KESENJANGAN SOSIAL DI ERA SOCIAL MARKET ECONOMY (2)
Gagasan sistem ekonomi pasar sosial sebenarnya sudah lama, yaitu di kala usai Perang Dunia ke dua. Di Jerman dengan tokohnya Kanselir Konrad Adenauer seorang tokoh Persatuan Demokrat Kristen ((CDU). Ekonomi pasar sosial dikenal juga sebagai Kapitalisme Rhein, dan berasal dari Madzab Ekonomi Freiburg saat jeda antar perang dunia. Sistem ini dianggap sebagai jalan ketiga di antara sistem ekonomi kapitalis yang laissez-faire dan ekonomi sosialis. (id.m.wikipedia.org diunduh 24/04/20).
Sayangnya bahwa gagasan jalan ketiga atau third way ini tidak memperoleh sambutan yang memadai di negara lainnya, terutama Amerika Serikat yang tingkat kepercayaannya pada sistem ekonomi kapitalis dan pendekar sistem ini sungguh sangat kuat, bahkan ketika sistem ini mengalami “kegagalan” dengan semakin besarnya jurang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin dan ketidakmerataan ekonomi di seluruh negara yang menerapkannya, maka sistem ini juga tetap dilakukannya. Cengkeraman kaum kapitalis sungguh sangat powerfull.
Saya bersyukur bisa membaca karya menarik yang ditulis oleh Sebastian Dullien, Hansjorg Herr dan Christian Kellermann, “Kapitalisme yang Layak, Suatu Cetak Biru Reformasi Ekonomi Kita”. Buku ini senafas dengan tulisan Stiglitz “The Great Divide” yang menyuarakan ketidakseimbangan global menjadi penyebab ketidakstabilan global. Ada tiga variabel yang memicu ketidakstabilan global, yaitu: fundamentalisme pasar, pasar keuangan yang tidak terkontrol dan ketidakmerataan global. Konsepsi pasar bersaing bebas sebagai doktrin utama kapitalisme ternyata membawa pasar makin tidak terkendali, demikian pula pasar keuangan juga menghasilkan gap antara kelompok kaya dan miskin, lalu ketidaksetaraan ekonomi yang menggejala di seluruh dunia tentu berpengaruh signifikan terhadap ketidakstabilan global.
Buku menarik ini diawali dengan ungkapan: “layak adalah kata yang menggambarkan sesuatu yang memiliki sifat yang bertolak belakang dengan perbuatan yang kasar, tidak sopan, sesuatu yang terhormat.” Jadi kapitalisme yang layak adalah kapitalisme yang terhormat. Buku ini seperti penuturan penulisnya juga mengandung kritik, yaitu: pertumbuhan pada umumnya dan khususnya pertumbuhan apa. Bagaimana pertumbuhan pada umumnya terjadi dan apa saja yang menjadi tumbuh di tengah sistem tersebut.
Dunia menjadi galau ketika kapitalisme liberal kena batunya. Selama ini sedemikian diagung-agungkan sebagai sistem eknomi yang paling hebat apalagi setelah kehancuran Uni Soviet dengan sistem ekonomi sosialismenya. Keadaan ini memaksa pemerintahan Amerika di bawah Barack Obama untuk membuat banyak regulasi keuangan untuk menyelamatkan sistem ekonominya, misalnya regulasi di bidang ekonomi dan juga intervensi negara terhadap sektor manufaktur.
Berbasis pada pengalaman Amerika yang kedodoran karena kebijakan ekonomi politik yang menyebabkan terjadinya ketidakmerataan global, maka sesungguhnya pemerintah Indonesia bisa belajar banyak, di antaranya adalah bagaimana membuat rumusan kebijakan ekonomi politik yang memihak kepada kepentingan masyarakat secara lebih luas. Melalui kebijakan seperti itu, maka pemerintah harus menjadikan kepentingan masyarakat umum sebagai sasaran dengan tetap mempertahankan kepentingan para pemegang saham di perusahaan-perusahaan swasta.
Negara-negara Barat yang menggunakan sistem ekonomi kapitalis Rhein ternyata lebih tahan dalam menghadapi badai krisis ekonomi tahun 1997-an. Jerman dan negara-negara Skandinavia justru dapat menjalankan kerja sama antara pengusaha dengan para pekerja atau Serikat Buruh, sehingga daya kompetisi perekomiannya relatif bisa bertahan secara memadai.
Sebagai konsekuensi dari sistem kapitalisme yang layak, maka kesejahreraan buruh juga menjadi perhatian utama. Buku ini juga menggunakan cara berpikir John Maynard Keynes yang menyatakan bahwa di mana terjadi kekakuan dalam pasar tenaga kerja, maka akan menuntut adanya kebijakan fiskal dan moneter. Permintaan tenaga kerja tidak ditentukan oleh upah sebagaimana paham neoklasik. Upah tidak secara langsung menentukan lapangan kerja, namun upah memegang peranan penting alam penentuan tingkat harga dalam perekonomian.
Sistem ekonomi kapitalisme yang layak memberikan semacam jalan ketiga, antara kapitalisme liberal yang beranggapan bahwa uang adalah segala-galanya dan memperoleh uang dengan cara-cara pasar bersaing bebas, sehingga regulasi tidak dipentingkan atau dengan kata lain pasar akan membuat keseimbangannya sendiri, dengan sistem ekonomi sosialisme yang lebih menekankan pada dimensi kesetaraan tetapi menihilkan kompetisi.
Sistem ini mengandaikan bahwa di tengah kompetisi pasar bersaing bebas yang tetap diintervensi dengan regulasi yang kuat, maka hasilnya akan dapat memberikan tetesan kesejahteraan pada masyarakat. Maka pilar ekonomi bukan pada ratusan gelintir orang saja akan tetapi basisnya adalah dinamika perekonomian masyarakat secara lebih luas.
Indonesia di era reformasi sebenarnya sudah berusaha untuk menerapkan sistem ekonomi kapitalisme yang layak, akan tetapi kenyataannya bahwa kekuatan satu persen para penguasa ekonomi tetap dominan, sementara itu yang sisanya termasuk belum juga menikmati produk ekonomi kapitalisme yang layak. Jadi, sisa-sisa kapitalisme liberal tetap saja berkuasa atas ekonomi Indonesia yang memang sudah kadung menjadi besar dan powerfull.
Wallahu a’lam bi al shawab.