AGAMA DI RUANG DOMESTIK (3)
Saya termasuk orang yang menyukai tulisan Pak Dahlan Iskan. Bahkan saya juga membaca seluruh bukunya, terutama pada saat saya menjadi promotor untuk penganugerahan Doktor Honoris Causa (DR.Hc) yang diberikan oleh UIN Walisongo Semarang, tahun 2017 yang lalu. Saya juga terus mengikuti tulisan-tulisan beliau sewaktu masih di Jawa Pos, dan sekarang melalui WAG yang sering dishare oleh para penggemarnya.
Saya tertarik dengan tulisan Pak Dahlan Iskan, yang berjudul “Masjid Jarang” dan “Pilihan Sulit”, yang saya baca di WAG kemarin. Tulisan yang sangat menarik, selain ditulis oleh seorang jurnalis tulen juga karena penyajiannya yang mudah dicerna oleh semua kalangan, tidak harus mereka yang well educated. Sebagai wartawan yang kemudian menjadi CEO koran terbesar di Indonesia, Jawa Pos, maka tulisannya enak dicerna dan perlu dibaca.
Ada tiga hal yang ingin saya soroti terkait dengan tulisan beliau itu dalam kaitannya dengan gagasan saya mengenai agama domestik. Pertama, tentang virus corona yang melintas batas sampai seluruh ujung dunia, menembus batas-batas budaya dan agama. Tidak hanya aspek ekonomi dan sosial yang terdampak sedemikian hebat, akan tetapi juga tradisi-tradisi agama, yang selama ini relatif terjaga dari pengaruh apapun. Kedua, virus corona ternyata tidak mengenal wilayah persebaran berbasis etnis, agama, dan kewilayahan. India, yang mayoritas Hindu, Italia yang mayoritas Katolik, Timur Tengah yang mayoritas Islam, Iran mayorits Islam, Inggris yang mayoritas Kristen, Amerika yang mayoritas Kristen, Afrika yang mayoritas Kristen dan Indonesia yang mayoritas Islam. Semuanya terkena virus corona dengan berbagai dinamika persebarannya. Ketiga, bagaimana virus corona mengubah tatanan agama dengan segala dogma-dogma yang selama ini demikian kuat. Digambarkan bagaimana masjid dan mushalla harus menutup diri, bagaimana tempat-tempat ibadah menutup dari jemaahnya dan bagaimana perilaku takmir masjid yang terpaksa menyelenggarakan shalat jamaah Jum’at dengan protokoler ketat, seperti di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya.
Seruan untuk tidak menyelenggarakan shalat jamaah sedemikian perkasa disampaikan oleh para pejabat maupun para ulama, bahkan MUI juga membuat fatwa khusus tentang “pelarangan menyelenggarakan shalat Jumat dan shalat rawatib berjamaah”. Semua ini dilakukan dalam paket menghalau persebaran covid-19 yang sedemikian powerfull. Mikroba yang diidentifikasi sebagai coronavirus itu telah meluluhlantakkan aturan-aturan agama yang selama ini dibungkus dengan hukum fiqih, harus takluk di hadapan yang “berkuasa” saat ini, coronavirus.
Negara-negara yang selama ini digdaya, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa kalang kabut menghadapi mikroba ini. Betapa porak porandanya Italia, negeri dongeng dan fashion, Amerika Serikat “the super power” yang sangat digaya dengan senjata kimianya, seakan tidak bisa lagi jemawa. Mana ada negara yang masih bisa menepuk dada dalam menghadapi pandemi ini. Sungguh hebat mikroba yang berlabel coronavirus.
Masjid di seluruh Nusa Tenggara Barat (NTB), yang terkenal dengan sebutan Provinsi Sejuta Masjid, juga menghentikan kegiatan shalat jamaah dan acara-acara yang biasanya menghiasi masjid-masjid tersebut. Hampir di seluruh Indonesia, masjid menutup diri dari jamaah. Masjid biasanya menjadi tempat untuk “bercengkerama” dengan Tuhan melalui wirid dan dzikir. Masjid yang selama ini menjadi tempat mengungsi jika terjadi bencana, seperti Masjid Jami’ Baiturahman di Aceh semasa terjadi Tsunami, sekarang harus menghentikan aktivitas “pahala”nya. Coronavirus mengajarkan bahwa di rumah masing-masing juga banyak pahala yang bisa diraih.
Jika ada masjid yang tetap menggelar shalat Jum’at juga harus menggunakan protokoler yang sedemikian ketat sesuai dengan persyaratan Kementerian Kesehatan, jaga physical distancing, bersihkan badan dan pakaian dengan semprotan disinfectant dan menyelenggarakan shalat sesingkat-singkatnya yang penting syarat dan rukunnya terpenuhi. Tidak sedikitpun membolehkan jamaah menggerombol baik kala memasuki masjid ataupun meninggalkan masjid. Benar-benar harus menggunakan kedisiplinan sebagai tolok ukurnya.
Tulisan Pak Dahlan semakin memperkuat konsep yang saya kemukakan tentang “Agama Domestik”. Yaitu agama yang berada di ruang-ruang terbatas, rumah atau tempat yang diizinkan dengan persyaratan yang sesuai dengan standart yang ketat. Agama memang bisa saja berada di ruang privat, ruang publik dan juga ruang domestik.
Wallahu a’lam bi al shawab.