• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

RITUAL PUASA BAGI MANUSIA (1):

RITUAL PUASA BAGI MANUSIA (1):

Perspektif Sosiologi

 

Sudah banyak yang mengkaji dan menjelaskan puasa dari perspektif ajaran teologis, dan fiqh. Tulisan ini secara sengaja untuk menjelaskan puasa dari perspektif sosiologis. Mungkin ada yang menganggap bahwa ini hanyalah analisis gotak gatik gathuk atau sengaja mencocokkan terhadap hal-hal yang “barangkali” kurang atau bahkan tidak relevan.

Namun demikian, saya berkeyakinan bahwa puasa sebagai bentuk ritual tentu bisa didekati dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, misalnya asumsi keteraturan sosial, integrasi sosial, konsepsi yang sakral Durkheim, teori fungsional Parson, teori Malinowsky atau bahkan teori agensinya Giddens. Juga bisa dianalisis dengan teori-teori makna, sebagaimana yang dikembangkan oleh Weber, Schultz, Berger, Habermas, dan sebagainya. Tentu tidak sebagaimana kajian yang canggih untuk menggunakan perspektif teori-teori ini, akan tetapi saya berusaha untuk menggunakan proposisi umum yang bisa dijadikan sebagai perspektif melihat ritual puasa.

Puasa merupakan performance ritual di dalam Islam yang setiap tahun dilakukan oleh umat Islam seluruh dunia yang merupakan bagian dari ketaatan atau kepatuhan manusia atas keyakinannya tentang kebenaran ajaran Islam. Umat Islam selalu menyambut dengan suka cita kehadiran bulan puasa, sebagaimana yang bisa diamati di dalam kehidupan sosial.

Umat Islam menyambut puasa dengan gegap gempita, dengan segenap jiwa dan raganya, dengan keikhlasan dan kepasrahannya bahwa bulan puasa merupakan bulan suci yang bahkan dalam bulan sebelumnya selalu berdoa agar dipertemukan kembali dengan bulan puasa. Pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban umat Islam di masjid atau mushalla atau rumah mereka masing-masing sudah berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan bulan istimewa, Bulan Ramadlan.

Hal ini menjadi penanda betapa keyakinan tentang bulan puasa sebagai bulan istimewa sudah terpateri di dalam mind set dan cultural set umat Islam di seluruh dunia. Internalisasi ajaran Islam yang sedemikian mendalam menjadi bukti betapa ajaran puasa sudah menjadi bagian dari pemikiran dan tindakan umat Islam tersebut.

Setiap agama memiliki ajaran tentang puasa. Makanya di dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa puasa merupakan ajaran agama-agama. Agama Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha dan lainnya juga memiliki konsepsi tentang puasa. Bahkan agama-agama lokal juga mengenal ajaran puasa yang di masa lalu telah dijadikan sebagai bagian dari ajarannya.

Di dalam Islam, puasa itu digambarkan dengan perilaku tidak makan, minum dan relasi seksual di siang hari dan juga perbuatan lain yang bisa membatalkan atau mengurangi pahala puasa. Misalnya menggunjing, berbicara kasar dan menyakitkan orang lain, berkeluh kesah tentang kehidupan, dan lain-lain yang tentu menjadi pengurang terhadap kesempurnaan dan pahala puasa.

Puasa memiliki tingkatan tipologis yaitu puasa kategori orang awam, adalah puasa yang dilakukan hanya dengan mematuhi larangan fisikal belaka, tidak memasuki larangan-larangan lainnya yang lebih luas. Seseorang hanya tidak makan, minum dan hubungan seksual di siang hari saja sedangkan larangan lainnya seperti menggunjing, berkeluh kesah dan lainnya sama sekali tidak diperhatikan atau tetap dilakukan. Puasa yang dilakukan dengan cara seperti ini disebut hanya memperoleh lapar dan dahaga. Memang sudah menggugurkan kewajiban, namun tidak memiliki pahala puasa secara optimal.

Lalu, puasa yang ditipologikan sebagai puasa orang ‘alim adalah puasa yang dilakukan oleh seseorang yang sudah memasuki suasana puasa dengan meninggalkan larangan fisik dan non-fisik lainnya. Puasanya benar-benar digunakan sebagai sarana untuk tidak melakukan seluruh larangan yang membatalkan puasa atau merusak pahala puasa, bahkan diisi puasanya dengan perbuatan baik, seperti tadarrus, berderma, shalat tarawih dan shalat witir dan semuanya ditujukan untuk melipatgandakan pahala dari Allah swt.

Kemudian, puasa yang ditipologikan sebagai puasanya ahli taqarrub, adalah puasa yang dilakukan dengan tingkatan satu dan dua dan ditambah dengan upaya untuk taqarrub kepada Allah melalui serangkaian dzikir dan wirid yang dilakukan secara terus menerus. Puasa yang begini disebut sebagai puasanya orang-orang yang rindu kepada Allah. Puasa baginya merupakan cara efektif untuk meminta keridlaan Allah dan bukan lainnya. Jika Allah sudah ridla maka segala yang diterimanya merupakan kenikmatan yang tiada taranya. Yang ada hanya kepasrahan dan kesyukuran kepada Allah azza wa jalla.

Kita tentu bisa memilah diri kita sampai di mana di dalam tingkatan puasa dimaksud. Dan yang perlu dipikirkan dan diupayakan adalah bagaimana puasa yang kita lakukan setiap tahun itu meningkat kategorinya dari satu menuju ke dua dan akhirnya sampai tangga yang ketiga.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MEMOTONG JALUR BANK TITIL

MEMOTONG JALUR BANK TITIL:

Studi Historis tahun 1990-an


 

Nur Syam

 

Pengantar

Bank Titil, istilah yang digunakan oleh masyarakat pedesaan untuk menyebut sebuah kegiatan usaha di dalam bidang keuangan, proses kerjanya ialah debitornya mendatangi kreditor dari rumah ke rumah untuk meminjamkan uang dalam jumlah tertentu. Sebenarnya kegiatan peminjaman uang ini dilakukan secara sukarela, artinya pihak kreditor menyadari sepenuhnya bahwa tanggungan pengembalian uang tersebut memberatkan bagi dirinya. Akan tetapi faktor keterjepitan menyebabkan mereka meminjam uang di Bank Titil tersebut, meskipun hal itu memberatkannya.

Ada beberapa hal yang menyebabkan masyarakat pedesaan lebih suka meminjam uang di Bank Titil ketimbang di Lembaga Keuangan pemerintah, misalnya Bank Rakyat Indonesia, BNI atau bahkan program KUKESRA dan TAKESRA. Jika pinjam di BRI atau BNI, maka jumlah peminjaman mestilah dalam jumlah yang relative besar. Sedangkan di Takesra atau Kukesra mensyaratkan untuk kegiatan usaha. Maka ketika mereka membutuhkan uang cash dalam jumlah yang kecil, RP.100.000,- sampai Rp.200.000,- jalan mudah yang ditempuh ialah dengan meminjam di Bank Titil. Faktor yang menarik minat mereka untuk meminjam di Bank Titil. Faktor yang menarik minat mereka meminjam di Bank Titil tersebut ialah: pertama, kemudahan administrasi. Bank Titil tidak mensyaratkan berbagai macam tetek bengek administrasi. Artinya seorang kreditor cukup menunjukkan tempat tinggalnya, maka proses peminjaman dapat dilaksanakan. Kedua, para debitornya yang datang, sehingga tidak ada kesulitan di dalam hal transportasi. Cukup menunggu jam berapa petugas Bank Titil tersebut lewat dan sesegera setelah datang, maka proses peminjaman dapat dilaksanakan. Ketiga, pelayanan yang cepat. Dalam hal ini, petugas Bank Titil tidak mempersulit orang yang pinjam uang. Begitu ada orang yang akan pinjam sesegera mungkin dilayani. Keempat, dapat memenuhi kebutuhan sesaat. Misalnya mereka membutuhkan uang untuk kepentingan buwuhan atau kendurian dengan jumlah uang tidak besar, maka mereka dapat memenuhinya dengan meminjam uang di Bank Titil.

Berangkat dari kemudahan tersebut, maka jumlah pengambilan berapapunn tidak dipikirkan, sebab yang penting bahwa penutupan kebutuhan sesaat tersebut terlampaui. Inilah sebabnya, memberantas Bank Titil tak mudah. Bahkan usaha pemerintah lewat paket-paket kredit, semisal Kukesra dan Takesra, bahkanjuga insentipp uang lewat ekonomi desa (UED) juga tak mampu membendung lanjutan kegiatan Bank Titil.

 

Desa Sembungrejo : Kemiskinan da Keterbelakangan

Desa Sambungrejo, kecamatan Marakurak Kabupaten Tuban merupakan desa IDT. Akan tetapi sampai program desa IDT tersebut dihapuskan, desa ini tak mendapatkan status sebagai “daerah” IDT tersebut. Padahal, desa-desa lain yang kondisi kehidupan masyarakatnya relative lebih baik ternyata mendapatkannya. Misalkan desa Pongpongan, Sumberjo dan sebagainya.

Desa ini realtif habis sumber ekonomi pertaniannya disebabkan sebagian besar tanah milik penduduk sawah dan ladang telah dibeli pabrik Semen tahun 1990 yang lalu dengan harga yang sangat murah. Untuk tanah sawah yang produktif dan panen sekali padi, sekali kacang dibeli dengan harga Rp.1500,00 sedangkan tanah tegalan hanya Rp. 650,00 sampai Rp.850,00 per meter persegi. Padahal hingga sekarang, kebanyakan mereka tidak dapat alih profesi ke sektor lain karena keterbatasan keterampilan. Untunglah bahwa mereka bisa membuka lahan hutan untuk kegiatan pertaniannya. Mereka menyebut lahan persil. Padahal, lahan itupun sudah dibeli pabrik Semen. Jadi beberapa tahun lagi mereka benar-benar tak akan memiliki lahan pertanian yang bisa dikerjakannya.

Sebagai daerah penduduk miskin, maka dapat dilihat dari fakta luarnya dengan indicator kepemilikian rumah, kepemilikan lahan pertanian dan penghasilan yang relative kecil. Banyak rumah penduduk yang terdiri dari atap genting, dinding sesek (terbuat dari bambu) dan berlantai tanah. Selain itu kebanyakan penduduk juga tidak memilki lahan atau sumber ekonomi dan penghasilannya juga relative kecil, misalnya hanya mendapatkan uang Rp.6.000,- per hari, dengan jumlah tanggungan keluarga sebanyak 3-4 orang. Jika menggunakan ukuran kemiskinan sebagaimana yang diungkapkan oleh para ahli, maka kelihatan bahwa income perkapitanya ialah kurang dari 180 kg. per orang.

Dilihat dari sisi keberagamaannya menunjukkan bahwa di desa ini relatif “baik”. Institusi keberagamaan relative telah tersedia. Misalnya masjid, mushalla, pesantren dan jami’iyah yasinan, tahlilan dan jami’iyah Nahdhotul Ulama (NU). Institusi ini memiliki aktivitasnya masing-masing sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun demikian pengalaman beragamanya belum maksimal, terutama di kalangan orang tua, kira-kira haya 30%. Sedangkan yang cukup menggembirakan karena generasi mudanya hampir 80% telah menjadi “keluarga” masjidan. Demikian pula untuk kelompok anak-anak.

Di antara tradisi keislaman yang kiranya memerlukan reorientasi ialah tradisi kematian. Di sini ada suasana “materialisasi” upacara kematian. Artinya upacara kematian terjadi “barang” mahal karena ukurannya ialah seberapa besar uang yang dikeluarkan untuk biaya kematian. Ada sebuah kelakar “jika da keluarga yang meninggal lalu ada yang menangis, hal itu bukan menangisi keluarganya yang meninggal, akan tetapi menangisi berapa banyaknya uang yang harus dikeluarkan”. Sayangnya memotong tradisi ini bukan hal yang mudah.

Namun demikian, seirama dengan semakin banyaknya penyiaran agama yang dilakukan oleh tokoh agama, maka pengalaman keagamaan, seperti shalat, puasa dan amalan ibadah yang lain cenderung meningkat, meskipun agak sulit dikuantifikasikan.

 

Jam’iyah Tahlilan : Sebuah Organisasi Non Formal

Organisasi ini semula hanyalah merupakan wadah perkumpulan ibu-ibu untuk aktifitas arisan yang terkoordinasikan dan didirikan pada tanggal 12 Nopember 1993. Organisasi ini mula-mula didirikan dengan tujuan agar ibu-ibu warga Sembungrejo memiliki perkumpulan yang relative mantap sebagai sarana untuk menampung ibu -ibu yang menginginkan kegiatan arisan, sebagai sarana untuk menabung bagi ibu-ibu di desa tersebut. Kegiatan ini berlangsung pada hari Kamis dan Jum’at karena sekaligus diadakan kegiatan tahlilan dan yasinan.

Semula kegiatan ini hanya diikuti 98 orang. Mereka kebanyakan orang-prang yang sudah bisa membaca Al-Qur’an dan sebagian lainnya belum bisa membaca Al-Qur’an. Bahkan ada di antara mereka mengikuti kegiatan arisan saja, sehingga niat mengikuti tradisi keagamaan belumlah menjadi bagian penting dari kehidupannya. Memang, sedari awal sudah dinyatakan bahwa di dalam perkumpulan ini, para anggota diperkenankan untuk meminjam uang dalam jumlah yang diperkenankan atau sesuai dengan kemampuan perkumpulan. Inilah barangkali daya tarik pada tahap awal sehingga mereka tertarik menjadi anggota.

Karena perkumpulan ini didesain sebagai sebuah perkumpulan arisan yang bermuatan kegiatan keagamaan, maka penerimaan anggota sangat tergantung pada selesainya kegiatan arisan dan dimulainya kegiatan baru. Dengan demikian, jumlah anggota yang sebanyak 98 orang tersebut bertahan selama 2 tahun. Hal ini disebabkan arisan dilakukan satu minggu sekali sehingga untuk 98 anggota memerlukan waktu 98 minggu. Pada pembukaan tahap kedua, terdapat kenaikan anggota menjadi 224 orang. atau kenaikan sebesar 228,57%. Sungguh hal yang fantastis. Kenaikan jumlah ini disebabkan oleh beberapa faktor: Pertama, pembagian sisa hasil usaha (SHU) yang selama ini tak pernah dikenalnya, Kedua, kepercayaan para anggota terhadap mekanisme kerja pengelola. Ketiga, ketegasan dan kejujuran pengelola. Di dalam kenyataannya, pengelola sangat transparan dalam hal keuangan dan pembukuan, sehingga tidak ada kemungkinan penyalahgunaan keuangan perkumpulan. Melalui faktor internal dan eksternal ini ternyata perkumpulan relative menjadi tumpuan warga masyarakat untuk berorganisasi.

Organisasi ini cukup ramping. Hanya diorganisir oleh 12 orang. seorang ketua, sekretaris, bendahara dan sembilan orang coordinator. Masing-masing koordinator membawahi 25 orang. Pembagian kerja cukup luas, ketua bertanggungjawab terhadap seluruh aktivitas perkumpulan, sekretaris bertanggungjawab terhadap mekanisme pencatatan keuangan dan aktivitas dan bendahara bertanggungjawab terhadap mekanisme keluar masuknya uang dan coordinator bertanggungjawab terhadap penarikan uang dari masing-masing koordinatornya.

Perkumpulan ini telah berkembang sedemikian rupa. Jika tahap awalnya hanya kegiatan arisan dan tahlilan, maka sekarang telah ada kegiatan yasinan, takhtimul Qur’an dan pengumpulan dana fida’an bahkan juga kegiatan jual beli barang-barang kebutuhan rumah tangga. Jika pada tahap awalnya hanya bisa meminjamkan uang sebesar kurang dari seratus ribu rupiah, maka sekarang sudah bisa meminjamkan uang dalam jumlah lebih dari dua juta rupiah per minggu.

 

Proses Community Development

Untuk melihat perkembangan perkumpulan ini, maka akan digunakan alat analisis community development atau analisis pengembangan masyarakat, Konsep pengembangan masyarakat banyak digunakan untuk melihat dinamika perubahan sosial dalam skala kecil yang tumbuh dari bawah atau dalam teori-teori pembangunan disebut bottom up planning. Kata kunci perencaanaan dari bawah ialah partisipasi atau keterlibatan semua pihak.

Aktivitas perkumpulan ini dapat dilihat dari proses pengembangan masyarakat sebagai berikut: Pertama, adanya orang yang memiliki kesadaran akan pentingnya perubahan. di dalam konteks ini ada beberapa orang yang memiliki kesadaran untuk mengubah tradisi masyarakat setempat ialah kecenderungan berhutang di Bank Titil. Bedasarkan pengalaman, bahwa setiap hari ada petugas Bank Titil yang lalu lalang menagih dan menghutangkan uang. Padahal pengembaliannya sangat memberatkan masyarakat. Jika orang hutang sebesar Rp. 100.000,- maka dia hanya menerima Rp.90.000,- sebab yang Rp. 10.000,- untuk biaya administrasi dan dipotong lagi Rp. 2.000,- untuk tabungan. Padahal pengembaliannya sebesar Rp.4.000,- perhari selama satu bulan. Sehingga jumlah pengembaliannya sebesar Rp.120.000,- . Dari pengamatan tersebut, kemudian dipikirkanlah bagaimana solusi untuk menjawabnya.

Kedua, mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat. Dari pertemuan ini diperoleh kesimpulan bahwa diperlukan suatu wadah yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengerem laju operasional Bank Titil tersebut. Problem utama ialah ketiadaan dana yang dapat dijadikan sebagai modal awal untuk dipinjamkan. Dari berbagai pemikiran yang muncul dapat disimpulkan bahwa mereka akan mendirikan arisan, di mana setiap anggota diwajibkan untuk menyetor uang simpanan wajib dan uang pertama arisan untuk modal kegiatan simpan pinjam. Problem interpretasi keagamaan pun muncul, yaitu boleh tidaknya membungakan uang. Simpan pinjam tersebut menggunakan sistem “bunga”. Dari berbagai pembicaraan, akhirnya disepakati diperbolehkan karena bukan untuk kepentingan individual tetapi untuk kepentingan kelompok. Apalagi biasa hasil usaha tersebut akan dibagi untuk semua anggota atau pembagian sisa hasil usaha (SHU).

Ketiga, melakukan analisis kebutuhan dan sistuasi sosial. Analisisi kebutuhan sebenarnya dilakukan dalam rangka memantapkan berbagai rancangan kasar mengenai program apa yang akan dilakukan setelah melakukan pengamatan terhadap masalah yang menghimpit. Dari tahapan ini diperoleh kesimpulan bahwa ada kecenderungan kuat dari masyarakat di desa ini untuk berhutang ke Bank titil meskipun dengan tehnik pengembalian yang menjerat. Oleh karena itu, melalui berbagai wawancara dengan anggota masyarakat setempat diperoleh kesimpulan bahwa mereka suka kalau diadakan kegiatan simpan pinjam uang denga nada muatan keagamaannya. Melalui kespakatan antara tokoh masyarakat dan warga masyarakat tersebut maka didirikanlah perkumpulan yang mereka lakukan sendiri tanpa intervensi siapapun. Program ini benar-benar self help, karena tidak pernah mendapatkan dana bantuan dari siapapun.

  1. Kegiatan simpan pinjam.

Kegiatan ini diawali dengan pengumpulan uang simpanan wajib dan uang tarikan arisan pertama untuk dana operasional, pada tahap awal diperoleh dana sebesar Rp. 196.000,- dan dihutangkan kepada anggota dengan tekhnik, jika hutang Rp.10.000,- maka pengembaliannya sebesar Rp.12.000,- selama puluhan minggu atau 70 hari. Bandingkan dengan Bank Titil dalam jumlah pengembalian sama akan tetapi dengan waktu yang relative lebih pendek, 30 hari ditambah dengan potongan Rp.1000.- per Rp.10.000,- dan uang simpanan Rp.200,00. Dengan demikian, jika di Jam’iyah ini mereka menerima uang sebesar yang dihutang, sedangkan di Bank Titil hanya menerima Rp. 8.800,- per hutang Rp.10.000,-. Memang jumlah pengembalian di sini relatir besar, akan tetapi mengingat bahwa SHU menjadi miliknya maka jumlah tersebut terasa relistis. Bukankah hasilnya nanti untuk mereka juga.

  1. Membangun kepercayaan.

Proses membangun kepercayaan adalah proses yang sangat sulit. Di dalam hal ini, maka langkah yang digunakan ialah transparansi dan penjelasan keagamaan. Misalnya dalam ceramah agama selalu ditekankan bahwa jika ada pengurus yang menggunakan uang organisasi untuk kepentingan pribadi seilahkan nanti pahala orang tersebut diambil oleh anggota di akhirat. Sebagai akibatnya telah mereka menikmati hasil usahanya yang pada tahap awal sebesar Rp. 50.000,- per anggota dan pakaian seragam, maka kepercayaa menjadi sangat besar. Bila dibayangkan menjadi sangat besar. Bila dibayangkan dari hanya 98 anggota menjadi 224 anggota. Bisa dimengerti bahwa mereka hanya menyimpan uang Rp.2.000,- (uang simpanan wajib Rp.1000,- dan tarikan pertama Rp.1.000,- maka mereka menerima SHU sebesar itu.

  1. Mengembangkan usaha.

Kegiatan simpan pinjam ini telah berhasil mengembangkan usahanya sedemikian rupa. Jika pada tahap awal hanya mampu kredit sebesar kurang dari Rp. 500.000,- maka sekarang telah berhasil memberikan kredit sebesar Rp. 1000.000,- bahkan sampai Rp.2.000.000,- Gambaran positif kredit yang dapat disalurkan per minggu ialah sebagai berikut : tanggal 25-11-1999 jumlah uang yang dihutangkan sebanyak Rp. 1.475.000,-. Tanggal 2-12-1999 jumlah uang yang dihutangkan sebanyak Rp. 1.675.000. Tanggal 10-12-1999 jumlah uang yang dihutangkan sebesar Rp.2.485.000,- dan tanggal 17-12-1999 yang dihutangkan sejumlah Rp. 1.570.000,-. Gambaran selain ini menunjukkan bahwa ushaha tersebut telah berhasil menekan laju Bank Titil yang selama itu telah menjadi bagian kehidupan masyarakat.

  1. Mengembangkan variasi usaha.

Sekarang usahanya tidak hanya arisan dan simpan pinjam. Akan tetapi telah merambah kepada melayani pesanan barang-barang kebutuhan rumah tangga dengan pola pembayaran angsuran. Modalnya diambilkan dari uang simpan pinjam dan nanti kembali ke masyarakat. Bahkan kalau ada orang yang punya hajad juga bisa meminjam uang maksimal Rp.1.000.000,- dna dikemballikan setelha hajatnya selesai. Kepada mereka dimintai uang sumbangan seikhlasnya bagi Jami’iyah. Selan itu, Jami’iyah ini juga mengembalikan arisan lain yang ditempatkan pada hari Minggu. Dengan demikian kalau hari Kamis malam Jum’at ada kegiatan tahlilan, yasinan dan ceramah agama, maka untuk yang hari Minggu khusus arisan.

  1. Membangun Keterbukaan.

Uang usaha tersebut diatur sedemikian transparan sehingga semua anggota bisa mengakses pembukuannya. Bagi yang merasa ada kekurang cocokan “perasaan” pembayaran dengan kenyataannya, maka dapat mengeceknya di pembukuan secara langsung. Melalui teknis seperti ini, maka kecurigaan penggunaan uang atau ketidak beresan pembukuan tidak didapatkan lagi.

  1. Memberi pelayanan.

Pada prinsipnya, unsur yang penting ialah memberi pelayanan kepada masyarakat, di dalam hal ini, semua unsur pengurus oragnisasi terlibat secara aktif da tidak berharap balsan yang bersifat duniawi, meskipun pada tahap akhir imbalan tersebut mungkin diperolehnya.

  1. Melakukan evaluasi.

Dari berbagai kritik dan saran yang diberikan oleh anggota, apakah langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung ialah melalu forum kegiatan arisan atau lainnya, sedangkan yang tidak langsung ialah melalui oembicaraan dari individu ke individu lainnya.

Keempat, membina hubungan baik dan tanggung jawab sehingga memunculkan kesadaran kegiatan tersebut sebagai milik mereka sendiri. Berdasarkan pengamatan lapangan, bisa dijumpai sutau kenyataan bahwa terdapat tanggungjawab dari semua komponen untuk melestarikan kegiatan ini. Terbukti bahwa mereka membayar hutang relative tepat pada waktunya. Kalaupun ada yang tidak mampu membayar ternyata proses pembayarannya tidak melebihi batas toleransi 13 kali pembayaran.

 

Catatan Akhir

Dari pemaparan di atas, ada beberapa hal yang patut diperhatikan terkait dengan pelaksanaan kegiatan simpan pinjam ini. Pertama, simpan pinjam ini merupakan kegiatan solutif sehingga aktifitasnya mampu bertahan. Secara teoritik, sebuah institusi akan langgeng, manakala institusi tersebut dibutuhkan oleh masyarakat. Kedua, melalui kegiatan ini, telah ada perubahan di kalangan ibu-ibu yaitu adanya kecenderungan menggunakan atribut pakaian keislaman kalau pergi ke luar desa. Kerudung adalah ciri khas yang sekarang mengedepankan. Demikian juga jumlah ibu-ibu melakukan shalat. Ini memang masih merupakan pengamatan awal. Ketiga, mengingat usaha ini sudah relative jalan, maka kiranya diperlukan satu tempat permanen (kantor) sehingga kegiatan simpan pinjam tidak hanya dilakukan sekali seminggu akan tetapi dapat dilakukan transaksi sesuai dengan kepentingan keuangan yang mendadak dari anggota. Sekarang ini kegiatan simpan pinjam dibersamakan dengan kegiatan tahlilan atau yasinan yang tempatnya berpindah-pindah dari rumah anggota. Sedangkan arisan hari Minggu ditempatkannya di rumah ketuanya. Keempat, jika modal usaha selain SHU relative sudah banyak, maka perlu, dilakukan penurunan jumlah pengembalian uang dari 20% menjadi 10%. Sehingga misi menolong dan berusaha akan seimbang. Sekarang ini misi menjadi usahanya kelihatan lebih besar ketimbang misi menolongnya.

Dengan demikian, sebuah kegiatan yang dirancang melalui partisipasi masyarakat sedikit atau banyak akan membawa kemanfaatan bagi diri mereka sendiri. Usaha ini memang berada dalam kasus khusus, sehingga kemungkinan penerapan di tempat lain sangat tergantung kepada kesamaan ciri khas yang dimilikinya. Namun demikian, pengalaman ini menorehkan suatu harapan bahwa sebuah institusi yang dibangun di atas kepentingan bersama akan cenderung dianggap sebagai milik mereka sendiri, sehingga kecenderungan untuk mengembangkannya tidak hanya dirasakan oleh pengurusnya akan tetapi oleh semua anggota.

 

SILATURRAHIM VIRTUAL DI ERA COVID-19

Tidak hanya pembatasan manusia harus berada di dalam rumah di era covid-19 akan tetapi juga membatasi relasi antar manusia. Yang tidak dibatasi hanya orang pergi ke rumah sakit atau klinik untuk periksa kesehatan, pergi ke rumah makan atau warung untuk membeli makanan, ke mall yang khusus untuk pemenuhan kebutuhan kehidupan, ke apotik untuk membeli obat dan ke POM bensin untuk mengisi bahan bakar kendaraan. Saya kira yang lain dibatasi.

Di era ini, kendaraan pun harus mengangkut orang setengah dari biasanya. Bus, metro mini, kereta api, pesawat dan sebagainya harus diisi penumpang separoh kapasitasnya. Memasuki mall juga dibatasi maksimal 20 orang dengan menggunakan kartu antrian, dan sebelum memasuki ruang dalamnya harus test suhu tubuh dan mencuci tangan dengan disinfectant, dilarang berboncengan di kendaraan sepeda motor.

Bahkan jika seseorang memaksa mudik akan didenda Rp100 juta, dan berdasarkan informasi (JP/25/04/20), bahwa terdapat sebanyak 1181 mobil yang berusaha menerobos untuk mudik ke luar Jakarta lalu harus balik ke Jakarta lagi. Semua ini dilakukan di dalam kerangka untuk menghentikan penyebaran virus corona yang semakin banyak penderitanya di Jakarta, Bandung, dan juga Surabaya.

Saya kira sisi positif keberadaan teknologi informasi di era sekarang adalah sebagai sarana untuk melakukan relasi sosial yang sangat efektif. Melalui Hand Phone android, maka tidak ada lagi jarak antar wilayah, selama di situ ada signal HP maka di situ pula kita bisa melakukan komunikasi dengan efektif. Tidak hanya mendengarkan suara lawan bicara kita, tetapi bisa juga melihat gambar orang yang berkomunikasi tersebut. melalui Whats Up call, maka jarak untuk berkomunikasi tidak menjadi masalah. Melalui teknologi Zoom atau Google Meet, maka kita bisa menyelenggarakan pertemuan dalam jumlah terbatas.

Dalam pekan kemarin, saya bisa melakukan ujian disertasi dengan empat mahasiswa program doktor dari IAIN Jember dengan Prof. Dede Rosyada UIN Jakarta, Prof. Rukmina Gonibala IAIN Menado, Prof. Babun Suharto IAIN Jember, Prof. Khusnur Ridlo IAIN Jember, Prof. Halim Subahar, Prof. Miftah Arifin, Dr. Aminuddin, dan lainnya. Pekan kemarin kami juga bisa meeting dengan Tim PT. Sarana Pembayaran Syariah (SPS) di Jakarta dan juga rapat dengan Tim Penyelesaian Rumah Sakit Haji Jakarta (RSHJ) dengan Prof. Nizar Ali, Plt. Sekjen Kemenag, Prof. Gunaryo, Guru Besar UIN Walisongo Semarang, Dr. Janedjri, Staf Ahli Menteri Bidang Hukum, Ali Irfan, Kabiro Keuangan dan BMN Kemenag dan segenap jajarannya. Semua ini dilakukan melalui penggunaan teknologi informasi. Sungguh dunia bisa dilipat dalam jarak dan waktu.

Pekan sebelumnya juga saya harus menguji disertasi di UIN Sunan Ampel Surabaya, baik untuk kegiatan verifikasi hasil penelitian dan juga ujian tahap tertutup. Juga dilakukan secara daring. Termasuk juga memberi kuliah di kelas manajemen pada FEBI, kelas Agama dan Resolusi Konflik di FISIP maupun kelas Teori Sosial di PPs UIN Sunan Ampel Surabaya. Jadi semua bisa diselesaikan dengan menggunakan aplikasi yang disiapkan untuk kepentingan pembelajaran. Ada satu lagi yang membuat saya bergembira bahwa presensi melalui aplikasi ctrl juga bisa dilakukan. Pada waktu saya di Jakarta saya pernah mengundang Tim PUSTIPEDE UIN Sunan Ampel Surabaya, dan salah satu kritik saya waktu itu adalah bagaimana caranya agar dosen bisa presensi di mana saja. Tidak harus datang ke kantor tetapi bisa absensi di tempat dia sedang beraktifitas, dan semuanya bisa dikonversi menjadi Beban Kerja Dosen (BKD). Sayangnya pada waktu itu belum mampu terjawab. Tetapi bertepatan dengan Work From Home (WFH) dan Learning at Home, maka bersamaan dengan kehadiran covid maka inovasi baru bisa dihadirkan juga.

Seirama dengan larangan untuk mudik sebagai tradisi liminal tahunan menjelang dan sesudah puasa ramadlan, maka yang bisa menjadi harapan untuk menggantikannya adalah silaturrahim virtual. Pemerintah tidak lagi memberikan kelonggaran untuk acara mudik yang telah mentradisi bagi masyarakat Indonesia ini. PSBB yang telah diterapkannya diikuti dengan pengawasan ketat oleh tim Kepolisian dan tim kerja penagnggulangan covid di seluruh Indonesia. tidak hanya di kota tetapi juga di desa-desa secara serentak melakukan pembatasan tersebut. jika ada orang yang sengaja mudik atau pulang dari daerah terpapar, maka harus dikarantina selama 14 hari dengan pengawasan dan pemeriksaan yang ketat dan ditempatkan di tempat yang sudah disediakan. Bisa di Balai Kelurahan atau Balai Desa atau lainnya.

Oleh karena itu kiranya kita tidak perlu nekad untuk silaturrahim dengan cara yang tradisional. Di tengah suasana seperti ini, maka kita bisa menggunakan cara modern sebagaimana yang dilakukan oleh orang modern. Dunia TI sudah tidak lagi menjadi domain orang kota atau orang metropolis, akan tetapi sungguh sudah menjadi domain semua orang.

Kita tentu bersyukur bahwa dunia TI yang memiliki dampak negatif seperti media sosial untuk penyebaran informasi kebohongan publik atau hoaks ternyata bisa diimbangi dengan penggunaan TI untuk kepentingan kebaikan, dan salah satunya adalah menggantikan silaturrahim tradisional dengan sillaturrahim virtual.

Cara ini yang seharusnya digunakan di era sekarang ini. Kita bisa saling melepas rindu, memohon maaf dan juga berkasih sayang.

Wallahu a’lam bi al shawab.

DERITA PARA PEKERJA INFORMAL DI ERA COVID-19

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Kompas 20-21 April 2020 (Kompas, 26/04/2020), diketahui bahwa 15 persen para pekerja pulang kampung karena PHK, 30 persen pulang kampung karena usahanya tutup dan 50 persen dirumahkan tanpa gaji. Sementara itu yang sudah pulang juga mengalami penerapan aturan yang berbeda-beda. Sebanyak 60 persen pemerintah meminta karantina mandiri di rumah, dan 20 persen sudah menyediakan karantina terstruktur. Dan sisanya pemerintah daerah menolak orang yang pulang kampung.

Survey sederhana yang dilakukan oleh Harian Kompas ini memberikan signal bahwa di era Pandemi Covid-19 ini ternyata terdapat kelompok yang sangat rentan secara ekonomi dan berdampak sangat negatif bagi kehidupannya. Mereka ini adalah orang yang paling tidak beruntung di era wabah corona. Mungkin di mata Karl Marx bisa disebut kelas proletariat. Bahkan mungkin sebagian lainnya bisa dikategorikan kaum lumpen proletariat. Mereka ini adalah orang yang secara ekonomi tidak beruntung di desa asalnya, lalu mengadu nasib di ibukota, akan tetapi di Jakarta juga tidak bisa memasuki pekerjaan formal dan rentan PHK jika ada suatu problem perusahaan atau lainnya.

Saya pernah selama tujuh tahun berada di Jakarta, sehingga melalui pengamatan selintas tentu tahu bagaimana kehidupan mereka yang kurang beruntung itu. Mereka yang hidup berhimpitan di dalam kamar-kamar kos bulanan, dengan keluarganya dan hanya bekerja di sektor informal. Ada yang berjualan makanan, ada yang menjajakan minuman di jalan-jalan raya di terik matahari, dan ada yang semalaman bergadang untuk berjualan kopi, yang kala pagi hari selalu lewat di depan tempat tinggal saya. Lalu juga para pengemudi OJOL yang tidak lagi bisa mengangkut penumpang karena larangan berboncengan sepeda motor.

Para pedagang keliling seperti ini pasti menangguk kesulitan di era PSBB, di mana orang harus berada di rumah dan tidak melakukan kontak dengan orang di luar keluarganya. Seluruhnya bersikap self help dan jika memerlukan membeli bahan-bahan makanan pokok, maka mereka yang “kaya” atau “cukup kaya” atau kelas menengah bisa membelinya di mall atau toko-toko yang terbuka untuk penyediaan bahan makanan pokok.

Negara-negara Eropa dan Amerika termasuk juga Australia sudah melakukan pelonggaran pasca melakukan lock down. Di negara-negara ini dilakukan penutupan total terhadap akses relasi antar warga dan hanya diperbolehkan untuk diam di rumah selama masa lock down tersebut. Pemerintah memberikan jaminan kehidupan terhadap mereka yang terkena efek dari penutupan total ini. Dan secara nyata bahwa dengan sistem ini maka pemberhentian penyebaran virus corona bisa dilakukan secara sangat memadai.

Indonesia tidak menerapkan lock down sebagaimana yang ditempuh Cina di Wuhan, pemerintah Italia, Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya dan juga Amerika Serikat. Indonesia menerapkan satu sistem yang disebut sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kiranya seperti lock down tidak sepenuh hati. PSBB memang harus menjadi pilihan pemerintah sebagaimana jalan keluar yang diambil untuk menanggulangi kebutuhan masyarakat terbawah secara ekonomi adalah pemberian Bantuan Sosial langsung, yang jumlahnya sebesar Rp600 ribu. Selain itu juga mengandalkan upaya-upaya masyarakat untuk memberikan bantuan riil berupa bahan pokok seperti beras, minyak goreng, mie instan dan sebagainya. Bantuan ini misalnya diberikan oleh Yayasan Pelangi Hidup Bersama kepada Pemerintah Kota Surabaya. Yayasan dibawah ketua Dr. Muhammad Zakki pimpinan Pondok Pesantren Mukmin Mandiri ini bekerja dengan para pebisnis di Surabaya. Pada pekan ini memberikan bantuan berupa beras 20 ton, dan pekan yang lalu memberikan bantuan berupa Alat Pelindung Diri (APD) untuk tenaga medis yang merawat terhadap para penderita covid-19.

Bagaimanapun tindakan pemerintah untuk melakukan pembatasan sosial harus dianggap sebagai pilihan yang berdasarkan kepentingan sosial pada masyarakat Indonesia. Berdasarkan pengamatan lapangan, terdapat petugas-petugas dari kepolisian dan juga pemda untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lalang kendaraan yang datang dan pergi. Saya yang hari ini (29/04/20) harus pergi ke Gresik untuk belanja beberapa kebutuhan pokok, juga harus mengalami penyemprotan disinfektan di dekat Masjid al Akbar untuk masuk kembali ke Surabaya. Inilah upaya maksimal yang bisa dilakukan pemerintah untuk memotong penularan covid-19.

Hanya yang menjadi bahan pemikiran di antara kita adalah keharusan pemerintah untuk memberikan bantuan yang memadai terhadap para pekerja yang rentan menghadapi deraan ekonomi covid-19. Mereka tidak mampu untuk menghadapinya dengan kemampuan usaha lainnya. Mereka yang di PHK, yang dirumahkan atau yang menutup usahanya adalah yang paling susah menghadapi dampak negatif ekonomi covid-19, karena ketiadaan pekerjaan lain yang harus dipilihnya.

Kelas menengah yang selama ini memiliki akses ekonomi yang cukup baik, maka tentunya memiliki simpanan yang bisa didayagunakan untuk menghadapi kenyataan dampak covid-19 hanya harus mengatur ulang manajemen yang lebih relevan, demikian pula PNS yang selama ini memperoleh ketercukupan dari salary yang didapatkannya. Namun kelas masyarakat yang mengandalkan kerja harian dan upah atau pendapatan harian inilah yang harus menjadi perhatian. Makanya pemerintah harus memiliki data yang akurat untuk kepentingan bantuan sosial, baik yang datang dari anggaran negara atau dana pilantropi yang didapatkannya.

Bagaimana pun negara harus hadir di tengah PSBB yang diterapkannya dalam menanggulangi persebaran covid-19 yang masih belum diketahui kapan akan berakhir.

Wallahu a’lam bi al shawab.

DOMESTIFIKASI IBADAH DALAM BULAN PUASA (2)

Saya berkeyakinan bahwa kebanyakan di antara umat Islam yang melakukan ritual puasa tentu ingin mengekspresikan keberagamaannya di malam hari dengan shalat tarawih berjamaah di masjid atau mushalla. Bagi kaum muslimin, bahwa melakukan shalat tarawih secara berjamaah di ruang publik adalah suatu kebanggan dan sekaligus juga ekpressi keagamaan yang tinggi.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research & Consultant (SMRC) bahwa umat Islam yang tidak setuju untuk menyelenggarakan ibadah di rumah   sebesar 21 persen atau kira-kira 40 juta umat Islam. Hal ini menggambarkan bahwa umat Islam sebenarnya ingin melakukan shalat berjamaah. Meskipun tidak mayoritas akan tetapi dengan jumlah tersebut menggambarkan bahwa umat Islam memiliki komitmen yang tinggi untuk mengekspresikan kebaragamannya.

Hanya sayangnya di era sekrang, khususnya era wbah corona, maka semua aktivitas ekspressi keberagamaan tersebut harus dibatasi dan bukan dikurangi. Pengurangan ruang publik dalam beribadah tersebut tentu didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka mencegah menyebarnya virus covid-19 secara lebih meluas.

Saya diminta oleh Pak kakanwil Kemenag Jawa Timur, Dr. Ahmad Zayadi untuk memberikan taushiyah ramadlan selama tujuh menit (kultum) yang akan diunggah di Youtube. Oleh karena itu tim Humas Kanwil Kemenang datang ke rumah untuk pengambilan gambar secara on the spot. Maka tema yang saya pilih juga terkait dengan upaya pemerintah dalam kerangka menghentikan persebaran virus corona di masyarakat, khususnya masyarakat Islam.

Di dalam kultum itu saya sampaikan dua hal mendasar, yaitu pertama: rasa syukur kita bahwa kita dipertemukan kembali dengan bulan puasa yang sangat dinantikan kehadirannya oleh umat Islam. Bulan puasa merupakan bulan suci yang diagungkan oleh umat Islam karena perintah Allah untuk melakukan puasa dan melipatgandakan pahala bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di dalamnya. Puasa mengandung makna sebagai bulan penuh rahmah, berkah, dan maghfirah. Jika orang berpuasa dengan seganap jiwa dan raganya, tidak hanya sekedar menahan makan, minum dan hubungan seksualitas di waktu siang hari akan tetapi juga mempuasakan spiritualitasnya, maka dia dijanjikan Allah akan diampuni dan dimaafkan segala dosanya. Makanya, kita selalu berdoa: “Allahumma innaka ‘afwun karim tuhibbul a’fwa wa’fu anna ya karim” atau doa “Allahumma inna nas’aluka ridhaka wal jannah wa na’udzubika min sakhatika wan nar”. Dengan terjemahan bebasnya adalah: “Ya Allah Dzat yang Maha pemaaf, Engkau menyukai kemaafan. Oleh karena itu maafkanlah kami, wahai Dzat yang Maha Mulia” atau “ Ya Allah sesungguhnya kami memohon kepadamu akan ridhamu dan surgamu, dan jauhkan kami dari api neraka”.

Kedua, kita sekarang sedang berada di era Pandemi Covid-19. Suatu wabah penyakit yang menjangkiti tidak hanya masyarakat Indonesia akan tetapi seluruh masyarakat dunia. tidak ada satu negarapun yang bebas dari wabah penyakit ini. oleh karena pada momentum bulan ramadlan inilah saatnya kita untuk memohon kepada Allah swt., agar wabah ini segera dihentikan. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, di seluruh jagad raya ini pasti Allah mengetahuinya. Pantaslah di bulan suci ini kita memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah untuk dihentikan bencana ini. kita semua berdoa semoga yang terkena musibah covid-19 segera disembuhkan oleh Allah swt.

Kita diajak oleh Presiden, Bapak Joko Widodo untuk bekerja dari rumah, belajar di rumah, dan ibadah di rumah. Ajakan yang simpatik ini tentu harus kita sambut dengan semangat untuk mencegah persebaran virus covid-19. Kita sekarang harus berada di ruang domestik dalam beribadah. Tetapi sekali lagi bukan pembatasan orang beribadah akan tetapi agar melakukan ibadah di rumah saja bersama keluarga.

Saya yakin meskipun ibadah itu dilakukan di rumah tentu pahalanya tidak akan berkurang sedikitpun. Oleh karena itu mari kita jadikan momentum beribadah di rumah itu sebagai wahana untuk berkumpul dengan keluarga, sebab barangkali di antara kita ada yang selama ini sering berada diluar rumah daripada di dalam rumah.melalui covid-19 kita diajak untuk kembali ke rumah dan beribadah di rumah. Perbanyak shalawat dan doa semoga covid-19 segera berlalu dan kita semua dalam keselamatan.

Wallahu a’lam bi al shawab.