STUDI AGAMA DAN LINTAS BUDAYA
STUDI AGAMA DAN LINTAS BUDAYA
Prof. Dr. Nur Syam, Msi
Abstract
The aim of this work is to understand the relation between religion and cross-culture. By Geertz’s definition, we understood that the study intensively about religion and culture is an effort to understand better about the relation between them. The focus of study is religion as a system of culture, so that we must study about a culture, religion is also a pattern for bahviour and pattern of behavior. Because of the crusial factor to construction interreligious dialog in varieties region is religious responship as we called fundamentalism and conflict, so that the solution of this condition, we have to understand more about the space of humanity. In America and also in Indonesia, there are many activities that we called interreligious forum to actualization about the dialog based on the humanity not in the theoloy and ritual. And the mission of interreligious dialog is the growth of the religious pluralism and conflict resolution.
Kata Kunci: Studi agama, lintas budaya, dan pluralism.
Pendahuluan
Ada semua kegerahan yang akhir-akhir ini dirasakan oleh kaum agamawan, berangkat dari pertanyaan dasar: “mau dibawa kemanakah keberagamaan kita?”. Ada beberapa paradoks yang menggelayuti kehidupan kita di tengah globalisasi yang mestinya mengandung keniscayaan, yaitu tarikan ke arah sekularisasi yang semakin kuat di satu sisi yang berhadapan secara diametral dengan fundamentalisme keberagamaan yang juga semakin menguat.
Tarikan-tarikan ini, mau tidak mau, mestilah disikapi dengan pikiran yang cerdas, bahwa pemilihan terhadap sesuatu juga merupakan keniscayaan, sehingga kalau pun ada orang lain yang memilih dengan pilihan yang berbeda, tidak seharusnya dianggap sebagai sebuah kesalahan, akan tetapi sebaiknya dianggap sebagai pilihan di tengah “pasar raya” dan “belantara” atas tafsir kehidupan yang memang mengandaikan perbedaan-perbedaan.
Di dunia ini memang manusia masih bisa melakukan pilihan-pilihan tindakan, mau bertindak ini atau itu. Dalam kehidupan keberagamaanpun pilihan itu tersaji sedemikian rupa. Ada sekian banyak tafsiran atas teks yang berbeda-beda. Terkadang tafsir itu begitu kontradiktif seakan-akan bukan diturunkan dari teks yang sama akan tetapi itulah kenyataannya, sehingga di tengah “pasar raya” tafsir atas teks itu hendaknya disikapi dengan kewajaran, bahwa di dunia ini memang tempatnya berbeda, baik lokus geografis, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Namun kenyataanya, meskipun kebanyakan tindakan itu berdasar atas tafsir dan bukan teksnya sendiri, akan tetapi di sana sini selalu terdapat serangkaian konflik, baik yang laten maupun yang manifest, yang simbolik maupun yang formal, dan seringkali juga tidak ditemukan “kata kunci” untuk menyamakan persepsi mengenainya. Meskipun demikian, di tengah dunia konfliktual itu ternyata social order juga masih menyisakan ruangnya di dalam kehidupan, sehingga rajutan kehidupan yang damai dan aman pun masih niscaya keberadaannya.
Agama dan lintas-budaya
Di dalam memahami agama dan budaya, saya adalah salah seorang yang bermadzab kepada Clifford Geertz, katakanlah Geertzian. Di kalangan ahli-ahli agama (Islam) kebanyakan menggunakan definisi agama yang lebih banyak menekankan aturan, sehingga peran manusia sebagai pemeluk agama kurang mendapatkan porsi yang kuat. dengan menekankan pada pengertian agama sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya, maka tampak bahwa kehidupan keberagamaan manusia kurang mendapatkan sentuhan secara memadai. Seperti berkurang atau bertambahnya keyakinan, rasa berdosa, rasa terpilih, perasaan damai setelah berdzikir, dan sebagainya tidak didapatkan di dlaam definisi tersebut. Itulah sebabnya, kebanyakan ahli antropologi dan sosiologi menolak definisi agama yang dianggap fiqih oriented tersebut.
Agama dalam konsepsi Geertz adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang berlaku umum berkenaan dengan eksistensi (manusia) dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara sendiri (unik) adalah nyata ada”, Jadi, agama adalah sistem simbol yang berfungsi menguatkan dan memberi motivasi pada diri seseorang melalui pola bagi tindakan yang berupa konsepsi-konsepsi mengenai aturan (hukum) dan kemudian mencerminkan pula dari tindakan yang mencerminkan kenyataan bagaimana pola bagi tindakan tersebut menjadi pola dari tindakan. Itulah sebabnya, Geertz memandang kebudayaan sebagai pola bagi tindakan dan pola dari tindakan.
Kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan manusia yang dijadikan sebagai pedoman atau penginterpretasi keseluruhan tindakan manusia. Kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tersebut. Sebagai pola bagi tindakan (pattern for behavior), kebudayaan berisi seperangkat pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya adalah perangkat-perangkat, model-model pengetahuan yang secara selektif digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan. Sedangkan sebagai pola dari tindakan (patter of behaviour), kebudayaan adalah apa yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang tentu saja berdasar atas pedoman yang diyakini kebenarannya tersebut. Di dalam hal ini bisa berupa sistem kelakuaan dan produk kelakuan yang dapat dilihat dan mewujud di dalam kehidupan sehari-hari dan dapat dimaknai berdasar atas sistem simbol yang dimiliki bersama. Makna dalam pandangan Geertz adalah sesuatu yang bersifat shared atau bersifat publik.
Melalui pandangan seperti ini, maka agama adalah bagian dari sistem kebudayaan, yang berisi seperangkat sistem pengetahuan simbolik yang dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan seperangkat tindakan. hanya saja simbol-simbol di dalam agama adalah simbol suci yang berbeda dengan simbol-simbol profan lainnya. Simbol suci itu ditandai dengan adanya belief, ritual dan representasi-representasi dari keduanya.
Melalui pemahaman tentang kebudayaan dan agama dalam kerangka antropologi simbolik seperti ini, maka dimungkinkan untuk memahami kaitan antara agama dan lintas budaya, sebab di tengah dunia agama yang berbeda, terkait dengan system of belief dan system of ritual, dan representasi-representasinya (simbol-simbol), memang masih menyisakan ruang kosong yang bisa saja disebut sebagai ruang kosong humanitas. Setiap agama memiliki sistem keyakinan yang dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan serangkaian tindakan dan demikian pula memiliki seperangkat ritual yang sangat berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan ini memang sesuatu yang sesungguhnya harus terjadi, dikonstruksi atau memang demikian adanya. Tetapi yang jelas melalui perbedaan sistem keyakinan dan sistem ritual sering kali menjadi faktor utama di dalam berbagai persoalan yang menyertainya. Konflik adalah suatu keniscayaan di tengah perbedaan yang berdasar atas pola bagi tindakan tersebut. Akan tetapi di tengah perbedaan yang mengedepan itu, sesungguhnya masih menyisakan ruang “integrasi” yang didasarkan atas ruang kosong humanism. Jadi proyek ke depan tentunya adalah menemukan titik temu di antara perbedaan dengan mengedepankan dialog berdasar atas kemanusiaan tersebut.
Kajian agama dan lintas budaya, sesungguhnya dipedomani oleh kenyataan bahwa di dunia ini masih menyisakan ruang untuk merajut dialog tersebut. Ruang dialog itu dipandu oleh makna-makna yang bersifat shared, yang menjadi milik bersama, yaitu dialog di dalam kerangka simbol-simbol kemanusiaan. Ada banyak teks yang kiranya dapat disimbolkan bersama, seperti kasih sayang, cinta kasih, rahmat untuk seluruh alam, dan sebagainya. Semua ajaran agama menghargai manusia demikian tinggi, dan tidak ada ajaran agama di dunia ini yang bertujuan destruktif. Oleh karena itu, ruang dialog itu akan dkembangkan di atas konsepsi ajaran yang mengandaikan “kesamaan-kesamaan”.
Fundamentalisme dan Konflik
Fundamentalisme, sesungguhnya berasal dari tradisi Kristen, sebagai akibat dari pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Ia lahir sebagai bagian dari sekularisasi. Ketika sekularisasi menjadi arus utama, maka muncullah gerakan-gerakan fundamental yang memiliki cakupan dan solusi terhadap semakin kuatnya tarikan sekularisasi. Gerakan fundamentalisme sebenarnya merupakan gerakan kembali kepada dasar-dasar agama secara penuh dan “literal”, bebas dari kompromi, penjinakan dan reinterpretasi. Namun demikian, gerakan fundamentalisme, seringkali berkonotasi negative, sebab kebanyakan bertentangan dengan tradisi-tradisi keagamaan yang umum. Misalnya gerakan fundamentalis David Koresh yang dikenal sebagai kelompok fundamentalis Kristen “Dividian Branch”.
Salah seorang penulis Malaysia, Ibrahim Abu Bakar, memberikan ciri gerakan fundamentalisme, yaitu: pertama, memberikan interpretasi literal terhadap kitab suci agama. Kedua, dapat dihubungkan dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme dan militanisme. Ketiga, memberikan penekanan kepada pembersihan agama dari isme-isme modern seperti modernisme, liberalisme, dan humanisme. Keempat, mendakwa diri mereka sebagai penafsir agama yang benar, dan selain mereka adalah sesat dan menyeleweng. Martyn E. Marty, mencirikan fundamentalisme, yaitu: pertama, faham oppositionalism yang mengambil bentuk penolakan terhadap paham membahayakan eksistensi agama, seperti modernisme, sekularisme, dan budaya barat lainnya. Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Baginya, pluralisme adalah faham yang keliru dalam memahami teks suci. Melalui klasifikasi seperti ini, maka ada beberapa kelompok atau penggolongan di dalam agama-agama, termasuk Islam yang dapat dikategorikan sebagai gerakan fundamental. Azyumardi Azra, mengkategorikan di dalam Islam dikenal dua penggolongan gerakan fundamentalisme, yaitu: Pertama, gerakan fundamentlis Islam Pra-Modern, dengan tokoh-tokoh Muhammad ibn Abd Wahab di Arab Saudi, Syaikh Ustman dan Fodio di Nergia, Al-Hajj Umar Tal di Afrika Barat. Kedua, gerakan fundamentalisme Kontemporer, dengan tokoh-tokoh Hasan al-Banna, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rifaat Tahtawi, Sayyid Quthb, Abul A’la Al Maududi dan sebagainya.
Gerakan-gerakan fundamentalisme, memang tidak selalu menampilkan wajah konfliktual yang keras, namun terkadang bercorak rivalitas atau pertentangan, yang mengambil bentuk pertentangan atau perlawanan wacana. Namun demikian, dalam menghadapi gerakan fundamentalis ini, negara melalui penguasa selalu tampil dalam wajah yang kurang simpatik. Oleh karena itu tidak jarang cara yang tempuh oleh penguasa ialah dengan menghancurkan gerakan-gerakan tersebut melalui pembunuhan terhadap tokoh- tokohnya dan pembasmian akar-akar gerakan di masyarakat. Tetapi selalu ada hal yang menarik di tengah munculnya gerakan-gerakan ini adalah perubahan-perubahan di dalam praktik penyelenggaraan negara, keagamaan dan sebagainya.
Konflik, memang merupakan nadi di dalam kehidupan masyarakat. Mengikuti kaum Marxian, bahwa tanpa konflik tidak ada dinamika. Jadi dengan konfliklah kehidupan masyarakat menjadi dinamis dan berkembang ke arah lain. Perubahan bagi madzab ini berawal dari dinamika melalui konflik. Di dalam studi-studi agama, selain paradigma struktural fungsional yang banyak digunakan juga banyak kajian yang berperspektif konflik. Bahkan beberapa teks secara sengaja mendampingkan dua perspektif teoritik tersebut.
Konflik dalam studi-studi agama dan masyarakat, kebanyakan melihat dari sudut pandang hubungan antara struktur sosial, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Kajian konflik vertikal misalnya mengkaji hubungan konfliktual antara satu strata dengan strata sosial lainnya, seperti pemimpin agama dengan umatnya, sedangkan yang bersifat horizontal, seperti antara umat atau intern umat beragama. Konflik tersebut tentunya memiliki cakupan, hirarkhi dan tekanan yang berbeda-beda. Dalam kasus hubungan konfliktual antara umat Katolik dengan Protestan di awal sejarah Protestan, maka konflik itu begitu kerasnya. Perburuan terhadap kaum Protestan pun berlangsung dalam waktu yang panjang dan melelahkan. Di Eropa Barat, kekerasan antara kaum Islam dan Kristen juga berlangsung dalam suasana yang mencekam. Perang Salib adalah salah satu contoh betapa kerasnya konflik tersebut. Konflik ini sesungguhnya dapat dikonsepsikan sebagai konflik formal. Sedangkan konflik antar umat beragama, semisal Muhammadiyah dan NU adalah konflik simbolik, yang sesungguhnya bermula dari perbedaan faham agama. Ada banyak studi yang bertema seperti ini, misalnya tulisan Geertz (1981) dan Ahmad Fediyani Saifuddin (1990).
Kajian yang lebih makro dengan mengangkat isme peradaban adalah kajian yang dilakukan oleh Huntington dalam tulisannya tentang “Class of Civilizaton” (Foreign Affairs, Musim Panas, 1983). Dia berpendapat bahwa dengan berakhirnya perang dingin sumber konflik utama yang dihadapi umat manusia tidak lagi masalah politik dan ekonomi tetapi perbedaan kebudayaan. Menurutnya ada tujuh atau delapan peradaban besar yang akan saling berbenturan. Perbenturan yang keras akan terjadi antara kebudayaan Kristen Barat dengan kebudayaan Islam. Hal ini disebabkan karena jangkauan universal di antara keduanya. Ada beberapa alasan: pertama, perbedaan kebudayaan memasuki ranah mendasar. Kedua, kenyataan dunia semakin menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda peradaban menjadi semakin meningkat. Misalnya dalam kasus imigrasi orang Islam ke Perancis banyak ditentang sedangkan imigran dari Polandia tidak demikian. Ketiga, ketika dunia global terjadi, maka identitas sebagai negara bangsa menjadi semakin melemah, sebaliknya identitas keberagamaan menjadi semakin meningkat, misalnya gerakan-gerakan fundamentalisme. Keempat, superioritas peradaban Barat yang dominan akan memunculkan resistensi dan perlawanan, sehingga muncul gerakan dewesternisasi dan indigenisasi.
Memang harus diakui bahwa hingga dewasa ini, Barat tidak pernah berhenti dengan proyek-proyeknya untuk universalisasi dunia dengan Barat sebagai pimpinannya, secara lebih khusus Amerika Serikat. Grand strategy yang diterapkan hingga sekarang melalui berbagai penciptaan kawasan perang di mana-mana, mulai dari Eropa Timur, Afrika Tengah, Timur Tengah dan sebagainya, hakikatnya adalah penguasaan sekurang-kurangnya hegemoni baik secara politik, ekonomi dan budaya. Secara ekonomi, mungkin tantangan dari negara lain di Asia, seperti Jepang, Korea dan CIna cukup signifikan dalam kerangka membangun resistensi, akan tetapi secara politik dan bahkan kebudayaan, hegemoni Barat terhadap negara-negara Asia, Afrika dan sebagainya tampak sekali gaungnya. Secara politik banyak negara yang sangat tergantung kepada Amerika, sedangkan hegemoni budaya yang dilakukan Barat, sungguh telah memasuki jantung budaya negara-negara berkembang. Bahkan negara Timur Tengah sekalipun.
Pluralisme dan Resolusi Konflik
Akhir-akhir ini ada kecenderungan kuat untuk mengedepankan pluralisme sebagai salah satu alternatif menangkal terhadap gerakan-gerakan fundamentalisme dan pandangan sempit tentang agama. Ada kecenderungan baru di berbagai agama untuk mengangkat isu-isu pluralisme sebagai hal penting dan mendasar agar masyarakat dapat hidup berdampingan di tengah perbedaan faham keagamaan, etnis, bahasa, dan budaya diminimalkan sehingga akan terjadi keselarasan, keharmonisan tanpa menghilangkan dinamika perubahan.
Terlepas dari berbagai pesimisme di dalam menghadapi berbagai proyek “universalisme” Barat yang didorong oleh elit penguasa di negara-negara Barat terhadap negara-negara non Barat, tetapi di kalangan masyarakat sesungguhnya ada kerinduan menggalang kerukunan, harmoni dan keselarasan di tengah meruyaknya berbagai pertentangan dan konflik yang dipicu oleh penguasa. Dengan mengambil contoh di negara Amerika yang paradoksal sementara penguasanya gerah untuk menguasai negara lain, dan masyarakatnya yang cenderung ingin kedamaian maka gerakan-gerakan keagamaan yang plural telah sedemikian kuat merasuk di kalangan pemimpin agama dan penganut agama itu.
Dalam reportase yang dilakukan oleh Diana L. Eck di dalam tulisannya yang bertema “A New Religious America: How A Christian Country has Become the World’s Most Religiousy diverse Nation”, diketengahkan bahwa telah terjadi perubahan mendasar terkait dengan kehidupan keagamaan di Amerika Serikat. Di dalam tulisan ini dipaparkan tentang sikap dan tindakan pemimpin agama, seperti Dr. Ratanasara, yang menyarankan agar imigran Budha mengambil bagian dari masyarakat Amerika dan menyumbang budaya Amerika. Di dalam memahami thankgiving, dia menyatakan “This is not religious holydays regardless of their own personal beliefs”, dia juga menyarankan kepada komunitasnya untuk mengambil bagian dari perayaan kelahiran Kristus sebagai hari kedamaian dan saling menukar cendera mata. Bahkan faksi- faksi di dalam Islam Amerika juga telah saling mengambil bagian dalam kemenyatuan Islam, sehingga Farakhan pun harus mengambil jalan militancy atau moderate. Ternyata pilihan Farakhan adalah moderat. Sehingga gerakan-gerakan keagamaan yang berbasis etinis Afrika- Amerika dengan lainnya juga lebih moderat. Perkembangan ini tentunya disemangati oleh semakin kuatnya gerakan pluralisme di Amerika terutama yang berbasis pada persoalan etnis dan agama.
Di Amerika semenjak tahun 1993, juga telah berkembang kegiatan-kegiatan dialog antar umat beragama. Di sana muncul America’s Interfaith Movement. Gerakan baru ini sebenarnya adalah respon terhadap suatu kenyataan bahwa di Amerika tidak lagi hanya ada satu agama, tetapi telah berkembang secara pesat agama baru. Populasi ummat Islam sekarang telah mencapai enam juta lebih, demikian juga pemeluk agama-agama lain. Apapun namanya, maka kenyataan ini akan mengharuskan adanya pilihan untuk melakukan dialog tersebut. Dialog ini adalah bangunan jembatan ke arah terbentuknya A Multireligious America. Suatu kenyataan bahwa di Amerika antara orang Muslim dan Methodis saling bertetangga, mereka juga menggalang proklamasi dan parade tentang agama baru Amerika, membentuk parlemen agama serta partisipasi di dalam kehidupan publik. Dialog antar umat beragama, hakikatnya adalah mendialogkan “kepentingan” manusia dan bukan kepentingan agama. Jika kepentingan agama yang dipentingkan maka batas-batas dialog akan menjadi kabur. Sebab, yang mengemuka adalah respon kuat di lini teologis dan ritual. Jika yang mengedepan adalah “kepentingan” manusia dan sesamanya, maka yang terjadi adalah pengisian ruang humanitas yang selayaknya dijunjung tinggi. Jadi, batas dialog adalah problem kemanusiaan, dengan doktrin “keselamatan untuk semua.”
Keinginan untuk menemukan dunia agama yang semakin hilang di dunia sekularisme, modernisme dan pasca modernism juga tampak misalnya dari gerakan-gerakan civil religion di belahan dunia Barat, khususnya Amerika. Sebagaimana catatan Robert N. Bellah, bahwa di Amerika sedang berkembang gerakan civil religion dengan ciri-ciri adanya kepercayaan kepada Tuhan, pahala, dan siksa, hari akhir, takdir baik dan buruk dan manusia harus berbuat baik. Dengan mengambil contoh pidato Kennedy dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden Amerika pada 20 Januari 1961 dan tema-tema pidato presiden sebelum dan sesudahnya, maka konsep Tuhan itu sama sekali tidak mengacu kepada agama apa pun, sehingga bisa diterima oleh semua orang. Di dalam kata pengantar untuk buku ini, Olaf Schumann menyatakan bahwa tesis Bellah ternyata relevan untuk melihat wacana civil religion di Indonesia. Pancasila yang seharusnya bisa menjadi civil reigion di Indonesia atau etiak sosial, namun demikian di masa Orde Baru justru dianggaplah bahwa Pancasila menjadi satu-satunya sumber bagi etika sosial dan penghasil simbol-simbol keagamaan, kenegaraan, dan kemasyarakatan, pada hal seharusnya civil religion atau Pancasila memerlukan agama-agama yang lain yang hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai sumber substansi dan isi kepercayaan dan pedoman perilaku. Jadi civil religion bukan super religion atau bisa menjadi saingan bagi agama-agama yang sudah ada, melainkan secara substansial. Ia hidup dari agama-agama itu dan nilai dihasilkannya dapat menjadi pedoman untuk merajut kehidupan bersama.
Di tengah suasana merebaknya wacana dan aksi tentang radikalisme, fundamentalisme yang berseberangan dengan sekularisme atau modernism, maka memunculkan berbagai wacana dan gerakan keagamaan yang menekankan pluralisme dan resolusi konflik, salah satunya adalah pemahaman tentang agama dan lintas budaya, yang sesungguhnya memiliki misi agar mereka yang terlibat di dalamnya memiliki kemampuan untuk merumuskan dan menyelesaikan masalah-masalah agama berdasarkan kerangka kerja dan penalaran yang memadai atas dasar pemahamannya tentang agama dan lintas budaya. Misi ini dirasa penting mengingat bahwa bahwa di tengah semaraknya etnosentrisme yang disebabkan oleh etnisitas, agama, politik dan budaya, maka hakikatnya masih ada yang dapat menjadi pedoman bersama yakni agama dan lintas budaya tersebut.
Dengan memahami adanya pola bagi tindakan yang bersumber dari agama yang “universal tetapi mendasar” yang telah mengejawantahkan dalam lintas budaya, maka konflik yang difasilitasi oleh etnosentrisme tersebut akan menjadi minimal. Itula sekurang-kurangnya pesan kajian agama dan lintas budaya.