Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMOTONG JALUR BANK TITIL

MEMOTONG JALUR BANK TITIL:

Studi Historis tahun 1990-an


 

Nur Syam

 

Pengantar

Bank Titil, istilah yang digunakan oleh masyarakat pedesaan untuk menyebut sebuah kegiatan usaha di dalam bidang keuangan, proses kerjanya ialah debitornya mendatangi kreditor dari rumah ke rumah untuk meminjamkan uang dalam jumlah tertentu. Sebenarnya kegiatan peminjaman uang ini dilakukan secara sukarela, artinya pihak kreditor menyadari sepenuhnya bahwa tanggungan pengembalian uang tersebut memberatkan bagi dirinya. Akan tetapi faktor keterjepitan menyebabkan mereka meminjam uang di Bank Titil tersebut, meskipun hal itu memberatkannya.

Ada beberapa hal yang menyebabkan masyarakat pedesaan lebih suka meminjam uang di Bank Titil ketimbang di Lembaga Keuangan pemerintah, misalnya Bank Rakyat Indonesia, BNI atau bahkan program KUKESRA dan TAKESRA. Jika pinjam di BRI atau BNI, maka jumlah peminjaman mestilah dalam jumlah yang relative besar. Sedangkan di Takesra atau Kukesra mensyaratkan untuk kegiatan usaha. Maka ketika mereka membutuhkan uang cash dalam jumlah yang kecil, RP.100.000,- sampai Rp.200.000,- jalan mudah yang ditempuh ialah dengan meminjam di Bank Titil. Faktor yang menarik minat mereka untuk meminjam di Bank Titil. Faktor yang menarik minat mereka meminjam di Bank Titil tersebut ialah: pertama, kemudahan administrasi. Bank Titil tidak mensyaratkan berbagai macam tetek bengek administrasi. Artinya seorang kreditor cukup menunjukkan tempat tinggalnya, maka proses peminjaman dapat dilaksanakan. Kedua, para debitornya yang datang, sehingga tidak ada kesulitan di dalam hal transportasi. Cukup menunggu jam berapa petugas Bank Titil tersebut lewat dan sesegera setelah datang, maka proses peminjaman dapat dilaksanakan. Ketiga, pelayanan yang cepat. Dalam hal ini, petugas Bank Titil tidak mempersulit orang yang pinjam uang. Begitu ada orang yang akan pinjam sesegera mungkin dilayani. Keempat, dapat memenuhi kebutuhan sesaat. Misalnya mereka membutuhkan uang untuk kepentingan buwuhan atau kendurian dengan jumlah uang tidak besar, maka mereka dapat memenuhinya dengan meminjam uang di Bank Titil.

Berangkat dari kemudahan tersebut, maka jumlah pengambilan berapapunn tidak dipikirkan, sebab yang penting bahwa penutupan kebutuhan sesaat tersebut terlampaui. Inilah sebabnya, memberantas Bank Titil tak mudah. Bahkan usaha pemerintah lewat paket-paket kredit, semisal Kukesra dan Takesra, bahkanjuga insentipp uang lewat ekonomi desa (UED) juga tak mampu membendung lanjutan kegiatan Bank Titil.

 

Desa Sembungrejo : Kemiskinan da Keterbelakangan

Desa Sambungrejo, kecamatan Marakurak Kabupaten Tuban merupakan desa IDT. Akan tetapi sampai program desa IDT tersebut dihapuskan, desa ini tak mendapatkan status sebagai “daerah” IDT tersebut. Padahal, desa-desa lain yang kondisi kehidupan masyarakatnya relative lebih baik ternyata mendapatkannya. Misalkan desa Pongpongan, Sumberjo dan sebagainya.

Desa ini realtif habis sumber ekonomi pertaniannya disebabkan sebagian besar tanah milik penduduk sawah dan ladang telah dibeli pabrik Semen tahun 1990 yang lalu dengan harga yang sangat murah. Untuk tanah sawah yang produktif dan panen sekali padi, sekali kacang dibeli dengan harga Rp.1500,00 sedangkan tanah tegalan hanya Rp. 650,00 sampai Rp.850,00 per meter persegi. Padahal hingga sekarang, kebanyakan mereka tidak dapat alih profesi ke sektor lain karena keterbatasan keterampilan. Untunglah bahwa mereka bisa membuka lahan hutan untuk kegiatan pertaniannya. Mereka menyebut lahan persil. Padahal, lahan itupun sudah dibeli pabrik Semen. Jadi beberapa tahun lagi mereka benar-benar tak akan memiliki lahan pertanian yang bisa dikerjakannya.

Sebagai daerah penduduk miskin, maka dapat dilihat dari fakta luarnya dengan indicator kepemilikian rumah, kepemilikan lahan pertanian dan penghasilan yang relative kecil. Banyak rumah penduduk yang terdiri dari atap genting, dinding sesek (terbuat dari bambu) dan berlantai tanah. Selain itu kebanyakan penduduk juga tidak memilki lahan atau sumber ekonomi dan penghasilannya juga relative kecil, misalnya hanya mendapatkan uang Rp.6.000,- per hari, dengan jumlah tanggungan keluarga sebanyak 3-4 orang. Jika menggunakan ukuran kemiskinan sebagaimana yang diungkapkan oleh para ahli, maka kelihatan bahwa income perkapitanya ialah kurang dari 180 kg. per orang.

Dilihat dari sisi keberagamaannya menunjukkan bahwa di desa ini relatif “baik”. Institusi keberagamaan relative telah tersedia. Misalnya masjid, mushalla, pesantren dan jami’iyah yasinan, tahlilan dan jami’iyah Nahdhotul Ulama (NU). Institusi ini memiliki aktivitasnya masing-masing sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun demikian pengalaman beragamanya belum maksimal, terutama di kalangan orang tua, kira-kira haya 30%. Sedangkan yang cukup menggembirakan karena generasi mudanya hampir 80% telah menjadi “keluarga” masjidan. Demikian pula untuk kelompok anak-anak.

Di antara tradisi keislaman yang kiranya memerlukan reorientasi ialah tradisi kematian. Di sini ada suasana “materialisasi” upacara kematian. Artinya upacara kematian terjadi “barang” mahal karena ukurannya ialah seberapa besar uang yang dikeluarkan untuk biaya kematian. Ada sebuah kelakar “jika da keluarga yang meninggal lalu ada yang menangis, hal itu bukan menangisi keluarganya yang meninggal, akan tetapi menangisi berapa banyaknya uang yang harus dikeluarkan”. Sayangnya memotong tradisi ini bukan hal yang mudah.

Namun demikian, seirama dengan semakin banyaknya penyiaran agama yang dilakukan oleh tokoh agama, maka pengalaman keagamaan, seperti shalat, puasa dan amalan ibadah yang lain cenderung meningkat, meskipun agak sulit dikuantifikasikan.

 

Jam’iyah Tahlilan : Sebuah Organisasi Non Formal

Organisasi ini semula hanyalah merupakan wadah perkumpulan ibu-ibu untuk aktifitas arisan yang terkoordinasikan dan didirikan pada tanggal 12 Nopember 1993. Organisasi ini mula-mula didirikan dengan tujuan agar ibu-ibu warga Sembungrejo memiliki perkumpulan yang relative mantap sebagai sarana untuk menampung ibu -ibu yang menginginkan kegiatan arisan, sebagai sarana untuk menabung bagi ibu-ibu di desa tersebut. Kegiatan ini berlangsung pada hari Kamis dan Jum’at karena sekaligus diadakan kegiatan tahlilan dan yasinan.

Semula kegiatan ini hanya diikuti 98 orang. Mereka kebanyakan orang-prang yang sudah bisa membaca Al-Qur’an dan sebagian lainnya belum bisa membaca Al-Qur’an. Bahkan ada di antara mereka mengikuti kegiatan arisan saja, sehingga niat mengikuti tradisi keagamaan belumlah menjadi bagian penting dari kehidupannya. Memang, sedari awal sudah dinyatakan bahwa di dalam perkumpulan ini, para anggota diperkenankan untuk meminjam uang dalam jumlah yang diperkenankan atau sesuai dengan kemampuan perkumpulan. Inilah barangkali daya tarik pada tahap awal sehingga mereka tertarik menjadi anggota.

Karena perkumpulan ini didesain sebagai sebuah perkumpulan arisan yang bermuatan kegiatan keagamaan, maka penerimaan anggota sangat tergantung pada selesainya kegiatan arisan dan dimulainya kegiatan baru. Dengan demikian, jumlah anggota yang sebanyak 98 orang tersebut bertahan selama 2 tahun. Hal ini disebabkan arisan dilakukan satu minggu sekali sehingga untuk 98 anggota memerlukan waktu 98 minggu. Pada pembukaan tahap kedua, terdapat kenaikan anggota menjadi 224 orang. atau kenaikan sebesar 228,57%. Sungguh hal yang fantastis. Kenaikan jumlah ini disebabkan oleh beberapa faktor: Pertama, pembagian sisa hasil usaha (SHU) yang selama ini tak pernah dikenalnya, Kedua, kepercayaan para anggota terhadap mekanisme kerja pengelola. Ketiga, ketegasan dan kejujuran pengelola. Di dalam kenyataannya, pengelola sangat transparan dalam hal keuangan dan pembukuan, sehingga tidak ada kemungkinan penyalahgunaan keuangan perkumpulan. Melalui faktor internal dan eksternal ini ternyata perkumpulan relative menjadi tumpuan warga masyarakat untuk berorganisasi.

Organisasi ini cukup ramping. Hanya diorganisir oleh 12 orang. seorang ketua, sekretaris, bendahara dan sembilan orang coordinator. Masing-masing koordinator membawahi 25 orang. Pembagian kerja cukup luas, ketua bertanggungjawab terhadap seluruh aktivitas perkumpulan, sekretaris bertanggungjawab terhadap mekanisme pencatatan keuangan dan aktivitas dan bendahara bertanggungjawab terhadap mekanisme keluar masuknya uang dan coordinator bertanggungjawab terhadap penarikan uang dari masing-masing koordinatornya.

Perkumpulan ini telah berkembang sedemikian rupa. Jika tahap awalnya hanya kegiatan arisan dan tahlilan, maka sekarang telah ada kegiatan yasinan, takhtimul Qur’an dan pengumpulan dana fida’an bahkan juga kegiatan jual beli barang-barang kebutuhan rumah tangga. Jika pada tahap awalnya hanya bisa meminjamkan uang sebesar kurang dari seratus ribu rupiah, maka sekarang sudah bisa meminjamkan uang dalam jumlah lebih dari dua juta rupiah per minggu.

 

Proses Community Development

Untuk melihat perkembangan perkumpulan ini, maka akan digunakan alat analisis community development atau analisis pengembangan masyarakat, Konsep pengembangan masyarakat banyak digunakan untuk melihat dinamika perubahan sosial dalam skala kecil yang tumbuh dari bawah atau dalam teori-teori pembangunan disebut bottom up planning. Kata kunci perencaanaan dari bawah ialah partisipasi atau keterlibatan semua pihak.

Aktivitas perkumpulan ini dapat dilihat dari proses pengembangan masyarakat sebagai berikut: Pertama, adanya orang yang memiliki kesadaran akan pentingnya perubahan. di dalam konteks ini ada beberapa orang yang memiliki kesadaran untuk mengubah tradisi masyarakat setempat ialah kecenderungan berhutang di Bank Titil. Bedasarkan pengalaman, bahwa setiap hari ada petugas Bank Titil yang lalu lalang menagih dan menghutangkan uang. Padahal pengembaliannya sangat memberatkan masyarakat. Jika orang hutang sebesar Rp. 100.000,- maka dia hanya menerima Rp.90.000,- sebab yang Rp. 10.000,- untuk biaya administrasi dan dipotong lagi Rp. 2.000,- untuk tabungan. Padahal pengembaliannya sebesar Rp.4.000,- perhari selama satu bulan. Sehingga jumlah pengembaliannya sebesar Rp.120.000,- . Dari pengamatan tersebut, kemudian dipikirkanlah bagaimana solusi untuk menjawabnya.

Kedua, mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat. Dari pertemuan ini diperoleh kesimpulan bahwa diperlukan suatu wadah yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengerem laju operasional Bank Titil tersebut. Problem utama ialah ketiadaan dana yang dapat dijadikan sebagai modal awal untuk dipinjamkan. Dari berbagai pemikiran yang muncul dapat disimpulkan bahwa mereka akan mendirikan arisan, di mana setiap anggota diwajibkan untuk menyetor uang simpanan wajib dan uang pertama arisan untuk modal kegiatan simpan pinjam. Problem interpretasi keagamaan pun muncul, yaitu boleh tidaknya membungakan uang. Simpan pinjam tersebut menggunakan sistem “bunga”. Dari berbagai pembicaraan, akhirnya disepakati diperbolehkan karena bukan untuk kepentingan individual tetapi untuk kepentingan kelompok. Apalagi biasa hasil usaha tersebut akan dibagi untuk semua anggota atau pembagian sisa hasil usaha (SHU).

Ketiga, melakukan analisis kebutuhan dan sistuasi sosial. Analisisi kebutuhan sebenarnya dilakukan dalam rangka memantapkan berbagai rancangan kasar mengenai program apa yang akan dilakukan setelah melakukan pengamatan terhadap masalah yang menghimpit. Dari tahapan ini diperoleh kesimpulan bahwa ada kecenderungan kuat dari masyarakat di desa ini untuk berhutang ke Bank titil meskipun dengan tehnik pengembalian yang menjerat. Oleh karena itu, melalui berbagai wawancara dengan anggota masyarakat setempat diperoleh kesimpulan bahwa mereka suka kalau diadakan kegiatan simpan pinjam uang denga nada muatan keagamaannya. Melalui kespakatan antara tokoh masyarakat dan warga masyarakat tersebut maka didirikanlah perkumpulan yang mereka lakukan sendiri tanpa intervensi siapapun. Program ini benar-benar self help, karena tidak pernah mendapatkan dana bantuan dari siapapun.

  1. Kegiatan simpan pinjam.

Kegiatan ini diawali dengan pengumpulan uang simpanan wajib dan uang tarikan arisan pertama untuk dana operasional, pada tahap awal diperoleh dana sebesar Rp. 196.000,- dan dihutangkan kepada anggota dengan tekhnik, jika hutang Rp.10.000,- maka pengembaliannya sebesar Rp.12.000,- selama puluhan minggu atau 70 hari. Bandingkan dengan Bank Titil dalam jumlah pengembalian sama akan tetapi dengan waktu yang relative lebih pendek, 30 hari ditambah dengan potongan Rp.1000.- per Rp.10.000,- dan uang simpanan Rp.200,00. Dengan demikian, jika di Jam’iyah ini mereka menerima uang sebesar yang dihutang, sedangkan di Bank Titil hanya menerima Rp. 8.800,- per hutang Rp.10.000,-. Memang jumlah pengembalian di sini relatir besar, akan tetapi mengingat bahwa SHU menjadi miliknya maka jumlah tersebut terasa relistis. Bukankah hasilnya nanti untuk mereka juga.

  1. Membangun kepercayaan.

Proses membangun kepercayaan adalah proses yang sangat sulit. Di dalam hal ini, maka langkah yang digunakan ialah transparansi dan penjelasan keagamaan. Misalnya dalam ceramah agama selalu ditekankan bahwa jika ada pengurus yang menggunakan uang organisasi untuk kepentingan pribadi seilahkan nanti pahala orang tersebut diambil oleh anggota di akhirat. Sebagai akibatnya telah mereka menikmati hasil usahanya yang pada tahap awal sebesar Rp. 50.000,- per anggota dan pakaian seragam, maka kepercayaa menjadi sangat besar. Bila dibayangkan menjadi sangat besar. Bila dibayangkan dari hanya 98 anggota menjadi 224 anggota. Bisa dimengerti bahwa mereka hanya menyimpan uang Rp.2.000,- (uang simpanan wajib Rp.1000,- dan tarikan pertama Rp.1.000,- maka mereka menerima SHU sebesar itu.

  1. Mengembangkan usaha.

Kegiatan simpan pinjam ini telah berhasil mengembangkan usahanya sedemikian rupa. Jika pada tahap awal hanya mampu kredit sebesar kurang dari Rp. 500.000,- maka sekarang telah berhasil memberikan kredit sebesar Rp. 1000.000,- bahkan sampai Rp.2.000.000,- Gambaran positif kredit yang dapat disalurkan per minggu ialah sebagai berikut : tanggal 25-11-1999 jumlah uang yang dihutangkan sebanyak Rp. 1.475.000,-. Tanggal 2-12-1999 jumlah uang yang dihutangkan sebanyak Rp. 1.675.000. Tanggal 10-12-1999 jumlah uang yang dihutangkan sebesar Rp.2.485.000,- dan tanggal 17-12-1999 yang dihutangkan sejumlah Rp. 1.570.000,-. Gambaran selain ini menunjukkan bahwa ushaha tersebut telah berhasil menekan laju Bank Titil yang selama itu telah menjadi bagian kehidupan masyarakat.

  1. Mengembangkan variasi usaha.

Sekarang usahanya tidak hanya arisan dan simpan pinjam. Akan tetapi telah merambah kepada melayani pesanan barang-barang kebutuhan rumah tangga dengan pola pembayaran angsuran. Modalnya diambilkan dari uang simpan pinjam dan nanti kembali ke masyarakat. Bahkan kalau ada orang yang punya hajad juga bisa meminjam uang maksimal Rp.1.000.000,- dna dikemballikan setelha hajatnya selesai. Kepada mereka dimintai uang sumbangan seikhlasnya bagi Jami’iyah. Selan itu, Jami’iyah ini juga mengembalikan arisan lain yang ditempatkan pada hari Minggu. Dengan demikian kalau hari Kamis malam Jum’at ada kegiatan tahlilan, yasinan dan ceramah agama, maka untuk yang hari Minggu khusus arisan.

  1. Membangun Keterbukaan.

Uang usaha tersebut diatur sedemikian transparan sehingga semua anggota bisa mengakses pembukuannya. Bagi yang merasa ada kekurang cocokan “perasaan” pembayaran dengan kenyataannya, maka dapat mengeceknya di pembukuan secara langsung. Melalui teknis seperti ini, maka kecurigaan penggunaan uang atau ketidak beresan pembukuan tidak didapatkan lagi.

  1. Memberi pelayanan.

Pada prinsipnya, unsur yang penting ialah memberi pelayanan kepada masyarakat, di dalam hal ini, semua unsur pengurus oragnisasi terlibat secara aktif da tidak berharap balsan yang bersifat duniawi, meskipun pada tahap akhir imbalan tersebut mungkin diperolehnya.

  1. Melakukan evaluasi.

Dari berbagai kritik dan saran yang diberikan oleh anggota, apakah langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung ialah melalu forum kegiatan arisan atau lainnya, sedangkan yang tidak langsung ialah melalui oembicaraan dari individu ke individu lainnya.

Keempat, membina hubungan baik dan tanggung jawab sehingga memunculkan kesadaran kegiatan tersebut sebagai milik mereka sendiri. Berdasarkan pengamatan lapangan, bisa dijumpai sutau kenyataan bahwa terdapat tanggungjawab dari semua komponen untuk melestarikan kegiatan ini. Terbukti bahwa mereka membayar hutang relative tepat pada waktunya. Kalaupun ada yang tidak mampu membayar ternyata proses pembayarannya tidak melebihi batas toleransi 13 kali pembayaran.

 

Catatan Akhir

Dari pemaparan di atas, ada beberapa hal yang patut diperhatikan terkait dengan pelaksanaan kegiatan simpan pinjam ini. Pertama, simpan pinjam ini merupakan kegiatan solutif sehingga aktifitasnya mampu bertahan. Secara teoritik, sebuah institusi akan langgeng, manakala institusi tersebut dibutuhkan oleh masyarakat. Kedua, melalui kegiatan ini, telah ada perubahan di kalangan ibu-ibu yaitu adanya kecenderungan menggunakan atribut pakaian keislaman kalau pergi ke luar desa. Kerudung adalah ciri khas yang sekarang mengedepankan. Demikian juga jumlah ibu-ibu melakukan shalat. Ini memang masih merupakan pengamatan awal. Ketiga, mengingat usaha ini sudah relative jalan, maka kiranya diperlukan satu tempat permanen (kantor) sehingga kegiatan simpan pinjam tidak hanya dilakukan sekali seminggu akan tetapi dapat dilakukan transaksi sesuai dengan kepentingan keuangan yang mendadak dari anggota. Sekarang ini kegiatan simpan pinjam dibersamakan dengan kegiatan tahlilan atau yasinan yang tempatnya berpindah-pindah dari rumah anggota. Sedangkan arisan hari Minggu ditempatkannya di rumah ketuanya. Keempat, jika modal usaha selain SHU relative sudah banyak, maka perlu, dilakukan penurunan jumlah pengembalian uang dari 20% menjadi 10%. Sehingga misi menolong dan berusaha akan seimbang. Sekarang ini misi menjadi usahanya kelihatan lebih besar ketimbang misi menolongnya.

Dengan demikian, sebuah kegiatan yang dirancang melalui partisipasi masyarakat sedikit atau banyak akan membawa kemanfaatan bagi diri mereka sendiri. Usaha ini memang berada dalam kasus khusus, sehingga kemungkinan penerapan di tempat lain sangat tergantung kepada kesamaan ciri khas yang dimilikinya. Namun demikian, pengalaman ini menorehkan suatu harapan bahwa sebuah institusi yang dibangun di atas kepentingan bersama akan cenderung dianggap sebagai milik mereka sendiri, sehingga kecenderungan untuk mengembangkannya tidak hanya dirasakan oleh pengurusnya akan tetapi oleh semua anggota.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..