• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DIPERLUKAN PILANTROPI ORANG KAYA INDONESIA

Tulisan ini rasanya agak emosional, dan itu saya sadari sepenuhnya. Saya merasakan betapa berat orang-orang kelompok “miskin” dan “rentan” ekonomi dalam menghadapi pandemi virus corona sekarang ini.

Saya juga menyadari mengapa pemerintah terasa agak lamban dalam melakukan “lock down” sebagaimana yang dilakukan oleh Malaysia, Filipina, atau beberapa negara lainnya. Dan akhirnya pemerintah menetapkan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

PSBB memang sudah dilakukan di beberapa daerah, misalnya Jakarta, Bandung, Tangerang Raya, Bekasi dan sebagainya. sementara itu Surabaya, Gresik dan Sidoarjo dalam proses kajian menuju PSBB. Akan tetapi pemerintah tidak mampu berbuat banyak menghadapi orang yang harus bekerja karena hasilnya digunakan untuk makan hari itu. Jika tidak bekerja maka dapur tidak ngebul. Makanya, para petugas menjadi kewalahan dalam menghadapi kaum pekerja yang memang harus bekerja untuk kehidupannya.

Beberapa hari yang lalu dalam tulisan saya tentang “Greet Divide: Satu Persen Penguasan Ekonomi Dunia” saya jelaskan bahwa kekayaan 15 orang terkaya Indonesia itu sebesar Rp839,9 Triliun atau setara dengan 71,73 Persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 sebesar Rp1.170.9 Triliun, pasca Perubahan APBN karena coronavirus factor. Sebelumnya APBN Indonesia sebesar Rp2.233.2 Trilyun. Jadi artinya, orang kaya itu memiliki peluang yang sangat signifikan untuk membantu pemerintah dalam kerangka penanganan civid-19.

Berdasarkan hasil telisik yang dilakukan oleh Para Guru Besar Universitas Indonesia, dengan asumsi penduduk Jakarta sebanyak 9,5 juta orang, jika sehari harus makan dengan biaya sebanyak Rp25.000,00 maka untuk menutup Jakarta secara total atau lockdown selama 14 hari dibutuhkan anggaran sebesar Rp4 triliun. Bukan jumlah yang sangat besar bagi para konglomerat yang tergabung dalam satu persen orang terkaya di Indonesia.

Tetapi di dalam dunia bisnis tentu ada perhitungan lain, bahwa “uang itu tidak memiliki saudara, kerabat, dan orang lain, tetapi hanya memiliki kepentingan memperoleh keuntungan”. Konsepsi kaum kapitalis, “uang itu milik individu dan bukan milik dunia sosial” tentu tetap berlaku di dalam dunia kapitalisme.

Salah satu “kegagalan” kapitalisme adalah tidak memiliki “rasa” solidaritas yang berkaitan dengan apa yang dirasakan orang lain. Hukum kapitalisme adalah mengeluarkan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Pelajaran Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) dalam hukum perdagangan ini sedemikian kuat menghunjam di dalam benak saya, dan inilah yang sesungguhnya saya lihat di dalam dunia kapitalisme.

Andaikan dari masing-masing orang kaya di Indonesia, dalam jumlah 50 orang saja, dengan kekayaan melebihi Rp1000 triliun, maka andainya mereka mengeluarkan 1 persen saja, maka akan terkumpul angka Rp10 triliun. Jika yang Rp4 triliun untuk membantu lockdown Jakarta, maka angka Rp6 triliun dapat didayagunakan untuk membantu provinsi lainnya yang membutuhkan bantuan dana ini. Di Jakarta ada seorang pengusaha dengan kekayaan Rp65,8 triliun menyumbang Rp50 milyar, maka beritanya menjadi besar sekali. Bayangkan dengan seorang bocah kecil di Bandung, yang rela mengeluarkan uang tabungannya sebesar Rp400 ribu lebih karena memahami betapa pentingnya kebersamaan dalam menghadapi wabah corona-19.

Orang-orang terkaya Indonesia ini memang tidak hanya mengembangkan usahanya di Indonesia, akan tetapi saya berkeyakinan bahwa kehidupan dan keberhasilannya secara ekonomi tentu karena kebijakan ekonomi politik yang memihak kepadanya. Makanya sudah seharusnya mereka ini berempati terhadap para pedagang asongan, pengemudi OJOL, dan orang-orang yang tidak beruntung di dalam kehidupan. Mereka ini harus tetap bekerja di tengah PSBB dan itu bukan tidak disadari resikonya, akan tetapi karena keterpaksaan sosial yang harus dilakukannya.

Masyarakat diminta patuh terhadap pembatasan sosial, akan tetapi bagaimana jika keluarganya tidak cukup untuk makan dan memenuhi kebutuhan dasar lainnya.

Covid-19 sesungguhnya mengingatkan kita semua bahwa seharusnya kerja sama dan tolong menolong itu harus digerakkan dengan mekanisme yang jelas. Corporate Social Responsibility (CSR) yang menjadi kewajiban perusahaan itu memang diperlukan tetapi dalam keadaan normal situasinya. Akan tetapi jika situasi darurat seperti ini, maka seharusnya hati nurani yang mengetuk mereka yang disebut sebagai kaum The Have, para penguasa ekonomi, yang tergabung dalam satu persen.

Jika pandemi covid-19 saja sudah tidak mampu mengetuk hati orang kaya, maka sebenarnya mereka tergolong “orang yang memiliki mata tetapi tidak melihat, memiliki telinga tetapi tidak mendengar dan memiliki hati tetapi tumpul”.

Saya tetap berkeyakinan bahwa di antara mereka pasti ada yang sudah mendarmabaktikan sebagian “kecil” hartanya untuk membantu sesama, akan tetapi alangkah indahnya jika pandemi covid-19 juga menjadi fokus bagi lainnya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

GREAT DIVIDE; SATU PERSEN PENGUASA EKONOMI DUNIA (2)

Rasanya kurang tepat jika tidak juga membicarakan mengenai orang kaya di Indonesia. Mungkin di antara kita ada yang bertanya: “adakah orang terkaya di Indonesia yang masuk dalam jajaran satu persen penguasa ekonomi dunia?” Jawabannya tentu sudah bisa diduga: “ada”. Pertanyaan berikutnya adalah: “bagaimana di dalam sistem ekonomi yang di dalam UUD 1945, sebelum diamandemen berbunyi: “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Lalu, mengapa bisa juga terjadi terdapat satu persen kelompok yang bisa menguasai sedemikian besar perekonomian nasional. Dan tentu saja sederet pertanyaan lain yang bisa dibikin dan sekaligus juga dijawab.

Ada sebuah klasifikasi yang dibuat oleh para akademisi untuk membandingkan sistem pemerintahan Pak Karno dan Pak Harto. Presiden Soekarno menjadikan politik sebagai panglima, dan Presiden Soeharto menjadikan ekonomi sebagai panglima. Makanya keduanya menempuh cara yang berbeda-beda. Jika Pak Karno terkenal dengan hiruk pikuk pidato politik untuk membangkitkan semangat kebangsaan pasca kemerdekaan dengan upaya untuk mendamaikan antara Nasionalisme, Agama dan Komunisme (Nasakom), maka Pak Harto terkenal dengan senyumannya yang khas, untuk mengembangkan ekonomi melalui sistem kapitalisme berbasis pada hutang luar negeri, sebagaimana skema konsepsi politik pembangunan dengan mekanisme membesarkan yang berpeluang besar dan hasilnya diupayakan untuk menetes ke bawah, atau di dalam konsepsi Stiglitz disebut sebagai trickle down economy.

Sebagai akibatnya maka muncullah konglomerasi yang berseirama dengan semakin tumbuhnya kelompok satu persen, sebagaimana di negara lain, seperti negara-negara di Amerika, Eropa, Asia dan juga Afrika yang secara simultan menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Muncullah penguasa ekonomi yang menjadi simbol “keberhasilan” ekonomi Indonesia dengan Pendapatan Per Kapita (income per capita) yang semakin meningkat secara makro, tetapi keropos secara mikro, sebab ternyata hanya satu persen saja yang tumbuh, sedangkan yang 99 persen tidak menikmati kue pembangunan yang berorientasi pada sistem ekonomi kapitalis tersebut.

Perkembangan ekonomi yang berorientasi kapitalisme ini memang didukung oleh sejumlah menteri perekonomian yang kebanyakan adalah lulusan Universitas California at Berkeley, yang dikenal sebagai “Mafia Berkeley”. Merekalah yang menjadi andalan Presiden untuk mengembangkan sistem ekonomi Indonesia, dan berakibat terhadap semakin menguatnya komposisi satu persen dimaksud. Sistem ekonomi ini terus berlangsung sampai akhirnya terjadi krisis ekonomi 1998, dan memaksa Pak Harto lengser dari tampuk kepemimpinan nasional. Hanya sayangnya di era berikutnya juga tidak mampu untuk melawan kepastian telah semakin membesarnya kelas satu persen, meskipun kemudian diharuskan mereka mengeluarkan Corporate Social Responsibility (CSR), yang ternyata tidak signifikan untuk mengangkat derajat mayoritas ekonomi rakyat kebanyakan. Oleh karena itu juga memunculkan “tudingan” bahwa pemerintah tetap memberlakukan “New Capitalism” di dalam pembangunan perekonomian Indonesia.

Meskipun di era Reformasi dikenal istilah “Ekonomi Kerakyatan”, namun secara nyata bahwa sistem ekonomi Indonesia new capitalism tetap dijalankan. Hal ini tentu saja terkait dengan sistem ekonomi kapitalis yang sudah berurat berakar di dalam sistem ekonomi Indonesia selama 30 tahun lebih. Sistem ekonomi konglomerasi inilah yang kemudian menghasilkan orang-orang kaya di Indonesia bahkan sampai memasuki level dunia.

Berdasarkan data dari Forbes, 2020, lembaga Internasional yang berkutat dengan perkembangan ekonomi dunia, maka berikut adalah nama-nama orang terkaya Indonesia (15 orang) dengan kekayaan yang fantastis. Budi Hartono adalah orang Indonesia yang menempati ranking 80 orang terkaya di dunia. Budi Hartono (Djarum Group), kekayaannya mencapai angka Rp217, 6 triliun dan adiknya Michael Hartono (Djarum Group) mencapai angka Rp208 Triliun. Mereka telah 11 tahun menjadi orang terkaya nomor 1 di Indonesia. kemudian disusul oleh Sri Prakash Lohia (Indorama) sebesar Rp68.8 Triliun, Dato Sri Tahir dan keluarga (Mayapada Group) sebanyak Rp65,6 Triliun, Prayogo Pangestu (Barito Pacific) Rp56 Triliun, Chairul Tanjung (CT Group) Rp49.6 Triliun, Martua Sitorus (Wilmar) Rp28.8 Triliun, Mochtar Riady dan keluarga (Lippo Group) Rp27,2 Triliun, Peter Sondakh (Rajawali Corpora) Rp25.6 Triliun, Murdaya Poo (Central Cipta Murdaya Group) Rp19.2 Triliun, Theodore Rahmat (TriputraGropu, Adaro Energy) Rp19,2 Trilyun, Djoko Susanto (Alfa Mart) Rp19,2 Triliun, Sukanto Tanoto (Royal Golden Eagle, Asian Agri) Rp19,2 Triliun, Low Tuck Kwong (Bayan Resources) Rp17,6 Triliun, dan Winarko Sulistyo (Fajar Paper) Rp17,5 Triliun.

Jumlah kekayaan 15 orang terkya di Indonesia ini mencapai angka Rp839,9 Triliun atau setara dengan 71,73 Persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 sebesar Rp1.170.,9 Triliun, pasca Perubahan APBN karena coronavirus factor, sebab sebelumnya sebesar Rp2.233.2 Trilyun. Jika dibandingkan dengan kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia, tentu persentasenya akan semakin besar.

Wallahu a’lam bi al shawab.

GREAT DIVIDE: SATU PERSEN PENGUASA EKONOMI DUNIA (1)

Seingat saya di Toko Buku Periplus, Bandar Udara Juanda, saya membeli buku yang sangat luat biasa, “The Great Divide, Unequal Societies and What We Can Do About Them”, yang ditulis oleh Joseph E. Stiglitz, pada 2017. Seingat saya sedang ada potongan harga 20 persen. “Wah, ini ada buku yang menarik dalam batin saya”. Tetapi seperti biasa buku itu juga belum sempat dibaca secara keseluruhan, hanya saya lihat sepintas saja.

Buku ini sebagaimana bukunya terdahulu, juga membahas mengenai tata ekonomi dunia, yang berisi ketimpangan dan kekuatan satu persen atas tata ekonomi dunia tersebut. Ketimpangan yang sepertinya “sengaja” untuk dilestarikan terutama oleh para penguasa ekonomi satu persen itu. Buku ini diantar oleh satu pernyataan menarik “No one today can deny that there is a great divide in America, separating the very richest –some times described as 1 percent—and the rest. Mereka yang tergolong satu persen ini memiliki perbedaan aspirasi, perbedaan life styles dan juga perbedaan ketakutan.

Kelompok 1 persen ini berbicara tentang apa jenis pesawat jet yang akan dibeli, di mana harus menempatkan uangnya, dan bagaimana menyekolahkan anaknya di sekolah yang prestise. Sedangkan masyarakat pada umumnya berbicara tentang bagaimana harus membayar sekolah untuk anaknya, bagaimana jika ada keluarganya yang sakit dan bagaimana jika pensiun dan sebagainya.

Di antara yang memperparah ketidakmerataan ekonomi adalah resesi besar dunia, di mana kebijakan yang diambil adalah dengan memberikan suntikan dana kepada Bank, baik pemerintah maupun swasta dan perusahaan-perusahaan, sehingga para bankir meminjam uang dalam jumlah yang sangat besar dan pemiliknya juga meminjam dalam jumlah yang besar.

Sebagai pendukung Partai Demokrat, Stiglitz juga menyalahkan kebijakan Bush untuk berperang di Irak yang mengakibatkan kas negara tergerus sangat banyak untuk kepentingan perang tersebut. Makanya dinyatakan bahwa siapa yang membunuh ekonomi Amerika ternyata adalah kebijakan pemerintahan Bush.

Ada beberapa kritik yang disampaikan terkait dengan “ketololan Kapitalis”, yaitu deregulasi yang tidak tepat, sebab juga mengarah kepada penguatan yang besar, dilakukan di masa Bush dan diteruskan di era Clinton, tumbuhnya pasar modal dan pertumbuhan ketidaksetaraan ekonomi, transparansi yang tidak sehat dan pandangan kaum ekonomi yang menyatakan bahwa pasar akan mengatur dirinya sendiri. Pandangan para ahli ekonomi ini yang di dalam banyak hal dijadikan sebagai rujukan pemerintah di dalam mengelola tata ekonomi, sehingga kesalahan memberikan resep atau solusi tentu akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi berbasis masyarakat yang rendah.

Krisis besar ekonomi ternyata memang berdampak besar terhadap depresi besar, di antaranya adalah kolapsnya Lehman Brother, 15 September 2008 dan juga kesejahteraan kelas menengah di bawah 1 persen, yang kembali seperti tahun 1992. Sayangnya recoveri ekonomi tetap mengarah dari 1 persen untuk 1 persen dengan mengandalkan konsep trickle down economy. Disarankannya, bahwa sebaiknya kebijakan pemerintah justru mengarah kepada pertumbuhan yaitu dengan melakukan trickle up economy, melalui penguatan pertumbuhan kelas menengah dan di bawahnya.

Amerika Serikat yang dianggap sebagai negara termodern di dunia, ternyata statement “kesamaan peluang” hanyalah mitos belaka. Kesamaan peluang hanyalah sebuah mimpi, sebab realitas tata ekonomi di sini adalah of the one percent, by one percent, for one percent. Disebabkan oleh kebijakan ekonomi politik seperti ini, maka berakibat terhadap pertumbuhan ekonomi yang rendah dan ketidaksetaraan dalam pendapatan dan kesejahteraan secara ekonomi. Maka seharusnya dilakukan upaya yang disebutnya sebagai “America’s socialism for the Rich”. Negara harus terlibat untuk menerapkan kebijakan ekonomi politik sosialisme secara khusus bagi orang kaya. Diperlukan adanya regulatory reform dengan komitmen untuk mendorong kelas di luar satu persen untuk juga berkembang. Instrumen ekonomi seperti perbankan, perusahaan multi nasional, maupun nasional haruslah memberikan peluang bagi kelompok di bawah satu persen untuk pemberdayaan baginya. Akibat lebih jauh dari inekualitas ini adalah munculnya ketidakpercayaan pada semua orang, “in no one we trust”.

Stiglitz, sesungguhnya telah memperingatkan bahaya ekonomi kapitalis yang menghasilkan ketidaksetaraan, memberikan komentar atas dimensi-dimensinya, penyebabnya, dan konsekuensi dari ketidaksetaraan ekonomi ini, tidak hanya bagi Amerika akan tetapi juga buat seluruh negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Melalui pemahaman mengenai penyebab bangkrutnya sistem ekonomi kapitalis ini tentu diharapkan akan terdapat perubahan, hanya sayangnya Presiden Barack Obama juga tidak mampu berbuat banyak.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

SATU PERSEN PENGUASA EKONOMI DUNIA (2)

Sebenarnya ketidaksetaraan ekonomi itu sangat membahayakan bagi keberlangsung kehidupan sosial. Jika negara terus mengembangkan “rent seeking” sebagai instrumen perekonomian, maka yang diuntungkan hanyalah kalangan satu persen saja sedangkan yang 99 persen sisanya dalam keadaaan sebaliknya. Praktik “rent seeking” ternyata juga terus berlangsung hingga saat ini.

Ketidaksetaraan ekonomi bukan hanya cerita Amerika Serikat saja, akan tetapi nyaris di seluruh dunia. Amerika Latin, Eropa, Afrika dan juga di Asia. Sebagai akibat ketidaksetaraan ekonomi akan berakibat terhadap instabilitas sosial dan dampak ikutannya. Ketidakmerataan pendapatan dan kesejahteraan, tentu terkait dengan pengaruh kebijakan politik dan ekonomi.

Amerika sesungguhnya sudah menerapkan kebijakan. Di antara upaya yang dilakukan adalah dengan penguatan ekonomi berbasis pada penerapan teknologi informasi, meskipun juga belum memberikan harapan sebab sistem baru ini juga tetap dikuasai oleh para pemodal, kemudian deregulasi untuk mengurangi instabilitas di Amerika termasuk beberapa negara lainnya. Melalui deregulasi ini maka tumbuh korporasi, khususnya sektor finansial, dan peningkatan kesejahteraan. Namun belum optimal. Jadi, melalui kekuasaan sebenarnya pemerintah memiliki power untuk mendorong semakin rendahnya gini rasio.

Semakin tinggi ketidaksetaraan akan menjadikan semakin sedikit efisiensi dan ekonomi produktif. Selain itu juga menyebabkan rendahnya investasi publik, dan tertutupnya potensi masyarakat yang dapat dikembangkan. Sistem ekonomi yang terdistorsi seperti rent seeking dan finansialisasi juga menyebabkan semakin sedikitnya regulasi yang baik di bidang ekonomi.

Kemudian muncul teori gelombang efiensi dan alienasi. Semakin besarnya inekualitas di dalam masyarakat akan menyebabkan semakin besarnya reward yang bercorak privat dan semakin sedikitnya penghargaan sosial dan karena itu akan membuat sulit pemerintah untuk menyusun kebijakan ekonomi yang baik. Secara riil bahwa inekualitas dapat menyebabkan sulitnya pertumbuhan ekonomi dan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat.

Para ahli ekonomi banyak berbicara pentingnya pendapatan relatif dan deprivasi relatif. Yang dibutuhkan oleh masyarakat bukan hanya pendapatan riil akan tetapi juga pendapatan relatif yang lainnya. Dan pendapatan relatif bagi negara maju tentu lebih tinggi dibandingkan dengan negara berkembang. Sebagaimana hipotesis Keynesian, bahwa dalam ribuan tahun, manusia bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, akan tetapi sekarang di era revolusi industri maka yang dibutuhkan lebih dari yang dikerjakan. Oleh karena itu, jika pemerintah gagal dalam menciptakan kesejahteraan yang berkeseimbangan, maka seharusnya bisa menciptakan peluang yang berkeseimbangan.

Jika negara tidak bisa menciptakan kesejahteraan dan terus terjadi inekualitas, maka demokrasi juga dalam bahaya. Pasca resesi besar, sebenarnya terdapat keinginan bahwa akan terjadi perubahan sistem politik di negara-negara barat yang dapat bekerja secara optimal. Namun kenyataannya juga tidak terjadi. Realitas empiris ini yang kemudian merusak proses politik demokratis. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kepercayaan, ketiadaan kesetaraan dan kekecewaan, ketidakperacayaan dan kekecewaan pada media, ketiadaan pemberdayaan, dan sebagainya.

Demokrasi sebenarnya ditentukan oleh one man one vote, namun selalu saja yang memenangkannya adalah yang tergolong satu persen dan kemudian kebijakan pemerintah juga “lebih” menguntungkan satu persen. Demokrasi juga jangan menjadi alat manipulasi persepsi publik tentang kesederajatan dan keadilan tanpa dapat dibuktikan secara nyata kehadirannya. Jika hal ini yang terus terjadi maka sesungguhnya demokrasi akan menjerumuskan kepada kehancurannya sendiri. Dengan demikian yang diperlukan adalah membuat keseimbangan kesejahteraan, membenahi regulasi agar memihak kepada mayoritas publik dan membuat kebijakan yang bersearah dengan kebutuhan publik.

Yang dibutuhkan adalah justice for all. Regulasi yang dirumuskan oleh para aparatus kebijakan publik harus mengarah pada bagaimana menciptakan nuansa keadilan untuk semua. Hanya saja yang juga terjadi adalah tetap dikuasainya kebijakan makro ekonomi dan bank sentral oleh satu persen. Dan akibatnya adalah kebijakan ekonomi tidak digunakan untuk melayani ekonomi nasional sebagaimana seharusnya yang diperlukan akan tetapi tetap saja didesain untuk melayani sektor keuangan dan kepentingan lain dari mereka yang disebut sebagai top satu persen.

Amerika Serikat sebagai kiblat sistem ekonomi kapitalis yang sering mendengungkan bahwa sistem ini adalah sistem yang terbaik, ternyata tidak dapat melepaskan borok sistem kapitalis yang justru menghasilkan ketidaksetaraan ekonomi, di mana satu persen menguasai ekonomi nasional dan 99 persen lainnya sebagai kelompok yang termarginalisasikan.

Jadi, sistem ekonomi kapitalis bukanlah menjadi solusi atas tata ekonomi dunia yang adil dan berkesetaraan. Dan yang seperti ini bukan hanya Amerika Serikat sebagai kiblat sistem ekonomi kapitalis akan tetapi juga beranak pinak pada negara lain yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

SATU PERSEN PENGUASA EKONOMI DUNIA (1)

Nama Joseph Eugene Stiglitz tentu tidak asing bagi kaum akademisi tanpa memandang harus ahli ekonomi. Nama ini sangat fenomenal, khususnya dalam bidang ekonomi karena beliau pernah mendapatkan Nobel Memorial Prize in Economic Science, tahun 2001 yang lalu. Di dalam dunia ekonomi dia dianggap sebagai vokalis karena melalui teriakannya yang sangat “nyaring” dia menyatakan tentang betapa dahsyatnya kekuasaan satu persen para konglomerat terhadap dinamika dan perkembangan ekonomi.

Saya mengenal nama ini dengan cukup baik ketika mengikuti Pendidikan dan Latihan Kemimpinan Tingkat I (diklatpim I) di Jakarta tahun 2011 yang lalu. Ada suatu sessi khusus yang membahas mengenai bagaimana Stiglitz menyuarakan kepemimpinan ekonomi di bawah kendali orang-orang yang tergolong satu persen. Sebagai bukan ahli ekonomi tentu saja saya tidaklah begitu perhatian, namun dengan dua buku yang diterbitkannya, “The Price of Inequality, How Today’s Divided Society Endanger Our Future” (2012) dan “Great Divided, Unequal Societies and What Can We Do About Them” (2015), akhirnya memaksa saya untuk membuka lagi buku tersebut dan mencoba menuliskannya secara ringkas tentang “apa dan bagaimana” pandangannya tentang satu persen dimaksud. Memang bukan buku baru, tetapi tidak ada salahnya kita buka kembali lembaran-lembaran penting pemikirannya tentang “Kuasa Satu Persen” tersebut.

Buku The Price of Inequality, merupakan puncak pemikirannya bahwa perekonomian Amerika Serikat ternyata dikuasai oleh satu persen penduduknya, dan di sekitar tahun 2011 terdapat tiga issue penting, bahwa sistem pasar ternyata tidak bisa membangun efisiensi, sistem politik tidak mampu mengoreksi kegagalan pasar dan sistem politik dan ekonomi berlaku tidak fair. Tiga hal ini yang menyebabkan terjadinya berbagai protes di kalangan generasi muda di berbagai negara, seperti di Tunisia, Mesir dan juga Amerika sendiri. Tiga aspek ini yang kemudian menyumbang terhadap inekulitas kehidupan masyarakat.

Di Amerika slogan yang nyaring adalah “we are the 99 percent”. Berbagai protes ini dipicu oleh kenyataan bahwa betapa sulitnya mencari pekerjaan di kalangan generasi muda, dan betapa ketidakadilan dan ketidaksamaan itu terjadi di kalangan masyarakat. Satu persen penduduk kaya menguasai sistem perekonomian Amerika, dan 99 persen lainnya adalah orang-orang yang “kurang” beruntung. Sistem kapitalis telah menghasilkan ketidakseimbangan ekonomi tersebut. Bisa dibayangkan bahwa 0,1 persen dari keluarga kaya itu memiliki kekayaan 220 kali lipat dari rerata 99 persen. Lalu 10 persen memiliki kekayaan lebih dari sepertiga kekayaan negara. Dan berdasarkan data tahun 2002-2007, bahwa top satu persen memiliki pendapatan lebih dari 65 persen total income negara. Perhatikan data tahun 2007, income satu persen setelah dipotong pajak, ternyata kekayaannya sebesar 1,3 Millions dolar, sementara 20 persen dibawahnya hanya 17,800 dollar. Top satu persen menerima dalam satu minggu sebesar lebih besar dibanding penghasilan 40 persen dalam setahun. Dan yang top 0,1 persen menerima pendapatan sehari dan setengah hari lebih besar dibanding 90 persen pendapatan setahun. Dan kekayaan 20 persen ternyata lebih besar dibanding 80 persen di bawahnya.

Ketidaksetaraan Amerika bukanlah sesuatu yang terjadi tanpa design yang dilakukan oleh negara yang disebut sebagai “rent seeking” ialah kebijakan pemerintah untuk semakin membesarkan yang besar dan mengerdilkan yang kecil. Termasuk dalam pengertian “rent” adalah monopoli keuntungan dan monopoli ekonomi. Di dalam konteks ini adalah menciptakan monopoli berkelanjutan. Dan sebagaimana yang diketahui bahwa rent seeking ini menjadi salah satu pendorong munculnya ketidaksetaraan masyarakat. Hukum ekonomi sebenarnya universal akan tetapi dalam pertumbuhan ekonomi Amerika ternyata merupakan kasus yang khusus. Pertumbuhan ketidakmerataan itu juga merupakan bagian dari kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk memberlakukan pajak dan pendidikan gratis tidak setara dengan ketentuan kebutuhan tenaga skill, sehingga mereka yang tidak memiliki kemampuan ini terpaksa tidak memiliki akses dalam bekerja.

Melalui sistem ekonomi pasar, ternyata justru membawa dampak pergerakan ekonomi dari bawah ke atas dan bukan sebaliknya. Triple down effect tidak terjadi dan akibatnya kesenjangan (Gini Ratio) makin menganga dan ketidaksetaraan juga semakin membesar.

Selain rent seeking yang menjadi penyebab inekualitas, maka lainnya adalah kekuatan pasar. Pemerintah menentukan terhadap kekuatan pasar melalui norma dan institusi sosial, yang ternyata dikendalikan oleh satu persen di atas, sehingga norma atau institusi sosial tersebut ujung akhirnya adalah untuk menguntungkan satu persen juga. Oleh karena itu sesungguhnya pemerintah tetap memiliki fungsi untuk mengatur dinamika pasar, hanya saja jika norma dan institusi sosial yang diciptakannya itu memberikan perlindungan kepada 99 persen, yang berslogan ”we are the 99 percent”.

Wallahu a’lam bi al shawab.