• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

STUDI AGAMA DAN LINTAS BUDAYA

 

STUDI AGAMA DAN LINTAS BUDAYA

Prof. Dr. Nur Syam, Msi

Abstract

The aim of this work is to understand the relation between religion and cross-culture. By Geertz’s definition, we understood that the study intensively about religion and culture is an effort to understand better about the relation between them. The focus of study is religion as a system of culture, so that we must study about a culture, religion is also a pattern for bahviour and pattern of behavior. Because of the crusial factor to construction interreligious dialog in varieties region is religious responship as we called fundamentalism and conflict, so that the solution of this condition, we have to understand more about the space of humanity. In America and also in Indonesia, there are many activities that we called interreligious forum to actualization about the dialog based on the humanity not in the theoloy and ritual. And the mission of interreligious dialog is the growth of the religious pluralism and conflict resolution.

Kata Kunci: Studi agama, lintas budaya, dan pluralism.

Pendahuluan

Ada semua kegerahan yang akhir-akhir ini dirasakan oleh kaum agamawan, berangkat dari pertanyaan dasar: “mau dibawa kemanakah keberagamaan kita?”. Ada beberapa paradoks yang menggelayuti kehidupan kita di tengah globalisasi yang mestinya mengandung keniscayaan, yaitu tarikan ke arah sekularisasi yang semakin kuat di satu sisi yang berhadapan secara diametral dengan fundamentalisme keberagamaan yang juga semakin menguat.

Tarikan-tarikan ini, mau tidak mau, mestilah disikapi dengan pikiran yang cerdas, bahwa pemilihan terhadap sesuatu juga merupakan keniscayaan, sehingga kalau pun ada orang lain yang memilih dengan pilihan yang berbeda, tidak seharusnya dianggap sebagai sebuah kesalahan, akan tetapi sebaiknya dianggap sebagai pilihan di tengah “pasar raya” dan “belantara” atas tafsir kehidupan yang memang mengandaikan perbedaan-perbedaan.

Di dunia ini memang manusia masih bisa melakukan pilihan-pilihan tindakan, mau bertindak ini atau itu. Dalam kehidupan keberagamaanpun pilihan itu tersaji sedemikian rupa. Ada sekian banyak tafsiran atas teks yang berbeda-beda. Terkadang tafsir itu begitu kontradiktif seakan-akan bukan diturunkan dari teks yang sama akan tetapi itulah kenyataannya, sehingga di tengah “pasar raya” tafsir atas teks itu hendaknya disikapi dengan kewajaran, bahwa di dunia ini memang tempatnya berbeda, baik lokus geografis, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Namun kenyataanya, meskipun kebanyakan tindakan itu berdasar atas tafsir dan bukan teksnya sendiri, akan tetapi di sana sini selalu terdapat serangkaian konflik, baik yang laten maupun yang manifest, yang simbolik maupun yang formal, dan seringkali juga tidak ditemukan “kata kunci” untuk menyamakan persepsi mengenainya. Meskipun demikian, di tengah dunia konfliktual itu ternyata social order juga masih menyisakan ruangnya di dalam kehidupan, sehingga rajutan kehidupan yang damai dan aman pun masih niscaya keberadaannya.

Agama dan lintas-budaya

Di dalam memahami agama dan budaya, saya adalah salah seorang yang bermadzab kepada Clifford Geertz, katakanlah Geertzian. Di kalangan ahli-ahli agama (Islam) kebanyakan menggunakan definisi agama yang lebih banyak menekankan aturan, sehingga peran manusia sebagai pemeluk agama kurang mendapatkan porsi yang kuat. dengan menekankan pada pengertian agama sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya, maka tampak bahwa kehidupan keberagamaan manusia kurang mendapatkan sentuhan secara memadai. Seperti berkurang atau bertambahnya keyakinan, rasa berdosa, rasa terpilih, perasaan damai setelah berdzikir, dan sebagainya tidak didapatkan di dlaam definisi tersebut. Itulah sebabnya, kebanyakan ahli antropologi dan sosiologi menolak definisi agama yang dianggap fiqih oriented tersebut.

Agama dalam konsepsi Geertz adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang berlaku umum berkenaan dengan eksistensi (manusia) dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara sendiri (unik) adalah nyata ada”, Jadi, agama adalah sistem simbol yang berfungsi menguatkan dan memberi motivasi pada diri seseorang melalui pola bagi tindakan yang berupa konsepsi-konsepsi mengenai aturan (hukum) dan kemudian mencerminkan pula dari tindakan yang mencerminkan kenyataan bagaimana pola bagi tindakan tersebut menjadi pola dari tindakan. Itulah sebabnya, Geertz memandang kebudayaan sebagai pola bagi tindakan dan pola dari tindakan.

Kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan manusia yang dijadikan sebagai pedoman atau penginterpretasi keseluruhan tindakan manusia. Kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tersebut. Sebagai pola bagi tindakan (pattern for behavior), kebudayaan berisi seperangkat pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya adalah perangkat-perangkat, model-model pengetahuan yang secara selektif digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan. Sedangkan sebagai pola dari tindakan (patter of behaviour), kebudayaan adalah apa yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang tentu saja berdasar atas pedoman yang diyakini kebenarannya tersebut. Di dalam hal ini bisa berupa sistem kelakuaan dan produk kelakuan yang dapat dilihat dan mewujud di dalam kehidupan sehari-hari dan dapat dimaknai berdasar atas sistem simbol yang dimiliki bersama. Makna dalam pandangan Geertz adalah sesuatu yang bersifat shared atau bersifat publik.

Melalui pandangan seperti ini, maka agama adalah bagian dari sistem kebudayaan, yang berisi seperangkat sistem pengetahuan simbolik yang dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan seperangkat tindakan. hanya saja simbol-simbol di dalam agama adalah simbol suci yang berbeda dengan simbol-simbol profan lainnya. Simbol suci itu ditandai dengan adanya belief, ritual dan representasi-representasi dari keduanya.

Melalui pemahaman tentang kebudayaan dan agama dalam kerangka antropologi simbolik seperti ini, maka dimungkinkan untuk memahami kaitan antara agama dan lintas budaya, sebab di tengah dunia agama yang berbeda, terkait dengan system of belief dan system of ritual, dan representasi-representasinya (simbol-simbol), memang masih menyisakan ruang kosong yang bisa saja disebut sebagai ruang kosong humanitas. Setiap agama memiliki sistem keyakinan yang dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan serangkaian tindakan dan demikian pula memiliki seperangkat ritual yang sangat berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan ini memang sesuatu yang sesungguhnya harus terjadi, dikonstruksi atau memang demikian adanya. Tetapi yang jelas melalui perbedaan sistem keyakinan dan sistem ritual sering kali menjadi faktor utama di dalam berbagai persoalan yang menyertainya. Konflik adalah suatu keniscayaan di tengah perbedaan yang berdasar atas pola bagi tindakan tersebut. Akan tetapi di tengah perbedaan yang mengedepan itu, sesungguhnya masih menyisakan ruang “integrasi” yang didasarkan atas ruang kosong humanism. Jadi proyek ke depan tentunya adalah menemukan titik temu di antara perbedaan dengan mengedepankan dialog berdasar atas kemanusiaan tersebut.

Kajian agama dan lintas budaya, sesungguhnya dipedomani oleh kenyataan bahwa di dunia ini masih menyisakan ruang untuk merajut dialog tersebut. Ruang dialog itu dipandu oleh makna-makna yang bersifat shared, yang menjadi milik bersama, yaitu dialog di dalam kerangka simbol-simbol kemanusiaan. Ada banyak teks yang kiranya dapat disimbolkan bersama, seperti kasih sayang, cinta kasih, rahmat untuk seluruh alam, dan sebagainya. Semua ajaran agama menghargai manusia demikian tinggi, dan tidak ada ajaran agama di dunia ini yang bertujuan destruktif. Oleh karena itu, ruang dialog itu akan dkembangkan di atas konsepsi ajaran yang mengandaikan “kesamaan-kesamaan”.

Fundamentalisme dan Konflik

Fundamentalisme, sesungguhnya berasal dari tradisi Kristen, sebagai akibat dari pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Ia lahir sebagai bagian dari sekularisasi. Ketika sekularisasi menjadi arus utama, maka muncullah gerakan-gerakan fundamental yang memiliki cakupan dan solusi terhadap semakin kuatnya tarikan sekularisasi. Gerakan fundamentalisme sebenarnya merupakan gerakan kembali kepada dasar-dasar agama secara penuh dan “literal”, bebas dari kompromi, penjinakan dan reinterpretasi. Namun demikian, gerakan fundamentalisme, seringkali berkonotasi negative, sebab kebanyakan bertentangan dengan tradisi-tradisi keagamaan yang umum. Misalnya gerakan fundamentalis David Koresh yang dikenal sebagai kelompok fundamentalis Kristen “Dividian Branch”.

Salah seorang penulis Malaysia, Ibrahim Abu Bakar, memberikan ciri gerakan fundamentalisme, yaitu: pertama, memberikan interpretasi literal terhadap kitab suci agama. Kedua, dapat dihubungkan dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme dan militanisme. Ketiga, memberikan penekanan kepada pembersihan agama dari isme-isme modern seperti modernisme, liberalisme, dan humanisme. Keempat, mendakwa diri mereka sebagai penafsir agama yang benar, dan selain mereka adalah sesat dan menyeleweng. Martyn E. Marty, mencirikan fundamentalisme, yaitu: pertama, faham oppositionalism yang mengambil bentuk penolakan terhadap paham membahayakan eksistensi agama, seperti modernisme, sekularisme, dan budaya barat lainnya. Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Baginya, pluralisme adalah faham yang keliru dalam memahami teks suci. Melalui klasifikasi seperti ini, maka ada beberapa kelompok atau penggolongan di dalam agama-agama, termasuk Islam yang dapat dikategorikan sebagai gerakan fundamental. Azyumardi Azra, mengkategorikan di dalam Islam dikenal dua penggolongan gerakan fundamentalisme, yaitu: Pertama, gerakan fundamentlis Islam Pra-Modern, dengan tokoh-tokoh Muhammad ibn Abd Wahab di Arab Saudi, Syaikh Ustman dan Fodio di Nergia, Al-Hajj Umar Tal di Afrika Barat. Kedua, gerakan fundamentalisme Kontemporer, dengan tokoh-tokoh Hasan al-Banna, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rifaat Tahtawi, Sayyid Quthb, Abul A’la Al Maududi dan sebagainya.

Gerakan-gerakan fundamentalisme, memang tidak selalu menampilkan wajah konfliktual yang keras, namun terkadang bercorak rivalitas atau pertentangan, yang mengambil bentuk pertentangan atau perlawanan wacana. Namun demikian, dalam menghadapi gerakan fundamentalis ini, negara melalui penguasa selalu tampil dalam wajah yang kurang simpatik. Oleh karena itu tidak jarang cara yang tempuh oleh penguasa ialah dengan menghancurkan gerakan-gerakan tersebut melalui pembunuhan terhadap tokoh- tokohnya dan pembasmian akar-akar gerakan di masyarakat. Tetapi selalu ada hal yang menarik di tengah munculnya gerakan-gerakan ini adalah perubahan-perubahan di dalam praktik penyelenggaraan negara, keagamaan dan sebagainya.

Konflik, memang merupakan nadi di dalam kehidupan masyarakat. Mengikuti kaum Marxian, bahwa tanpa konflik tidak ada dinamika. Jadi dengan konfliklah kehidupan masyarakat menjadi dinamis dan berkembang ke arah lain. Perubahan bagi madzab ini berawal dari dinamika melalui konflik. Di dalam studi-studi agama, selain paradigma struktural fungsional yang banyak digunakan juga banyak kajian yang berperspektif konflik. Bahkan beberapa teks secara sengaja mendampingkan dua perspektif teoritik tersebut.

Konflik dalam studi-studi agama dan masyarakat, kebanyakan melihat dari sudut pandang hubungan antara struktur sosial, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Kajian konflik vertikal misalnya mengkaji hubungan konfliktual antara satu strata dengan strata sosial lainnya, seperti pemimpin agama dengan umatnya, sedangkan yang bersifat horizontal, seperti antara umat atau intern umat beragama. Konflik tersebut tentunya memiliki cakupan, hirarkhi dan tekanan yang berbeda-beda. Dalam kasus hubungan konfliktual antara umat Katolik dengan Protestan di awal sejarah Protestan, maka konflik itu begitu kerasnya. Perburuan terhadap kaum Protestan pun berlangsung dalam waktu yang panjang dan melelahkan. Di Eropa Barat, kekerasan antara kaum Islam dan Kristen juga berlangsung dalam suasana yang mencekam. Perang Salib adalah salah satu contoh betapa kerasnya konflik tersebut. Konflik ini sesungguhnya dapat dikonsepsikan sebagai konflik formal. Sedangkan konflik antar umat beragama, semisal Muhammadiyah dan NU adalah konflik simbolik, yang sesungguhnya bermula dari perbedaan faham agama. Ada banyak studi yang bertema seperti ini, misalnya tulisan Geertz (1981) dan Ahmad Fediyani Saifuddin (1990).

Kajian yang lebih makro dengan mengangkat isme peradaban adalah kajian yang dilakukan oleh Huntington dalam tulisannya tentang “Class of Civilizaton” (Foreign Affairs, Musim Panas, 1983). Dia berpendapat bahwa dengan berakhirnya perang dingin sumber konflik utama yang dihadapi umat manusia tidak lagi masalah politik dan ekonomi tetapi perbedaan kebudayaan. Menurutnya ada tujuh atau delapan peradaban besar yang akan saling berbenturan. Perbenturan yang keras akan terjadi antara kebudayaan Kristen Barat dengan kebudayaan Islam. Hal ini disebabkan karena jangkauan universal di antara keduanya. Ada beberapa alasan: pertama, perbedaan kebudayaan memasuki ranah mendasar. Kedua, kenyataan dunia semakin menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda peradaban menjadi semakin meningkat. Misalnya dalam kasus imigrasi orang Islam ke Perancis banyak ditentang sedangkan imigran dari Polandia tidak demikian. Ketiga, ketika dunia global terjadi, maka identitas sebagai negara bangsa menjadi semakin melemah, sebaliknya identitas keberagamaan menjadi semakin meningkat, misalnya gerakan-gerakan fundamentalisme. Keempat, superioritas peradaban Barat yang dominan akan memunculkan resistensi dan perlawanan, sehingga muncul gerakan dewesternisasi dan indigenisasi.

Memang harus diakui bahwa hingga dewasa ini, Barat tidak pernah berhenti dengan proyek-proyeknya untuk universalisasi dunia dengan Barat sebagai pimpinannya, secara lebih khusus Amerika Serikat. Grand strategy yang diterapkan hingga sekarang melalui berbagai penciptaan kawasan perang di mana-mana, mulai dari Eropa Timur, Afrika Tengah, Timur Tengah dan sebagainya, hakikatnya adalah penguasaan sekurang-kurangnya hegemoni baik secara politik, ekonomi dan budaya. Secara ekonomi, mungkin tantangan dari negara lain di Asia, seperti Jepang, Korea dan CIna cukup signifikan dalam kerangka membangun resistensi, akan tetapi secara politik dan bahkan kebudayaan, hegemoni Barat terhadap negara-negara Asia, Afrika dan sebagainya tampak sekali gaungnya. Secara politik banyak negara yang sangat tergantung kepada Amerika, sedangkan hegemoni budaya yang dilakukan Barat, sungguh telah memasuki jantung budaya negara-negara berkembang. Bahkan negara Timur Tengah sekalipun.

Pluralisme dan Resolusi Konflik

Akhir-akhir ini ada kecenderungan kuat untuk mengedepankan pluralisme sebagai salah satu alternatif menangkal terhadap gerakan-gerakan fundamentalisme dan pandangan sempit tentang agama. Ada kecenderungan baru di berbagai agama untuk mengangkat isu-isu pluralisme sebagai hal penting dan mendasar agar masyarakat dapat hidup berdampingan di tengah perbedaan faham keagamaan, etnis, bahasa, dan budaya diminimalkan sehingga akan terjadi keselarasan, keharmonisan tanpa menghilangkan dinamika perubahan.

Terlepas dari berbagai pesimisme di dalam menghadapi berbagai proyek “universalisme” Barat yang didorong oleh elit penguasa di negara-negara Barat terhadap negara-negara non Barat, tetapi di kalangan masyarakat sesungguhnya ada kerinduan menggalang kerukunan, harmoni dan keselarasan di tengah meruyaknya berbagai pertentangan dan konflik yang dipicu oleh penguasa. Dengan mengambil contoh di negara Amerika yang paradoksal sementara penguasanya gerah untuk menguasai negara lain, dan masyarakatnya yang cenderung ingin kedamaian maka gerakan-gerakan keagamaan yang plural telah sedemikian kuat merasuk di kalangan pemimpin agama dan penganut agama itu.

Dalam reportase yang dilakukan oleh Diana L. Eck di dalam tulisannya yang bertema “A New Religious America: How A Christian Country has Become the World’s Most Religiousy diverse Nation”, diketengahkan bahwa telah terjadi perubahan mendasar terkait dengan kehidupan keagamaan di Amerika Serikat. Di dalam tulisan ini dipaparkan tentang sikap dan tindakan pemimpin agama, seperti Dr. Ratanasara, yang menyarankan agar imigran Budha mengambil bagian dari masyarakat Amerika dan menyumbang budaya Amerika. Di dalam memahami thankgiving, dia menyatakan “This is not religious holydays regardless of their own personal beliefs”, dia juga menyarankan kepada komunitasnya untuk mengambil bagian dari perayaan kelahiran Kristus sebagai hari kedamaian dan saling menukar cendera mata. Bahkan faksi- faksi di dalam Islam Amerika juga telah saling mengambil bagian dalam kemenyatuan Islam, sehingga Farakhan pun harus mengambil jalan militancy atau moderate. Ternyata pilihan Farakhan adalah moderat. Sehingga gerakan-gerakan keagamaan yang berbasis etinis Afrika- Amerika dengan lainnya juga lebih moderat. Perkembangan ini tentunya disemangati oleh semakin kuatnya gerakan pluralisme di Amerika terutama yang berbasis pada persoalan etnis dan agama.

Di Amerika semenjak tahun 1993, juga telah berkembang kegiatan-kegiatan dialog antar umat beragama. Di sana muncul America’s Interfaith Movement. Gerakan baru ini sebenarnya adalah respon terhadap suatu kenyataan bahwa di Amerika tidak lagi hanya ada satu agama, tetapi telah berkembang secara pesat agama baru. Populasi ummat Islam sekarang telah mencapai enam juta lebih, demikian juga pemeluk agama-agama lain. Apapun namanya, maka kenyataan ini akan mengharuskan adanya pilihan untuk melakukan dialog tersebut. Dialog ini adalah bangunan jembatan ke arah terbentuknya A Multireligious America. Suatu kenyataan bahwa di Amerika antara orang Muslim dan Methodis saling bertetangga, mereka juga menggalang proklamasi dan parade tentang agama baru Amerika, membentuk parlemen agama serta partisipasi di dalam kehidupan publik. Dialog antar umat beragama, hakikatnya adalah mendialogkan “kepentingan” manusia dan bukan kepentingan agama. Jika kepentingan agama yang dipentingkan maka batas-batas dialog akan menjadi kabur. Sebab, yang mengemuka adalah respon kuat di lini teologis dan ritual. Jika yang mengedepan adalah “kepentingan” manusia dan sesamanya, maka yang terjadi adalah pengisian ruang humanitas yang selayaknya dijunjung tinggi. Jadi, batas dialog adalah problem kemanusiaan, dengan doktrin “keselamatan untuk semua.”

Keinginan untuk menemukan dunia agama yang semakin hilang di dunia sekularisme, modernisme dan pasca modernism juga tampak misalnya dari gerakan-gerakan civil religion di belahan dunia Barat, khususnya Amerika. Sebagaimana catatan Robert N. Bellah, bahwa di Amerika sedang berkembang gerakan civil religion dengan ciri-ciri adanya kepercayaan kepada Tuhan, pahala, dan siksa, hari akhir, takdir baik dan buruk dan manusia harus berbuat baik. Dengan mengambil contoh pidato Kennedy dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden Amerika pada 20 Januari 1961 dan tema-tema pidato presiden sebelum dan sesudahnya, maka konsep Tuhan itu sama sekali tidak mengacu kepada agama apa pun, sehingga bisa diterima oleh semua orang. Di dalam kata pengantar untuk buku ini, Olaf Schumann menyatakan bahwa tesis Bellah ternyata relevan untuk melihat wacana civil religion di Indonesia. Pancasila yang seharusnya bisa menjadi civil reigion di Indonesia atau etiak sosial, namun demikian di masa Orde Baru justru dianggaplah bahwa Pancasila menjadi satu-satunya sumber bagi etika sosial dan penghasil simbol-simbol keagamaan, kenegaraan, dan kemasyarakatan, pada hal seharusnya civil religion atau Pancasila memerlukan agama-agama yang lain yang hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai sumber substansi dan isi kepercayaan dan pedoman perilaku. Jadi civil religion bukan super religion atau bisa menjadi saingan bagi agama-agama yang sudah ada, melainkan secara substansial. Ia hidup dari agama-agama itu dan nilai dihasilkannya dapat menjadi pedoman untuk merajut kehidupan bersama.

Di tengah suasana merebaknya wacana dan aksi tentang radikalisme, fundamentalisme yang berseberangan dengan sekularisme atau modernism, maka memunculkan berbagai wacana dan gerakan keagamaan yang menekankan pluralisme dan resolusi konflik, salah satunya adalah pemahaman tentang agama dan lintas budaya, yang sesungguhnya memiliki misi agar mereka yang terlibat di dalamnya memiliki kemampuan untuk merumuskan dan menyelesaikan masalah-masalah agama berdasarkan kerangka kerja dan penalaran yang memadai atas dasar pemahamannya tentang agama dan lintas budaya. Misi ini dirasa penting mengingat bahwa bahwa di tengah semaraknya etnosentrisme yang disebabkan oleh etnisitas, agama, politik dan budaya, maka hakikatnya masih ada yang dapat menjadi pedoman bersama yakni agama dan lintas budaya tersebut.

Dengan memahami adanya pola bagi tindakan yang bersumber dari agama yang “universal tetapi mendasar” yang telah mengejawantahkan dalam lintas budaya, maka konflik yang difasilitasi oleh etnosentrisme tersebut akan menjadi minimal. Itula sekurang-kurangnya pesan kajian agama dan lintas budaya.

 

DOMESTIFIKASI IBADAH DI BULAN PUASA (1)

Menurut hisab dan rukyat, akhirnya diputuskan oleh Menteri Agama, Pak Fahrul Razi, puasa akan dimulai hari Jum’at mendatang, 24 April 2020. Dan biasanya pada hari-hari menjelang puasa orang sudah pada berdatangan ke daerah untuk berziarah ke makam leluhurnya. Bagi umat Islam Indonesia, berziarah ke makam menjelang puasa sudah merupakan tradisi yang fenomenal. Tidak hanya bagi orang desa, tetapi juga bagi orang kota. Maklumlah kebanyakan orang kota sebenarnya adalah kaum urban yang telah meningkat status sosial atau mobilitas vertikalnya.

Makam atau kuburan biasanya ramai menjelang puasa. Ada yang membersihkan makam dan berziarah. Penjual bunga pun ramai dikunjungi orang, sebab tradisi kita jika berziarah ialah membawa bunga untuk mengharumkan pekuburan. Bahkan terdapat keyakinan lokal, bahwa sebelum bunga itu kering maka seakan-akan kita berziarah terus menerus. Di beberapa tempat juga membawa air bunga dan kemudian dituangkan ke makam leluhurnya. Ada variasi cara orang mengekspresikan tindakan ke makam, baik itu makam suci para wali atau makam leluhurnya sendiri.

Akhir-akhir ini tentu terdapat nuansa berbeda. Ada banyak orang yang tidak bisa berziarah ke makam leluhur karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau harus berdiam diri di rumah karena wabah covid-19. Anjuran pemerintah untuk work from home, learning at home and praying at home merupakan salah satu di antara sekian banyak cara yang dilakukan di dalam kerangka untuk mencegah penyebaran wabah corona yang luar biasa cepatnya. Belum ada dalam sejarah sebuah virus bisa menular di seluruh dunia seperti ini. Sungguh merupakan pelajaran bagi manusia bahwa mobilitas horizontal antar negara ternyata menjadi instrumen penyebaran virus corona yang menjalar cepat di seluruh belahan bumi.

Saya juga harus mengikuti anjuran ini. Pada tahun ini secara terpaksa saya harus merelakan peluang untuk berziarah ke makam keluarga. Biasanya pada saat menjelang Ramadlan saya selalu sempatkan untuk pulang ke rumah saya di Tuban untuk berziarah ke makam Bapak dan kakek nenek saya atau leluhur saya karena ini merupakan moment yang paling tepat untuk melakukan ziarah tersebut.

Memang tidak ada dasarnya untuk berziarah di saat-saat seperti ini. Orang Arab juga “mungkin” tidak melakukannya. Tetapi ini merupakan tradisi yang baik yang bisa menjadi momentum untuk memohonkan ampun kepada Allah swt atas kekhilafan yang “barangkali” pernah dilakukan oleh para leluhur kita di masa lalu. Tidak hanya sekedar itu tetapi juga untuk menjadi penanda bahwa ke depan di situlah kita semua akan berumah dan bertempat tinggal untuk menunggu yaumul hisab sebagaimana yang diceritakan di dalam teks-teks suci Al Qur’an maupun al hadits.

Mungkin saja masih ada orang yang melakukan ziarah, sebagaimana berita di televisi bahwa penjual bunga kebanjiran pembeli bahkan dengan harga dua kali lipat, artinya meskipun di era seperti ini ternyata ziarah kubur tetap dilakukan. Ziarah itu dilakukan oleh orang sedaerah dan dimungkinkan untuk melakukannya. Tetapi yang berasal dari luar daerah, saya kira kuantitasnya sangat menurun drastis.

Gubernur sudah menetapkan bahwa Surabaya, Gresik dan Sidoarjo menjadi daerah dengan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Artinya, orang yang berasal dari daerah tersebut tentu harus berada di dalam pengawasan. Untuk Surabaya berlaku bagi semua wilayah, sedangkan di Gresik dan Sidoarjo hanya beberapa wilayah. Dibatasi wilayah yang berdekatan dengan Surabaya saja. Inilah yang menyebabkan saya juga harus berpikir ulang untuk melakukan tindakan pulang kampung. Bukankah di setiap kampung juga sudah disediakan satu tim untuk memantau terhadap orang yang datang dan pergi. Terutama yang menginap atau lama berada di daerah tersebut. Pemerintah sungguh berupaya secara maksimal agar persebaran penduduk dari satu wilayah ke wilayah lainnya diawasi secara ketat. Jadi saya tentu tidak mau menjadi Orang Dalam Pengawasan (ODP) karena kenekadan saya untuk pergi ke luar daerah.

Saya harus merelakan tahun ini tidak melakukan tradisi ziarah sebagai konsekuensi PSBB yang sudah ditetapkan. Saya tentu kehilangan momentum tradisi penting ini. Tradisi yang sudah menyejarah di dalam kehidupan masyarakat, dan menjadi bagian di dalam pattern for behaviour masyarakat Islam Nusantara atau Islam Jawa. Tentu ada baiknya kita mengikuti anjuran pemerintah, sebab inilah salah satu jalan terbaik untuk menghentikan persebaran wabah penyakit yang mematikan ini.

Sekali lagi bahwa wabah covid-19 telah memaksa untuk masyarakat Islam Indonesia agar melakukan domestifikasi ajaran agamanya, tradisinya dan juga relasi sosial berbasis agama yang selama ini menjadi pedoman di dalam kehidupan sosial.

Kita boleh kehilangan momentum tradisi masyarakat Islam lokal ini, tetapi kita tidak boleh kehilangan keberagamaan kita, ritual kita, spiritualitas kita. Meskipun berada di rumah, saya kira dzikir dan wirid harus tetap kita lantunkan sebagai konsekuensi keyakinan kita bahwa di manapun kita berada Allah melihat dan mendengar apa yang kita lakukan atau ungkapkan baik secara lahir maupun batin.

Selamat berpuasa pada Jum’at, 1 Romadlon 1441 H atau 24 April 2020. Semoga Allah menerima amal ibadah kita sebagaimana janji Allah yang pasti dan pasti tidak akan pernah diingkarinya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

KESENJANGAN SOSIAL DI ERA SOCIAL MARKET ECONOMY (2)

Gagasan sistem ekonomi pasar sosial sebenarnya sudah lama, yaitu di kala usai Perang Dunia ke dua. Di Jerman dengan tokohnya Kanselir Konrad Adenauer seorang tokoh Persatuan Demokrat Kristen ((CDU). Ekonomi pasar sosial dikenal juga sebagai Kapitalisme Rhein, dan berasal dari Madzab Ekonomi Freiburg saat jeda antar perang dunia. Sistem ini dianggap sebagai jalan ketiga di antara sistem ekonomi kapitalis yang laissez-faire dan ekonomi sosialis. (id.m.wikipedia.org diunduh 24/04/20).

Sayangnya bahwa gagasan jalan ketiga atau third way ini tidak memperoleh sambutan yang memadai di negara lainnya, terutama Amerika Serikat yang tingkat kepercayaannya pada sistem ekonomi kapitalis dan pendekar sistem ini sungguh sangat kuat, bahkan ketika sistem ini mengalami “kegagalan” dengan semakin besarnya jurang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin dan ketidakmerataan ekonomi di seluruh negara yang menerapkannya, maka sistem ini juga tetap dilakukannya. Cengkeraman kaum kapitalis sungguh sangat powerfull.

Saya bersyukur bisa membaca karya menarik yang ditulis oleh Sebastian Dullien, Hansjorg Herr dan Christian Kellermann, “Kapitalisme yang Layak, Suatu Cetak Biru Reformasi Ekonomi Kita”. Buku ini senafas dengan tulisan Stiglitz “The Great Divide” yang menyuarakan ketidakseimbangan global menjadi penyebab ketidakstabilan global. Ada tiga variabel yang memicu ketidakstabilan global, yaitu: fundamentalisme pasar, pasar keuangan yang tidak terkontrol dan ketidakmerataan global. Konsepsi pasar bersaing bebas sebagai doktrin utama kapitalisme ternyata membawa pasar makin tidak terkendali, demikian pula pasar keuangan juga menghasilkan gap antara kelompok kaya dan miskin, lalu ketidaksetaraan ekonomi yang menggejala di seluruh dunia tentu berpengaruh signifikan terhadap ketidakstabilan global.

Buku menarik ini diawali dengan ungkapan: “layak adalah kata yang menggambarkan sesuatu yang memiliki sifat yang bertolak belakang dengan perbuatan yang kasar, tidak sopan, sesuatu yang terhormat.” Jadi kapitalisme yang layak adalah kapitalisme yang terhormat. Buku ini seperti penuturan penulisnya juga mengandung kritik, yaitu: pertumbuhan pada umumnya dan khususnya pertumbuhan apa. Bagaimana pertumbuhan pada umumnya terjadi dan apa saja yang menjadi tumbuh di tengah sistem tersebut.

Dunia menjadi galau ketika kapitalisme liberal kena batunya. Selama ini sedemikian diagung-agungkan sebagai sistem eknomi yang paling hebat apalagi setelah kehancuran Uni Soviet dengan sistem ekonomi sosialismenya. Keadaan ini memaksa pemerintahan Amerika di bawah Barack Obama untuk membuat banyak regulasi keuangan untuk menyelamatkan sistem ekonominya, misalnya regulasi di bidang ekonomi dan juga intervensi negara terhadap sektor manufaktur.

Berbasis pada pengalaman Amerika yang kedodoran karena kebijakan ekonomi politik yang menyebabkan terjadinya ketidakmerataan global, maka sesungguhnya pemerintah Indonesia bisa belajar banyak, di antaranya adalah bagaimana membuat rumusan kebijakan ekonomi politik yang memihak kepada kepentingan masyarakat secara lebih luas. Melalui kebijakan seperti itu, maka pemerintah harus menjadikan kepentingan masyarakat umum sebagai sasaran dengan tetap mempertahankan kepentingan para pemegang saham di perusahaan-perusahaan swasta.

Negara-negara Barat yang menggunakan sistem ekonomi kapitalis Rhein ternyata lebih tahan dalam menghadapi badai krisis ekonomi tahun 1997-an. Jerman dan negara-negara Skandinavia justru dapat menjalankan kerja sama antara pengusaha dengan para pekerja atau Serikat Buruh, sehingga daya kompetisi perekomiannya relatif bisa bertahan secara memadai.

Sebagai konsekuensi dari sistem kapitalisme yang layak, maka kesejahreraan buruh juga menjadi perhatian utama. Buku ini juga menggunakan cara berpikir John Maynard Keynes yang menyatakan bahwa di mana terjadi kekakuan dalam pasar tenaga kerja, maka akan menuntut adanya kebijakan fiskal dan moneter. Permintaan tenaga kerja tidak ditentukan oleh upah sebagaimana paham neoklasik. Upah tidak secara langsung menentukan lapangan kerja, namun upah memegang peranan penting alam penentuan tingkat harga dalam perekonomian.

Sistem ekonomi kapitalisme yang layak memberikan semacam jalan ketiga, antara kapitalisme liberal yang beranggapan bahwa uang adalah segala-galanya dan memperoleh uang dengan cara-cara pasar bersaing bebas, sehingga regulasi tidak dipentingkan atau dengan kata lain pasar akan membuat keseimbangannya sendiri, dengan sistem ekonomi sosialisme yang lebih menekankan pada dimensi kesetaraan tetapi menihilkan kompetisi.

Sistem ini mengandaikan bahwa di tengah kompetisi pasar bersaing bebas yang tetap diintervensi dengan regulasi yang kuat, maka hasilnya akan dapat memberikan tetesan kesejahteraan pada masyarakat. Maka pilar ekonomi bukan pada ratusan gelintir orang saja akan tetapi basisnya adalah dinamika perekonomian masyarakat secara lebih luas.

Indonesia di era reformasi sebenarnya sudah berusaha untuk menerapkan sistem ekonomi kapitalisme yang layak, akan tetapi kenyataannya bahwa kekuatan satu persen para penguasa ekonomi tetap dominan, sementara itu yang sisanya termasuk belum juga menikmati produk ekonomi kapitalisme yang layak. Jadi, sisa-sisa kapitalisme liberal tetap saja berkuasa atas ekonomi Indonesia yang memang sudah kadung menjadi besar dan powerfull.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

KESENJANGAN SOSIAL DI ERA SOCIAL MARKET ECONOMY (1)

Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk menelanjangi kegagalan sistem ekonomi kapitalis atau kemudian menjustifikasi bahwa sistem ekonomi social market sebagai pilihan yang pastilah benar. Posisi tulisan ini hanyalah “renungan” untuk memahami bahwa setiap pilihan pastilah mengandung dua dimensi menguntungkan atau tidak menguntungkan atau tidak jelas hasilnya.

Sebagaimana diketahui bahwa kapitalisme tidak mau kehilangan muka karena kegagalannya untuk menekan pertumbuhan spektakuler kelompok satu persen di seluruh dunia yang menerapkan sistem pasar sebagai instrumen kapitalisme. Sebagai akibat dari terus berkembangnya kelompok satu persen di seluruh dunia, sehingga menghasilkan orang-orang kaya dunia dalam jumlah yang sangat sedikit atau satu persen dan sementara 99 persen lainnya adalah kelompok yang “termarginalisasikan” maka kapitalisme lalu berbenah diri. Pertumbuhan sistem pasar itu menghsilkan orang-orang kaya di setiap negara dengan kekayaan yang “luar” biasa.

Berdasarkan catatan: imcnews.id (dikutip 22/04/20) di Asia Tenggara terdapat di Brunei dengan Sultan Hasanal Bolkiah, Raja dan pengusaha minyak memiliki 500 mobil rolls-royce dengan kekayaan (Rp392,4 triliun), Indonesia dengan Robert Budi Hartono (Rp260,6 triliun), Thailand dengan Dhanis Chearavanont (Rp245,6 triliun), Malaysia dengan Robert Kuok (Rp173,7 triliyun), Singapura dengan Robert dan Philip Ng, juragan tanah, developer dan pengusaha hotel (Rp169,5 triliun), Vietnam dengan Pham Nhat Vuong, industri makanan, perumahan dan peralatan kesehatan, (Rp112,1 triliun), Filipina dengan Manuel Villar, pengusaha Mall terbesar dan kontraktor (Rp95,2 triliun), Kamboja dengan Kith Meng, pengusaha holding dan politisi, (rp22,4 triliun), Myanmar dengan Tay Za, CEO Hto Group dan pengusaha pertambangan dan perhotelan, (Rp16,8 triliun), Laos dengan Khamtai Shipandon, mantan presiden Rp12 triliun).

Di tingkat Asia menurut data: ilmu pengetahuanumum.com (diunduh 22/04/20), Cina menghasilkan Wang Jianlin, Real Estate (US$ 29,9 miliar) dan Jack Ma alibaba.com. (US$26,5 Miliar), India terdapat Mukesh Ambani, Petrokimia dan minyak (US$24,8 miliar), Arab Saudi menghasilkan Alwaleed bin Talal bin Abdul Aziz al Saud, Kingdom Holding Company US$22,5 Miliar), Hongkong terdapat Li Ka-shing diversifikasi investasi (US$19,5 miliar) . Jika diperhatikan maka dari sebanyak 10 daftar orang terkaya di Asia, maka Cina menempatkan sebanyak 6 orang, satu orang dari Arab Saudi dan satu orang dari India.

Para penguasa ekonomi di Asia ataupun Asia Tenggara adalah mereka yang menikmati skema ekonomi politik kapitalisme yang menjadikan kebijakan pemerintah dan sistem ekonomi yang menguntungkannya. Dan saya kira kita bersepakat bahwa sistem ekonomi kapitalislah yang menghasilkan orang-orang kaya yang sering disebut sebagai “Crazy Rich ASEAN’s” yang sangat luar biasa kekayaannya itu.

Berbagai kritik tentu sudah disuarakan oleh para ahli ekonomi baik dari dalam sistem ekonomi kapitalisme maupun sistem non-kapitalisme. Dan pada akhirnya dipahami bahwa memang sistem ekonomi kapitalisme ternyata membawa jurang kesenjangan ekonomi yang semakin melebar. Gini ratio atau pengukuran distribusi income yang tidak merata semakin besar dan hal ini disebabkan oleh “yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin”. Jika membicarakan hal seperti ini, saya menjadi teringat lagunya “Bang Haji Rhoma Irama” pada tahun 90-an yang bercerita tentang kesenjangan antara “Si Kaya” dan “Si Miskin”. Gini Ratio terbaik adalah 0, namun nyaris tidak ada negara dengan tingkat Gini Ratio seperti itu. Indonesia berada di angka 0,39 pada tahun 2000-an, dan sekarang, 2018, berada di angka 0,380.

Menurut Indonesia investment: Jika menggunakan ukuran penghasilan sebagaimana dilansir oleh Bank Dunia, UU$2 perhari maka kebanyakan penduduk Indonesia (65 juta) hanya hidup di atas sedikit saja dari garis kemiskinan. Namun pemerintah Indonesia menggunakan ukuran yang lebih rendah untuk menentukan pendapatan ini, yaitu US$1,25 perhari, sehingga jumlah orang yang miskin di Indonesia menjadi lebih sedikit. Pada tahun 2016, pemerintah Indonesia menetapkan garis kemiskinan dengan pendapatan perbulan (perkapita) sebanyak Rp354.386,00 atau sekitar US$25, sehingga jumlah orang miskin di Indonesia menjadi lebih sedikit.

Kegagalan sistem ekonomi kapitalisme ini kemudian memicu para pendukungnya untuk memikirkan ulang masa depan sistem ini. Di antara sistem yang dihasilkan adalah yang disebut sebagai social market economy system atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sistem ekonomi pasar sosial merupakan sistem ekonomi dengan tujuan untuk mengubah sistem ekonomi agar lebih merata. Melalui pelajaran sistem ekonomi kapitalistik, misalnya terjadinya ketidakmerataan ekstrim atau uneqauality, satu persen orang kaya menguasai sistem perekonomian dunia, kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin melebar, dan kegagalan sistem ini untuk menyejahterakan masyarakat secara umum, maka muncul gagasan sistem ekonomi pasar sosial.

Sistem ini semula dikembangkan di Jerman, yang berusaha untuk menggabungkan antara sistem ekonomi kapitalis dengan kebijakan sosial. Sistem ini dirancang untuk menggabungkan antara sistem kapitalis yang liberal—pasar bersaing bebas—dengan sistem ekonomi sosialis, yang terkait dengan perumusan kebijakan yang pro-masyarakat umum. Meskipun gagasan ini cukup lama, namun juga tidak serta merta memperoleh respon positif dari berbagai negara, sebab dunia kapitalisme telah mencengkeram sedemikian kuat terhadap perekonomian dunia. Bahkan seirama dengan perkembangan revolusi industri 4.0 ternyata juga bisa melestarikan terhadap sistem monopoli yang dikembangkan melalui sistem teknologi informasi.

Jika kita lihat Indonesia –terutama di era reformasi—sebenarnya juga mulai tertarik dengan sistem ekonomi pasar sosial, di mana perkembangan pasar bersaing bebas tidak dikendalikan secara ketat tetapi didukung dengan kebijakan pro-masyarakat. Hanya saja program pro-masyarakat ini masih juga belum bisa mengangkat gini ratio kita yang semakin baik.

Wallahu a’lam bi al shawab.

KELOMPOK PALING RENTAN DI ERA COVID-19

Data yang dirilis oleh Saiful Mujani Research & Consultant (SMRC) dalam survey tentang Wabah Covid-19 menyatakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia (77%) menyatakan covid-19 telah mengancam pemasukan atau penghasilan mereka. Lebih jauh lagi, sekitar 25 persen (50 juta warga Indonesia) menyatakan sudah tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan pokok tanpa pinjaman, 15 persen menyatakan tabungan yang dimiliki warga hanya cukup untuk beberapa minggu, dan 15 % warga menyatakan tabungan yang dimiliki hanya cukup untuk satu minggu.

Hasil survey yang dirilis oleh SMRC, 17 April 2020 tersebut juga memberikan gambaran bahwa sebanyak 67 persen menyatakan bahwa ekonominya semakin memburuk semenjak keberadaan covid-19. Mereka yang terkena dampak langsung atas wabah corona adalah pekerja sektor informal, kerah biru dan kelompok yang mengadalkan pekerjaan harian.

Di antara mereka menyatakan setuju dengan PSBB sebanyak 87,6 persen dan 21 persen tidak setuju kegiatan keagamaan dilakukan di rumah saja. Atau kira-kira sebanyak 40 juta warga dewasa yang ingin ibadah tetap dilakukan di luar rumah. Dan 31 persen warga Jakarta ingin tetap pulang kampung.

Data ini meskipun diambil dari populasi sebesar 1.200 orang, namun bisa menjadi gambaran betapa “beratnya” perekomian masyarakat Indonesia yang tidak “beruntung” karena kehadiran covid-19. Jumlah mereka semakin banyak seirama dengan PSBB yang memang mengharuskan mereka untuk berada di rumah.

Pemerintah memang sudah memilih PSBB sebagai pemotong mata rantai penyebaran virus mematikan ini. Jalan panjang untuk menempuh PSBB sudah dilalui dan pilihan ini yang dianggap paling relevan. Pemerintah tidak melakukan lock down sebagaimana negara lain, bisa jadi karena resiko ekonominya yang memberatkan pemerintah. Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah terpaksa harus melakukan revisi APBN 2020 dengan cara memotong anggaran Kementerian/Lembaga dan juga merevisi pendapatan pemerintah yang anjlog karena virus ini. Perkiraan pertumbuhan ekonomi 5,4 persen tahun 2020 menjadi diperkirakan 4,6 persen, sehingga pemerintah harus merevisi APBN tahun ini.

PSBB akhirnya juga tetap memaksa masyarakat yang “rentan” ekonomi untuk tetap bekerja dengan cara tidak mengindahkan konsekuensi PSBB. Jika diperhatikan, kelompok yang paling menderita di dalam aspek ekonomi karena wabah covid-19 adalah kelompok yang selama ini menggantungkan kehidupan pada sektor informal. Mereka ini berada di wilayah perkotaan dan mereka bekerja setiap hari untuk menghidupi keluarganya. Penghasilan mereka hanya cukup digunakan untuk memenuhi kehidupannya selama hari itu pula. Masyarakat rentan ekonomi adalah mereka yang terdiri dari penganggur terbuka, sektor usaha mikro, pekerja informal/outsourching, buruh tani, nelayan dan lainnya. Jumlah pengangguran terbuka 6,8 juta, usaha mikro sebanyak 63 juta, pekerja informal 74 juta, buruh tani sebanyak 35 juta.

Jika diperhatikan pemberitaan di televisi pada waktu PSBB di Jakarta, maka yang memenuhi stasiun kereta, terminal angkutan kota, dan juga halte-halte adalah mereka yang secara ekonomi digolongkan sebagai kelompok rentan ekonomi. Mereka terdiri dari pekerja harian, tenaga kerja pabrik, pedagang asongan, kuli angkut, kaum pekerja OJOL dan lainnya, yang menggantungkan pekerjaan hari itu untuk memenuhi kebutuhan hari itu juga. Mereka ini merupakan kelompok yang paling tidak diuntungkan di era PSBB karena covid-19. Mereka seharusnya bisa “mengurung” diri di rumah bersama keluarganya, akan tetapi karena faktor kebutuhan sehingga tetap harus keluar rumah.

Mereka bukanlah orang yang tidak menyadari tentang bahaya covid-19 karena pemberitaan bertubi-tubi melalu media televisi atau media sosial lainnya, akan tetapi keterpaksaan struktural sehingga mereka harus tetap keluar rumah dan berjejal di tempat umum. Kesadaran mereka bisa dilihat dari nyaris seluruhnya menggunakan masker, tetapi untuk melaksanakan physical and social distancing tentu nanti dulu. Siapa yang harus memberikan kebutuhan fisik kehidupan di era PSBB.

Masyarakat melalui asosiasi-asosiasi memang hadir di era ini, namun demikian dengan skema bantuan sosial yang bercorak segmental dan parsial tentu belum bisa menghadirkan perlindungan pada keluarga ekonomi lemah ini. Kiranya memang pemerintah harus memberikan skema yang lebih jelas untuk masyarakat rentan kebutuhan pokok ini tidak hanya dengan kemampuan APBN yang semakin rendah, akan tetapi juga “memanfaatkan” orang-orang kaya dengan kocek yang sedemikian meraksasa untuk terlibat secara sistemik, dan massif.

Jika bantuan yang diberikan itu dilakukan sendiri-sendiri, maka hasilnya saya yakin tidak optimal dan tidak bisa dirasakan oleh masyarakat rentan ekonomi secara lebih bermanfaat. Dan pemerintah saya yakin bisa melakukannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.