berjangkitnya virus corona. Saya kira banyak masjid yang melakukan pemberitahuan secara resmi seperti ini.

Sesungguhnya masyarakat sangat keberatan terkait dengan penghentian sementara untuk shalat berjamaah. Bagi mereka, justru di saat genting seperti ini harus banyak doa yang dilantunkan secara berjamaah, sebagaimana biasa jika ada problem bangsa lalu sebagian umat Islam menyelenggarakan istighasah, doa bersama dan sebagainya. Namun sekarang situasinya sungguh berbeda. Pemerintah secara tegas melarang agar perkumpulan dan sejenisnya dihentikan sementara, sebab penularan covid-19 sangat massive.

Sejumlah polisi juga menertibkan kafe-kafe yang masih terdapat kerumunan. Café Bonsar, di ekat rumah saya, akhirnya diminta polisi agar cafe tersebut tidak membuka untuk “cangkruan” sebagaimana yang selama ini terjadi. Biasanya Cafe Bonsar yang melayani penjualan kopi tersebut sangat ramai dengan pembeli. Seperti biasa para penikmat kopi bisa duduk berjam-jam di kafe, sekedar untuk minum kopi dan memanfaatkan wifi untuk internetan atau main game. Sekarang suasananya sungguh berbeda.

Sepanjang saya melewati jalanan di Surabaya, bisa dilihat kafe-kafe yang sepi pembeli. Starbuck dan Excelso yang biasanya ramai pembeli pun mengalami suasana berbeda. Kafe berkelas internasional ini juga sepi pembeli sebagaimana kafe-kafe lokal yang juga mengalami penurunan drastis karena covid-19. Meskipun tidak lockdown, tetapi masyarakat terutama yang well educated, sudah mengisolasi diri. Mereka dan keluarganya sudah melakukan “lock down” sendiri. Mereka menyadari betul bahwa virus ini sungguh berbahaya dan memiliki penularan yang eksplosif.

Saya berkeyakinan, meskipun peribadahan dilakukan di rumah bersama keluarga, tetapi lantunan doa kepada Tuhan semakin banyak didendangkan. Pak RT saya, Pak Yudi, meminta saya untuk memberikan doa secara khusus untuk menangkal serangan virus corona. Melalui WA Group Ta’mir Masjid Al Ihsan, maka saya sampaikan doa yang pernah dibaca Rasulullah, yaitu: “Allahumma inna na’udzubika minar rihil ahmari, wa damil aswad wa dail akbar”, yang artinya “Ya Allah sungguh kami berlindung kepada-MU dari angin merah (wabah, dan ion merah lainnya), darah hitam (stroke, kanker, dan sebagainya), dan penyakit yang lebih berat”.

Semula doa ini akan dibaca bersama-sama ba’da magrib akan tetapi suasana yang tidak memungkinkan untuk berdoa secara berjamaah maka doa bisa dilakukan sendiri di rumah masing-masing.

Di era seperti ini, maka konsep agama domestik tersebut perlu untuk dimunculkan dan bisa menjadi peluang untuk dilakukan penelitian agar konsep ini memperoleh pembenaran ilmiah, sebagaimana Geertz di masa lalu melakukannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

AGAMA DI RUANG DOMESTIK (1)

Konsep baru yang saya tawarkan untuk kajian lebih lanjut adalah agama domestik untuk melengkapi konsep agama publik dan agama privat. Jika agama privat adalah agama yang menyejarah di dalam diri individu, urusan orang perorang, atau urusan privasi seseorang, maka agama publik adalah kesebalikannya, yaitu agama yang berada di ruang publik dengan seluruh hingar bingarnya. Agama berkait kelindan dengan keputusan-keputusan hukum, politik, dan agama hidup menyejarah di dalam kehidupan masyarakat.

Masyarakat Indonesia memang sangat berbeda dengan masyarakat Barat yang pernah mengalami sejarah kelam hubungan antara agama, masyarakat dan negara. Dominasi gereja yang sangat kuat di negara-negara Eropa kemudian melahirkan konsepsi agama privat, yang terus berkembang hingga sekarang. Kekuasaan kaum gerajawi yang sedemikian gigantic and powerfull kemudian melahirkan keinginan yang kuat agar civil society bisa melakukan kontrol terhadap negara dan sekaligus membatasi kekuasaan gereja. Timbullah konsep sekularisasi, yang hingga sekarang tetap menjadi konsep “sakral” di negara-negara barat, yang secara praktis membatasi kewenangan agamawan hanyalah pada masalah individual saja, agama menjadi urusan privat. Agama menjadi urusan masing-masing individu dan bukan urusan kebersamaan dalam bernegara.

Di dalam konsep sekularisasi, negara tidak membatasi orang untuk pergi ke tempat ibadah, orang boleh kapan saja beribadah secara bersama-sama sesuai dengan waktu yang disediakan, para pendakwah juga boleh menyebarkan agama kepada masyarakat, dan sebagainya, namun akses agama untuk kepentingan politik kenegaraan harus dibatasi bahkan dihilangkan.

Masyarakat Indonesia sungguh beruntung sebab semenjak dahulu, mulai kerajaan Sriwijaya, maka agama Buddha telah menjadi bagian negara, bahkan Universitas Nalanda di pusat kerajaan menjadi rujukan program pembelajaran di banyak negara yang menganut agama Buddha. Pada saat kerajaan Majapahit, maka pendidikan berbasis Hindu-Buddha juga menjadi pusat bagi program pendidikan di banyak negara dengan kesamaan agama. Para pendeta dari agama Buddha maupun Hindu memperoleh hak-hak istimewa di dalam kerajaan. Bahkan mereka bisa menjadi penasehat-penasehat raja dan memiliki hak-hak yang jelas.

Demikian pula pada zaman kerajaan Islam di Indonesia. Kerajaan Demak memberikan tanah-tanah perdikan kepada para Walisongo untuk mendirikan pesantren. Makanya semenjak dahulu dikenal pesantren Ampel, Pesantren Giri, Pesantren Bangkuning, pesantren Abuhurairah di Jombang, pesantren Drajat, Pesantren Bonang, dan sebagainya. Para kyai atau ulama juga   memiliki hak-hak istimewa di dalam kerajaan. Bahkan para putera raja juga sekolah di pesantren, misalnya Raden Ronggowarsito yang belajar di Pesantren Tegalsari Ponorogo pada masa diasuh oleh Kyai Kasan Besari.

Masyarakat Indonesia juga beruntung sebab meskipun terjadi perubahan negara, dari sistem kerajaan ke sistem republik, namun tidak terjadi “peminggiran” agama. Bahkan di seluruh dunia, hanya Indonesia yang memiliki Kementerian Agama, yang dibentuk pemerintah tanggal 3 Januari 1946, atau genap 7 (tujuh) bulan setelah kemerdekaan. Bahkan dinyatakan oleh Presiden Soekarno, bahwa Kementerian Agama adalah institusi negara yang diperuntukkan bagi umat beragama, khususnya umat Islam, karena perjuangannya untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Dari sinilah sebenarnya negara Indonesia memiliki keunikan sebab melalui keberadaan Kementerian Agama menjadi bukti kuat betapa negara Indonesia tidak pernah meminggirkan atau menihilkan peran agama dan masyarakat beragama di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Di era Orde Baru kita juga bisa mencatat produk undang-undang, misalnya UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia, selain juga difungsikannya Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dan lainnya untuk terlibat di dalam menyelesaikan kasus perceraian dan perdata. Di era reformasi bahkan lebih dahsyat lagi sebab ada banyak regulasi yang ditetapkan berbasis pada ajaran agama. Peraturan-peraturan daerah yang mengdaptasikan hukum Islam, dan juga Undang-Undang yang mengadaptasi hukum Islam, dan sebagainya. Semuanya menandakan bahwa agama di Indonesia memiliki peran dan fungsi penting di dalam kehidupan bernegara.

Namun demikian, akhir-akhir ini agama terdorong ke ruang yang lebih terbatas. Saya menyebutnya sebagai agama domestik. Ruang rumahan. Melalui pernyataan Pak Jokowi “Beribadahlah di rumah” tentu memiliki dampak yang sangat besar bagi umat beragama. Pernyataan ini harus diungkapkan sebab menjadi salah satu cara untuk menjaga physical and social distancing, dan untuk melokasi perkembangan virus corona atau covid-19. Jadi bukan pernyataan “melarang” orang beribadah di masjid atau tempat ibadah. Pernyataan Pak Jokowi ini tentu saja setelah memperoleh pengabsahan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) di saat merebaknya virus yang sangat berbahaya ini.

Rumah akhirnya menjadi pilihan utama dalam beribadah dalam konteks luas. Meskipun semenjak lama rumah telah menjadi tempat ibadah, bahkan di Madura setiap rumah ada langgar atau mushallanya, akan tetapi keterlibatan negara dalam proses ini tentu bisa menandai akan agama domestik tersebut. Jadi, agama domestik memang sangat kasuistis dan lokal, namun setidak-tidaknya kita bisa memberikan tambahan konsepsi tentang lokus agama yang selama ini hanya dua, yaitu lokus publik dan lokus privat dengan menambahkannya lokus domestik.

Wallahu a’lam bi al shawab.

TATANAN DUNIA TANPA ISLAM? (2)

Salah satu kekaguman saya pada ahli ilmu sosial, seperti Karl Marx adalah keberaniannya untuk menyatakan konsep yang dianggapnya benar, misalnya “agama adalah candu masyarakat”. Banyak orang yang mencibir terhadap pernyataan ini sebab dianggapnya bahwa agama tentu tidak mungkin berfungsi sebagai candu, sebab agama itu penuh dengan ajaran kebaikan. Namun orang lupa bahwa bacaan Marx adalah agama di Barat yang kala itu memang menjadi peninabobok bagi masyarakat. Agama dijadikan sebagai alat hegemoni terhadap masyarakat, sehingga masyarakat terjajah secara kultural oleh tafsir agama para pemimpinnya.

Saya kira tulisan Graham E. Fueller pun akan disikapi yang sama dengan pernyatan Marx tersebut. ketika kita membaca judul buku ini pastilah timbul syakwasangka bahwa penulis pasti bagian dari Islamphobia dan memprogandakan anti Islam. Dan yang lebih jauh adalah munculnya gambaran bahwa penulisnya adalah orang yang sangat membenci Islam dengan segala ajarannya. Saya kira juga syah-syah saja orang berpandangan seperti itu.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membela atau menolak gagasan atau konsep yang ditulis oleh Fueller, akan tetapi mencoba untuk mendudukannya dalam proporsi akademisi yang melakukan pengamatan dan pengalaman dalam relasinya dengan Islam dan umat Islam di Timur Tengah. Sebagaimana diketahui bahwa Fueller dalam kedudukannya sebagai pejabat di CIA tentu memiliki sejumlah data dan juga pengalaman hidup di Timur Tengah.

Sebagaimana dinyatakan oleh Fueller, bahwa umat Islam memiliki kebanggan sejarah, sebab umat Islam pernah mendominasi dunia dengan berbagai aspeknya, misalnya seni, ilmu pengetahuan, filsafat, kemampuan militer dan teknologi. Islam di masa 700 tahun awal begitu menguasai terhadap peradaban dunia. mulai dari Timur Tengah, Afrika, Eropa dan Asia Selatan serta Asia Tenggara menjadi saksi tas kebesaran umat Islam di masa lalu. Bahkan bahasa Arab pernah menjadi bahasa di lautan melalui para pedagang dan datang dan pergi untuk kepentingan perdagangan.

Namun demikian, peradaban selalu berada di dalam fase rise and down. Ketika peradaban Islam jatuh maka berkembanglah peradaban Barat, dan ini yang terjadi hingga sekarang. Penguasaan peradaban dunia itu sebenarnya sangat tergantung kepada faktor kebudayaan dan intelektual. Era kebangkitan Eropa ditandai dengan kemampuan kaum intelektualnya yang hebat, sama halnya dengan kehebatan peradaban Islam juga ditentukan oleh kaum intelektualnya.

Upaya mengembalikan kejayaan Islam inilah yang terus menerus diupayakan oleh umat Islam, dengan mengusung identitas keislaman yang kuat. Identitas sosia bisa saja berangkat dari famili, clan, wilayah, etnis, nasionalitas, agama, gender, bahasa class, pendapatan, profesi dan sebagainya. namun identitas agama ternyata memiliki signifikansi yang kuat untuk mempengaruhi tindakan seseorang. Identitas keislaman itulah yang mempengaruhi kebanyakan kaum radikalis untuk melakukan perlawanan terhadap barat dan apa saja yang datang dari barat.

Kebangkitan Eropa dalam peradaban diikuti dengan upaya untuk menguasai seluruh daratan dunia melalui gerakan imperialisme. Dan masyarakat Islam merasakan betapa imperialisme sangat powerfull karena didukung oleh seperangkat kekuatan senjata, pasukan dan negara yang kuat. Imperialisme merusak terhadap tatanana kenegaraan, struktur kepemimpinan dan kekuasaan pemerintah, merusak institusi tradisional, dan memunculkan tatanan ulang budaya. Tidak hanya kekuasaan politik, tetapi juga sosial, ekonomi dan kebudayaan yang menjadi hancur berantakan. Negara-negara dan masyarakat Timur menjadi menderita karena imperialisme Barat ini.

Rupanya keinginan untuk memperoleh kebebasan atas kungkungan imperialisme barat di masa lalu dengan meneriakkan identitas Islam dan negara Islam, ternyata justru menimbulkan neoimperialisme. Meskipun negara-negara di Timur memperoleh kemerdekaan, namun demkian kuku imperialisme itu telah menancap sangat dalam, sehingga tidak mampu untuk ditarik kembali. Penguasaan neoimperialisme tersebut bisa dilihat dari ketergantungan negara-negara Timur terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang diproduksi Barat. Bahkan juga kekuatan militer dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Dan yang lebih memprihatinkan, bahwa perjuangan negara-negara di Timur tengah juga tidak jelas, memperjuangkan Islam atau nasionalisme. Perlawanan terhadap dominasi Barat dilakukan tidak dengan tindakan yang sama untuk membela Islam, akan tetapi lebih bercorak kesukuan, dan lokalitas. Tidak didapati issue genaral yang dijadikan sebagai corak gerakan antikolonialisme. Semua negara saling bersikukuh dengan lokalitasnya masing, terutama di Timur Tengah. Mereka justru berpeang satu dengan lainnya untuk saling mengungguli. Jadi akhirnya mereka lupa bahwa common enemy yang harus diperangi adalah neokolonilalisme.

Alih-alih memperjuangkan Islam, sebagai agama yang damai, yang justru muncul ke permukaan adalah gerakan terorisme yang mengatasnamakan agama. Resistensi yang dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam justru perang, jihad dan terorisme.

Jihad ditafsirkan oleh mereka yang resisten terhadap barat sebagai “perang membela Islam”. Di dalam konteks ini, maka kemudian terjadi pengeboman di berbagai wilayah di dunia, dan juga munculnya kaum radikalis-teroris yang begitu agresif untuk melakukan penyerangan terhadap kepentingan barat.

Jika di dalam analisis teori sosial dinyatakan bahwa konteks sosial politik mewarnai pemikiran penulis atau penemu konsep tertentu, maka kiranya Fueller juga bisa dibaca di dalam aras ini. Tulisan yang berjudul “A World Without Islam” kiranya dapat ditempatkan di dalam konteks semakin kuatnya gerakan untuk membela Islam tetapi dengan cara-cara yang tidak manusiawi, yaitu bom bunuh diri dan peperangan yang dilakukannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

TATANAN DUNIA TANPA ISLAM? (1)

Setahun yang lalu, di Toko Buku Periplus Bandara Udara Juanda Surabaya, saya membeli buku tulisan Graham E. Fueller dengan topik “World Without Islam”. Seperti biasa bisa membeli buku tetapi membacanya nanti dulu. Sampai Sabtu, 29/03/2020, saya membalik-balik buku di perpustakaan pribadi, akhirnya saya temukan lagi buku itu, dan kemudian saya baca sebentar. Ternyata ada banyak hal yang menarik di dalamnya, khususnya bagaimana pandangan para ahli dan khususnya kaum jurnalis tentang Islam terhadap dunia Islam terutama di Timur Tengah.

Sebagaimana diketahui bahwa Graham E. Fueller adalah mantan Wakil Kepala Inteligent Amerika (CIA), ahli politik senior di RAND, dan sekarang adalah Profesor paruh waktu (adjunct professor) pada Simon Fraser University, dan telah menulis beberapa buku di antaranya “The Future of Political Islam” serta pernah hidup di negara-negara Timur Tengah dalam dua dekade.

Membaca topik buku ini, orang akan dengan segera untuk mengernyitkan kening, sambil bergumam; “bagaimana dunia tanpa Islam”. Tapi inilah kenyataan pemikiran Graham E. Fueller, yang “mengandaikan dunia tanpa Islam”. Dari pengalaman empiriknya di Timur Tengah, Graham E. Fueller sampai pada kesimpulan bahwa perpolitikan di Timur Tengah sungguh merupakan nuansa politik yang hingar bingar dengan berbagai kekerasan, radikalisme, terorisme, pengeboman, perang dan lainnya. Dan tidak hanya itu, Islam ternyata juga dianggapnya sebagai basis bagi tindakan kekerasan di beberapa negara, khususnya di Amerika Utara, terutama peristiwa terorisme di WTC, yang sangat terkenal itu. Hingga hari ini ingatan orang –khususnya di US—masih lekat dengan peristiwa 11 September 2011 yang lalu.

Saya ingin membahas buku ini dari perspektif pandangan para Jurnalis yang memberikan “acclaim for Graham E. Fueller”. Pengakuan tentang buku ini datang dari Douglas Todd, Vancouver Sun. Dinyatakannya di dalam endorsement, bahwa buku ini mengandaikan bagaimana bentuk tatanan dunia ini seandainya Islam tidak eksis. Buku ini berisi tentang tesis yang sangat berani, dan merupakan tarikan yang kuat untuk meniadakan pengaruh politik Islam di dunia. Dan yang menarik bahwa buku ini memberikan gambaran tentang terorisme yang sangat ganas memporakporandakan tatanan dunia—khususnya di Amerika—dan hal ini merupakan aspek negatif agama, khususnya Islam.

Krisis di dunia Timur Tengah sesungguhnya dipicu oleh ketegangan budaya dan politik, kepentingan wilayah dan minyak, rivalitas kekuasaan dan propaganda. Fueller menulis sesuai dengan yang diamatinya selama bertahun-tahun di Timur Tengah. Semua yang dicatatnya itu kemudian mengilhaminya mengenai pengandaian tatanan dunia tanpa Islam. Memang sesiapapun melihat bahwa krisis di Timur Tengah merupakan krisis panjang dalam sejarah kemanusiaan dan politik yang dipicu oleh faktor-faktor politik kekuasaan. Pertarungan di Irak dan Syria, yang diprogandakan sebagai perjuangan untuk menegakkan dawlah Islam, tentu bagi sebagian orang dianggap sebagai perang agama.

Lain lagi dengan John L. Esposito, penulis “The Future of Islam”. Menurutnya bahwa Fueller memiliki kapasitas untuk mengkaji politik global Islam di Timur Tengah. Buku ini merupakan analisis provokatif dan kritis terhadap karakter hubungan antara Muslim dan Barat dari sejarah perkembangan Islam. Issu utamanya adalah mengenai pertarungan peradaban dan akarnya adalah terorisme yang secara signifikan merupakan konflik antara Palestina dan Israel serta kebijakan luar negeri Amerika Serikat atau yang disebut sebagai double standarts atau double speaks.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa konflik di Timur Tengah dan kemudian juga gerakan terorisme yang terjadi di banyak negara di Eropa bahkan juga di beberapa negara non-Eropa sering dikaitkan dengan Islam. Makanya, Amerika Serikat dengan berbagai programnya adalah “melawan” terorisme, dan alamatnya jelas adalah Islam. Melalui konsep-konsep, salah satunya adalah jihad yang ditafsirkan sebagai perang ofensif, maka di mana-mana terjadi kegaduhan dan tindakan teror yang dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Dan lagi-lagi membangun stigma bahwa Islam adalah agama kekerasan.

Oleh karena itu, ada pandangan yang menyatakan bahwa munculnya Islamphobia di dunia ini sesungguhnya merupakan reaksi atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kaum teroris, yang di mana-mana memprogandakan untuk membela Islam dari pengaruh jahat masyarakat, budaya dan politik Barat. Reaksi tersebut tidak hanya berupa gerakan memerangi kaum teroris di seluruh dunia, akan tetapi juga melalui karya-karya akademis, sebagaimana tulisan para akademisi di dunia Barat.

Karya Fueller ini meskipun memiliki basis empiris, bahwa ketegangan, konflik dan peperangan yang terjadi di Timur Tengah, tetapi sesungguhnya juga mewakili sebagian dari imajinasi bahwa Islam adalah penyebab kerusakan tatanan dunia.

Namun demikian, tentu selalu ada yang positif dari karya akademis seorang ahli, bahwa dunia Islam juga perlu dikritik, agar representasi negara Islam dapat memberikan nuansa yang damai, sebagaimana terjemahan dari Islam adalah kedamaian.

Jadi sesungguhnya, bukan Islam yang menyebabkan terjadinya berbagai konflik dan perang di Timur Tengah, tetapi sebagaimana catatan Esposito, bahwa ada faktor-faktor kompleks dalam berbagai persoalan yang muncul di Timur Tengah dan hal ini akan berpengaruh terhadap masa depan Umat Islam itu sendiri.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

KETIKA COVID-19 MEMAKSA AGAMA DI RUANG DOMESTIK (2)

KETIKA COVID-19 MEMAKSA AGAMA DI RUANG DOMESTIK (2)

Adalah Jose Casanova, ilmuwan sosial, yang mengemukakan konsep “Agama Publik” di dalam bukunya “Public Religion in Modern World”. Konsep ini berangkat dari fenomena merebaknya deprivatisasi agama semenjak tahun 1980-an. Konsep “Agama Publik” merupakan antitesis terhadap konsep “ Agama Privat” yang selama itu menjadi diskursus terutama di dunia Barat, bahwa agama adalah urusan privat, sehingga agama hanyalah berada di ruang-ruang individu dan tidak berada di ruang publik atau yang dikenal sebagai sekularisme.

Memang semenjak era pemisahan urusan agama dari urusan negara (sekularisme), maka agama harus masuk ke dalam bilik-bilik sempit individu. Renaissance yang berkembang di Eropa Barat tentu bertujuan agar agama tidak menjadi alat dominasi terhadap kekuasaan negara. Begitu besarnya kekuasaan gereja terhadap negara, maka kemudian diupayakan agar peran agama tidak masuk di dalam ranah negara. Dan inilah yang terus terjadi di negara-negara Barat itu. Di dalam teori relasi agama dan negara disebut sebagai relasi sekular atau agama dipisahkan sama sekali dari negara, dan agama harus masuk ke dalam ruang privat.

Konsep agama publik dimaksudkan bahwa agama bukan sesuatu yang vis a vis negara, akan tetapi agama memiliki relasi dengan negara. Di dalam konsepsi pemikir politik Islam, seperti Al Mawardi, Imam Ghazali, dan sebagainya    disebut sebagai relasi antara negara dan agama yang simbiosis mutualisme. Agama membutuhkan negara agar relasi antar pemeluk agama menjadi keteraturan sosial atau social order, sedangkan negara memerlukan agama sebagai basis moralitas di dalam mengelola negara.

Indonesia menganut prinsip relasi dimaksud. Oleh karena itu, agama bisa memasuki ruang-ruang publik, misalnya suara adzan terdengar di TV, Radio, Masjid dan juga menjadi basis regulasi yang terkait dengan kehidupan umat beragama. Shalat jum’at bisa disiarkan di televisi, ceramah-ceramah agama mendapatkan porsi besar di masyarakat, dengan catatan dakwahnya untuk membangun kehidupan beragama yang wasthiyah atau moderat. Masjid-masjid terbuka lebar sehari semalam, dan orang bisa keluar masuk untuk beribadah sepuasnya. Bahkan banyak masjid yang menjadi tempat rekreasi spiritual, seperti Masjid Sunan Ampel, Masjid Sunan Bonang, Masjid Ibrahim Asmaraqandi, Masjid Syekh Jumadil Kubro, dan sebagainya.

Tetapi semenjak Covid-19 merebak dan menjadi pandemi, maka di sana-sini dilakukan pembatasan. Masjid-masjid banyak yang menutup diri dari shalat berjamaah, bahkan juga shalat Jum’at. Masjid Istiqlal yang sedemikian monumental karena menjadi masjid negara, juga harus menutup diri dari shalat jum’at dan menggantinya dengan shalat dhuhur. Dan saya kira nyaris semua masjid melakukan hal yang sama dengan tidak melakukan shalat jamaah, termasuk juga meniadakan ceramah-ceramah agama yang sebelumnya telah menjadi tradisi. Himbauan MUI dan juga DMI agar tidak melakukan shalat jamaah memaksa masjid-masjid untuk menutup diri.

Jika ada yang tetap melakukan shalat jamaah, maka makmum harus menjaga jarak antar satu dengan yang lain. Sekurang-kurangnya 1 (satu) meter. Sungguh pemandangan yang sangat tidak lazim. Jika selama ini jamaah justru berhimpitan agar tidak ada celah setan untuk menggoda dari sisi kiri dan kanan jamaah, maka sekarang kita dapati pemandangan yang berbeda. Banyak orang yang memilih shalat jamaah di rumah dengan keluarganya. Aktivitas beragama yang selama ini melekat dengan masjid atau mushalla menjadi melekat dengan ruang domestik. Anjuran “jangan keluar rumah”, “jaga physical and social distancing” dan hanya untuk kepentingan urgent seseorang bisa keluar rumah begitu manjur di dalam kehidupan masyarakat, terutama yang well educated.

Pak Jokowi yang mempromosikan “kerja di rumah, belajar di rumah dan ibadah di rumah” sedemikian kuat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, terutama di perumahan-perumahan perkotaan. Makanya, masjid atau mushalla yang lebih banyak tutup adalah yang berada di perumahan-perumahan. Masjid bukan lagi menjadi tempat tujuan ibadah, sebab banyak masyarakat yang mengalihkan ibadahnya di rumah.

Memang harus diakui bahwa penyebaran virus corona yang sedemikian cepat dan massive, tidak pandang bulu, siapa saja bisa terpapar, tentu bisa menakutkan. Banyak pejabat yang terpapar, ada beberapa tenaga medis yang meninggal dan jumlah mereka yang Orang Dalam Pengawasan (OPD) atau Pasien Dengan Pengawasan (PDP) dan juga yang positit virus corona yang semakin banyak tentu menjadi menanda tentang betapa “bahayanya” covid-19.

Itulah sebabnya, takmir Masjid Al Ihsan, di Perumahan Lotus Regency, terpaksa juga menyetujui dua orang Imam shalat, Ustadz Zamzami al hafidz dan Ustadz Firdaus al Hafidz untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Menjelang kepulangannya, Ustadz Firdaus menangis ketika menjadi imam shalat Isya’ berjamaah. Sungguh hal yang sangat berat bagi kita semua untuk meninggalkan shalat jamaah setiap hari karena “serangan” virus corona. Tidak hanya ini, kegiatan mengaji di Pusat Pembelajran Al Qur’an (PPA) di Masjid Al Ihsan juga harus diliburkan. Masjid yang biasanya ramai ba’da shalat magrib dengan pembelajaran al Qur’an tiba-tiba harus berhenti. Saya kira tidak hanya ini, dana masjid yang biasanya mengalir tiap hari juga mengalami pengurangan.

Jika Jose Casanova menyebut sebagai agama publik, maka dengan keberadaan covid-19 ini, maka ada satu tambahan konsepsi yang saya kira bisa diangkat ke permukaan adalah konsep agama domestik. Agama dalam ranah domestik tersebut ditandai dengan kehidupan beragama yang berpusat di rumah, misalnya shalat jamaah, mengaji, dan mendengarkan ceramah-ceramah agama di rumah.

Saya kira di era covid-19, youtube panen pengunjung. Youtube dibanjiri dengan pengunjung untuk mendengarkan pengajian, nonton film, mendengarkan musik, dan sebagainya. Jika kita baca WA Group, maka bertebaran upload musik dari yang hingar bingar, musik country, musik rock, musik melayu, musik pop   hingga musik-musik religius dari Timur Tengah.

Kenyataannya, covid-19 telah memaksa agama berada di ruang domestik dan inilah yang sekarang sedang menggejala di seantero negeri. Virus corona telah memporakporandakan beberapa prinsip dalam beragama, yang selama ini dinikmati sebagai bagian dari ruang publik. Dan kita belum tahu kapan nuansa beragama seperti ini akan berakhir.

Wallahu a’lam bi al shawab.